Dengan semua yang kulakukan, sekarang kamu percaya akan aku yang setia kepadamu?
Fairel
——
Fairel tidak fokus terhadap perbincangan yang dibicarakan seseorang di hadapannya. Pikirannya kalut, karena ucapan Dona masih terngiang di telinganya.
"Hah— apa?" Fairel kembali cengo, ia sudah meminta kliennya untuk mengulangi ucapannya dan itu hampir sepuluh kali.
Untung saja, kliennya itu penyabar, serta tidak tersulut emosi. Mungkin karena Fairel sosok yang berbakat, dan dia begitu menggemari karya yang dihasilkan oleh Fairel.
"Kak, mending minum dulu. Tenangin pikiran kakak dulu, sebelum aku mengulangi perkataan aku lagi," ucap Fania seraya menginterupsi. Ia menyodorkan teh hangat yang baru saja tiba di mejanya ke arah Fairel.
Fairel menanggapi dengan senyuman, kemudian meneguk teh hangat itu hingga tersisa setengah gelas.
"Maaf yah, karena kecerobohan saya. Silakan kembali jelaskan, apa saja yang harus saya lukis?" Setelah merasa tenang, Fairel kembali membuka kesempatan kepada Fania untuk menjelaskan kembali, kali ini Fairel harus fokus mencerna semua ucapan Fania.
Ia tidak mungkin membuat seorang klien menunggu dirinya yang mendadak pikirannya blank. Bisa saja, bisnis kecil-kecilan itu tercoreng jelek dengan komentar Fania yang sarkas di akun tokonya.
Fania menyodorkan ponselnya, di sana terlihat seorang pria tampan seumuran gadis itu sedang menghisap permen kapas,
"Tolong lukis wajah dia yah, dibingkai cantik, buat hadiah ulang tahun," katanya dengan ekspresi berseri-seri, ia menjadi tertawa sendiri ketika berkhayal bagaimana ekspresi pria itu saat menerima kado darinya nanti."Warna bingkai nya apa, lalu warna lukisannya sama kayak difoto?" tanya Fairel memastikan.
"Harus dibungkus kado sama pita?""Nggak usah dibungkus kado, biar aku aja kak yang bungkusnya. Terus warna bingkainya itu biru tua, warna lukisannya samain aja sama foto," Fania tampak mengingat-ingat apa kesukaan pacarnya itu.
"Oke kalau gitu."
Fania tiba-tiba menjentikkan jarinya, gelungan rambut di atas kepalanya juga ikut bergoyang karena terlalu semangat,
"Kakak emang selalu gampang ngertiin. Harus dibayar sekarang atau nggak yah?""Terserah kamu," jawab Fairel santai. Karena selama ia berjualan, pembeli-lah yang menentukan pembayarannya. Mereka terkadang memberi uangnya di awal dan kadang setelah barang yang diinginkannya jadi, atau separuh harga yang sering disebut DP.
"Yaudah, setelah barang jadi aja yah, gimana kak?"
Sebenarnya Fairel risi dengan panggilan 'kak' itu. Namun, dilihat dari pakaian gadis itu, membuatnya menyadari kalau Fairel lebih tua dari gadis di hadapannya.
Fania masih mengenakan seragam putih abu-abu, bisa dilihat dari tingkahnya yang labil, sepertinya dia kelas sepuluh.
"Iya nggak papa."
Fania langsung menjulurkan tangannya seraya ingin menjabat tangan sebagai tanda pemesanannya itu sah.
Fairel dengan senang hati menjabatnya balik. Setelah itu, Fania berpamitan pulang dengan alasan supirnya sudah menunggunya kurang lebih setengah jam.
Tentu saja Fairel menyetujuinya karena semua masalah telah beres. Kini, Fairel kembali melamun dengan kedua tangan yang memangku dagunya.
Setelah saling diam, akhirnya Dona membuka pembicaraan, akan tetapi pembicaraan itu terdengar menyakitkan di hati bahkan di telinga Fairel. Mereka berdua dalam perjalanan pulang ke rumah Dona, setelah meneduh di toko Nea.
"Lo kenapa nggak nolak pertunangan ini sih? Lo kan udah tahu, gue udah punya cowok. Dan sampai kapanpun, gue nggak bisa sama lo." Sorot mata kecokelatan itu terlihat memandangnya jijik dan penuh hina.
Suasana yang tentram berubah dengan penuh dendam dan mencekam. Sepertinya tidak akan ada pengampunan dari sosok Dona.
Fairel tetap diam, ia menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir Dona.
