We wouldn't have done anything. You are an Omega, and I'm an Alpha. There's a huge difference in where we stand in this pack, we could never be together, understand that!” He snapped as he got up from the bed. “So you're going to take my dignity away and just leave? Have you lost your mind, Aegon? Power? Is that what this is truly about?” __ Ingrid Maverick was considered to be a weak Omega ever since she was young but she was fierce and headstrong. Ingrid had always had one wished since was young and it was to be mated to her best friend but tables turned when she heard an unexpected truth. Ingrid ran away as her life was endangered by the one she loved the most, but little did she know that running away was only going be bring more trouble as she found out that she was pregnant for her best friend. Find out in this book if Ingrid’s head would be served next for the unexpected truth or if she had the power to tame a baby that was too strong for her to handle.
View MoreZahra Aurelia menghela napas sebab tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Saat ini dia sedang sibuk menyusun agenda dari sang CEO di perusahaannya bekerja, tak lain adalah suaminya sendiri–Zein Melviano Adam. Dia sekretaris Zein, sudah tujuh tahun bekerja dengan perusahaan ini.
Akhir akhir ini Zahra kurang fokus pada pekerjaannya sebab mantan dari suaminya yang sangat dicintai telah kembali. Sekarang wanita tersebut berada di ruangan Zein–suaminya. Harusnya mereka membicarakan proyek kerja sama tetapi sejak tadi mereka terlihat bercanda dan terus tertawa riang. Zahra bisa melihat cukup jelas sebab ruangannya dan Zein dipisah oleh dinding kaca transparan. Melihat Zein yang hangat pada Belle (mantan Zein) itu membuat Zahra sakit hati. Zahra cemburu! Akan tetapi Zahra bisa apa? Sejak dulu, bahkan sebelum mereka menikah, Zein memang telah mencintai Belle. Pernikahannya dan Zein, tiga tahun yang lalu, juga terjadi karena kesalahan satu malam. Dia dan Zein tidak sengaja melakukan one night stand. Kakek Zein yang mengetahui hal itu memaksa keduanya untuk menikah. Kebetulan kakek Zein menyukai Zahra. Zahra memang sudah lama menyukai Zein. Sayangnya, dia memendamnya. Zahra termenung sesaat, Belle adalah perempuan yang sangat cantik dan glamor. Sejujurnya perempuan itu cocok dengan Zein yang sangat tampan, hot serta penuh pesona. Lihatlah diri Zahra?! Tak sebanding dan bukan apa-apa dengan Belle yang luar biasa anggun. Tiba-tiba saja Belle merapatkan tubuhnya dengan Zein, pakaiannya yang seksi dan terbuka itu sangat berbahaya. Zahra kepanasan melihatnya dan tak akan membiarkan Belle mencoba menggoda Zein. Setidaknya dengan status istri, Zahra merasa berhak untuk menegur keduanya. Zahra buru-buru bangkit dari kursi kerja, mengambil dokumen sebagai alibi kemudian melangkah cepat menuju ruangan Zein. Tanpa mengetuk pintu, Zahra masuk. Dia melangkah ke dalam ruangan Zein sembari memandang dua insan yang masih sibuk bercanda tersebut. Zahra terpaku dan terdiam sejenak, merasa sakit di hati dan panas di dada. Selama menjadi istri Zein, dia tak pernah mendapat tawa Zein. Bahkan tersenyum pun Zein tidak padanya. Zein sangat dingin, cuek bahkan tak pernah peduli padanya. Akan tetapi dengan Belle, Zein begitu manis dan hangat. "Ekhemm." Zahra berdehem sejenak supaya Zein menyadari kedatangannya. Akan tetapi pria itu terlihat tak menggubris, menoleh pun tidak. Zahra mengepalkan tangan kuat, menahan rasa gejolak sakit dalam sana. Dia mendekat ke arah Zein lalu memberanikan diri untuk menyapa. "Pak," panggilnya. Zein menoleh, begitu juga dengan Belle yang terlihat sinis padanya. Pandangan hangat Zein lenyap, berganti dengan sorot dingin bercampur marah yang melayang ke arah Zahra. "Ada urusan apa kau kemari?" dingin Zein. Zahra tersenyum simpul, mengulurkan dokumen ke arah Zein. "Ada dokumen yang harus anda tandatangani, Pak." "Letakkan di mejaku. Nanti akan aku tanda tangani," jawab Zein acuh tak acuh, menatap datar pada Zahra. "Tetapi dokumen ini harus ditandatangani