Share

Part 5

Innara merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia mencoba membuka mata namun hanya sekejap ia kembali menutupnya sebab silaunya cahaya menyakiti penglihatannya. 

"Sayang." Suara rendah ibunya membuat Innara mengernyit. Ia merasakan tangan hangat itu menggenggam tangannya erat. "Kak, kakak sudah bangun?" tanya suara itu lagi yang membuat Innara memaksakan diri membuka mata.

"Da..." hanya itu suara yang keluar dari mulutnya. Innara memandang ibunya yang kini memandangnya seraya terisak.

"Alhamdulillah, ya Allah. Kakak udah bangun." Ucap ibunya lagi seraya mengusap airmatanya. Wanita itu lantas berdiri dan menekan sesuatu di samping tempat tidur Innara. "Apa yang sakit, Sayang? Mana yang sakit? Biar Bunda lihat." Ucap Ibunya bertubi yang membuat Innara mengernyit.

Apa yang sakit? Tanyanya pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi? Tanyanya lagi dalam hati. Sebelum ia sempat menjawab pertanyaannya sendiri, beberapa orang masuk ke ruangannya dan memeriksanya.

"Siapa nama Anda? Apa Anda tahu ini tanggal berapa? Apa yang Anda rasakan? Apa yang terakhir kali Anda ingat?" semua pertanyaan itu Innara jawab satu persatu, kecuali pertanyaan terakhir. Apa yang terjadi padanya terakhir kali? Dan kenapa Innara bisa berakhir berbaring di tempat ini?

"Semuanya baik-baik saja, Bu. Putri Anda baik-baik saja. Dia hanya masih mengalami shock saja." Ucap dokter yang memeriksa Innara pada ibunya. 

Ibunya berkali-kali menggumamkan terima kasih sebelum akhirnya mereka kembali berdua dan ibunya duduk di kursi yang ada di sisi kanan tempat tidurnya. "Kakak mau apa? Mau makan sesuatu?" Tanya ibunya lagi yang dijawab gelengan kepala Innara.

"Apa yang terjadi, Bun?" tanya Innara bingung.

"Kakak kecelakaan. Ada pengemudi truk yang mengantuk yang menabrak kakak dalam perjalanan pulang." Ucap ibunya menjelaskan.

"Ada korban lain?" tanya Innara ingin tahu. Ibunya menggelengkan kepala. "Cuma kakak. Pengemudi truk itu bahkan baik-baik aja. Gak luka, gak lecet sama sekali." Jawab ibunya dengan amarah yang tidak disembunyikan.

"Alhamdulillah." Ucap Innara lirih yang membuat ibunya memandang Innara dengan sorot murka.

"Kakak besyukur untuk pria itu? Setelah dia buat kakak seperti ini? Bunda bahkan takut kehilangan kakak waktu itu." ucap ibunya kembali meneteskan airmata. "Bunda bener-bener takut kalo Kakak gak buka mata kakak lagi." Ucap wanita itu dengan histeris. Innara mengulurkan tangannya dan mengusap lengan ibunya pelan.

"Tapi Allah masih sayang kakak, Bun. Buktinya, kakak masih hidup sekarang." Ucapnya berusaha menenangkan. 

Ibunya kembali menegakkan tubuhnya. Mengusap airmatanya dengan kasar, meraih tisu yang ada di atas nakas dan membersit hidungnya. 

"Berapa lama Kakak gak sadar, Bun?" tanya Innara lagi ingin tahu. Ibunya kembali mematung dan memandang Innara bingung. Innara berusaha untuk duduk dari tempat tidurnya dan ibunya membantu dengan menaikkan bagian belakang tempat tidur. Innara kala itu mengernyit karena rasa sakit di bagian kakinya. Dan saat ia membuka selimut, ia melihat bebatan di bagian bawah lutut hingga ke ujung kakinya.

“Kaki kakak patah.” Jawab ibunya lirih. “Mungkin akan meninggalkan bekas luka operasi nantinya.” Lanjutnya lagi yang membuat Innara hanya mengernyit.

Tak apa, pikirnya. Bekas luka operasi kakinya—meskipun tidak akan sepenuhnya hilang—tentunya akan bisa ia samarkan dengan salep luka dan ia juga bisa menutupinya dengan stocking saat bekerja nantinya. Ucapnya optimis. 

“Tapi Nara gak bisa berdiri di pelaminan kalau begini.” Ucapnya lirih dengan senyum miris di wajahnya. 

Membayangkan dirinya mengenakan gaun pengantin yang sudah ia pilih untuk dikenakan di hari bahagianya dan menyapa tamu sambil duduk membuatnya merasa risih sendiri. Namun yang membuat Innara heran, ibunya sama sekali tidak merespon ucapannya, entah itu dengan candaan ataupun dengan serius.

Innara mengalihkan perhatiannya pada ibunya dan ibunya tampak memandangnya dengan sorot sedih.

"Bun?" Innara memanggil ibunya. Tapi ibunya malah memalingkan wajah dan mengusap airmatanya lagi. “Bunda kenapa?” Tanya Innara khawatir. “Bunda sakit?” Tanyanya lagi ingin tahu. 

“Kak..” Ibunya kembali duduk di kursi di samping tempat tidur Innara. Kembali meraih tangan Innara yang bebas dari infusan. Namun alih-alih bicara, ibunya malah kembali menangis. Innara mengernyitkan dahi dan memandang ibunya dengan bingung. Ibunya juga belum menjawab pertanyaannya tadi. 

