"Kakak yakin mau kuliah di luar kota?" pertanyaan itu kembali diajukan oleh ibunya.
Innara kembali memandang ibunya, tersenyum dan menganggukkan kepala. Tidak mungkin Innara mengatakan ia tidak akan pergi sementara di tangan kanannya ia sudah menenteng koper besar yang membawa semua barang pribadinya. Sisa barang-barangnya yang lain bahkan sudah ia kirim menggunakan cargo beberapa jam sebelumnya.
"Yakin gak akan berubah pikiran?” Tanya ibunya lagi dengan nada memelas. Innara memutar bola matanya karena kelakuan sang ibu. “Terus Bunda gimana? Nanti Bunda kesepian dong?" rengek ibunya seperti anak remaja.
Innara berdecak dan menggelengkan kepala. “Kesepian gimana sih Bunda ini, kan ada si kembar.” Ucapnya seraya mengedikkan kepala ke arah dimana dua adik kembar laki-lakinya tertidur dalam kereta bayi.
“Ya tapi kan mereka gak bisa Bunda ajak ngobrol. Gak bisa Bunda ajak curhat. Kalo ke mall gak bisa Bunda mintai saran.” Ucap ibunya dengan wajah mencebik yang membuat Innara terkekeh.
"Kan ada Zanie, Bun.” Ucap Innara mengingatkan. Adik sambungnya itu berada dua langkah jauhnya di belakang mereka, berdiri tepat di samping ayahnya. Mereka sedang berada stasiun kereta api yang akan mengantarkan Innara ke kota dimana ia akan berkuliah. Ayahnya sudah menyarankannya untuk naik pesawat terbang, namun Innara menolaknya karena menurutnya perjalanan menggunakan pesawat terbang terlalu singkat. Ia juga menolak diantarkan menggunakan mobil karena hanya akan membuat mereka merasa lelah. Padahal alasan yang sebenarnya, Innara hanya tidak mau membuat semua orang kerepotan karenanya.
Semenjak memutuskan akan kuliah, Innara sudah meyakinkan dirinya sendiri kalau dia harus mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, itulah sebabnya ia lebih memilih menggunakan kendaraan umum daripada mobil ber-AC milik orangtuanya.
“Iya, tapi tetap aja gak seru.” Rengek ibunya lagi. “Nanti kalo Bunda ribut sama Ayah, gak ada yang belain Bunda.” Lanjutnya lagi yang membuat kekehan Innara semakin keras.
“Ya udah, tahan dulu aja ributnya sampai Nara pulang.” Ucap Innara pada ibunya. “Lagian Bunda, Nara kan gak pergi selamanya. Cuma sampai selesai kuliah, habis itu Nara balik lagi kesini. Kecuali ya habis itu Nara ketemu sama cowok trus diajakin nikah. Mungkin Nara akan terus ikut dia kemanapun dia pergi." Goda Innara yang membuat ibunya berdecih.
"Kamu ini, masa iya mau langsung nikah."
"Lah, kalo udah jodoh ya gimana lagi Bun?" Ia balik bertanya pada ibunya. "Lagian kan enak kalo nikah muda, Bun. Nanti anak Nara udah dewasa, Nara nya masih muda. Sama kayak kita." Selorohnya yang membuat ibunya terkekeh.
"Kalo emang Kakak beneran mau nikah muda, nikahnya jangan sama orang jauh. Orang sini aja, biar nanti gampang kita ketemuannya." Saran ibunya yang membuat Innara memutar bola matanya.
"Kalo masih satu kampung, nanti Nara gak ngalamin yang namanya mudik dong?" candanya lagi pada sang ibu yang membuat ibunya kesal dan memukul lengannya pelan. "Lagian Nara udah rencana mau punya suami orang luar negeri Bun. Biar agak keren dikit. Bosen kalo lihat wajah lokal." Selorohnya yang membuat ibunya kembali memukul lengannya.
