Share

Part 4

Tahun berlalu dan Innara sudah kembali menyelesaikan pendidikannya. Innara tidak perlu memusingkan masalah pekerjaan karena dia selama ini ia sudah mulai merintis karirnya dengan bekerja di hotel dan bahkan kini sudah diangkat menjadi staff karyawan tetap. Jenjang karirnya menjadi terbuka lebih lebar mengingat status pendidikannya yang juga sudah lebih tinggi.

Seperti yang dilakukannya saat masa kuliah sebelumnya, Innara juga tidak pernah kembali ke kediaman orangtuanya saat libur tiba. Terlebih saat ini dia memiliki alasan lain yang lebih kuat untuk menghindar.

Tentang adik sambungnya, Azanie. Innara bahkan tidak berkomunikasi dengannya. Sejak tantangan yang diberikan padanya di saat perayaan wisudanya dulu, adik sambungnya tak pernah lagi menutup-nutupi rasa tak sukanya pada Innara. Meskipun gadis itu dengan mudahnya berganti wajah di depan orangtuanya.

Tentang kuliah Azanie? Entah apa yang dilakukan adik sambungnya itu, namun saat teman-temannya sudah disibukkan dengan skripsi, adiknya itu masih disibukkan dengan remedial dan perbaikan nilai. Dan sekalipun ayahnya tidak pernah berkomentar, Innara tahu kalau pria itu kecewa pada tingkah anak kandungnya yang manja dan hanya bisa menghabiskan uang saja.

Innara juga kini sudah tinggal kembali di Jakarta. Keinginannya untuk bisa berlayar keluar negeri dengan bekerja di kapal pesiar atau hotel asing terpaksa dia hilangkan karena ibunya merengek dan memintanya untuk tinggal di Indonesia.

"Kalau Kakak pergi, Bunda beneran bakal marah. Bunda gak akan mau ngakuin Kakak sebagai anak lagi." Ancam wanita itu di suatu waktu saat Innara tanpa sadar mengemukakan rencananya untuk melamar di sebuah perusahana travel internasional.

Tak ingin membuat wanita yang dicintainya itu bersedih, Innara akhirnya menurut dan memilih untuk menetap. Dia bahkan dengan sengaja meminta atasannya untuk memberikannya informasi terbaru jika memang ada lowongan di Jakarta. Beruntungnya, beberapa bulan setelah ia resmi meraih gelar S2 nya, Innara berhasil memperoleh jabatan di kantor pusat hotel yang ada di Jakarta.

Ibunya tentu senang mendengarnya. Jarak Jakarta-Yogyakarta, meskipun masih bisa ditempuh dalam hitungan jam, tetap saja dianggapnya terlalu jauh. Sementara untuk Jakarta, ibunya hanya perlu menghabiskan waktu yang pendek untuk bisa bertemu dengan Innara.

Namun ketika ibunya menduga Innara akan tinggal bersamanya karena lokasi hotel yang masih bisa dijangkau dengan perjalanan pulang pergi. Maka ibunya salah. Karena sama seperti yang dilakukannya sebelumnya, Innara tidak ingin tinggal bersama kedua orangtuanya, terlebih setelah kini Azanie tak repot menutupi rasa tak sukanya. 

Dengan dalih ingin hidup mandiri, Innara memutuskan untuk mencicil sebuah perumahan yang lokasinya tak jauh dari tempatnya bekerja.

Setahun sudah Innara pindah ke Jakarta, menempati rumah barunya dan bekerja. Ia mulai menikmati masa-masa sibuknya di hotel saat Innara dikejutkan dengan rekan sejawatnya yang juga baru saja dipindahkan ke Jakarta.

Dia adalah Rayka Saeed. Teman satu kelasnya saat jaman SMA yang kemudian hilang komunikasi karena yang Innara dengar pria itu melanjutkan kuliahnya di luar negeri.

"Gak nyangka ketemu kamu lagi disini." Ucap Rayka sebagai sapaan pertamanya saat mereka diperkenalkan sebagai rekan kerja.

Berawal dari basa-basi, hubungan mereka semakin lama semakin dekat. Pertemuannya dengan Rayka, Innara anggap sebagai sebuah takdir. Mereka menjadi teman akrab—bahkan lebih akrab jika dibandingkan dengan saat mereka masih duduk di bangku SMA dulu.

Masa lalu seolah menjadi topik yang aman untuk mereka bahas.