“Berapa lama Nara gak sadarkan diri, Bun?” Innara mengulang kembali pertanyaannya. 

Ibunya mendongakkan kepala dan memandang Innara dengan sedih. “Kak?”

“Bun?” Innara mulai merasa ada yang aneh sekarang. 

“Kakak gak sadarkan diri selama sepuluh hari.” Jawab ibunya lirih dan kembali mengalirkan air mata. 

Innara mengernyitkan dahi. "Sepuluh hari?" Innara mengulangi perkataan ibunya. Ibunya menganggukkan kepala. Itu berarti hari pernikahannya sudah lewat beberapa hari yang lalu. 

Innara memandang sekeliling ruangan dan mencari sosok tunangan, atau lebih tepatnya calon suaminya, Rayka. Namun pria itu tidak ada disana. Hanya ada ibunya saja disana, tidak ada siapapun. Mungkin saat ini semua orang sedang bekerja karena saat Innara melihat jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.

“Dimana Mas Rayka?” Innara mengajukan pertanyaan itu dengan lantang. Ibunya tidak menjawab. “Bagaimana dengan pernikahan kami, Bun?” Tanyanya lagi ingin tahu. 

"Bunda… maafin Bunda, Kak.” Ucap ibunya seraya kembali menangis yang membuat Innara kembali mengernyit bingung. Ia sangat tidak suka melihat ibunya menangis, apalagi jika tangisan itu disebabkan olehnya. 

"Kenapa, Bun. Ada apa?" tanya Innara ingin tahu. Namun ibunya hanya menggelengkan kepalanya.

"Nanti, biarkan Rayka saja yang menjelaskan." Ucap ibunya dan memilih untuk bungkam. 

Innara pun tidak lagi bertanya dan memilih untuk menunggu sampai Rayka datang. Namun sampai dua hari kemudiannya—saat Innara dinyatakan boleh pulang dengan berbagai aturan—Rayka ataupun keluarganya tidak pernah tampak. Begitu juga dengan adik sambung Innara, Azanie. 

Yang datang berkunjung ke rumah sakit selama dua hari belakangan ini hanya ayahnya, ibunya dan juga neneknya yang sudah tidak terlalu sehat. Innara bertanya-tanya kemana orang-orang itu pergi, namun semua tanya itu hanya ia pendam dalam hati.

Dengan mobil yang dikendarai ayahnya, mereka pulang ke kediaman orangtua Innara. Sebuah mobil yang Innara tahu merupakan milik Rayka sudah terparkir disana. Hal itu lagi-lagi menimbulkan tanya. Pria itu ada di Jakarta, namun tidak menjenguknya? Kenapa?

Dan selangkah setelah memasuki rumahnya, Innara akhirnya menemukan jawabannya. Semuanya terlihat jelas dari foto-foto yang disandarkan di depan lemari dengan sembarangan yang kini sedang ditata oleh adik sambungnya. 

"Loh, Kakak udah pulang? Bukannya Ayah bilang Kak Nara keluar besok?" Azanie memandang Innara dengan dahi berkerut dalam yang Innara yakin bukan bentuk kekhawatiran.

"Kenapa semuanya ada disini?" tanya ayahnya pada Azanie dengan nada meninggi.

Azanie memandang foto pernikahannya dengan Rayka dengan alis berkerut. Ya, foto-foto yang dicetak dalam ukuran besar itu adalah foto pernikahan Azanie dengan Rayka yang pastinya terjadi beberapa hari yang lalu. Saat dimana seharusnya hari itu menjadi hari membahagiakan untuk Innara namun terpaksa dia jalani dalam keadaan tidak sadar karena terbaring koma sebab benturan di kepala yang terjadi saat kecelakaan.

Inikah yang dirahasiakan orangtuanya? Inikah alasan kenapa Rayka tidak muncul di rumah sakit? 

Inikah alasan kenapa calon mertua yang sebelumnya sangat perhatian pada Innara seolah menghilang begitu saja? Innara hanya bisa menelan ludahnya dengan rasa sakit yang tidak mau hilang di dadanya.

Innara tidak ingin mendengarkan perselisihan yang terjadi antara ayah dan juga adiknya. Ia meminta ibunya untuk mengantarkannya masuk ke kamar karena ia ingin mengistirahatkan tubuhnya.

"Kak.." Ibunya memanggilnya. Innara tahu bahwa ibunya ingin menjelaskan semuanya. Tapi Innara merasa hal itu tidak ia perlukan lagi sekarang. Karena jawaban dari semua pertanyaannya sudah ia lihat dengan mata dan kepalanya sendiri.

"Kakak mau istirahat, Bun. Tolong tutup pintunya kalau Bunda keluar." Pinta Innara dengan sangat jelas bertujuan untuk mengusir ibunya.

Ibunya tak banyak bicara. Setelah mengecup dahinya, wanita yang sudah melahirkannya itu meninggalkan Innara sendirian di kamarnya dan menutup pintu dengan rapat dari luar.

Setelah ibunya pergi, Innara menumpahkan semua kemarahan, kekecewaan dan kesedihannya dengan menangis. Lagi dan entah untuk keberapa kalinya, kebahagiaan Innara direnggut begitu saja. 

Apakah memang takdirnya harus demikian? Pertanyaan itu berkecamuk dalam kepalanya sampai kemudian Innara jatuh tertidur dengan bantal yang basah oleh airmata. Dan berhari-hari setelahnya, Innara memilih untuk tidak banyak bicara dengan anggota keluarganya dan memilih untuk menulikan telinganya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status