"Abang mau pergi?" tanyaku menghampiri. "Eh, Al?" Bang Aldi menoleh, lalu menjatuhkan pandangan pada baju-baju yang semuanya milik Kak Rindu. Iya, semuanya baju perempuan. "Ini mau dikemanakan?" tanyaku lagi. "Mau Abang kasihkan ke orang tuanya Rindu. Apa ada yang kamu suka? Pilih dan ambil saja. Gak papa, kok," tutur Bang Aldi seraya beringsut turun dari ranjang, lalu duduk di atas karpet bulu di depan tumpukan baju-baju itu. Aku pun melakukan hal yang sama seperti Bang Aldi. Aku ikut duduk meskipun bukan untuk memilih pakaian kakak iparku itu. Melainkan untuk membantu Bang Aldi mengemas pakaian yang masih sangat harum Kak Rindu. "Enggak, Bang. Alina bantuin Abang saja. Emangnya kapan mau diberikan ke sana?" tanyaku. "Nanti setelah empat puluh hari.""Lah, masih jauh, Bang. Kenapa sudah dikemas dari sekarang?" ujarku lagi seraya menghentikan tangan yang memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper. "Sengaja, biar Abang tidak ingat terus." Aku tidak lagi bertanya. Satu ja
[Lin, aku minta maaf atas kejadian di taman tadi. Jujur, aku kaget mendengar kamu akan menikah lagi. Cemburu lebih tepatnya.][Alina, sebenarnya aku masih mencintaimu. Aku dengan Amira tidak bahagia. Dia terlalu mengekang dan melarangku banyak hal. Jika kamu mau, kita bisa hidup seperti dulu lagi.]Aku mengernyitkan kening membaca deretan pesan yang dikirim Mas Haikal padaku. Pantas saja Mama sampai memblokir nomor mantan suamiku. Pasti karena ia membaca pesan yang membuat ubun-ubunnya mengepul seperti cerobong asap. [Lin, aku serius. Menikahlah lagi denganku. Demi Saffa. Aku tidak mau dia melupakan aku dan lebih dekat dengan laki-laki lain.][Lin, jawab, dong. Kamu mau, ya menikah lagi denganku dan hidup bahagia seperti dulu.][Aku janji tidak akan selingkuh lagi, Lin. Kita akan bahagia dengan anak-anak yang banyak dan lucu-lucu seperti Saffa. Tolong jawab pesanku, Lin.]Kusunggingkan senyum kecil seraya berselonjor di atas tempat tidur. Ternyata dia tidak bahagia bersama istri baru
"Pagi, Mbak Alina," sapa karyawan Mama saat aku masuk. "Pagi, semuanya. Duh, udah pada rapi dan cantik. Siap untuk kerja?" "Siap, dong Mbak. Siap empat lima malahan.""Iyalah siap, karena hari ini tanggal gajian. Iya, 'kan?" ujarku yang langsung disambut tawa oleh keempat wanita muda itu. Setelah berbincang dengan karyawan, kami pun mulai bekerja. Melayani pengunjung yang datang bergantian. Tidak terasa, waktu semakin sore dan waktu pulang pun sudah dekat. Buru-buru aku memberikan upah kerja mereka sebulan ke belakang, sebelum jam pulang tiba. Setelah semuanya mendapatkan hak mereka, aku menyuruh keempat perempuan itu untuk pulang cepat. Biar mereka bisa berbelanja, membeli kebutuhan mereka sebelum pulang ke rumahnya masing-masing. Dan aku sekarang sendirian di sini. Menunggu Pak Yadi datang menjemput seraya membereskan beberapa barang yang masih berserakan."Alina!"Aku menoleh ke arah pintu. Aku bergeming melihat wanita yang berdiri di sana. "Kamu?" kataku. "Boleh aku masuk?
