Share

9. Pernikahan Zahra

     Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.

Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.

Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.

Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur. Tangan kananku menggenggam ponsel. Mataku menatap langit-langit kamar sambil berfikir aku akan datang bersama siapa. Sekelebat bayangan Pak Arsan muncul. Kenapa harus dia? Aku memejamkan mata, namun yang kudapat malah bayangan aku dan Pak Arsan berjalan bergandengan tangan, masuk ke gedung pernikahan.

Tapi... Iya juga ya? Kenapa aku tidak datang bersamanya saja? Kebetulan besok kan Sabtu, Pak Arsan pasti luang.  Langsung saja aku menghubungi nomornya.

“Assalamualaikum...” salamku.

“Walikumsalam.”

“Pak, nanti malam ada acara nggak? Kalo nggak, temenin aku ke pernikahan temenku, yuk?” ajakku antusias.

“Maaf Nawang, nanti malam saya nggak bisa. Saya harus pergi juga.”

Tubuhku melemas. Terpaksa nanti malam aku kondangan seorang diri tanpa dampingan siapapun. Nasib anak gadis yang ditinggal nikah mantannya memang begini. Kesana kesini teraniaya. Hidupnya miskin bahagia.

“Yaudah!” ketusku lantas langsung memutuskan telepon dan menutup wajah dengan bantal. Lebih baik aku tidur dan menenangkah hati agar tetap tabah menjalani kesedihan ini. Huh!

***

Pukul tujuh malam, aku sudah rapi mengenakan gaun malam berwarna coklat. Wajahku sudah kuhias seindah mungkin dengan beberapa make-up. Dengan langkah anggun, aku menuruni anak tangga satu persatu untuk keluar karena Uber pesananku sudah menunggu. Anggota keluargaku sudah lebih dulu berangkat dan aku seorang diri.

Biarlah, terserah mau sama setan atau jin, yang jelas malam ini aku harus terlihat bahagia di dalam hari bahagia Zahra, sahabatku. Persetan untuk statusku yang digantungkan oleh Pak Arsan.

    Sekitar lima belas menit, aku sampai di gedung hotel yang Zahra pilih untuk resepsi. Aku masuk kedalam dengan sedikit senyum. Menyerahkan undangan pada penjaga lalu masuk ke ballroom.

Dari kejauhan aku melihat keluargaku sedang asyik foto-foto dengan pengantin di pelaminan. Semuanya ikut, kecuali Mbak Mila dan suaminya.... Serta aku. Menggeram kesal. Dompet kecil ditanganku menjadi korban karena sudah ku ucel-ucel.

Agar tidak terlalu memalukan, aku melangkah menghampiri tempat makanan berada. Mengambil minum dan duduk di salah satu kursi. Sambil minum, mataku tidak pernah lepas mempehatikan orang-orang yang baru datang. Tatapanku menajam kepada satu orang baru saja masuk. Seorang lelaki bersama dengan wanita cantik berhijab dan anak kecil di tengahnya. Mereka terlihat sangat serasi, bak pasangan romantis.

Jangan tanya siapa lelaki yang kumaksud! Tanpa kalian bertanya pasti benak kalian sudah menduga itu adalah Pak Arsan. Jika begitu, berarti jawaban kalian benar! Disana, Pak Arsan dengan wanita berhijab biru tua melangkah menuju pelaminan, tentunya sambil menuntun Alin di tengah-tengah mereka.

Zahra... Zahra... Kenapa kamu ngundang Pak Arsan, sih? Aku jadi kesal sendiri dengannya.

Dan lagi, siapa wanita berhijab itu?

Ketika aku menoleh ke tempat pelaminan, keluargaku sudah tidak ada lagi. Akh, syukurlah.... Setidaknya aku bisa sedikit lega sekarang. Tapi kelegaanku hanya berlangsung sedetik. Tubuhku kaku melihat Zahra bercipika-cikipi dengan wanita yang dibawa Pak Arsan. Terlihat Zahra berbincang ria dengan wanita itu. Sepertinya mereka saling mengenal. Aku jadi penasaran.

Aku memalingkan wajah ketika Pak Arsan menggiring wanita berhijab dan Alin untuk turun dari pelaminan.

Jantungku hendak copot, memyadari Pak Arsan melangkah mengarah kearahku. Buru-buru aku menandaskan minuman dan melangkah tergesa-gesa untuk ikut bergabung berdesak-desakan menyalami Zahra dan Mas Ridwan.

Karena masih penasaran, apa yang akan mereka lakukan lagi, sambil mengantre giliran menyalami pengantin aku terus memperhatikan Pak Arsan. 

Kini giliranku untuk naik ke pelaminan. Dengan perasaan campur aduk, aku naik. Buru-buru menyalami Zahra dan Mas Ridwan tanpa sempat memberi kalimat-kalimat bahagia pada mereka. Bahkan Zahra sempat memanggil-manggil namaku ketika aku hendak turun dari panggung. Biarlah, aku abaikan saja teriakannya. Yang penting sudah salaman. Masalah kado, setelah ijab qabul aku sudah memberinya kado yang berisi lingerie merah padam. Entah dia akan memakainya atau tidak.

***

     Kakiku melangkah loyo masuk ke dalam kamar. Baru saja aku sampai rumah, pukul sebelas malam. Aku pulang selarut ini dalam resepsi pernikahannya Zahra itu, karena menunggu Pak Arsan pulang dulu. Aku tidak mau dia tahu aku ada disana.

Setelah melepas hels, aku merebahkan tubuh diatas kasur, tanpa berniat membuat Fika terbangun dari tidurnya. Tidak peduli gaunku akan kucel, punggungku sudah tidak kuat menopang lagi. Diam termenung menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba saja ponselku berdering menandakan chat masuk.

Segera kuraih benda pipih itu di dalam tas kecil lantas membuka pesan dari siapakah gerangan. Ternyata Zahra. Dia mengirimkan foto lingerie merah pemberian dariku, lewat aplikasi Whatsapp.

Zahra :

Kado apaan itu?

Me :

Kado hotttt, Zahra! Pake gih, biar mas ridwan bergairah.

Zahra :

Nggak ah, malu

Me :

Dosa loh kalo ngga gituan

Zahra :

Gituan gimana?

Me :

Itu lohhhh... Ehm, nafkah bathin

Zahra :

Siapa bilang ngga lakuin? Lg proses kok

    Bola mataku melebar membaca pesannya. Ini beneran Zahra yang ngetik? Masa sih? Aku tidak percaya. Karena itu, langsung saja ku telpon nomornya.

“Assalamualaikum?” suara salam di seberang sana. Bukan suara Zahra. Ini suara lelaki yang pasti Mas Ridwan! Asem! Ternyata dia yang membuka kado dariku.

“Mas Ridwan! Ih, reseeeee!”

“Kamu yang rese. Segala ngasih kado lingerie ke Zahra. Untung Mas yang buka.”

“Iiihh itu kan biar Zahra kelihatan hot! Au ah!” aku jungkir balik kesal sendiri.

“Nggak. Nggak akan Mas kasih. Bakal Mas simpan aja kado dari kamu.”

“Terserah lah! Zahra lagi ngapain? Aku pengin ngomong dong, penting.”

“Dia lagi ma—, hallo Na ada apa?”

Aku menghela napas lega ketika suara Zahra terdengar. “Nggak ada apa-apa. Cuma mau tanya, waktu kamu nikah, kamu ngundang guru-guru SMA Satu, ya?”

“Ya nggak lah! Malu ih, Nana.”

“Lhah, kenapa waktu resepsi aku ada lihat Pak Arsan disana?”

“Ooh...itu! Pak Arsan itu datang sama temanku. Kamu lihat cewek yang pake hijab biru tua, kan? Dia temanku.”

“Oh gitu. Yaudah makasih. Aku matiin ya, bye Assalamualaikum.”

   Tanpa menunggu Zahra menjawab salamku, langsung saja aku matikan. Ternyata orang yang datang dengan Pak Arsan ke resepsinya Zahra adalah temannya Zahra. Huh! Pantas saja Pak Arsan menolak ajakanku, itu pasti karena sudah ada janji dengan wanita berhijab biru tua semalam.

Aku jadi penasaran. Ada hubungan apa antara Pak Arsan dan temannya Zahra itu? Dari yang aku lihat gerak-gerik mereka waktu di resepsinya Zahra sih, kayaknya lebih dari teman. Tapi, kalau lebih dari teman kenapa juga Pak Arsan mau repot-repot membawaku ke rumah orangtuanya, memperkenalkanku pada mereka?

Panjang umur!

Baru saja orangnya sedang aku bicarakan, dia tiba-tiba melefonku. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat panggilannya.

“Assalamualaikum.” ucapku. Aku berusaha sebisa mungkin terbiasa mengucap salam lebih dulu.

“Waalaikumsalam. Nawang, saya mau bicara serius sama kamu.”

Bukannya setiap kali berbicara, Pak Arsan selalu serius? Dia kan tipe laki-laki yang tidak kenal becanda! “Iya, ada apa ya, Pak?”

“Lusa Orangtua saya ke rumah kamu untuk melam—”

Mataku melebar tidak karuan. “Apa?! Melamar?”

“Eeuhh! Teteh jangan berisik, ih!” aku segera menutup mulut sendiri ketika mendengar suara Fika dari belakang.

“Iya. Sekalian untuk menentukan tanggal nikah. Saya nggak mau terlalu lama main-main. Sudah bukan usia saya lagi kalau mau main-main.”

“Tanggal nikah?”

“Teteh....ih, jangan berisik..!” lagi-lagi Fika terganggu dengan pekikanku.

“Iya, memangnya kenapa? Kamu belum siap?”

“Yaiyalah! Secara, kita baru kenal, Pak... Lagian, kenapa cepet-cepet segala sih?”

“Kalo kamu lupa, saya Guru BK di sekolahan kamu.”

“Ya... Terlepas dari itu, maksudku. Seengaknya kasih waktu sebulan gitu. Ngurus surat-surat pernikahan kan lama.”

“Oke, satu bulan. Nanti kita bicarakan lagi, lusa. Wasalamualaikum.”

“Kumsalam!” ketusku.

Meletakkan ponsel diatas nakas, tubuhku menghambur di kasur. Kepalaku tiba-tiba saja dilanda pusing.

Duile.. bagaimana ini? Kenapa Pak Arsan jadi pengin cepet-cepet nikah? Aku kan belum siap!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status