Salah satu tangan kekar pria yang telah kerasukan makhluk kasat mata menarik pakaian Fika kasar. Kedua mata Fika tertutup rapat. Ia masih tak sadarkan diri. Kedua mata makhluk itu membulat tak percaya. Cahaya keluar dari tubuh gadis itu. Cahaya menyilaukan mata, hati dan tubuh. "Argh! Panas!" Menutup kedua mata dengan tangannya. Suara pria itu nyaring dan mengema. Semua pemuja ritual berada ruang ritual dengan hordeng hijau terkejut seketika. Membuka mata mereka dan menghindari amukan. "Apa yang terjadi?" Argh! Makhluk itu keluar dari tubuh pria yang menjadi tempat tinggalnya. Sosok tubuh makhluk tak kasat mata sungguh menyeramkan. Kedua mata berwarna merah, tanduk di kepala, rambut panjang dan hitam pekat, tubuhnya setinggi dua meter, badannya besar dengan berat dua ratus kilogram. Ia hanya mengenakan celana saja menutupi bagian bawah, semua tubuh berwarna hijau. "Argh!" Ia kepanasan ketika sinar di tubuh Fika menyinari ruangan tersebut. Sinar yang semakin merambat dan meramb
Kini, Bara berhadapan dengan Nyai dan Tuannya. Mereka berdiri berdampingan menantang Bara. Bulan tepat di atas kepala Bara. Bintang tak berani menampakkan cahayanya. Senyum Bara dan tatapan tajam bagaikan belati tak membuat nyali wanita tua berkebaya hijau mundur. "Dasar pengacau! Kami akan menghancurkan kamu!" Nyai menatap tajam Bara. Begitu juga makhluk setinggi dua meter. Mereka memliki dendam dan kebencian luar biasa."Argh!" Makhluk bertubuh hijau berteriak dan menatap wajah Bara. Ia tak sabar untuk memusnahkan Bara yang telah menghancurkan rumah ritual mereka. Rumah yang berpuluh-puluh tahun berdiri kini musnah dilahap si jago merah ciptaan Bara. "Serang!" teriak Nyai. Menunjuk ke arah Bara. Nyai lupa kalau tak ada anak buahnya yang masih hidup. Mereka telah mati di lahap api dengan napas yang masih berlangsung. Nyai melemparkan cahaya merah ke arah Bara. Ia menghindari serangan tersebut dengan tubuh gesit. Makhluk bertubuh besar dan hijau mengeluarkan kekuatannya juga hing
Suara sirine pemadam kebakaran terdengar, ketika matahari hendak terbit. Para warga berkumpul di rumah tersebut melihat penampakan rumah yang kini menjadi arang. Asap mengepul berkumpul dan menghilang terbawa angin. Tetesan hujan turun perlahan. Awan mulai menghitam. Cahaya matahari belum terlihat seluruhnya. Para warga menarik napas lega, tak ada lagi ancaman bagi para warga. Saling berpelukan dan meneteskan air mata kebahagiaan. Tiba-tiba saja hujan menguyur kampung itu. Beberapa orang mencari tempat berteduh, ada yang segera pulang ke rumah, ada juga yang masih berdiri menatap rumah tak terbentuk itu. Bara menikmati sarapan pagi, membeli nasi uduk di luar gang. Fika menyiapkan semuanya. "Mulai besok aku akan tinggal di kontrakan samping." Fika menghentikan tangannya yang hendak mengambil nasi uduk di atas piring dekat Bara. Ia juga memberikan air teh manis untuk Bara. "Kenapa tak di sini?" "Kamu tahu kita ini bukan pasangan halal. Nanti, malah di kira kumpul kebo." Bara te
"Di mana aku?" Bara mendekati makhluk berwajah setengah manusia dan hewan yang masih merintih kesakitan. Nampak noda merah berceceran di lantai. "Apakah telah terjadi peperangan?" Semua darah mengalir di atas tanah, menodai warna coklat. Seketika, kabut hitam menghilang perlahan. Bara melihat tanah seperti lautan makhluk tak berdaya yang tergeletak di atas tanah. "Ya Tuhan. Semua ini mayat." "Tolong ... Tolong!" Salah satu mereka merintih dan mengiba. Bagian perut keluar cairan merah sedikit hitam. Goresan terlihat menganga. "Bara menarik makhluk itu dari teman-temannya yang tak bernyawa. Tubuhnya tertindih beberapa makhluk lain. "Apa yang terjadi?" Bara berhasil menarik tubuhnya. Menjauhi mayat lain. "To-tolong! Istri dan anak saya," ungkapnya mengiba. Ia meringis berkali-kali. "Ke mana mereka?" "Me-mereka bu-bukit Nya- nyawang." Tak lama kemudian, tubuh makhluk itu terkulai lemas dengan bola mata membulat. Bara menguncang tubuhnya. Tak ada respon apapun, makhluk itu telah
