Abbiyya dan Adhisti kini duduk di salah satu set kursi dan meja salah satu tempat makan berbahan dasar daging tersebut. “Jadi apa rencana lo?” tanya Abbiyya saat mereka bersua telah lama beridam diri menunggu menu pesanan mereka datang. Adhisti menyeret pandangannya dari ponsel yang sedari tadi ia cekal ke arah Abbiyya. “Hmm, kenapa? Bentar, bentar! Dikit lagi filmnya ke upload! Gue bisa nggak makan kalau gue telat dikit!” tutur Adhisti sambil membentangkan telapak tangannya tepat di depan wajah Abbiyya saat pria itu hendak mengatakan sesuatu. “Jadi lo dari tadi ngurusin film gelap lo itu?! Kurang ajar nih anak! Lo nggak ada takut-takutnya gitu sama gue?! Gue bisa laporin lo ke polisi, lho!” pekik Abbiyya. “Abbiyya, tugas lo itu kasus mayat di balik plafon kamar gue. Bukan kasus pelanggaran hak cipta dan hak dagang! Udah deh! Diem aja!” sergah Adhisti. “Heh, berhenti gak! Gue cuma nunggu waktu aja buat laporin lo! Lo berhenti atau gue lapor sekarang!” sergah Abbiyya. “Hih bawel
Keesokan paginya saat sarapan bersama, Adhisti tampak telah berpakaian rapi dengan sebuah paperbag yang ia letakkan di sebelah kursi makannya. “Mau ke mana, Chaay? Kenapa pagi-pagi udah rapi gitu? Perasaan lo selalu di rumah terus. jangan keseringan main di luar, Chaay! Lo masih dalam status tahanan kota!” pekik Rafa lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Iya, Bang! Gue inget. Tapi gue nggak bisa terus di sini, gue butuh wi-fi, Bang! Lo tahu ‘kan gue nggak pernah keluar kamar karena wi-fi lancar jaya. Nah kalau gini, ‘kan gue mesti cari tempat lain,” dusta Adhisti. “Oh, iya! Gue lupa soal itu!” pekik Rafa. “Dipindah aja, Raf! Paket wi-fi lo di unit 706 suruh sambungin ke sini aja, daripada di sana malah dipake sama tetangga. Di sini pasti sinyalnya kecil banget!” sahut Rio kini ikut buka suara. “Eh, iya juga! Gini aja deh, Chaay! Selepas gue jaga warnet nanti, gue ke kantor mereka buat minta pindah ke sini. Jadi lo nggak perlu keluar-keluar segala!” Rafa bangkit dari kursiny
“Noda merah?!” sergah Abbiyya langsung menatap tajam Adhisti. Adhisti sedikit mengerutkan wajahnya lalu tangannya menarik sisi lain selimut itu dan membaliknya ke arah Abbiyya.“Noda merah, kan?” tutur Adhisti sambil mendongakkan wajahnya guna melihat ekspresi wajah Abbiyya atas apa yang ia tunjukkan.“Darah?” lirih Abbiyya lalu kembali mengarahkan tatapannya ke arah Adhisti.“Pikiran gue mulai travelling! Ini darah pembunuhan atau apa? Kenapa ada di selimut? Mana dimasukin ke kantong plastik hitam lagi?!” papar Adhisti.“Kita bisa bawa ini ke laboratorium forensik biar diperiksa sama tim di sana. Lo masukin lagi ke kantong plastik. Kita cari bukti lainnya kalau ada,” tutur Abbiyya sembari membantu Adhisti meringkas selimut itu lagi.“Lo sama tim lo belum ngecek tempat ini? Kenapa barang segede ini belum kalian temuin?” Tangan Adhisti menali kantong plastik hitam itu dengan cukup kuat. Nadanya seperti menyindir kesatuan tim Abbiyya.Abbiyya yang kini kemandangnya sinis tampak hendak m
“Angkat! Jangan kasih tahu dia kita ada di mana dan jangan sampe dia curiga!” pekik Abbiyya lalu langsung meminta Adhisti untuk menekan tombol terima di layar ponselnya itu. “Halo! Kenapa?!” sergah Adhisti langsung terdengar jutek tanpa ada sedikit pun rasa ramah dalam setiap suku kata yang ia tuturkan. [“Kenapa lo ngegas terus sih sama gue, Dhis! Gue belum ngomonh apa-apa, lho! Kenapa lo main ngegas kaya gitu?”] tutur Rio dengan nada yang sedikit mendayu. “Basi! Buruan mau ngomong apa?! Gue sibuk!” tukas Adhisti kini tampak menyilangkan salah satu tangannya di depan dada. [“Balik, gih! Kelarin kerjaan lo di unit aja! Ini wi-finya udah kelar! Barusan petugasnya balik dan gue coba udah bisa kok! Lancar jaya!”] Rio terdengar sangat bangga dengan apa yang ia paparkan itu. “Makasih! Tapi nanggung, gue udah bayar kafenya! Rugi kalau nggak diselesaiin sekalian! Lagian Bang rafa juga belum balik dari warnet ‘kan? Gue nggak mau di ujit berdua aja sama lo! Dasar mesum!” Abbiyya sedikit me