"Ya Allah, Mira. Kenapa jadi begini, sih?" Aku masuk ke dalam toko, berniat ingin menghentikan pergerakan Amira yang menarik baju-baju di sekitarnya. Aksinya tidak terkendali. Kami bertiga yang ada di sini tidak mampu menghentikan Amira yang semakin menjadi. Seketika itu aku langsung berpikir. Mungkinkah Amira benar-benar mengalami gangguan mental? Oh, astaga ... aku harus segera menghubungi Mas Haikal sebelum semua barang-barangku rusak karena ulahnya. "Ada apa ini, Non?" Pak Yadi datang saat tanganku tengah mengotak-atik ponsel. "Ah, kebetulan Pak Yadi datang. Tolong telpon nomor ini, Pak. Video call kalau perlu. Beritahu orang di sana, jika istrinya kesurupan di sini. Cepat!" titahku yang langsung dilakukan Pak Yadi. Aku berusaha menghentikan Amira dengan menarik tangannya untuk keluar. Meskipun dia selalu berteriak jangan menyentuh kulitnya, tapi tak kuhiraukan. Aku tetap menarik dia mendekati pintu keluar. Sekian lama menunggu, akhirnya Mas Haikal datang bersama ibu dan me
"Kamu belum makan, lho." "Ah, belum lapar, Pah. Ayolah, apa yang ingin dibicarakan?" ujarku merengut ke arah Papa. Di pangkuanku, ada Saffa yang selalu bergelayut manja. Dia sudah memakai piyama tidur dengan rambut ikal yang gerai. "Setelah pengajian tadi, Papa dan Om Gunawan bicara empat mata. Dia menyampaikan apa yang diinginkan putranya untuk ... memajukan hari pernikahan kalian."Aku membulatkan mata menanggapi ucapan Papa. Benarkah itu keinginan Adi? Aku menggapai permukaan sofa, mencari ponselku yang ... ah, aku lupa. Benda pipih itu sedang aku isi daya di kamar. "Kenapa begitu, Pah?" tanyaku akhirnya."Jangan nanya ke Papa, tanyakan langsung ke Adi. Papa hanya menyampaikan apa yang disampaikan pihak besan."Seketika pikiran ini langsung melayang ke pelaminan. Eh, bukan. Ke masa depan di mana aku akan bergelar sebagai istri lagi. Status janda yang aku sandang akan segera berakhir dan berganti jadi seorang istri dan Adikara Wijaya. Benarkah secepat ini? Tiba-tiba saja dad
Alunan musik menambah keromantisan suasana pesta. Sepasang pengantin baru mengekpresikan suka cita mereka dengan berdansa. Dua pasang mata saling memandang, mengungkapkan cinta lewat tatapan mata. Aku yang berada di sini merasakan kebahagiaan mereka. Tidak terasa, kedua sudut bibir terangkat mengukir senyum bahagia. "Yuk," ujar Adi seraya menggenggam tanganku. Aku menoleh pada pria itu yang masih menatapku sembari mengangkat kedua alisnya. "Pulang?" tanyaku. Adi menggelengkan kepala. "Ke pelaminan," ujarnya membuatku mengulum senyum malu. Aku melepaskan tangan yang dipegang Adi. Menangkup kedua pipi yang terasa panas dengan sikut yang bertumpu pada meja. Hal yang sama pun dilakukan Adi. Pria itu sengaja menggodaku dengan menatapku intens. "Ih, ngapain, sih ikut-ikutan?" Aku menarik tubuh hingga tegak. "Lucu aja lihat kamu kayak gitu. Kayak ABG."Aku mencebikkan bibir, padahal dalam hati bersorak riang. Semakin lama pesta semakin meriah, namun Adi memutuskan untuk pulang setel
Kami disambut ramah oleh karyawan butik. Dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tunggu selagi ia memanggil pemilik butik tersebut. Tidak berapa lama, keluarlah wanita seumuran Mama yang katanya sahabat dari almarhum ibunya Adi. Wanita itu membawaku ke tempat di mana ada kebaya yang sudah Adi pesan untukku. Pertama melihatnya, aku sudah takjub dengan manik-manik yang menghiasi kebaya berwarna putih itu. "Dicoba dulu, Mbak. Silahkan di sana," ujar wanita yang dipanggil Adi, Mami Ine.Aku menganggukkan badan, kemudian masuk ke dalam ruang ganti. Setelahnya, aku keluar dan langsung disambut ramah oleh karyawan Mami Ine. Adi yang melihatku, langsung tak mengalihkan pandangan ketika aku keluar. Entahlah, dia kecewa atau bahagia melihatku memakai kebaya yang sudah dia siapkan. Buruk, atau bagus di tubuhku ini. "Wah, benar sekali kata Adi. Bajunya pas sekali di badan Mbaknya. Gimana Di, cocok?" Mama Ine melempar tanya pada pria yang masih melihatku lekat. "Cantik." Satu kata dari Adi ya
Aku berdiri dan tersenyum ramah pada pria yang dulu pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup. Iya, dulu sekali. Saat aku dan dia masih sama-sama memakai seragam SMA. "Iya, aku Zidan. Masa, kamu lupa sama aku. Aku aja masih ingat wajah kamu, lho, Al.""Ingat, kok. Aku juga masih ingat kamu," ucapku seraya memainkan jari-jari tangan. "Oh, syukurlah kalau masih ingat. Aku kira kamu sudah lupa denganku. Oh, iya kamu sedang apa di sini?" tanyanya lagi ingin tahu. "Aku sedang ....""Al."Aku menoleh pada pria yang keluar dari ruangannya. Aku tersenyum ke arah Adi, melupakan pertanyaan Zidan barusan. Melihat Adi, Zidan langsung mengangguk hormat dengan senyum ramahnya. Adi pun melakukan hal yang sama. Dengan dibantu kursi rodanya, Adi menghampiriku yang berdiri menghadap Zidan. "Alina tamu Bapak? Maaf, saya kira, tadi orang yang mau pesan kain," ujar Zidan kemudian. "Bukan. Dia wanita saya. Dia sedang menemani saya berkunjung ke sini. Kamu dari mana? Kenapa tidak ikut meeting?" "M