Home / Thriller / Mayat di Balik Plafon / 7. Pengakuan dan Bukti Pemberat

Share

7. Pengakuan dan Bukti Pemberat

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2023-03-17 14:01:57

“Da-dari mana lo tahu soal itu?!” Abbiyya terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pria itu kini menatap Adhisti yang tampak amat cemas.

“Tak penting dari mana saya tahu tentang hal itu. Satu yang perlu anda tahu, saya bisa melaporkan masalah hak cipta film itu dan membuat anda terkena pasal berlapis kapan saja. Jadi, lakukanlah pemeriksaan ini dengan baik. Anda mengerti, Nona?” ujar Abbiyya.

Adhisti kini hanya bisa terdiam sambil menahan emosinya pada Abbiyya. Sementara itu, Abbiyya tampak kembali menegakkan tubuhnya lagi dan menunjuk foto seorang wanita muda di map itu.

“Mawar! Kami mengidentifikasi korban dari sisa-sisa potongan tubuh yang masih bisa kami selidiki. Dan darinya, kami mendapat informasi bahwa korban adalah wanita berusia 24 tahun bernama Mawar. Anda mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya kini sedikit mendongak ke arah Adhisti yang masih mengamati foto itu.

“Gue nggak kenal! Gue nggak tahu dia siapa!” sergah Adhisti.

“Benarkah? Tapi, Nona! Ada satu fakta menarik tentang keterkaitan anda dengan korban bernama mawar ini!” pekik Abbiyya membuat Adhisti mengerutkan dahinya.

“Korban adalah agen utama Sky Corporation. Bukankah itu nama perusahaan saingan anda dalam bisnis gelap penyelundupan film, Nona Adhisti?” terang Abbiyya mengungkapkan satu fakta.

“Okey! Gue emang tahu Sky Corporation! Gue emang pernah dengar bos gue sebut nama Mawar! Tapi gue nggak tahu muka dia kaya gimana!” sergah Adhisti.

“Kau tahu Nona, entah benar atau tidak pengakuanmu itu, tapi jika pihak kepolisian akhirnya mengetahui latar belakang Mawar dan pekerjaan gelapnya, lalu menyeret nama anda sebagai rivalnya, anda akan menjadi tersangka utama.”

“Tapi gue bukan pelakunya! Gue berani jamin! Ya gue tahu, gue sering buat masalah di apartemen tua itu! Gue sering ganggu banyak penghuni di sana yang bikin mereka mungkin dendam sama gue. Tapi itu bukan berarti gue tega membunuh ‘kan?! Gue masih manusia yang punya hati!” tolak Adhisti dengan sedikit menggebrak meja.

“Tapi Nona, bukankah hanya anda seorang yang memiliki akses ke dalam kamar anda itu? Dan mengapa anda membeli lakban serta tiga buah pengharum ruangan itu? Anda ingin menutupi perbuatan anda?” Abbiyya membalik lembaran kertas pada map tersebut tanpa mengubah tatapannya pada Adhisti.

“Semua orang bisa masuk kalau mereka emang niat! Ya meskipun itu kecil kemungkinannya, tapi nggak ada yang nggak mungkin ‘kan?!” sergah Adhisti.

“Yap, tepat sekali! Semuanya mungkin terjadi. Termasuk anda membunuh saingan bisnis gelap anda,” ujar Abbiyya.

“Kami telah mengantongi banyak pengakuan narasumber sejak kemarin, Nona! Penjaga laundry yang anda telepon malam hari sebelum laporan ini datang kepada kami, penjaga kios tempat anda membeli lakban dan pengharum ruangan, serta seorang satpam apartemen yang melihat anda mengambil tanah dari belakang apartemen.”

“Hah? Mereka?! Apa yang mereka bilang soal gue?! Mereka jatuhin gue?! Sialan!” sergah Adhisti.

“Silakan saja baca laporan itu, Nona! Semua ada di sana. Setelah anda membacanya, baru kami akan memberi sesi pembelaan atas kesaksian para narasumber itu.