"Ini semua gara-gara lo. Bara nggak pernah absen buat jemput dan nganterin gue, tapi bisa-bisanya hari ini dia buat alibi itu semua. Mungkin aja dia udah tahu soal pertunangan gue sama lo yang menjijikkan itu."
Nyes! Sakit sekali hati ini mendengar semua umpatan dan penghinaan itu. Fairel harus menyadari, kalau dirinya memang salah, terlalu penurut, hingga tidak bisa menolak semua perintah yang tertuju padanya.
"Lo itu nggak ada bedanya sama yang lain, PERUSAK!!"
Air mata Fairel hampir saja tumpah,
"Gue yakin, pasti lo yang ngebocorin pertunangan kita ke Bara."
Akan tetapi tudingan itu membuat air matanya lenyap seketika. Ia tidak habis pikir, kenapa Dona bisa berpikir sekeji itu tentangnya.
Fairel bahkan mati-matian tidak sok kenal dengannya di kampus, tetapi wanita itu...
Fairel hanya bisa geleng-geleng-geleng kepala, ia harus bisa bersabar menghadapi itu semua.
"LO ITU PERUSAK! PERUSAK HUBUNGAN ORANG!" pekikan itu membuat tubuh Fairel terlonjak kaget, dan telinganya tiba-tiba saja berdengung. Ia menepikan mobilnya di tepi jalan, agar tidak mengganggu perjalanan.
"Kenapa nggak jawab? Semua pernyataan gue bener kan!" hardiknya tanpa ada ampun. Karena apapun yang akan dijawab oleh Fairel, pasti terlihat selalu salah dimata Dona. Karena dia sudah meng-cap Fairel sebagai pria yang salah.
Fairel menghela nafasnya sebelum memulai menjawab semua tudingan yang tidak benar itu,
"Sebelumnya, apa aku udah diijinin ngomong?"Dona terkikik tiba-tiba, ia tidak habis pikir dengan pendengarannya,
"Apa? Jadi selama ini lo nggak ngomong sama gue hanya karena gue nggak bilang ngijinin lo buat ngomong?"Fairel mengangguk, lalu Dona mulai memijit pangkal hidungnya yang berdenyut,
"Gue ijinin."Segel itu terbuka. Akhirnya, Fairel bisa mengungkapkan semua keluh kesahnya, mengungkapkan semua keingintahuannya, dan mengungkapkan semua kebenarannya.
"Dan satu lagi, sebelum aku menjawabnya. Tolong kosongkan pikiran kamu, bersihkan pikiranmu tentang aku sebagai cowok yang salah dihidup kamu."
"Kenapa?" tanya Dona tidak terima,
"Toh, semuanya benar kan?"Fairel menggeleng, tentu saja itu semua tidak benar,
"Karena apapun yang akan aku ucapin, kamu pasti menganggapnya bohong belaka. Karena itu, tolong bersihkan nama aku dalam pikiranmu itu."Dona mengangkat tangannya pasrah,
"Fine, gue nggak bakal kayak gitu."Fairel tersenyum simpul, dan cukup terlihat manis, mungkin sangat manis...
"Untuk yang pertama, aku nggak bisa nolak permintaannya itu sampai kapanpun, yah ... kecuali kamu sendiri yang nolak. Apa alasannya? Nanti juga kamu akan tahu dengan sendirinya. Aku tahu, kamu nggak bakal suka sama aku, dan selama kamu belum menolak hubungan ini, aku akan tetap bersama kamu dengan status calon tunangan. Yang kedua, alasan dari Bara bukanlah berasal dari aku, mungkin aja Bara udah dalam tahap bosan berhubungan sama kamu, mangkanya dia mengungkapkan alibi seperti itu. Jika kamu menganggap hubungan kita menjijikkan, berarti kamu juga menjijikkan. Lalu yang ketiga, sampai kapanpun aku akan menepati janjiku, aku sudah berjanji kepada kamu, untuk tidak saling kenal di kampus atau pendapatku mungkin juga berlaku di luar kampus, jadi aku nggak akan pernah mengungkapkan kepada semua orang tentang hubungan kita yang klise itu, kecuali mereka sendiri yang mengetahuinya dari orang lain. Lalu orang lain tahu dari siapa? Entahlah, mungkin kamu juga bisa membocorkannya kapan-kapan! Dan aku bukanlah pria yang merusak hubungan orang. Bukankah kamu sendiri yang merusaknya?"Penjelasan itu langsung menutup mulut Dona tanpa bisa berkata-kata lagi. Ucapan itu terdengar telak tanpa ada yang bisa dibantah.