"Kakak, ih. Udah cari cowok lokal aja. Tapi kalo bisa yang blasteran, buat memperbaiki keturunan." Jawab ibunya seraya terkekeh yang dijawab Innara dengan anggukkan kepala. "Bunda bakal kangen sama kakak." Ucap ibunya seraya memeluknya.
"Udah, jangan manja. Kalo Bunda kangen Nara terus nanti Ayah cemburu lagi. Jadinya Nara gak diijinin pergi." Ucap Innara seraya mengedikkan kepala pada sang ayah yang saat ini berdiri dua langkah dari mereka. "Lagian malu juga sama penumpang lainnya, masa udah ibu-ibu masih nangis-nangis begini." Ejek Innara seraya mengusap wajah ibunya. "Kan malu, disangkanya ntar Nara ngapa-ngapain Bunda." Ucapnya lagi yang dijawab anggukkan sang ibu.
Sambil mengusap airmatanya, ibu Innara melepas pelukan mereka. Kini ayah Innara yang mendekat dan turut memeluknya. "Kalo ada apa-apa, Kakak jangan ragu hubungi Ayah." Ucapnya yang dijawab anggukkan Innara. Ayahnya kembali memeluknya erat. "Kakak tahu kan kalau Ayah sayang sama Kakak?" tanya ayahnya yang kembali dijawab Innara dengan anggukkan.
"Kakak juga sayang sama Ayah." Ucap Innara di telinga ayahnya. "Doain Kakak sukses ya." Pintanya setelah melepas pelukannya. Ayahnya mengusap kepalanya dan menganggukkan kepala.
"Selalu." Ucapnya sebelum mencium puncak kepala Innara dengan lembutnya.
Kini Innara memandang Azanie. Gadis yang usianya dua tahun lebih muda dari Innara itu memandangnya dengan tatapan yang tak bisa Innara artikan. "Kakak pergi. Jagain Bunda sama Ayah. Baik-baik juga di sekolah." Ucap Innara yang ia yakin akan dikatakan oleh seorang kakak pada umumnya kepada sang adik.
Azanie tidak mengatakan apa-apa, tidak juga memberikan anggukkan sehingga Innara hanya bisa tersenyum memandangnya. "Kakak masuk ya." Ucapnya lebih kepada kedua orangtuanya.
Dengan koper ditangannya, Innara memasuki gerbang antara ruang tunggu dan langsung naik ke atas kereta untuk mencari gerbong dan kursi yang sesuai dengan tiket yang ada di tangannya. Alih-alih menerima penawaran sang ayah untuk naik pesawat, Innara lebih memilih untuk pergi ke Yogyakarta dengan naik kereta. Karena lamanya perjalanan, bisa ia nikmati dengan berpikir panjang.
Setelah pertemuan yang mengejutkan antara dirinya dan Aldy—kakak kelas yang mengatakan akan menunggunya namun berakhir menjadi kekasih adiknya—beberapa bulan lalu. Innara akhirnya memutuskan bahwa mau tak mau ia harus berada cukup jauh dari keluarganya hingga akhirnya ia mengambil kesimpulan untuk kuliah di luar kota.
Angannya untuk masuk ke kampus yang sama dengan Aldy langsung Innara hempas sesaat setelah pertemuan itu dan ia yang tadinya ingin mengikuti jejak sang ibu untuk kuliah di fakultas kedokteran memilih untuk mengurungkan niatnya.
Entah kenapa, membayangkan terus tinggal bersama kedua orangtuanya dan adik sambungnya kini menjadi menyeramkan untuk Innara. Seolah itu adalah mimpi buruk untuknya. Karena itulah, Innara memutuskan bahwa dia yang harus mundur dari peperangan yang sebenarnya tak pernah ia tahu kapan bermula.
Innara tidak tahu apa yang membuat adik manisnya berubah menjadi seperti sekarang ini. Innara tidak tahu apa yang membuat adik manisnya itu membencinya. Entah hanya perasaannya saja atau memang kenyataannya demikian, namun Innara merasa Azanie selalu bersikap dingin kepadanya dan innara merasa Azanie seolah menginginkan apa yang dia miliki. Padahal Innara selama ini sudah banyak berbagi, tapi tampaknya bagi Azanie itu tidak cukup.
