Share

3. Percaya atau Tidak

Dengan semua yang kulakukan, sekarang kamu percaya akan aku yang setia kepadamu?

Fairel

——

Fairel tidak fokus terhadap perbincangan yang dibicarakan seseorang di hadapannya. Pikirannya kalut, karena ucapan Dona masih terngiang di telinganya.

"Hah— apa?" Fairel kembali cengo, ia sudah meminta kliennya untuk mengulangi ucapannya dan itu hampir sepuluh kali.

Untung saja, kliennya itu penyabar, serta tidak tersulut emosi. Mungkin karena Fairel sosok yang berbakat, dan dia begitu menggemari karya yang dihasilkan oleh Fairel.

"Kak, mending minum dulu. Tenangin pikiran kakak dulu, sebelum aku mengulangi perkataan aku lagi," ucap Fania seraya menginterupsi. Ia menyodorkan teh hangat yang baru saja tiba di mejanya ke arah Fairel.

Fairel menanggapi dengan senyuman, kemudian meneguk teh hangat itu hingga tersisa setengah gelas.

"Maaf yah, karena kecerobohan saya. Silakan kembali jelaskan, apa saja yang harus saya lukis?" Setelah merasa tenang, Fairel kembali membuka kesempatan kepada Fania untuk menjelaskan kembali, kali ini Fairel harus fokus mencerna semua ucapan Fania.

Ia tidak mungkin membuat seorang klien menunggu dirinya yang mendadak pikirannya blank. Bisa saja, bisnis kecil-kecilan itu tercoreng jelek dengan komentar Fania yang sarkas di akun tokonya.

Fania menyodorkan ponselnya, di sana terlihat seorang pria tampan seumuran gadis itu sedang menghisap permen kapas,

"Tolong lukis wajah dia yah, dibingkai cantik, buat hadiah ulang tahun," katanya dengan ekspresi berseri-seri, ia menjadi tertawa sendiri ketika berkhayal bagaimana ekspresi pria itu saat menerima kado darinya nanti.

"Warna bingkai nya apa, lalu warna lukisannya sama kayak difoto?" tanya Fairel memastikan.

"Harus dibungkus kado sama pita?"

"Nggak usah dibungkus kado, biar aku aja kak yang bungkusnya. Terus warna bingkainya itu biru tua, warna lukisannya samain aja sama foto," Fania tampak mengingat-ingat apa kesukaan pacarnya itu.

"Oke kalau gitu."

Fania tiba-tiba menjentikkan jarinya, gelungan rambut di atas kepalanya juga ikut bergoyang karena terlalu semangat,

"Kakak emang selalu gampang ngertiin. Harus dibayar sekarang atau nggak yah?"

"Terserah kamu," jawab Fairel santai. Karena selama ia berjualan, pembeli-lah yang menentukan pembayarannya. Mereka terkadang memberi uangnya di awal dan kadang setelah barang yang diinginkannya jadi, atau separuh harga yang sering disebut DP.

"Yaudah, setelah barang jadi aja yah, gimana kak?"

Sebenarnya Fairel risi dengan panggilan 'kak' itu. Namun, dilihat dari pakaian gadis itu, membuatnya menyadari kalau Fairel lebih tua dari gadis di hadapannya.

Fania masih mengenakan seragam putih abu-abu, bisa dilihat dari tingkahnya yang labil, sepertinya dia kelas sepuluh.

"Iya nggak papa."

Fania langsung menjulurkan tangannya seraya ingin menjabat tangan sebagai tanda pemesanannya itu sah.

Fairel dengan senang hati menjabatnya balik. Setelah itu, Fania berpamitan pulang dengan alasan supirnya sudah menunggunya kurang lebih setengah jam.

Tentu saja Fairel menyetujuinya karena semua masalah telah beres. Kini, Fairel kembali melamun dengan kedua tangan yang memangku dagunya.

Setelah saling diam, akhirnya Dona membuka pembicaraan, akan tetapi pembicaraan itu terdengar menyakitkan di hati bahkan di telinga Fairel. Mereka berdua dalam perjalanan pulang ke rumah Dona, setelah meneduh di toko Nea.

"Lo kenapa nggak nolak pertunangan ini sih? Lo kan udah tahu, gue udah punya cowok. Dan sampai kapanpun, gue nggak bisa sama lo." Sorot mata kecokelatan itu terlihat memandangnya jijik dan penuh hina.

Suasana yang tentram berubah dengan penuh dendam dan mencekam. Sepertinya tidak akan ada pengampunan dari sosok Dona.

Fairel tetap diam, ia menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir Dona.