karena …-" "Kau tidak dengar perintahku?!" Zein memotong, berkata begitu dingin dan menusuk. Zahra menangguk patuh lalu memilih meletakkan dokumen tersebut ke meja Zein. Namun, dia tak langsung pergi. Zahra berjalan ke pantry untuk membuat kopi. "Ini kopi anda, Pak," ucap Zahra, meletakkan secangkir kopi di hadapan Zein. Selama di kantor, Zahra selalu berbicara formal pada Zein. Pria ini akan marah padanya jika dia berbicara santai. "Zahra yah?" ucap Belle tiba-tiba, nadanya lembut dan tenang. Zahra hanya mengangguk kepala, sedangkan Belle lanjut berbicara padanya. "Perusahaan Zein memang yang terbaik, pasti kamu nyaman bekerja disini. Apalagi sebagai sekretaris Zein, gajinya lumayan bukan?" Lagi-lagi Zahra menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Kau tidak bisa berbicara? Kau bisu?!" gertak Zein tiba-tiba, kesal karena Zahra hanya mengangguk pada Belle. Menurutnya itu perilaku yang tak sopan. "Tidak apa-apa, Zein. Yang terpenting Zahra masih memberi respon," ucap Belle, tiba-tiba memeluk lengan Zein dengan mesra. Hal tersebut sengaja ia lakukan untuk memanas-manasi Zahra. Dia sangat membenci Zahra sebab perempuan ini adalah istri dari Zein, pria incarannya. "Sekarang pergilah," titah Zein, seolah muak melihat Zahra. Zahra menatap lengan Zein yang dipeluk oleh Belle, sengaja menatapnya secara terang-terangan agar Zein peka. Bagaimanapun Zahra adalah istri dari Zein, meskipun Zein tak ada rasa padanya harusnya Zein bisa sedikit menghargainya. "Belle temanku sejak lama, tidak masalah jika dia memeluk lenganku." Zein berbicara tak acuh, dia paham kenapa Zahra enggan pergi dan terus menatap lengannya. Perempuan ini mempermasalahkan Belle yang memeluk lengannya. "Saya istri anda jika Pak Zein lupa," ucap Zahra berupaya tegas, "tolong hargai saya, Pak," lanjutnya. "Jangan berbicara omong kosong dan pergilah." Zein tak peduli sama sekali, "bawa kopi ini. Aku sedang tidak mood!" lanjutnya dengan nada kesal. Zahra tertegun, terdiam dengan perasaan sesak dan sakit. Zein sangat menghargai hubungan pertemanan tetapi tidak dengan hubungan pernikahan. Apa ini lelucon?! Tuhan, kapan Zein memikirkan perasaannya dan peduli padanya? Bahkan kopi buatannya enggan diminum oleh Zein, semenjak Belle datang. "Apalagi yang kau tunggu?! Cepat pergi dan bawa kopimu ini!" geram Zein marah, tak suka dengan ketermenungan Zahra. Akhir akhir ini Zahra bekerja lambat, dan Zein tidak suka! Harusnya Zahra bekerja gesit seperti biasanya. "Baik, Pak." Zahra patuh. Sejujurnya dia ingin menangis akibat Zein membentaknya di depan Belle. Zahra sakit hati, Zein begitu menjaga nada bicaranya pada Belle yang notabennya hanya mantan atau teman. Sedangkan padanya, Zein tidak segan-segan membentaknya, bahkan sekalipun di depan orang lain. Zein tiba-tiba melepas pelukan Belle di lengannya, bangkit dan berjalan ke arah meja kerja untuk menandatangi dokumen tadi. Di sisi lain, Belle sedikit kesal sebab Zein melepas pelukannya. Dia yakin sekali, Zein sengaja melepas itu sebab terpengaruh oleh perkataan Zahra tadi. Zein pasti ingin menjaga perasaan Zahra. Saat Zahra mengambil cangkir kopi, Belle sengaja menarik cangkir dan membuat kopi tersebut tumpah padanya. "Argkk … Za-Zahra?" pekik dan jerit Belle, berpura-pura kaget serta bingung. "Kenapa kamu menumpahkan kopinya ke aku?" tanya Belle kemudian, dia membalikkan fakta supaya Zein marah pada Zahra. "A-a-aku …-" Baru saja ingin membela diri, Zein tiba-tiba datang dan langsung menarik kasar Zahra dari sana. "Apa yang kau lakukan, Hah?!" amuk Zein pada Zahra. Sedangkan Zahra yang panik dan takut, menggelengkan kepala secara kuat. "A-aku tidak melakukan apapun. Dia yang …-" Lagi-lagi perkataan Zahra terpotong, kali ini oleh Belle. "Aku tahu kamu cemburu, Zahra. Tetapi sikap seperti ini bukanlah sikap profesional. Aku dan Zein hanya berteman, aku di sini untuk membahas proyek kerja sama antar perusahaan, bukan hal lain. Kamu mungkin marah sebab keakraban ku dengan Zein, tetapi tolong jangan melukaiku juga. Kopinya masih