Dona mati kutu di tempatnya, pikirannya mendadak blank. Ia mendadak ingin membuka pintu mobil itu dan keluar, akan tetapi Fairel langsung mengunci pintu mobil itu, sehingga Dona tidak bisa pergi ke mana-mana, selain duduk di tempatnya.
"Percakapan kita masih belum selesai! Atau dengan kepergian kamu, kamu sudah memahami semuanya? Jangan jadi pengecut yang pergi setelah membuat masalah." Fairel menjeda ucapannya,
"Atau sekarang kamu mau menyalahkan takdir karena bertemu denganku?""YA!" jawab Dona lantang.
Ucapan itu kembali menusuk hati Fairel dengan sangat dalam. Air mata yang Fairel tahan tumpah ruah, mengalir dengan sendirinya di kedua pipi putih susu itu. Memberi tahu kepada semua orang kalau ia sedang sakit hati dan tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi atau berusaha untuk tegar.
Apakah keberadaannya di dunia itu salah? Kenapa Dona berkata seperti itu, seolah kehadirannya adalah sebuah bencana yang akan menghancurkan siapapun.
Fairel hanya menuruti perintah orang tuanya, ia tidak ingin merusak atau membuat orang lain tidak bahagia.
Fairel tidak punya pilihan, selain menetap ditempat untuk ditolak.
Fairel memalingkan wajahnya ke kanan, berusaha menyembunyikan air matanya dari Dona, dengan memandangi pemandangan kebun di pinggir jalan itu lewat kaca mobilnya.
"Gue juga nggak bisa nolak perintah bokap. Nyokap udah berusaha agar perjodohan kita nggak terjadi, tapi bokap tetep keras kepala," suara Dona sedikit menurun, ia sedikit memahami posisi Fairel walau ke-egoisannya masih terlihat dengan nyata.
"Seharusnya lo ngalah sama cewek, dan nurutin semua perkataan cewek."Fairel menelan salivanya yang terasa pahit itu, ia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar seperti orang yang sedang menangis,
"Seharusnya kamu nggak egois dengan keinginan kamu. Jika diantara kita tidak ada yang berani menolak, jalan ninjanya adalah menjalankan tugas itu dengan baik."Tidakkah ada yang membela Fairel saat ini? Sampai kapan Fairel harus mengalah hanya karena penurut.
Menuruti kedua orang tuanya saja sudah lebih dari cukup, kenapa sekarang Dona memerintahnya juga? Seperti ratu saja.
"Gue udah nggak tahan di sini. Cepet buka kunci pintunya. Gue nggak tahu harus bersikap seperti apa sama lo, lo bener-bener nggak bisa dibilangin."
Dona terus menekan tombol pintu mobil itu dengan grasak-grusuk. Ia sudah tidak bisa menahan sesak dari atmosfer itu. Sialnya, Fairel tidak akan pernah membuka kunci pintu mobilnya.
Dua orang yang keras kepala, disatukan dalam satu ruangan, tidak akan ada penyelesaian. Mereka terlalu meninggikan egonya, hingga lupa siapa yang benar atau salah.
"Bukankah kamu juga bebal dan tidak bisa diajak bicara?" Fairel menghapus jejak air mata dengan ibu jarinya, kemudian ia kembali menatap Dona dengan seringai kecil di bibirnya.
"Lo tuh manusia paling rese yang pernah gue temuin. Lo berusaha bersikap sopan kepada perempuan, padahal dalam tubuh lo itu tersimpan sifat buaya, yang memanfaatkan semua wanita."
"Kapan aku selingkuhin kamu?"
"Meta! Pacar kamu kan?"
"Bukan!"
"Buaya nggak bakal bilang dia buaya. Lo harusnya nyadar diri karena udah nyakitin Meta."
"DIA. BUKAN. PACAR. AKU."
"Seharusnya lo bilang ke orang tua lo, kalau lo itu udah punya pacar, dan nggak bisa tunangan sama gue."
Fairel hanya diam tidak menanggapi, karena menanggapi hal itu hanyalah percuma.
"Nggak ngelak lagi? Bener berarti kan yang gue omongin?"
Fairel geregetan sendiri menghadapi Dona,
"Aku udah bilang, kalau hapus dulu pikiran kotor kamu tentang aku.""Bullshit. Kalau bukan pacar, terus siapa Met-"
CUP!
Dona terdiam di tempat, ia bahkan tidak bisa bernafas karena ciuman itu terlalu tiba-tiba.
"Sekarang kamu percaya kalau Meta itu bukan pacar aku?"