Seringnya mereka bertemu di area hotel dan juga acara-acara yang terjadi diluar hotel, nyambungnya mereka saat mengobrol, membuat Innara merasa semakin nyaman berada dekat dengan Rayka.

"Aku sebenernya udah suka sama kamu sejak dulu." ucap Rayka pada suatu sore setelah mereka menyelesaikan pekerjaan mereka. 

Beberapa waktu belakangan ini Rayka memang rajin mengantar jemput Innara. Bukan hanya karena jam kerja mereka sama, tapi juga karena lokasi rumah ke kantor yang Rayka bilang searah. 

"Tapi jujur. Dulu, aku ragu mau bilang dan nyatain perasaan aku sama kamu." Ucapnya dengan kikuk.

Innara mengernyit dan memandang pria itu. "Kenapa?" Tanyanya bingung.

Rayka mengedikkan bahu. "Entahlah, mungkin karena takut ditolak?” Pria itu balik bertanya dengan ekspresi malu. 

“Kok gitu? Nyerah sebelum berjuang?” Tanya Innara dengan nada menantang yang membuat Rayka terkekeh. 

Rayka mengedikkan bahu. “Entahlah, mungkin memang nyali aku seciut itu.” Jawab pria itu dengan santainya. “Kamu tahu kamu waktu SMA itu kayak gimana?” Rayka kembali bertanya yang dijawab gelengan kepala Innara. 

“Memangnya aku kayak gimana?” 

“Kamu cantik, dan bahkan sekarang jauh lebih cantik.” Puji Rayka yang membuat Innara merasa pipinya memanas seketika. “Tapi kamu juga terkesan menjaga jarak dan menutup diri. Satu-satunya orang yang dekat sama kamu itu ya cuma si Delia aja, kamu seolah gak ngijinin orang lain untuk menerobos dinding tak kasat mata yang kamu buat.” 

Innara mengerutkan dahi. “Iyakah? Emang aku kayak gitu?” Tanyanya tak yakin. Rayka menganggukkan kepala dengan ekspresi tegas. 

“Yang aku perhatikan, kalo gak di kelas, kamu perginya ke kantin sama ke perpustakaan. Kalo gak sama Delia, ya kamu lebih milih sendirian. 

“Kamu emang berteman, tapi aku gak lihat kamu akrab sama orang lain selain Delia. Kamu bahkan gak pernah ada datang di acara pekan olahraga atau semacamnya.” Ucap Rayka lagi dengan ekspresi cemberut. 

Ya, Innara ingat kalau saat mereka SMA, Rayka adalah salah satu pemain terbaik di tim basket sekolah mereka. Banyak siswi yang mengagung-agungkannya. Anak perempuan selalu berharap bisa dekat dengan Rayka dan menjadi teman kencannya, sementara anak laki-laki selalu ingin berada dalam tim atau kelompok kerja yang sama. 

Innara tidak seperti yang Rayka tuduhkan. Dia menikmati masa mudanya dengan sangat baik namun memang dia menjaga jarak. Dia membatasi pergaulannya dan terlebih di tahun terakhir sekolahnya, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan semua buku supaya bisa masuk ke kampus yang diinginkannya. 

"Aku banyak berandai-andai waktu itu. Gimana seandainya aku nembak kamu trus kamu terima aku. Akan seperti apa kita kencan. Kemana aja kita jalan. Dan lain banyak hal. Tapi sebelum aku realisasikan rencana aku, aku malah malu sendiri sebelum mulai pedekate."

"Bilang aja kamu gengsi kalo ditolak.” Ledek Innara yang membuat Rayka terkejut mendengarnya. mereka kemudian tertawa bersama.

"Iya, memang begitu.” Rayka jujur. “Kalo aku nembak kamu terus kamu tolak, dimana nanti aku naruh muka aku. Sementara selama ini aku jadi pujaan banyak cewek.” Ujarnya dengan sombong yang membuat Innara terkekeh dan menggelengkan kepala. “Tapi itu kan dulu. Sekarang aku udah lebih dewasa, dan gengsi? Aku udah gak peduli sama hal itu.” Ucapnya yang membuat Innara memandangnya bingung. 

“Jadi, daripada menyia-nyiakan kesempatan yang ada, lebih baik aku to the point aja. Kalau misalkan sekarang aku ajakin kamu nge-date dan realisasiin mimpi-mimpi aku di masa lalu. Kamu bakal nolak gak?" tanya Rayka dengan nada menggoda.