panas," ucap Belle memprovokasi agar Zein semakin marah pada Zahra. "Aku tidak melakukannya." Zahra mengelak. "Lihat, gara-gara kelakuanmu lantai jadi basah terkena tumpahan kopi. Kau bukan hanya melukai Belle, tetapi kau berpotensi mencelakai bayi yang Belle kandung. Bagaimana jika Belle terpeleset, Hah?!" marah Zein habis-habis. Tubuh Zahra membeku di tempat, syok bukan hanya karena dimarahi oleh suaminya tetapi juga karena fakta Belle sedang hamil. Zahra bergeming di tepat, matanya memanas dengan perasaan hancur. Sejujurnya Zahra juga sedang hamil, dan dia berniat mengungkapkan kehamilannya tersebut pada Zein di hari ini–tepat di hari ulang tahunnya yang ketiga dengan Zein. Namun, mendengar kabar Belle hamil dan melihat bagaimana Zein protektif terhadap kehamilan Belle, Zahra mengurungkan niat. Zein mungkin tak akan peduli pada kehamilannya! "Belle hamil?" beo Zahra dengan nada serak dan parau, air mata sudah di pelupuk–siap untuk menangis. "Humm." Zein berdehem dingin. "Meminta maaf pada Belle. Sekarang!" lanjut Zein. Zahra menggelengkan kepala. "Aku tidak menumpahkan kopi kepadanya, Pak. Dan aku tidak akan meminta maaf." "Jangan arogan! Cepat meminta maaf!" desak Zein. Diam-diam Belle tersenyum miring, senang karena Zein marah pada Zahra. "Pak, aku masih istrimu kan? Jika iya, kenapa sedikitpun kamu tak percaya pada ucapanku? Kenapa anda tidak menghargai ku sebagai istri?" Air mata Zahra jatuh, tetapi dengan cepat dihapus olehnya. Dia tidak boleh terlihat lemah, walau hatinya sangat hancur saat ini. "Akhir akhir ini kau bekerja sangat buruk. Rasa emosional mu sangat menyebalkan, Zahra," geram Zein. "Ubah sikapmu itu, karena itu mempengaruhi kualitasmu sebagai sekretaris. Dan kau sangat paham betul jika aku tidak suka dengan pekerja yang lambat, bodoh dan ceroboh. Apalagi emosional!" Zahra menggeleng pelan sebab tak percaya dengan ucapan Zein. Hatinya sakit dan dia sangat kecewa. "Jadi begitukah aku di matamu, Pak? Hanya robot pekerja? Aku tidak berharga sebagai i-istri?"VIMON’S POVThe scent of blood clung to the walls like a second skin.Even after the chaos had quieted, and Wally had been dragged away in chains, Vimon’s heart refused to calm. Something still buzzed in the air something ancient, angry, and unfinished.She stood silently just outside the Alpha’s chambers, her eyes scanning the shattered marble floor, the blood-streaked tapestry, the remnants of violence that no cleansing spell could erase. Aegon sat hunched near the hearth, his arm bandaged, his face grim. Ingrid was beside him, shaken but strong, the bat still clutched in her fingers as though she didn’t trust anyone else to finish the job if Wally rose again.Kane had taken the guards aside for debriefing.But Vimon?She was still listening to the shadows.And the shadows were whispering back.Her wolf stirred beneath her skin, unsettled. Not by fear but by recognition.That weapon Wally wielded… it wasn’t just powered by the sacred jewel.It called to something older than their ki
Break her before......WALLY’S POVThe Night Before the Full MoonThe wind howled through the crumbling ruins of the old stone temple like a cry from the dead. It was fitting, really. The place had once been sacred, blessed by the ancient wolves who had forged peace between the supernatural and the mortal. But now, under my hands, it was nothing more than a decaying monument, a sanctuary turned slaughterhouse.I stood beneath the broken arch of the moon altar, clutching the Jewel of Light in my gloved palm. Even through the fabric, I could feel the pulse of power vibrating through it. It sang to me, soft at first, but growing louder with each day. It was restless… eager. Like me.The ritual couldn’t be completed until tomorrow night. The full moon would rise high over Hoia Baciu Forest, and when it did, the final weapon would be born. With the Jewel fused into the relic I had crafted, and Ingrid’s life extinguished through the broken mate bond, there would be no stopping me.I gritted
