LOGIN(18+ NOT FOR TEENAGER!) Satu malam impulsif mengubah segalanya. Zelda Lynn hanya ingin melupakan pria asing yang pernah bersamanya di kamar hotel usai gemerlap perayaan ulang tahun nya. Tapi dua bulan kemudian, pria yang diketahui bernama Noah Grimm, muncul lagi—sebagai dosen baru di Universitas. Kini, rahasia masa lalu berubah menjadi permainan berbahaya antara rasa bersalah, godaan, dan obsesi.
View More"Kamu cantik sekali, Zelda," bisik Noah, kali ini benar-benar mendekat, suaranya nyaris hilang ditelan musik. Jari-jarinya dengan lembut menyentuh helai rambut Zelda yang jatuh ke bahu.
Zelda tidak bisa bicara, hanya menelan ludah. Kepalanya berputar karena efek alkohol. Entah bagaimana ceritanya, Zelda tiba-tiba pusing dan gairahnya meningkat. Seolah, dia sedang dijebak oleh seseorang. Malam ini sebenarnya perayaan ulang tahun ke-19 Zelda, malam di mana dia memutuskan untuk berhenti menjadi gadis beasiswa yang selalu sempurna, baik akademis ataupun sikap. Ini adalah kali pertama dia mengunjungi bar, tanpa tahu apa efek samping alkohol dan bagaimana dia bersikap ketika mabuk nanti. "Aku tahu tempat yang lebih tenang dari ini," Noah melanjutkan, tatapan matanya mengunci mata Zelda. Tanpa kata-kata, Zelda berdiri memandang Noah. Efek alkohol membuat kesadaran Zelda mulai pudar hingga pada akhirnya, dia berjalan mengikuti Noah meninggalkan bar. Di dalam taksi, mereka tidak bicara lagi hingga mereka tiba di sebuah hotel bintang tiga yang tersembunyi di sudut jalan elit, tampak tidak mencolok, namun mewah. Di dalam kamar, segalanya terjadi begitu cepat. Zelda yang sudah terengah-engah, tidak bisa menahan hasratnya lagi. Pengaruh alkohol yang begitu kuat membuatnya mengikuti semua perintah Noah. Terlebih, Noah adalah sosok ideal dan sangat tampan, baginya. Dia adalah laki-laki idaman semua wanita! Noah melumat mulut Zelda ganas dan panas dalam ciuman yang memabukkan. Hingga dalam sekejap, pertahanan Zelda runtuh saat Noah mendorong Zelda ke ranjang, dan membuka setiap pakaian yang dikenakan gadis itu. Di bawah remang-remang lampu yang menyala, Zelda menyerahkan dirinya pada kegelapan yang Noah tawarkan. Dan kini mereka tak memakai pakaian apapun, dan mulai mendalami hasrat mereka yang sedari tadi menahan gejolak. “Sial. Tubuhmu… sungguh menawan,” gumam pria itu meneliti dan memuja tubuh telanjang Zelda. “Aku yakin, kau baru pertama kali melakukan ini.” Kedua kuping Zelda terasa panas mendengar ucapan pria itu yang baginya terdengar memalukan. “Ce-cepat lakukan!” Noah membelai tubuh Zelda yang ramping dan mulai memainkan organ intim di bawah perut gadis itu, sembari menangkup salah satu buah dadanya. “Dadamu … Ya Tuhan, ini membuatku bergairah.” Dan Zelda mulai gemetar dan mendesah kecil di ranjang. “Ah … T-Tolong … lakukanlah,” “Kamu mau aku lakukan apa, Sayangku?” Zelda menggigit bibirnya, “Kamu … Kamu tahu apa yang aku mau!” Noah mendengus dan menyeringai licik, “Baik, kalau itu maumu, Sayang. Aku tidak akan membiarkanmu pulang dengan sia-sia!” Beberapa saat kemudian, tubuh mereka terhubung. Noah yang mengontrol dan mengunci Zelda dalam cengkraman pria itu di bawahnya. Noah enggan melepaskan cumbuan Zelda. Zelda pun mulai candu bukan kepayang. “Ngh—!” “Bagaimana, Nona manis? Apa aku berhasil memuaskanmu?” tanya Noah, menggoda dengan suara serak beratnya. “Lagi … Aku mau lagi. Aku ingin—Ahh!” pekik Zelda yang sudah mulai mencapai klimaks. “Kau … ingin aku lebih dalam, Sayang? Ya, akan kukabulkan permintaan nakalmu.” Noah