"Ini semua gara-gara lo. Bara nggak pernah absen buat jemput dan nganterin gue, tapi bisa-bisanya hari ini dia buat alibi itu semua. Mungkin aja dia udah tahu soal pertunangan gue sama lo yang menjijikkan itu."

Nyes! Sakit sekali hati ini mendengar semua umpatan dan penghinaan itu. Fairel harus menyadari, kalau dirinya memang salah, terlalu penurut, hingga tidak bisa menolak semua perintah yang tertuju padanya.

"Lo itu nggak ada bedanya sama yang lain, PERUSAK!!"

Air mata Fairel hampir saja tumpah,

"Gue yakin, pasti lo yang ngebocorin pertunangan kita ke Bara."

Akan tetapi tudingan itu membuat air matanya lenyap seketika. Ia tidak habis pikir, kenapa Dona bisa berpikir sekeji itu tentangnya.

Fairel bahkan mati-matian tidak sok kenal dengannya di kampus, tetapi wanita itu...

Fairel hanya bisa geleng-geleng-geleng kepala, ia harus bisa bersabar menghadapi itu semua.

"LO ITU PERUSAK! PERUSAK HUBUNGAN ORANG!" pekikan itu membuat tubuh Fairel terlonjak kaget, dan telinganya tiba-tiba saja berdengung. Ia menepikan mobilnya di tepi jalan, agar tidak mengganggu perjalanan.

"Kenapa nggak jawab? Semua pernyataan gue bener kan!" hardiknya tanpa ada ampun. Karena apapun yang akan dijawab oleh Fairel, pasti terlihat selalu salah dimata Dona. Karena dia sudah meng-cap Fairel sebagai pria yang salah.

Fairel menghela nafasnya sebelum memulai menjawab semua tudingan yang tidak benar itu,

"Sebelumnya, apa aku udah diijinin ngomong?"

Dona terkikik tiba-tiba, ia tidak habis pikir dengan pendengarannya,

"Apa? Jadi selama ini lo nggak ngomong sama gue hanya karena gue nggak bilang ngijinin lo buat ngomong?"

Fairel mengangguk, lalu Dona mulai memijit pangkal hidungnya yang berdenyut,

"Gue ijinin."

Segel itu terbuka. Akhirnya, Fairel bisa mengungkapkan semua keluh kesahnya, mengungkapkan semua keingintahuannya, dan mengungkapkan semua kebenarannya.

"Dan satu lagi, sebelum aku menjawabnya. Tolong kosongkan pikiran kamu, bersihkan pikiranmu tentang aku sebagai cowok yang salah dihidup kamu."

"Kenapa?" tanya Dona tidak terima,

"Toh, semuanya benar kan?"

Fairel menggeleng, tentu saja itu semua tidak benar,

"Karena apapun yang akan aku ucapin, kamu pasti menganggapnya bohong belaka. Karena itu, tolong bersihkan nama aku dalam pikiranmu itu."

Dona mengangkat tangannya pasrah,

"Fine, gue nggak bakal kayak gitu."

Fairel tersenyum simpul, dan cukup terlihat manis, mungkin sangat manis...

"Untuk yang pertama, aku nggak bisa nolak permintaannya itu sampai kapanpun, yah ... kecuali kamu sendiri yang nolak. Apa alasannya? Nanti juga kamu akan tahu dengan sendirinya. Aku tahu, kamu nggak bakal suka sama aku, dan selama kamu belum menolak hubungan ini, aku akan tetap bersama kamu dengan status calon tunangan. Yang kedua, alasan dari Bara bukanlah berasal dari aku, mungkin aja Bara udah dalam tahap bosan berhubungan sama kamu, mangkanya dia mengungkapkan alibi seperti itu. Jika kamu menganggap hubungan kita menjijikkan, berarti kamu juga menjijikkan. Lalu yang ketiga, sampai kapanpun aku akan menepati janjiku, aku sudah berjanji kepada kamu, untuk tidak saling kenal di kampus atau pendapatku mungkin juga berlaku di luar kampus, jadi aku nggak akan pernah mengungkapkan kepada semua orang tentang hubungan kita yang klise itu, kecuali mereka sendiri yang mengetahuinya dari orang lain. Lalu orang lain tahu dari siapa? Entahlah, mungkin kamu juga bisa membocorkannya kapan-kapan! Dan aku bukanlah pria yang merusak hubungan orang. Bukankah kamu sendiri yang merusaknya?"

Penjelasan itu langsung menutup mulut Dona tanpa bisa berkata-kata lagi. Ucapan itu terdengar telak tanpa ada yang bisa dibantah.

Dona mati kutu di tempatnya, pikirannya mendadak blank. Ia mendadak ingin membuka pintu mobil itu dan keluar, akan tetapi Fairel langsung mengunci pintu mobil itu, sehingga Dona tidak bisa pergi ke mana-mana, selain duduk di tempatnya.

"Percakapan kita masih belum selesai! Atau dengan kepergian kamu, kamu sudah memahami semuanya? Jangan jadi pengecut yang pergi setelah membuat masalah." Fairel menjeda ucapannya,

"Atau sekarang kamu mau menyalahkan takdir karena bertemu denganku?"

"YA!" jawab Dona lantang.

Ucapan itu kembali menusuk hati Fairel dengan sangat dalam. Air mata yang Fairel tahan tumpah ruah, mengalir dengan sendirinya di kedua pipi putih susu itu. Memberi tahu kepada semua orang kalau ia sedang sakit hati dan tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi atau berusaha untuk tegar.

Apakah keberadaannya di dunia itu salah? Kenapa Dona berkata seperti itu, seolah kehadirannya adalah sebuah bencana yang akan menghancurkan siapapun.

Fairel hanya menuruti perintah orang tuanya, ia tidak ingin merusak atau membuat orang lain tidak bahagia.

Fairel tidak punya pilihan, selain menetap ditempat untuk ditolak.

Fairel memalingkan wajahnya ke kanan, berusaha menyembunyikan air matanya dari Dona, dengan memandangi pemandangan kebun di pinggir jalan itu lewat kaca mobilnya.

"Gue juga nggak bisa nolak perintah bokap. Nyokap udah berusaha agar perjodohan kita nggak terjadi, tapi bokap tetep keras kepala," suara Dona sedikit menurun, ia sedikit memahami posisi Fairel walau ke-egoisannya masih terlihat dengan nyata.

"Seharusnya lo ngalah sama cewek, dan nurutin semua perkataan cewek."

Fairel menelan salivanya yang terasa pahit itu, ia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar seperti orang yang sedang menangis,

"Seharusnya kamu nggak egois dengan keinginan kamu. Jika diantara kita tidak ada yang berani menolak, jalan ninjanya adalah menjalankan tugas itu dengan baik."

Tidakkah ada yang membela Fairel saat ini? Sampai kapan Fairel harus mengalah hanya karena penurut.

Menuruti kedua orang tuanya saja sudah lebih dari cukup, kenapa sekarang Dona memerintahnya juga? Seperti ratu saja.

"Gue udah nggak tahan di sini. Cepet buka kunci pintunya. Gue nggak tahu harus bersikap seperti apa sama lo, lo bener-bener nggak bisa dibilangin."

Dona terus menekan tombol pintu mobil itu dengan grasak-grusuk. Ia sudah tidak bisa menahan sesak dari atmosfer itu. Sialnya, Fairel tidak akan pernah membuka kunci pintu mobilnya.

Dua orang yang keras kepala, disatukan dalam satu ruangan, tidak akan ada penyelesaian. Mereka terlalu meninggikan egonya, hingga lupa siapa yang benar atau salah.

"Bukankah kamu juga bebal dan tidak bisa diajak bicara?" Fairel menghapus jejak air mata dengan ibu jarinya, kemudian ia kembali menatap Dona dengan seringai kecil di bibirnya.

"Lo tuh manusia paling rese yang pernah gue temuin. Lo berusaha bersikap sopan kepada perempuan, padahal dalam tubuh lo itu tersimpan sifat buaya, yang memanfaatkan semua wanita."

"Kapan aku selingkuhin kamu?"

"Meta! Pacar kamu kan?"

"Bukan!"

"Buaya nggak bakal bilang dia buaya. Lo harusnya nyadar diri karena udah nyakitin Meta."

"DIA. BUKAN. PACAR. AKU."

"Seharusnya lo bilang ke orang tua lo, kalau lo itu udah punya pacar, dan nggak bisa tunangan sama gue."

Fairel hanya diam tidak menanggapi, karena menanggapi hal itu hanyalah percuma.

"Nggak ngelak lagi? Bener berarti kan yang gue omongin?"

Fairel geregetan sendiri menghadapi Dona,

"Aku udah bilang, kalau hapus dulu pikiran kotor kamu tentang aku."

"Bullshit. Kalau bukan pacar, terus siapa Met-"

CUP!

Dona terdiam di tempat, ia bahkan tidak bisa bernafas karena ciuman itu terlalu tiba-tiba.

"Sekarang kamu percaya kalau Meta itu bukan pacar aku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status