Mendengar pertanyaan tak terduga dari Rayka membuat Innara membisu. Innara memandang pria itu dengan tatapan dalam, menduga kalau Rayka saat ini sedang mengajaknya bercanda. Tapi ekspresi pria itu justu terlihat serius. 

Dan Innara juga sudah tahu kalau sekarang sudah waktunya dia memikirkan masa depan. Selama ini dia terlalu fokus pada kuliah dan pekerjaannya sampai ia tidak punya waktu untuk urusan lainnya padahal ibu dan juga neneknya terus menerus mendesaknya untuk segera menikah mengingat usianya yang semakin hari semakin bertambah. 

Faktanya memang Innara tak bisa selamanya sendirian. Ia juga tidak bisa langsung menikah saat dia ingin, kan? Harus ada calon dan sebelum ke jenjang serius, ia harus saling mengenal dulu. 

Tanpa Innara mau akui kalau selama ini ia takut untuk memiliki hubungan adalah karena ia tidak mau masa lalu terulang lagi. Ingat tentang Azanie yang seolah selalu menginginkan apa yang Innara miliki? Ingat juga tentang Aldy, pria yang mengatakan akan menunggu Innara kuliah bersama namun pada akhirnya malah berkencan dengan Azanie?

Ya, sebenarnya Innara takut hal itu terulang lagi. Meskipun akal sehatnya mengatakan kalau Azanie tidak mungkin akan melakukan itu lagi sebab Azanie sudah memiliki kekasih. Tapi tetap saja, trauma itu masih ada. 

Pada akhirnya, Innara menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Rayka, dan hal itu membuat Rayka secara spontan memeluknya dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Lama waktu berlalu, hubungan Innara dan Rayka semakin jauh dan serius. Namun demikian, Innara belum siap untuk mengatakan kepada kedua orangtuanya kalau ia memiliki kekasih. Setiap kembali ke kediaman orangtuanya, dan ditanya apakah dirinya sudah punya kekasih, Innara selalu mengatakan kalau ia masih asyik dengan pekerjaannya dan masih nyaman sendiri. Dan sepertinya, jawaban itu membuat Azanie puas karena adik sambungnya itu selalu memandangnya dengan eskpresi senang yang tak dia coba sembunyikan. 

Sampai pada akhirnya Rayka mendesaknya supaya Innara mengajaknya berkenalan dengan kedua orangtuanya, Innara tak bisa lagi mengelak. 

Tentu Azanie tahu siapa Rayka karena dulu gadis itu menjadi salah satu dari adik kelas yang memuja Rayka. Azanie juga tahu latar belakang Rayka yang berasal dari keluarga kalangan menengah ke atas. Dan hal itu jelas membuat Azanie kesal. Berbanding terbalik dengan kedua orangtua mereka—khususnya ibunya—yang sangat antusias untuk lebih mengenal Rayka. Mereka tanpa memberi syarat menyetujui hubungan Rayka dan Innara hingga dengan cepat pembahasan pernikahan pun diutarakan. 

Rupanya, orangtua Rayka pun sangat antusias dengan pernikahan mereka. Sama seperti orangtua Innara yang bisa menerima Rayka dengan mudah, begitu juga dengan orangtua Rayka pada Innara. Bahkan disaat pertemuan keluarga, Innara dan Rayka akhirnya tahu kalau ayah-ayah mereka saling mengenal satu sama lain. Dan itu membuat mereka semakin yakin kalau pernikahan ini akan berhasil. 

"Gimana kalau yang ini." Calon ibu mertua Innara menunjuk sebuah cincin yang rencananya akan dijadikan sebagai mas kawin untuk Innara dari Rayka. Innara melirik Rayka yang menjawab pertanyaan tanpa suaranya dengan anggukkan. "Udah, gak usah tanya-tanya sama dia. Dia mah tau apa. Kalo kamu suka, ambil aja. Coba." Ucap ibu Rayka yang hanya dijawab Innara dengan kekehan.

Ya, sepanjang hari itu Innara, ibu Rayka dan juga Rayka berkeliling kesana kemari. Keluar masuk toko dan berbelanja kebutuhan seserahan yang akan Rayka bawa dalam acara pernikahan mereka yang akan berlangsung kurang dari satu bulan lagi.

Cepat?