Adhisti berdiri di depan kamar Rio, tangannya melekat di daun pintu itu lala mengetuknya perlahan. “Bang Rio! Ini Adhisti! Boleh masuk?” panggil Adhisti di sela-sela ketukan tangannya. Tak ada jawaban dari dalam, Adhisti segera menggeser tangannya ke atas knop pintu, lalu perlahan ia memutar benda seukuran genggamannya itu. Sebuah ruangan dengan aksen temaram kini hadir di hadapan Adhisti. “Gue harus nemuin apapun itu yang bisa bikin Rio masuk penjara! Gue bakal pastiin kalau Rio yang udah bikin Mawar hamil dan bunuh cewek itu!” gumam Adhisti lalu masuk ke ruangan tersebut. Dengan cukup pelan Adhisti kembali menutup pintu itu. Ia berbalik dan mulai mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Hanya ada meja kerja, ranjang, sebuah laci kecil di sebelah ranjang, lemari pakaian, tempat sampah, juga kaca yang menggantung di sebelah lemari pakaian. Adhisti langsung berjalan menuju meja kerja Rio dan mengamati beberapa benda yang ada di atas meja kayu itu. Sebuah laptop yang berdampingan
“Bang, ehm!” celetuk Adhisti tampak kelimpungan menyembunyikan rasa terkejutnya itu. “Ngapain lo di kamar Rio? Rio mana?” sergah Rafa. Ya, pria yang menepuk pundak Adhisti ialah Rafandra. Kakaknya itu tampak memberikan tatapan menyelidik yang seolah tak memberikan celah sedikit pun bagi Adhisti untuk memindah posisi apalagi tatapannya. “Kok diam? Lo sembunyiin apa? Itu di tangan lo ada apa? Sini tunjukin ke gue!” Tangan Rafandra langsung mencekal bahu Adhisti dan membalik sedikit tubuh gadis itu hingga bisa meraih pergelangan tangannya. Rafa mengangkat tangan kanan Adhisti ke depan muka gadis itu sambil menyipitkan mata. Ia sedikit menggeleng seolah tak paham dengan apa yang ia lihat. “Pegang apaan sih lo?! Sini tangan satunya!” sergah Rada langsung melepaskan tangan kanan Adhisti yang kosong guna meraih tangan kiri gadis itu. Saat Rafa berhasil meriah pergelangan tangan kiri Adhisti, Adhisti berbisik lemah. “Gue nggak pegang apa-apa, orang barangnya jatuh gegara lo ngagetin gue
Adhisti langsung mematikan teleponnya lalu melempar ponselnya ke sisi lain ranjang. Tangan kanannya langsung meraih lengan kanan hoodie yang ia kenakan. Sehelai derit hitam ada di sana sontak menarik mata Adhisti dan membuat gadis itu langsung tersenyum senang. “Gue kira lo beneran hilang! Ternyata masih ada! Huft! Syukurlah! Kalau kaya gini ‘kan gue nggak jadi ngamuk!” kekeh Adhisti lalu kembali mengamati helai rambut itu. “Satu langkah lagi!” Sepertinya benda tipis itu tak benar-benar jatuh ke lantai melainkan menyangsang di kain hoodie Adhisti. Sontak saja gadis itu bangkit dari ranjang dengan telunjuk dan jempol kanan yang menjepit helai rambut tersebut. Ia perlahan membuka nakas yang ada di sebekah tempat tidurnya lalu mengambil sebuah kantong plastik dari sana. Segera saja ia memasukkan sehelai rambut itu ke dalam kantong plastik lalu menurut klipnya. Dengan semangat Adhisti berjalan ke arah pintu keluar sambil memasukkan kantong itu ke saku hoodienya. Saat pintu terbuka,
“Angel ada tugas di luar kantor. Dia baru balik sekitar tiga jam lagi. Lagi pula, kalaupun Angel ada di sini sekarang, hasil akuratnya akan keluar besok bukan sekarang,” papar Abbiyya sambil memandang Adhisti yang masih membuka mulutnya. “Jadi lo mau bilang kalau percuma gue hujan-hujan ke sini? Gue udah bahas kaya gini lo, Biy!” pekik Adhisti mulai memprotes apa yang ia rasa tak benar. “Ya siapa suruh lo nggak info dulu? Tadi lo telepon tapi tau-tau lo matiin, giliran gue telepon bolak-balik lo nggak angkat. Terus sekarang salah gue gitu?” sergah Abbiyya sambil mengerutkan dahinya. “Astaga! Sialan!” pekik Adhisti. “Haciuww!” Satu pekikan lolos dari bibir tipis gadis itu. Sudah dipastikan hujan deras yang menimpanya itu langsung membuat tubuh Adhisti terserang penyakit flu. “Lemah banget, sih! Baru kena hujan aja udah flu!” pekik Adhisti sambil menggosok hidungnya kasar. Sementara Abbiyya tiba-tiba mencekal tangan kiri Adhisti dan membawanya masuk ke dalam kantor polisi. “Eh, mau