Darren juga ikut menangis, rasa rindu kepada anak dan juga istrinya kini terbayar sudah. Hatinya serasa seperti di neraka setelah mengetahui kepergian Diana dan putrinya. Bahkan hampir saja ia bunuh diri, untung saja imannya tidak mudah goyah, beberapa teman dan juga keluarganya ikut mensupport agar dirinya tidak menyerah. Ia tidak ingin menambah dosa lagi. Kalau saja ia tidak mudah kasihan kepada Alya, ia tidak akan mendatangi kamar hotel itu. Nasi sudah menjadi bubur, gara-gara wanita itu ia terpisah dengan orang terkasihnya selama dua tahun, baginya itu terlalu lama. Alya harus membayar semua kejahatannnya."Maafkan Papa ya Nak...""Papa salah..."Darren menggendong Rora, lalu berdiri."Ayo kita ke rumah Mama, pasti Mama senang melihat kalian masih hidup," ajak Darren. Ia sudah tak sabar mengenalkan Rora pada kedua orang tuannya. Selama dua tahun kemarin mereka tidak pernah menyuruh Darren untuk menikah lagi hanya untuk memenuhi keinginan mereka memiliki cucu, tapi setelah ini, Dar
Mendengar kabar mengejutkan dari sahabatnya, Darren langsung menghentikan segala urusan pekerjaannya. Tidak perduli apa yang dikatakan Andra benar atau tidak, yang jelas Darren ingin memastikannya sendiri. Meski dengan nafas terengah-engah, akhirnya Darren tiba di restoran. Ia berlari dari lapangan tempat proyeknya berlangsung menuju parkiran, ia juga berkendara dengan cepat, hampir saja ia menerobos lampu merah."Ren! Ren!" panggil Andra pelan. Ia takut suaranya menganggu pelanggan lain."Ituuu...." Andra menunjuk seorang wanita berkerudung yang sedang duduk di dekat jendela sambil menikmati segelas teh hangat, terlihat dari uap yang mengebul."Good luck, Bro!" seru Andra, lelaki itu ikut bahagia melihat raut wajah sahabatnya.Darren mengangguk pelan, dengan langkah lebarnya ia mendekat, tak perduli apakah wanita itu sosok hantu yang Andra bicarakan, yang jelas ia ingin merengkuh wanita itu ke dalam pelukannya. Ia ingin merengkuh sekali lagi untuk yang terakhir kali sebelum ia benar-
Suara sendok yang bertubrukan dengan piring menjadi nyanyian penghantar sarapan pagi ini. Semenjak suaminya meninggal, Hasya tak lagi bersikap hangat kepada putrinya. Pipi yang semakin tirus dan kantung mata yang menghitam membuat siapapun tahu apa yang sudah dialami wanita itu belakangan ini. Sudah sebulan lebih ia ditinggalkan. Rasa penyesalan membuat dadanya sesak, terus menyalahkan diri tiap detiknya. Meski percuma, tapi itu sedikit mengobati luka di hatinya."Ibu....""Aku mau dagingnya!" pinta Alya, kebetulan piring berisi daging berada di dekat ibunya. Dari kecil Alya sangat manja, apapun kebutuhannya selalu disediakan. Akhirnya sampai sekarang menjadi suatu kebiasaan.Saat ini mereka duduk berhadap-hadapan, kursi yang biasa diduduki Rama dibiarkan kosong begitu saja. Hasya tidak mau menduduki singgasana milik suaminya, sampai kapan pun ia tidak sanggup menjadi kepala keluarga. Sungguh malang sekali nasibnya, ia dan putrinya menjadi janda di usia yang masih muda."IBU!" Alya mu
Suara tawa terdengar di depan teras rumah, pagi yang sangat cerah, sinar matahari bersinah begitu indah. Semenjak kehadiran bayi perempuan, suasana di rumah itu semakin ramai. Banyak sekali yang ingin melihat bayi lucu dengan mata sipit, kulit putih dan juga hidup mancung. Kalau saja tidak dilarang, orang-orang terus berdatangan, padahal acara syukuran sudah dilakukan dua minggu lalu. Meskipun secara sederhana, orang-orang senang merayakannya, Kini bayi itu sedang dipangku oleh wanita paruh baya si pemilik rumah. Setiap pagi, setelah dimandikan, bayi itu memang sering diajak berjemur oleh tetangga sementara ibunya membersihkan pakaian sekaligus mandi."Mau sentuh," ucap anak lelaki berusia lima tahun pada mamanya yang masih terlihat sangat muda. "Jangan dulu ya Le, kulitnya masih sensitif. Kasian nanti kalau sakit." Bukan judes atau apa, rumah sakit cukup jauh dari daerah ini, jadi mereka harus benar-benar menjaga kesehatan, terutama pada bayi."Tuh dengerin, kata Alfa tadi cuma mau
Dian berjalan mendekat sambil merentangkan tangan. Sedetik kemudian, Hasya sudah berada di dalam pelukannya. Diusapnya punggung Hasya dengan lembut, berusaha menenangkan adik iparnya."Mungkin ini sudah takdirnya Sya.""Suami kamu orang baik, siapa pun tau itu.""Tapi sekarang nama baiknya tercoreng karena kelakuan Alya, Mbak...""Anak itu, harusnya aku bisa mendidiknya dengan baik!" Emosi Hasya semakin meletup-letup mengingat kejadian tadi saat suaminya melihat berita skandal Alya."Mbak, apa ini semua karena dosaku ? Aku Ibu yang gagal.""Rasanya sakit waktu pertama kali mengetahui kelakuan Alya dulu. Aku menyembunyikan kelakuan Alya bukan karena membelanya. Aku hanya takut mas Rama kecewa, pasti dia yang paling sakit mengetahui hal itu.""Sudah Sya, kamu sudah berusaha menjadi Ibu yang baik.""Sekarang kita ke kamar ya, sebentar lagi Rama akan pulang, kita antar dia ke tempat peristirahatan dengan tenang," ajak Dian sambil menuntun Hasya kembali ke kamar.***Seperti biasa, tiap su
Suara tangisan tak berhenti sejak dokter mengumumkan kematian Rama Siswandi di ruang IGD. Padahal supir sudah secepat mungkin membawa Rama dari rumahnya, rupanya takdir berkata lain. Rama mengalami serangan jantung. Sebenarnya sudah sejak dulu ia mengeluhkan dadanya sakit, karena kesibukannya ia lupa untuk periksa ke rumah sakit.Rosa menangis pilu di pelukan Irwan, tak menyangka anak bungsunya pergi begitu cepat. Tak ada yang lebih sakit ditinggal terlebih dahulu oleh anak sendiri. Rosa masih merasa ini mimpi, ia ingin dibangunkan, oleh siapa pun itu."Irwan, ini mimpi kan ? Bangunkan Ibu...""Tolong bangunkan Ibu," pinta Rosa kian keras. Apa ini teguran karena ia terlalu menganakemaskan Rama ? Ingatannya juga kembali pada dua puluh tahun lalu. Irwan juga selalu pilih kasih pada putri sulungnya, dan ia juga ikut andil menyakiti Diana."Rama tidak mungkin secepat ini meninggalkan Ibu..."Lagi-lagi Irwan terus mengusap punggung ibunya. Kini ia sedikit mundur agar mereka bisa duduk. Ia