Adiknya itu seolah tidak akan pernah mengijinkan Innara untuk hidup nyaman dan bahagia jika Innara masih bertahan untuk tinggal di tempat itu. Namun setiap kali Innara mempertanyakan alasannya, ia tak pernah mendapatkan jawaban.
Karena itulah, Innara merasa bahwa dia harus menjauh demi kedamaian dan kenyamanan jiwanya sendiri. Ia tidak mau orangtuanya terluka karena perang dingin yang tiba-tiba Azanie tabuh. Yang ia inginkan, kedua orangtuanya merasa tenang dan menganggap hubungannya dengan Azanie selalu baik-baik saja seperti yang selalu Azanie coba perlihatkan di depan keduanya. Toh ia tidak perlu mengkhawatirkan ibunya karena ayahnya teramat mencintai ibu Innara.
Tuhan seolah mempermudah jalannya sehingga Dia memberikan Innara pencerahan. Karena suatu ketika—setelah melihat tayangan seorang traveler wanita—Innara tiba-tiba ingin menjadi seperti itu juga. Tahu bahwa menjadi seorang traveler membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka Innara mencari opsi lain.
Ia ingin meninggalkan rumahnya namun masih bisa menikmati hiburan untuk dirinya sendiri. Ia ingin berwisata, mengenal lebih banyak kota dan Negara.
Ia berpikir kalau bekerja di sebuah kapal pesiar sekaligus menikmati pemandangan akan menjadi hal yang indah baginya. Atau jika tidak, Innara bisa bekerja di hotel—bukan hanya hotel dalam negeri, namun juga hotel luar negeri. Karena itulah, semenjak membuat keputusan untuk berkelana. Selama sisa masa SMA nya Innara belajar untuk mengenal bisnis pariwisata dan perhotelan dengan lebih lagi. Belajar mempelajari bahasa asing dengan lebih serius lagi. Sehingga saat orangtuanya bertanya kemana ia akan melanjutkan kuliah, Innara sudah menyiapkan jawabannya.
Dan itu terjadi di masa lalu, karena kini Innara sudah menyelesaikan studinya. Empat tahun sudah berlalu sejak perpisahan mereka di stasiun kereta yang masih saja menyisakan senyum di wajah Innara setiap kali mengingatnya. Waktu empat tahun yang dilaluinya serasa baru saja kemarin. Kini, Innara bukan lagi remaja yang baru lulus SMA melainkan wanita berusia dua puluh dua tahun yang telah menyelesaikan pendidikan diploma 4 nya dengan hasil yang memuaskan.
Waktu yang dilaluinya dengan berjauhan dari keluarganya tidaklah mudah. Bukan karena penyesuaian diri yang harus dilaluinya, mengenal lingkungan baru, teman-teman baru dan membiasakan diri hidup sendiri dan mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Innara tidak kesulitan untuk itu. Justru kesulitan yang ia alami terjadi jika masa liburan kuliahnya datang. Innara bingung harus memilih pulang ke Jakarta atau menetap di Yogyakarta.
Selama masa kuliahnya, kepulangan Innara ke Jakarta bisa dihitung dengan jari. Ia bukannya tidak ingin, namun setelah mendapati sikap tak menyenangkan Azanie di kali pertama liburan semester pertamanya, Innara merasa enggan untuk kembali pulang.
Innara hanya kembali ke rumah orangtuanya saat hari raya tiba—itu pun ia lakukan karena tak ingin membuat ibunya mendapatkan pertanyaan tak menyenangkan dari tetangga ataupun kerabat. Dan ia selalu melakukannya di hari-hari terakhir puasa hanya supaya ia tidak terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Azanie.
Selebihnya Innara memilih untuk terus menetap di Yogyakarta setiap kali liburan semester. Entah menghabiskannya untuk magang di sebuah restoran, café, hotel atau menjadi tour guide bagi para wisatawan asing.
Dan sekalipun memang dia ingin pulang, dia lebih memilih untuk kembali ke rumah neneknya alih-alih ke rumah kedua orangtuanya.