I will do itIngrid’s POVI could still feel the Jewel humming beneath my skin.It wasn’t just a stone anymore, it had become a part of me. A second heartbeat. A curse. A promise. I pressed my palm lightly to where it rested beneath the covers, warm like blood, like flame. The energy coiled within it was calmer now, dormant. But I knew that was a lie. A storm was only quiet before it tore the sky open.I stared at the ceiling for what felt like hours after Vimon left.Everything she said made sense. And yet… nothing felt real.Aegon.His name used to feel like home. Now it felt like a blade pressed to my throat.I had loved him through every rejection, every cruel word, every silence that screamed louder than thunder. I’d believed in the boy who once held my hand when I cried, the one who whispered secrets into my hair and promised to never let me go.But that boy was gone.What remained was a man too easily seduced, too easily lost to the shadows of his own guilt.And yet…He was sti
Don't trust him anymore Aegon's POV We got her back to the manor before the first rays of dawn touched the mountains. Vimon and Kane were already waiting, both shaken to the core. Vimon rushed to her side the moment she saw her, hands glowing with a gentle blue light as she began her healing.Kane pulled me aside, his face grim. “I felt the surge. The Jewel woke.”I nodded. “And nearly killed her in the process.”He glanced toward Ingrid, lying pale on the bed, Nico hovering beside her like a hawk. “But she survived. That says something.”“It says she’s stronger than all of us,” I said bitterly. “And I didn’t deserve her.”He didn’t argue.I didn’t expect him to.Later that night, I sat by her bedside alone. The room was dim, moonlight slanting through the curtains like quiet ghosts. She hadn’t woken.But her chest rose and fell steadily now. That was something.I reached out, brushing a strand of hair from her face.“You once told me that love wasn’t about protection,” I whispered.
Turning the jewei against himNico’s POV (continued)Aegon’s eyes locked on mine, gold flaring with both fury and fear. I could feel the shift in him no longer just a wolf, or even a mate. He was becoming something else under the pressure of it all. But there was no time to analyze the change. Not now.“She’s in danger, Aegon,” I said, voice low. “And not just from Wally or Dagna. The Jewel, the mate bond, the timing its all connected.”He narrowed his eyes. “Speak clearly, Nico.”I nodded once, then pulled out the brittle scroll I’d found. “This ancient text it talks about the Jewel of Light needing a ‘marked sacrifice’ to awaken fully. Someone bound by pain, by love. Wally wants to kill Ingrid, yes but not just physically. He’s using your bond. Every time you give in to Dagna, Ingrid suffers. If you do it a third time… it might end her.”His fists clenched, jaw tight. “You’re saying......"“Yes,” I cut in. “That was never a coincidence. Dagna seduced you because Wally planned it. An
Ingrid's POV Protector of the jeweiThe texts spoke of an ancient guardian tied to the Jewel of Light. A protector no, a curse bearer. One who fell from grace when the first pact between humans and wolves was broken centuries ago.And I, somehow, had triggered that story’s next chapter.But why?What made me different?Why had the jewel called to me?The door creaked open behind me.I turned instantly, muscles tense, wolf alert. But it wasn’t an intruder.It was Vimon.She didn’t speak right away. Just stepped inside and shut the door behind her with a soft thud.“I know you’re not okay,” she said quietly.I bit my lip, fighting the urge to cry again. I was so tired of crying.“I don’t want to talk about him.”“I wasn’t going to bring him up,” she said, walking closer. “I came because I found something.”She reached into the folds of her cloak and pulled out a small, jagged shard blue, glowing faintly.My breath caught.“That’s from the jewel,” I whispered.Vimon nodded. “And it reek
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments