MasukMas Bagus tega mengusirku juga putri kami dari rumah hasil patungan di awal pernikahan. Kebersamaan yang kami lalui selama 7 tahun ini seolah tak berarti lagi untuknya hanya karena aku tak pandai merawat diri. Padahal, aku begini karena ikut membangun ekonomi keluarga. Beruntung di saat aku terpuruk, Baskara hadir dengan tangan yang terbuka lebar. Lihat saja! Akan kubuktikan jika aku dan putriku bisa tanpa Mas Bagus!
Lihat lebih banyak"Dasar, istri jelek! Memalukan!"
Suara Mas Bagus begitu menggelegar hingga memekakkan telinga. Matanya memerah menatap penampilanku dari atas hingga bawah. "Apa maksudmu, Mas?" tanyaku berusaha mengubur emosi yang sudah ingin kuledakkan sejak tadi. Bayangkan saja, Mas Bagus tiba-tiba marah saat baru memasuki rumah. Aku tak mengerti ada apa dengannya. "Masih berani tanya, hah?! Apa kamu nggak mikir kalau kamu ini memalukan?!" "Kamu terus bicara itu dari tadi. Memalukan dan memalukan! Maksudnya apa, Mas? Apa yang membuatmu malu?!" Kini suaraku pun ikut meninggi karena tak tahan lagi. Kulirik sejenak pintu kamar Aiza yang sedikit terbuka. Tanpa berkata, kulangkahkan kaki ini menuju kamar Aiza. Kudorong pintu itu sedikit hingga bisa melihat Aiza yang berdiri ketakutan di belakangnya. Sungguh hatiku sakit. Baru kali ini Aiza melihat dan mendengar aku dan Mas Bagus bertengkar. "Aiz jangan keluar dulu, ya. Pintunya ditutup, jangan ngintip," pesanku yang hanya direspon oleh kebisuan Aiza. Tak masalah, aku paham jika dia masih terkejut dengan pertengkaran yang tiba-tiba ini. Kutarik gagang pintu itu hingga kini tertutup seluruhnya. Setelah memastikan Aiza aman di dalam, kufokuskan kembali tatapan ini pada Mas Bagus. "Lebih baik kita bicara di kamar, Mas. Aku nggak mau Aiza dengar," ucapku dengan raut datar. Aku terlalu lelah hingga rasanya malas untuk sekedar mengeluarkan ekspresi. Kaki ini melangkah lebih dulu menuju kamar. Tak lama, Mas Dimas menyusul masih dengan tatapan tajam. "Jadi, apa yang kamu maksud tadi, Mas? Tolong bicara yang jelas. Dan ingat! Jangan tinggikan suara karena aku nggak aku Aiza dengar!" tegasku sembari duduk di pinggiran ranjang. Sedangkan Mas Bagus masih berdiri di depanku. "Aku ingin kamu pergi dari rumah ini!" Degh! Amarah yang sejak tadi kukubur kini kembali naik hingga menjalar ke kepala. Pergi katanya? Dia mengusirku? "Kamu waras nggak, Mas? Kamu mengusirku atas dasar apa?" Kutatap dengan nyalang kedua mata Mas Bagus. "Aku sangat waras, Yuni! Karena itu aku ingin kamu pergi dari sini! Lagipula, laki-laki mana yang mau sama istri yang nggak pandai merawat diri? Aku nggak sudi! Aku malu, Yuni!" Tubuhku membeku mendengar hinaan yang keluar dari mulut suamiku. Apa dia secara sadar mengatakan itu? Hei, sepertinya Mas Bagus perlu kuingatkan kembali kenapa aku bisa seperti ini. "Katamu aku nggak pandai merawat diri? Apa kamu pikir aku ada waktu untuk memikirkan itu, Mas? Ada?!" "Dari bangun sampai tidur lagi, aku nggak pernah punya waktu luang untuk diriku sendiri! Mengurus kamu, mengurus Aiza, rumah, belum lagi urus usaha. Apa kamu pikir itu mudah? Apa pernah kamu membantuku saat pulang kerja? Apa pernah kamu kasih uang lebih untukku merawat diri? Enggak, kan? Yang ada uang hasil usahaku buat nombok kekurangan hidup setiap bulan!" Mas Bagus seketika bungkam. Namun, tak lama karena setelahnya dia kembali menyerang dengan kata-kata yang menyakitkan. "Tapi itu dulu, Yuni! Sekarang aku sudah naik jabatan di pabrik! Harusnya kamu bisa menyesuaikan diri supaya nggak membuatku malu! Jangan selalu berpenampilan kayak pembantu!" "Kamu tahu? Teman-teman di pabrik sering mencemooh karena aku memiliki istri yang cuma bisa dasteran setiap hari! Aku malu! Malu!" Kedua tanganku terkepal kali ini. Aku ingat, tempo hari setelah Mas Bagus naik jabatan, dia mengundang teman-temannya untuk makan malam. Saat itu memang aku tengah memakai daster. Tapi, apa yang salah? Toh, meskipun sudah berpakaian rapi, aku akan tetap berada di dapur menyiapkan jamuan untuk teman-teman Mas Bagus. "Aku baru sadar, Yuni. Harusnya dari dulu aku nggak pilih kamu jadi istriku!" Kedua mataku seketika memerah mendengarnya. Bukan, bukan karena ingin menangis. Tapi, karena amarah sudah memenuhi jiwaku saat ini. "Jadi, kamu menyesal menikah denganku, Mas?" "Ya!" Pria itu menyahut dengan cepat dan tanpa beban, seolah hubungan kami ini hanya permainan. Apa dia tak ingat, jika dulu begitu sulit mendapatkanku? Sungguh aku tak habis pikir pada suamiku ini! "Tadi, kamu mau aku pergi?" Kutegaskan sekali lagi yang langsung diangguki oleh Mas Bagus. "Oke, aku akan pergi. Tapi, Aiza harus ikut denganku!" Ya, apa pun alasannya, aku tak mau berpisah dengan Aiza. Dia masih terlalu kecil untuk jauh dari pengawasan seorang ibu. Lagipula, aku sama sekali tak percaya jika Mas Bagus bisa merawat Aiza tanpaku. "Silakan! Aku juga tak mau mengurus anak nakal itu!" Jawaban yang sangat di luar dugaan. Aku sampai terperangah mendengarnya. Jika saja Aiza sudah dewasa dan tahu Mas Bagus berbicara demikian, sudah bisa kupastikan anak dan ayah ini pasti bermusuhan. Tanpa berkata lagi, segera kubuka lemari dan mengeluarkan pakaian dari sana. Tak lupa, aku pun mengemas beberapa potong daster yang belum terjual. Setelah selesai, saatnya aku berbicara pada Aiza. Beruntung, Aiza tak rewel sama sekali ketika kuajak untuk pergi. Dia seolah mengerti jika kedua orang tuanya tak bisa bersama lagi. "Mama ... Aiz sekolahnya gimana?" Suara Aiza membuat gerakan tanganku terhenti. Kutatap putri kecilku yang manis ini. Kemudian, kugenggam tangan mungilnya dengan lembut. "Nanti kita cari sekolah baru, ya. Aiz akan punya teman baru di sana. Yang penting sekarang Aiz ikut Mama." Putriku itu mengangguk dengan patuh. Dia diam menyaksikan tanganku yang terus bergerak membenahi pakaian juga perlengkapan lainnya. "Sudah selesai, kan? Nggak usah lama-lama! Teman-teman juga bosku mau datang sebentar lagi!" Sikap Mas Bagus benar-benar kembali memantik bara api yang sudah hampir mati. Apa sebegitu inginkah dia agar kami pergi? "Kamu bisa sabar nggak, Mas? Kalau kamu nggak bisa bantu, setidaknya diam dan tunggu aku sampai selesai!" ketusku. Sejenak kulirik Aiza yang tengah menatap Mas Bagus dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sejak dulu dia memang tidak dekat dengan Mas Bagus. Bukan Aiza yang memberi jarak, tapi Mas Bagus yang selalu mencari alasan atau kesibukan ketika Aiza mendekat. Padahal, sebagai anak perempuan, aku tahu Aiza begitu membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Hah, sudah. Lupakan saja! Tak ada gunanya aku memikirkan laki-laki tak berguna itu. Tanpa dia pun, aku yakin bisa membesarkan Aiza dengan kasih sayang penuh dan materi yang cukup. Setelah memastikan semua barang-barang sudah dikemas, gegas kubawa satu per satu tas itu ke teras. Tak lama, sebuah taksi online yang kupesan pun datang. Sopir taksi itu bahkan turun dan ikut membantu mengangkat satu per satu tasku. Sedangkan Mas Bagus hanya diam sembari melipat kedua tangan di depan dada. Baru saja naik jabatan di pabrik pakan ternak, sudah besar kepala sampai tega mengusirku dari rumah. Awas saja! Sebelum pergi, kualihkan tatapan pada Mas Bagus. "Jangan lupa urus surat perceraian kita, Mas!" "Akan kulakukan!" "Ingat, rumah ini hasil usahaku juga! Jadi, lebih baik segera kamu jual supaya bisa dibagi dua!""Jangan lancang kamu, bocah!" Mas Bagus berteriak sambil mengacungkan telunjuknya di depan wajah Bas. Begitu juga Bas yang menatap Mas Bagus tak kalah nyalang.Seketika kepalaku jadi pusing. Aroma-aroma pertikaian sudah tercium dan sebentar lagi akan dimulai. Apa yang harus kulakukan sekarang?"Heh, asal kamu tahu, ya! Aku nggak akan lancang kalau kamu nggak brengsek! Kamu sudah berani mengusir anak dan istrimu dari rumah, maka kamu harus berhadapan denganku!" Bas menantang Mas Bagus dengan suara lantang."Hei, bocah! Tahu apa kamu tentang rumah tanggaku? Kamu cuma orang asing yang nggak tahu apa-apa soal aku dan Yuni!"Bas langsung berkacak pinggang setelah mendengar ucapan Mas Bagus. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman yang meremehkan. "Kamu menantangku, hah? Mau tahu sepaham apa aku tentang—""Bas!" pekikku yang langsung menghentikan ucapan laki-laki itu. Kugelengkan kepala ini dengan pelan agar Bas paham jika aku tak mau dia melanjutkan ucapan. Bukan aku takut
Aku benar-benar terkejut atas pengakuan Bas. Sumpah demi apa pun, aku tak menyangka jika sejak dulu dia menyimpan rasa cinta. Bahkan, dia sampai tahu seluruh kehidupanku meski entahlah bagaimana caranya. Dan yang paling mengejutkan adalah ketika aku tahu jika Bas belum pernah menjalin kasih dengan gadis mana pun.Bayangkan saja, bertahun-tahun dia menyandang status jomblo hanya karena menungguku? Oh, Tuhan ... sungguh gila pemuda itu!Hingga hari berganti, pikiranku belum juga tenang karena masih teringat ucapan Bas. Aku jadi merasa canggung dan waspada karena kami tinggal bertetangga. Apalagi statusku sebentar lagi akan menjadi janda.Bagaimana tatapan orang-orang tentang seorang janda beranak satu yang didekati oleh seorang berondong? Hah, aku jadi ngeri sendiri membayangkannya.Sudahlah, daripada terus pusing karena ucapan Bas, lebih baik aku keluar sebentar untuk mencari sarapan. Kutatap sebentar Aiza yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Putriku itu baru bisa tidu
Sudah beberapa kali kucoba putar ingatan ini ke belakang. Namun, tak satu pun ingatanku tentang Bas keluar. Desi bilang, Bas adalah orang yang pernah mengirim surat padaku. Tapi surat yang mana?Seperti yang pernah Bas bilang jika dulu aku cukup populer di kampus. Karena itu tak heran lagi jika banyak laki-laki yang memberi surat untukku. Ada yang sekedar iseng, ada juga yang sampai mencurahkan isi hatinya. Tapi, saat itu hatiku tetap diisi oleh nama Mas Bagus. Bagus Dewantoro, pria yang paling kucintai. Namun, kini hampir menjadi pria yang kubenci.Tring!Bak memiliki firasat kuat, pria itu tiba-tiba mengirim sebuah pesan. Gegas kuperiksa pesan tersebut dengan malas.[Cepat kirim alamatmu! Kamu sengaja mengabaikanku?!]Kuhembuskan napas kasar setelah membaca pesan itu. Dengan malas jari ini bergerak di atas layar untuk mengetik balasan.[Jalan mawar, gang pelangi. Kos Desi.]Dia hanya butuh alamat, kan? Kurasa itu sudah cukup.Tak mau menghabiskan waktu hanya dengan menunggu balasan
"Om Bas nakal! Om Bas bohong! Katanya mau ada badut, tapi nggak ada! Aiz nggak suka sama Om Bas!"Entah berapa kali putriku menyerukan kekesalannya pada Bas. Aku sampai bosan mendengarnya. Namun, sengaja tak kularang atau kuminta untuk diam.Jujur saja, melihat Aiza yang seperti ini merupakan pemandangan yang langka sekali. Di rumah, jika dia merasa kesal pada Mas Bagus pun paling hanya diam. Tak pernah kulihat Aiza berseru dengan lantang menyuarakan kekesalan. Putri kecilku itu nyaris tanpa ekspresi jika sedang berhadapan dengan ayah kandungnya sendiri.Tapi, ajaibnya Aiza benar-benar berani bersuara di depan Bas. Meskipun terlihat belum akur, tapi aku cukup senang karena Aiza sudah mengalami perubahan."Iya, iya. Om Bas minta maaf. Nanti janji deh, nggak bohong lagi," sesal Bas yang sejak tadi berjalan sambil merayu Aiza. Namun, putriku itu tetap kesal dan tak mau memaafkannya."Bohong! Om Bas kan, tukang bohong! Aiz nggak percaya sama Om Bas!" Setelah tiba di dekat kosan, Aiza lan


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.