mulai menghentak Zelda semakin keras dan dalam hingga membuat Zelda semakin mendesah liar. Hentakan pertama. Kedua. Ketiga. Sampai hentakan terakhir yang membuat Zelda berada di puncak. “La-lanjutkan, keluarkan di dalam, cepat! Ah, jangan dicabut, ini enak sekali!” Noah sebenarnya masih punya akal sehat, tapi hembusan napas Zelda dan desahannya membuatnya tidak berpikir dua kali lagi. Dia mempercepat tempo dan membuat Zelda mengerang semakin keras, sampai menjambak rambutnya. “Bersiaplah, sebentar lagi!” Noah semakin mempercepat gerakannya hingga dia berada di puncak. Pelepasan itu disambut teriakan Zelda, menggema di ruangan, dicampur deru napas yang saling beradu satu sama lain. Kini, mereka berdua terbaring bersama, kemudian kembali berciuman hingga masing-masing tertidur. Saat bangun, Zelda merasakan kepalanya sakit dan perutnya mual. Bahkan ia merasakan perih bagaikan duri yang menghujam di bawah perutnya. Hal pertama yang ia rasakan adalah tekstur sprei katun yang dingin dan lembut di kulitnya. Hal kedua adalah rasa malu yang menusuk hingga ke tulang, sembari mencari noda merah di tempat ia terbangun. Dan benar, ada noda merah yang masih segar di bawah tubuhnya yang telanjang. Zelda menghela napasnya panjang, perasaan gelisah menyeruak sekaligus penyesalan, karena ini pertama kalinya ia melakukannya dengan pria acak dari semalam itu. Saat melihat ke samping, Noah masih tertidur pulas, napasnya teratur dan tenang. Wajahnya yang damai kini tampak tidak berbahaya, tetapi Zelda tahu, ia sudah bertindak terlalu ceroboh. Ia diam-diam bangkit, mencari pakaiannya yang berserakan. Beasiswa. Keluarga. Nilai. Semua itu tiba-tiba menyeruak kembali. Apa yang sudah ia lakukan? Setelah berpakaian secepat mungkin, ia melirik Noah untuk terakhir kalinya. Ia harus pergi, pergi sebelum pria itu bangun, pergi sebelum ia harus menghadapi konsekuensi dari kesalahannya. *** Hampir dua bulan berlalu semenjak liburan semester Zelda. Dia masih ingat betul kejadian malam itu dengan Noah. Selama dua bulan terakhir juga, Zelda terus menyibukkan diri dengan bekerja di kedai kopi untuk kebutuhan hidupnya. Pagi ini adalah hari pertama kuliahnya dan dia sangat semangat, apalagi setelah libur musim panas hampir dua bulan. Di kelas Fakultas Ekonomi, Zelda duduk di barisan kedua sudut kanan, mencatat dengan rapi, mencoba tenggelam dalam rutinitas. Temannya, Sarah baru muncul di kelas sambil tertawa. Tepat pukul sembilan, pintu kelas terbuka. Suara sepatu kulit beradu dengan lantai marmer, tegas dan ritmis. Zelda mendongak. Dunia seakan berhenti berputar, hingga gadis itu membeku dan napasnya berhenti sejenak. Itu Noah Grimm. Pria itu berdiri di depan kelas, setelan abu-abu tua menempel sempurna di tubuhnya. Kacamata tipis membingkai matanya yang gelap, juga suaranya terdengar dalam dan tenang. “Selamat pagi. Saya Noah Grimm. Mulai hari ini, saya akan mengambil alih mata kuliah Manajemen Strategi Lanjutan.”Kevin berdiri tegak di atas atap van yang dimodifikasi itu, satu tangan masih terangkat. Senyumnya santai, tapi cukup percaya diri untuk menarik perhatian ratusan pasang mata. Beberapa detik hening berlalu. Lalu, bisik-bisik mulai menjalar seperti riak air. “Eh, itu siapa?” “Kenapa ada coffee truck …?” “The Daily Grind? Bukannya itu kedai terkenal di dekat sini?” “Temannya Zelda, ya?” “Seriusan? Bagi kopi di kampus?” “Ini acara apa, sih?” Zelda sendiri justru paling kebingungan. Ia menatap logo The Daily Grind di sisi van itu lama, alisnya berkerut halus. Jantungnya berdegup tidak sinkron. Sejak kapan …? Kevin punya coffee truck? Selama ia bekerja shift dulu—menutup kedai, menyeduh kopi, dan melayani pelanggan sampai larut malam—Kevin tak pernah sekalipun menyebut soal ini. Tidak ada bocoran, tidak ada rencana, maupun tidak ada isyarat sekalipun. “Apa yang aku lewatkan …?” gumam Zelda berbisik. Sebelum pikirannya semakin liar, suara tepuk tangan tunggal terd