Srek! Srek! Suara di balik semak dekat air terjun menjadi perhatian Bara, memberanikan diri untuk mendekati rumput tersebut. Rumput hijau nan lebat dan tinggi. "Siapa?" tanya Bara waspada. Kakinya terus melangkah perlahan.Semakin dekat langkahnya, semakin terlihat tubuh di balik semak-semak. Bara melihat pakaian yang dikenakannya. Putih seputih kapas. Hingga sesuatu muncul tanpa aba-aba atau tanpa izin membuat Bara terjatuh dan menahan serangan dadakan. "Gerrr." Bara mengangkat tubuh mungil makhluk yang berada di semak-semak. Wajahnya bukan seperti Kadet. Melainkan manusia seutuhnya. "Lepas! Lepaskan!" Tubuhnya memberontak. Kaki mungilnya menendang Bara. Kedua mata membulat sempurna."Sedang apa kamu di semak-semak?" Bara belum melepaskan tangannya dari tubuh mungil. "Kalian jahat! Telah membunuh ayahku!" makinya dengan berani dan lantang. Bara meletakkan tubuh bocah laki-laki berumur enam tahun ke atas tanah. Wajahnya sangat tampan dan rupawan. Kulitnya bersih seperti kapa
Bara merasakan kelap kelip di tubuhnya, kalung yang ia kenakan menyala untuk sekian kali. Bara menyentuh kalung itu dan berbicara dengannya. Suara dalam kalung tak ia mengerti, bahasanya aneh dan tak pernah Bara dengar. "Apa maksudnya?" Bara hanya bisa menatap kalung itu tak tahu apa artinya. Mengapa begitu sulit sekali memahami kalung miliknya. Tubuh Kadet terkulai lemas, ia tak sadarkan diri setelah merasakan hawa panas di seluruh tubuh. Racun telah menyebar ke seluruh tubuh hingga masuk ke dalam jantungnya. "Kadet!" Bara membantu tubuh Kadet. Ia menyadarkan tubuh Kadet di dinding air terjun. "Sepertinya kalung itu obatnya," tunjuk Putra ke arah leher Bara. Sejak tadi menatap kalung Bara berkelap-kelip. Walaupun Putra masih kecil, ia bisa tahu sesuatu di sekitarnya hanya saja msih harus banyak belajar. Bara melepaskan kalung merah yang diberikan oleh Abahnya ketika berangkat ke pulau Jawa. Menatap batu tersebut. Setidaknya mencoba terlebih dulu. Ia mendekatkan kalung tersebu
Kalung Bara berkedip untuk sekian kali. Bara mulai mengerti cara kerja kalung misterius itu. Kalung yang selalu ia kenakan di leher. Memberikan tanda bahaya untuk dirinya. "Gawat, mereka mendekat." Putra berlindung di belakang Bara. Ia berharap Kadet telah selesai membantu wanita hamil itu agar mereka bisa lari. Hanya suara wanita kesakitan di dalam goa dan suara Kadet memberikan instruksi agar bayi itu lahir. "Bagaimana Bang Bara. Aku takut." Putra mengenggam erat lengan Bara. Menyembunyikan diri di balik tubuh kekar Bara. Bara menyentuh batu tersebut berbicara dengan penghuni di dalam batu merah. Namun, ia tak mengerti bahasa yang dilontarkannya. "Ah, mengapa aku tak mengerti bahasanya." Suara teriakkan Kijo terdengar di kejauhan. Beberapa meter lagi mereka akan sampai di sini. Suara bayi terdengar dan mengema di dalam goa. Kadet telah berhasil melahirkan penerus generasinya. Hingga Kadet menyadari masih ada yang lain dalam perut wanita satu desa dengannya. Wajah wanita di h
Bab 52"Batu itu bukan batu biasa. Batu yang hanya di bawa oleh orang-orang terpilih." Wanita yang baru saja melahirkan menceritakan tentang batu yang berada di leher Bara.Bara mendengarkan dengan seksama. "Apakah batu ini ada pemiliknya?""Tentu saja ada. Batu ini milik Sultan Aridabarapati. Ia adalah keturunan bangsawan berbeda dari yang lain. Aridabarapati memiliki kalung tersebut dari sebuah portal tak kasat mata. Ia sering masuk ke dalam portal tersebut untuk menemui sang kekasih. Sang kekasihnya bernama Putri Barasaka memberikan batu tersebut kepada Sultan untuk pelindungan diri. Namun, mereka tidak direstui oleh kedua orang tua karena berasal dari dunia berbeda. Walaupun, wajah putri Barasaka berbeda, Sultan tetap mencintainya dan menerima apa adanya." "Berbeda bagaimana?" Kadet ikut mendengar ceritanya. Sedangkan, Putra telah terlelap lebih dulu. "Entahlah aku juga tak paham. Kakek tak menceritakannya lebih detail." "Jadi maksudmu, mereka berbeda dunia yang saling jatuh c