"Kakak gak mau pulang terus istirahat dulu?" tanya ibunya saat mereka menghabiskan makan malam di hotel sebagai perayaan kelulusan Innara.
Ini juga bukan pembahasan pertama yang mereka lakukan tentang niatan Innara yang ingin langsung melanjutkan kuliahnya alih-alih beristirahat dulu. Ibunya sudah seringkali membujuknya untuk pulang dulu ke Jakarta dan menetap selama beberapa waktu sebagai waktu istirahatnya sampai Innara mendapatkan pekerjaan tetap, bahkan keinginan ibunya Innara bekerja di Jakarta.
"Kalau kakak nyari lowongan dan gak dapat, Bunda bisa ngandelin kenalan Bunda buat masukin Kakak kerja ke hotel." Bujuk ibunya lagi. Namun Innara kembali menolak.
Tanpa Bunda nya menawarkan koneksinya, Innara sebenarnya sudah mendapatkan penawaran untuk bekerja di salah satu hotel bintang empat di Jakarta. Namun karena Innara belum siap kembali tinggal bersama orangtuanya, ia menolak tawaran itu.
Bukan hanya tawaran pekerjaan hotel dan tawaran koneksi saja yang ia tolak. Tapi ia juga menolak tawaran dari orangtuanya untuk membiayai S2 nya.
Bukannya Innara sombong—hal yang dituduhkan Azanie padanya kala itu, yang menganggap Innara haus pujian sehingga menolak kebaikan orangtuanya—namun memang Innara ingin mandiri. Terlebih dia sendiri memang memiliki biaya untuk melanjutkan kuliahnya karena selama ini dia menyimpan penghasilan dari kerja sampingannya dan juga uang jajan yang diberikan orangtuanya. Namun tetap, apa yang baik menurutnya selalu dianggap salah dan dianggap sebuah kesombongan oleh Azanie. Dan Innara berusaha untuk tidak peduli.
"Yakin biaya kuliahnya dari tabungan? Bukan karena punya sugar daddy?" Tanya Azanie yang ternyata mengikutinya pergi ke kamar mandi. Innara memandang adik sambungnya dan tersenyum.
"Kenapa? Kamu peduli?" Tanya Innara ingin tahu.
Azanie mencebik dan mengangkat bahu. "Ya siapa tahu aja, pengennya dipuji Bunda sama Ayah karena sikap mandiri dan bisa berdiri di atas kaki sendiri. Eh taunya tabungan yang diumbar itu nyatanya seorang om-om." Jawabnya dengan ketusnya.
"Kalau dia om-om, kamu mau kakak kenalin?" Celetuk Innara yang entah kenapa berpikir ke arah sana.
Tahun berlalu dan Innara sudah kembali menyelesaikan pendidikannya. Innara tidak perlu memusingkan masalah pekerjaan karena dia selama ini ia sudah mulai merintis karirnya dengan bekerja di hotel dan bahkan kini sudah diangkat menjadi staff karyawan tetap. Jenjang karirnya menjadi terbuka lebih lebar mengingat status pendidikannya yang juga sudah lebih tinggi. Seperti yang dilakukannya saat masa kuliah sebelumnya, Innara juga tidak pernah kembali ke kediaman orangtuanya saat libur tiba. Terlebih saat ini dia memiliki alasan lain yang lebih kuat untuk menghindar. Tentang adik sambungnya, Azanie. Innara bahkan tidak berkomunikasi dengannya. Sejak tantangan yang diberikan padanya di saat perayaan wisudanya dulu, adik sambungnya tak pernah lagi menutup-nutupi rasa tak sukanya pada Innara. Meskipun gadis itu dengan mudahnya berganti wajah di depan orangtuanya. Tentang kuliah Azanie? Entah apa yang dilakukan adik sambungnya itu, namun saat teman-temannya sudah disibukkan dengan skripsi,