Saya mau berterimakasih kepada kalian semua, yang dengan setia membaca novel aku sampai selesai. Banyak kekurangan dari matchmaking ini, dan dari itu, saya meminta kritik dan sarannya yang bisa membangun diri saya untuk menjadi penulis yang lebih hebat lagi. Di novel ini, saya menyadari banyak sekali typo. Saya akan memperbaikinya. Apa kabar kalian? Saya @kkiiyys. Bisa kalian panggil kiy, salam kenal untuk kalian semua. Kalian, berasal dari kota mana saja? Saya juga berharap, kalian mau memberikan vote, komentar yang membangun, serta memberi novel saya rating sesuai dengan isi novelnya. Saya ingin tahu, apa kalian menyukai novel saya? Atau kalian tidak menyukainya? Apa komentar terakhir kalian buat pasangan nggak jelas ini, yaitu • Dona sama Fairel? Apa pesan kalian, untuk pasangan • Meta sama Loey? Untuk • Alfina dan Gero? Untuk • Fera dan Bara? Untuk • Seyi dan Wima? Untuk saya, mungkin?
Fairel tidak langsung pulang ke rumah. Setelah pekerjaannya selesai, pria itu bergegas mencari keberadaan Dona. Bahkan, Gero sendiri sampai ia turunkan di jalan. "Jadi, gue turun di sini gitu?" Gero kesal setengah mati ketika mobil Fairel menepi, dan jaraknya menuju rumah masih jauh. "Gue minta maaf. Tapi gue harus nyari Dona." "Gue paham. Gue paham banget masalah lo, gimana kalau gue bantu cari aja. Kita sama-sama cari dari satu komplek ke komplek lain." Itu ide bagus. Hanya saja Fairel ingin sendiri. Gero kembali merayu,"Gue janji deh, gue nggak bakal nyusahin lo. Boleh yah, gue ikut?" Fairel menganggukan kepala dengan terpaksa. Ia kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. "Tunggu, tunggu. Keluarga Dona ada siapa aja sih?" Gero baru mengingat hal itu. Fairel bersikap seolah Dona tinggal seorang diri. Sehingga tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. "Gue udah ngehubungi kakaknya Dona sama bunda, tapi nggak aktif nomornya.
Semuanya sudah jelas dan terungkap. Walau terdengar sedikit mengejutkan, tetapi itulah kenyataannya. Fairel hendak berkunjung ke rumah Dona, akan tetapi ayahnya melarang hal itu. Beliau mengatakan sudah malam, dan lebih baik dibicarakan esok saja. Fairel menurut, karena perkataan ayahnya itu memang benar. Di sinilah mereka berada, Meta, Nea dan dirinya sedang berkumpul di kamar Fairel. "Kok lo bisa muncul tiba-tiba?" tanya Fairel langsung ke intinya. Fairel atau Nea, mereka sama-sama tidak punya janji untuk bertemu dengan Meta. Tetapi, dengan mengejutkannya, gadis itu menghampiri keluarga Fairel dan mengatakan kebenaran yang paling penting. "Soalnya tadi, gue habis teleponan sama Dona. Dia nutup telepon gue sepihak, setelah nanyain hadiah apa yang lo dapetin pas perlombaan waktu itu." Deg! Jantung Fairel seakan ada yang menusuk dan membuatnya berhenti. Ia melupakan satu hal itu, Fairel pikir, ia akan memberitahu Dona tepat dua
"Baru ke sini lagi? Ke mana aja nih?" Kedua sejoli itu saling bertukar pandang. Mereka bersama-sama menanyakan jawaban yang kompak untuk pertanyaan Bi Oni. Senyuman terukir manis di bibir keduanya, mereka kompak menjawab,"Baru balikan, Bi." "Wuah ...." Bi Oni bahkan sampai bertepuk tangan, hingga sarung tangannya yang penuh terigu itu berterbangan mengotori rambut Dona. Dona terkikik geli, dengan sigap Fairel membersihkan rambut Dona dengan tanganya. Penuh ketelatenan. Setelah membayar semua jajanan yang mereka beli, keduanya pamit. Mereka berjalan berdua mencari kenangan romantis yang bisa diukir. Mereka juga memilih membolos pada mata kuliah ketiga. Fairel meninggalkan mobilnya di kampus, mereka berencana akan kembali lagi ke kampus setelah mencari penat. Dona asyik menyuapkan sosis bakar bumbu rujak sebagai menu terbaru di kedai Bi Oni. Berbeda dengan Fairel, tangannya masih sibuk membersihkan rambut Dona dari tepung.
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se