Dengan kasar Adhisti meraih map itu ke dekatnya. Susunan kalimat rapi membuat matanya mampu membaca dengan cepat, bergeser dari sudut kiri hingga kanan.

‘Kesaksian penjaga laundry mengatakan bawah tersangka Chaaya Adhisti Pramagya memesan jadwal laundry untuk mencuci seprai bekas jasad manusia.’

‘Kesaksian penjaga kios mengatakan jika ia mendengar tersangka Chaaya Adhisti Pramagya mengatakan dalam telepon mengenai keberadaan mayat dalam kamar kerjanya.’

‘Kesaksian satpam Apartemen Bumi Tua 1996 mengatakan bahwa melihat tersangka Chaaya Adhisti Pramagya mengambil tanah di belakang gedung apartemen dan mengaku untuk mengubur mayat manusia yang tewas.’

“Bohong!! Ini semua bohong! Mereka menganggap lelucon itu sebagai kenyataan?! Gila! Nggak! Gue cuma bercanda waktu ngatain itu semua!” sergah Adhisti langsung menghempaskan kertas itu kembali ke meja lalu menatap Abbiyya dengan marah.

Abbiyya mendekatkan tubuhnya ke dekat tepian meja lalu turut menatap Adhisti dengan tatapan selidik ciri khasnya selama bertugas sebagai aparat kepolisian.

“Lelucon? Apakah penemuan mayat itu lelucon, Nona? Dan untuk apa anda membuat lelucon yang sama kepada tiga orang tersebut terlebih masalah mayat manusia? Apakah anda ingin membuat alibi yang kuat?” bisik Abbiyya.

“Bajingan! Bisa nggak sih percaya?! Percuma lo tanya kalau gak percaya sama jawaban gue! Waktu itu gue murni bercanda karena mereka terus cerewet tanya-tanya! Lagi pula mereka semau tahu gimana gue sering ngusilin mereka! Lelucon itu semestinya nggak mereka anggap sebuah fakta!” Adhisti mengepalkan tangannya di atas meja, napasnya terlihat sangat tersengal, keringatnya mulai menetes dari dahi menuju leher jenjang gadis itu.

“Baiklah.” Abbiyya memundurkan posisi duduknya lalu berdiri dan memukul lampu gantung yang menjadi satu-satunya penerangan di ruangan itu.

Pria itu berjalan mendekati kursi Adhisti hingga membuat Adhisti sedikit memicingkan tubuhnya menjauh dari sisi Abbiyya.

“Baiklah, Nona! Anggap saya semua kesaksian mereka hanyalah kesaksian atas lelucon yang anda berikan. Anggap semua kesaksian mereka tak lagi berguna untuk memberatkan tuduhan terhadap anda. Tapi, bagaimana anda jelaskan tentang bukti yang satu ini?” ujar Abbiyya lalu menengok ke arah pintu masuk.

Tangan pria itu sedikit memberi kode pada salah satu anak buahnya yang langsung masuk dengan sebuah peti kayu lalu meletakkannya di meja.

Semenjak peti itu diletakkan di atas meja, Adhisti langsung terperanjat. Ia kesusahan menelan salivanya sendiri. Jantungnya berdegup jauh lebih kencang, keringatnya pun mengalir lebih deras.

“Anda tahu bukan apa isinya?” bisik Abbiyya lalu membuka peti kayu berukuran 50 sentimeter tersebut.

“Satu set pisau mata tajam dengan noda darah milik korban bernama Mawar dan juga sidik jari anda, Nona Adhisti!” lanjut Abbiyya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mayat di Balik Plafon   142. Akhir Segala Penderitaan

    “Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit

  • Mayat di Balik Plafon   141. Miliknya Seutuhnya?

    “Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam

  • Mayat di Balik Plafon   140. Sang Pelaku

    Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga

  • Mayat di Balik Plafon   139. Membongkar Diri Sendiri

    “Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam

  • Mayat di Balik Plafon   138. Setelah Semalam

    Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi

  • Mayat di Balik Plafon   137. Bukan Malam Biasa

    “Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status