Mobil berhenti tepat di depan gerbang utama. Zelda menatap keluar jendela, mata membulat perlahan—seolah tak percaya apa yang dilihatnya.Ratusan mahasiswa berdiri berbaris rapi di dua sisi jalan setapak menuju gedung fakultas. Mereka memegang spanduk kecil berwarna putih dengan tulisan tangan ….“WELCOME BACK, ZELDA!”“MAAFKAN KAMI.”“KAU INSPIRASI KAMI.”Dan spanduk besar di tengah bertuliskan ….“SELAMAT DATANG KEMBALI, ZELDA LYNN!”Bunga-bunga segar—mawar putih, lily, dan daisy—digantung di pagar dan dipegang oleh mahasiswa. Udara sore dipenuhi aroma bunga yang manis, bercampur suara tepuk tangan pelan yang mulai bergema saat mobil berhenti.Zelda menutup mulutnya dengan tangan. Air mata langsung menggenang.Noah membuka pintu mobil, lalu mendorong kursi roda Zelda keluar dengan hati-hati. Zara mengikuti di belakang, matanya berkaca-kaca tapi senyumnya lebar.Begitu Zelda muncul, tepuk tangan meledak.“Zelda!!”“Selamat datang!!”“Maafkan kami!!”Suara-suara itu bercampur—ada yang
“Zelda …” suara Michael parau, rendah. “Terima kasih sudah mau datang.”Zelda tidak langsung menjawab. Ia menatap pria itu lama—mencari sesuatu di wajah yang selama ini hanya jadi bayangan buruk di cerita ibunya.Michael menelan ludah. “Aku … tidak tahu harus mulai dari mana.”Zelda mengangguk pelan. “Mulai dari mana saja, Sir.”Michael tersenyum kecil—pahit. “Aku sudah gagal sebagai ayah. Untuk Noah. Untuk Noelle.”Zelda menegang. Zara di sampingnya diam saja, tapi tangannya menggenggam tangan Zelda lebih erat.Michael menghela napas panjang dengan suara rendah yang tercekat. “Sebelas tahun yang lalu ….”Ia mulai melanjutkan. “Selama ini, aku tahu semua yang terjadi di St. Andrews,” lanjut Michael pelan. “Aku tahu Noelle yang sebarkan rumor itu. Aku tahu itu salah. Tapi aku diam—karena takut kehilangan kontrak Vayne.”Suara itu bergetar halus. “Aku pilih uang daripada kebenaran. Daripada martabat seorang wanita yang tidak bersalah.”Ia mengangkat wajahnya, mata berkaca-kaca. “Dan sek
Beberapa hari berlalu sejak pesan ancaman itu masuk. Noah tidak banyak bicara soal itu—hanya bilang “semua sudah ditangani”. Tapi, Zelda tahu pria itu tidak main-main. Saat itu juga Noah merekrut dua bodyguard dari tim Halden yang kini selalu ada di sekitar mereka.Satu mengikuti Zara setiap kali ibunya keluar masuk rumah sakit—membeli makanan, mengambil obat, atau sekadar bernapas di luar. Yang satu lagi berjaga di depan pintu kamar Zelda, bergantian shift tanpa suara.Hingga hari itu telah tiba, Zelda sudah boleh rawat jalan. Tubuhnya masih lemah—setiap langkah terasa berat, perban di dada dan perut masih menempel rapat—tapi dokter mengizinkan pulang dengan syarat istirahat total. Kuliah masih harus ditunda. Aktivitas berat dilarang keras.Sore itu, apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Cahaya senja menyusup lewat jendela besar, membentuk garis kuning lembut di lantai marmer. Zelda duduk di sofa, selimut tipis menutupi kakinya, secangkir teh hangat di tangan. Zara duduk di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ratings
reviewsMore