Innara merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia mencoba membuka mata namun hanya sekejap ia kembali menutupnya sebab silaunya cahaya menyakiti penglihatannya. "Sayang." Suara rendah ibunya membuat Innara mengernyit. Ia merasakan tangan hangat itu menggenggam tangannya erat. "Kak, kakak sudah bangun?" tanya suara itu lagi yang membuat Innara memaksakan diri membuka mata. "Da..." hanya itu suara yang keluar dari mulutnya. Innara memandang ibunya yang kini memandangnya seraya terisak. "Alhamdulillah, ya Allah. Kakak udah bangun." Ucap ibunya lagi seraya mengusap airmatanya. Wanita itu lantas berdiri dan menekan sesuatu di samping tempat tidur Innara. "Apa yang sakit, Sayang? Mana yang sakit? Biar Bunda lihat." Ucap Ibunya bertubi yang membuat Innara mengernyit. Apa yang sakit? Tanyanya pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi? Tanyanya lagi dalam hati. Sebelum ia sempat menjawab pertanyaannya sendiri, beberapa orang masuk ke ruangannya dan memeriksanya. "Siapa nama Anda? Apa An
Halil duduk di meja yang kosong di café milik sahabat kakak iparnya, Galih. Dia baru saja sampai di Bandung dan karena merasa lapar, dia membelokan mobil ke arah G&G Café. “Widih, pewaris Turkish House nongol juga disini. Darimana?” Galih, pemilik café sekaligus sahabat kakak iparnya, Gibran menyapanya. Pria berusia awal empat puluhan itu duduk di kursi di seberang Halil. “Lapar, Bang. Minta makan.” Ucapnya sambil tersenyum miring kepada pria yang sudah ia anggap sebagai kakak itu. “Lah, kok kesini. Kenapa gak pulang ke rumah kakak-kakakmu?” Galih balik bertanya namun tangannya bergerak meraih tablet yang berisikan menu makanan. “Males ah, kalo ke tempatnya kak Fali nanti malah kena ocehan. Ke rumah kak Qilla pastinya lagi sibuk ngurusin toko kue.” Jawab Halil malas-malasan. “Gue mau makanan yang enak dan bikin kenyang.” Ucapnya yang tahu kalau Galih sedang mencarikan menu yang tepat untuknya. Galih menganggukkan kepala dan setelah memilih, ia kembali meletakkan tablet di atas
Innara meninggalkan café dengan jantung yang berdebar dengan sangat kencang. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, namun juga emosionalnya. Kejadian-kejadian yang terjadi setelah ia kembali ke kediaman orangtuanya kembali masuk ke kepalanya. Di dalam taksi, Innara hanya bisa kembali membisu tanpa bisa menahan airmata yang menetes di matanya. Innara menghindari acara makan malam keluarganya di hari setelah ia keluar dari rumah sakit dengan alasan kalau ia lelah. Azanie, tak pernah menyembunyikan rasa bahagianya karena telah menikah dengan Rayka, pria yang dia katakan sudah ia kagumi sejak masuk SMA. Tanpa rasa bersalahnya Azanie mengabaikan perasaan kecewa dan terluka Innara. Tanpa malu, adik sambungnya itu justru bangga karena telah mengambil posisi Innara. Tapi itu belum seberapa. Rasa sakit Innara tidak terhenti sampai di situ. Ia berusaha menatap Rayka yang saat itu juga tinggal di kediaman orangtuanya, meminta pria itu menjelaskan tanpa suara, tapi Rayka malah memalingkan wajah
"Mbak Ra, monitor." Innara melirik benda hitam kecil yang ia letakkan di atas bangku panjang yang ia duduki dan menarik napas panjang. Jam istirahatnya bahkan belum berakhir tapi gangguannya seolah tidak ada akhir. "Ya, Nara disini. Ada apa?" Jawab Innara sebisa mungkin tidak menunjukkan malasnya. "Tamu kabin..." Dan Innara kembali memasuki area resort sambil mendengarkan ucapan salah satu anak buahnya. Hampir dua tahun lamanya Innara tinggal di Bali. Bekerja di sebuah resort mewah yang dimiliki oleh keluarga Indonesia-Turki. Betah? Tidak. Innara tidak bisa mengatakan dirinya betah atau tidak. Dia menjalani hari-harinya sebagai sebuah keharusan semata. Tidak ada lagi antusiasme. Tidak ada lagi harapan. Bahkan tidak program untuk mencapai target tertentu, tidak seperti dulu. Innara hanya melakukan pekerjaan sebaik yang dia bisa, namun tidak menghabiskan waktunya untuk berbuat lebih. Ia tidak lagi melakukan pekerjaan lembur jika tidak terlalu darurat. Tidak terlalu bekerja keras,