Memang cepat. Bahkan terbilang sangat ekspress dan membuat beberapa orang yang mendengarnya turut merasa kaget. Tapi itu tidak membuat Innara ataupun Rayka merasa stress, keduanya justru malah menikmati semua kerepotan itu dengan sukacita. Bahkan orangtua mereka sudah menyiapkan sebuah rumah untuk mereka tinggali nanti setelah mereka menikah, jadi apa lagi yang harus mereka khawatirkan? 

Ballroom hotel tempat mereka bekerja sudah disewa. Semua orang yang mendengar kabar pernikahan mereka turut berbahagia. Dan atas kebijakan perusahaan, Innara sepakat untuk mengundurkan diri dari hotel setelah semua pekerjaannya selesai dan dilimpahkan pada karyawan baru. Sementara itu, dengan bantuan Rayka Innara akan melamar ke hotel lain segera setelah mereka resmi menikah. 

Catering, menu makanan dan porsi sudah ditentukan. Undangan sudah didesain, sudah dicetak dan tak lama lagi selesai dan siap sebar.

Souvenir pun sudah dipersiapkan. Dan sekarang, Innara sedang diajak berkeliling untuk membeli barang-barang seserahan yang akan Rayka bawa dengan paksaan calon ibu mertuanya. Ibu Rayka memastikan Innara harus ikut karena menurutnya Innara yang harus memilih dan menyukai apa saja yang nanti akan Rayka bawa karena nantinya Innara yang akan mengenakannya. 

Lihatlah, bagaimana Innara tidak bahagia dan merasa beruntung jika memiliki calon suami dan calon ibu mertua seperti ibu Rayka? Belum apa-apa, wanita berusia pertengahan lima puluhan itu sudah amat sangat memanjakannya.

Namun tampaknya, kebahagiaan Innara adalah kesakitan bagi Azanie. Mendengar perlakuan orangtua Rayka, pemberian mereka dan rencana kehidupan Innara dan Rayka di masa mendatang membuat gadis itu merasa cemburu. Meskipun Azanie tersenyum di depan semua orang, gadis itu tidak pernah menyembunyikan tatapan tajam dan dinginnya pada Innara. Dan alih-alih merasa tak enak, Innara justru memilih untuk mengabaikan rasa tak suka adik sambungnya itu. 

"Kapan kalian cuti?" pertanyaan itu terucap saat mereka sedang makan malam bersama di kediaman orangtua Innara. 

"Nanti, Yah. Tiga hari sebelum hari H." ucap Innara seraya memandang Rayka yang diangguki pria itu seraya tersenyum.

"Kok cepet." Keluh ibunya seraya memandang Innara dengan kedua alis menyatu.

"Aku yang minta, Bun." Jawab Rayka pada ibu Innara. "Sengaja minta cutinya lebih panjang setelah hari H. Biar honeymoonnya lebih lama." Jawabnya yang turut diangguki Innara dengan antusias.

"Kalo gitu gak ada acara pingit-pingitan dong?" tanya ayah Rayka memandang putra dan juga calon menantunya. Kedua calon pengantin itu saling pandang sebelum menggelengkan kepala bersamaan. "Pamali kalo kata orang jaman dulu." lanjut pria akhir enam puluhan itu.

"Doain aja semuanya lancar sampai hari H, Pa." Pinta Rayka yang diaminkan oleh semua anggota keluarganya.

Dan kini, seminggu sebelum acara pernikahanya digelar, Innara masih disibukkan dengan proses peralihan jabatannya. Saking banyaknya pekerjaan, Innara terpaksa pulang cukup larut dari hotelnya. 

Tak apa, hanya sementara. Setelah ini dia akan bersantai selama beberapa waktu untuk beristirahat dan memainkan peran barunya sebagai pengangguran dan seorang istri. Ucapnya dalam hati dengan kebahagiaan yang tak bisa lagi ia ungkapkan dengan kata-kata.

Namun kebahagiaan itu sirna dalam waktu yang teramat singkat karena ia pulang bekerja, sebuah mobil besar menabrak mobilnya sehingga terpental dan berguling di jalanan yang kosong.

Ya Allah, inikah akhirnya? Inikah akhir kehidupannya? Apakah ini saatnya ia meninggalkan orang-orang yang dicintainya dan melepas mimpi untuk bahagia? Itulah isi kepala Innara sebelum semuanya berubah menjadi gelap gulita. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status