Tugas Innara adalah memastikan semua bawahannya melayani pengunjung dengan baik. Terlepas siapa mereka, darimana mereka berasal dan seperti apapun penampilan yang mereka tunjukkan, anak buahnya harus memperlakukan semua tamu sama. Entah itu remaja, dewasa, lansia dan bahkan anak-anak. Dedikasi? Bukan. Innara yang sekarang tidak seloyal itu. Tapi kembali pada prinsip awalnya bekerja, dia harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya supaya dia bisa nyaman menerima hak nya. Innara sudah biasa menjadi bahan perbincangan anak buahnya. Mengenai dirinya yang bersikap dingin cenderung jutek. Namun dia tidak mempermasalahkan itu. Menurutnya, selama ia melakukan hal yang benar, maka dia tidak akan memedulikan penilaian orang lain terhadapnya. Dia bukan tipe orang yang tidak akan mengakui kesalahannya. Jika memang dia salah, dia akan meminta maaf. Jika diberikan saran, selama itu masuk akal, dia akan menjalankannya. Namun jika dia dituntut untuk melakukan apa yang orang lain inginkan, maaf, d
"Dasar gila." Ucap Innara ketus seraya melangkah cepat meninggalkan Halil. "Saya gak gila Mbak, kalo saya gila saya gak akan ada disini sekarang. Tapi bakal ada di rumah sakit jiwa." Ucap Halil tanpa sedikit pun merasa tersinggung dengan ucapan Innara. "Kamu kenapa terus ngikutin saya? Tugas kamu udah selesai, kamu bisa balik ke tempat kamu semula." Usir Innara ketus. "Iya saya tahu, tapi saya mau nganterin Mbak dulu ke tempat Mbak dengan selamat. Saya gak mau terjadi apa-apa sama Mbak di perjalanan." Innara memutar bola matanya. "Memangnya apa yang bakal terjadi sama saya di perjalanan menuju kantor FO? Disini gak ada begal. Gak ada juga bencana alam." Ucapnya masih dengan nada ketusnya. "Ya kali Mbak, ini resort bukan jalanan sepi yang rawan perampokan. Mana ada begal disini." Ucap Halil ketus. "Eh, ada sih, begal hati. Itu juga Mbak tersangkanya karena udah membegal hati aku yang cuma satu ini." Ucap Halil yang membuat Innara membuat suara seolah ia hendak muntah. Halil tersen
Innara menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Apa yang harus dia lakukan? Apapun cara, taktik atau kalimat penolakan yang ia berikan pada Halil tampaknya hanya jadi angin lalu bagi pria itu. Tak pernah dianggap serius.Baiklah, jika Halil bersikukuh untuk mendekatinya, maka Innara pun harus bersikukuh untuk menolaknya. Kita lihat siapa yang lebih kuat disini. Dirinya atau Halil."Jangan menyesal kalau aku menghabiskan gajimu hanya untuk makan." Ucap Innara dengan nada mengancam. Halil hanya mengedikkan bahu dan mencebik seolah ia tidak takut dengan ancaman yang diberikan Innara padanya.Innara kembali memutar tubuhnya dan melangkah menjauh dari bangunan mesnya. Ia melangkah lebih dulu dan memberikan Halil tatapan mengancam untuk tidak berjalan di sampingnya apalagi kalau coba-coba merangkulkan lengannya di bahu Innara. Halil kembali mengedikkan bahunya, dan untuk membuat Innara percaya padanya ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeansnya."Mbak mau makan apa?