Tiba di kantor aku segera masuk ke dalam ruanganku, sementara Nisa kembali ke meja kerjanya.
Baru saja masuk, sudah dikagetkan oleh seorang laki-laki yang tengah duduk dikursi kerjaku dengan posisi membelakangi.
"Si-siapa?" tanyaku dengan suara yang sengaja kukeraskan, takut kalau ternyata itu penjahat yang ingin menculikku.
Lelaki itu langsung memutar kursinya, ternyata Dewa.
"Ngapain kamu di situ?" tanyaku kesal setelah mengetahui siapa orangnya.
"Dari mana aja, Lo? Lihat udah jam berapa?" tanyanya sambil menunjuk jam yang menempel di dinding.
Aku menatap jam di dinding, astaga ternyata hampir dua setengah jam aku keluar, gara-gara perempuan sundal itu jadi telat balik ke kantor.
Sebisa mungkin aku bersikap tenang," Mau tau aja urusan orang," ketusku pura-pura cuek, dan melangkah menuju kamar mandi, untuk mencuci muka dan berwudu.
Usai berwudu aku pun segera keluar, kulihat Dewa masih berdiri di dekat meja menatapku sembari m
"Bisa gak sih gak usah ngagetin orang, kalau aku jantungan terus mati gimana?" gerutuku kesal dengan panggilan Dewa tiba-tiba.Bukannya minta maaf, Dewa malah tersenyum. "Kalau, Lo mati ya tinggal kuburin susah amat!" jawabnya santai, kurang asem memang ini anak, bicara seenaknya saja. "Lagian ngapain sih dari tadi, Lo senyam-senyum?" tanyanya kemudian dengan alis terangkat. Membuatku terkejut, jadi dari tadi Dewa memperhatikan aku, Oh May God, kurang kerjaan banget."Em ... Mau tau aja urusan orang," jawabku terbata."Khem ... Atau jangan-jangan, Lo punya rencana jahat ya, gara-gara ditinggal nikah mantan," tebaknya sembari menatapku dengan memicingkan sebelah mata."Enak aja, ya e-enggaklah, kalau ngomong suka benar, eh maksudnya asal aja," jawabku kesal. Duh, kok jadi keceplosan. Lagian Dewa ngapain sih pake merhatiin aku segala."Dah lah ayo pergi!" ajak Dewa, mengalihkan pembicaraan."Kemana?"Dewa menoyor kepalaku, membuat
"Me-meira, kenapa kamu bisa ada di sini, Nak? Terus kenapa kamu pakai baju seperti itu?" Lelaki itu tak kalah terkejut melihat Meira, dengan dandanan pengantin. Belum sempat, Meira menjawab. Tiba-tiba Mas Bram datang bertanya pada, Meira."Papa? Siapa yang kamu sebut Papa ?"Meira semakin terlihat panik, wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat mendengar pertanyaan dari Mas Bram yang datang tiba-tiba."Dan kamu, siapa kamu? Kenapa Meira bisa menyebut kamu dengan sebutan Papa?" Mas Bram menunjuk ke arah Pak Rudi supir pribadi di rumah Oma."Mas, aku bisa jelasin semuanya," ucap Mita dengan wajah panik, sembari berusaha memegang tangan Mas Bram."Apa yang kamu sembunyikan dari, Mas. Meira?" tanya Mas Bram dengan suara tertahan.Meira nampak terkejut melihat, Mas Bram begitu emosi, rahangnya mengeras. Membuat wajah Meira nampak pias, dan terdiam."Meira ...." panggil Mas Bram."Kamu tau, Mas siapa ini?" Akhirnya aku ikut bi
"Maafkan anak saya, Non!" ucap Pak Rudi merasa tak enak. "Selama ini saya tidak tau kalau ternyata, Meira begitu dan menjadi penyebab rumah tangga, Non hancur," sesal Pak Rudi, dengan wajah tertunduk."Tidak perlu minta maaf! Mungkin ini adalah jalan takdir rumah tanggaku, jadi Bapak tidak perlu merasa tak enak," jawabku berusaha membesarkan hati, ya bagaimanapun aku tidak bisa serta merta menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidupku, setiap orang punya jalan takdirnya masing-masing."Sekali lagi saya mohon maaf, Non! dan saya ingin mengundurkan diri sebagai supir pribadi keluarga, Non," ucap Pak Rudi masih dengan kepala tertunduk.Ucapan Pak Rudi tak urung membuatku terkejut, atas keputusan yang diambilnya. Namun, sebisa mungkin aku tetap harus bijak menghadapi semua ini."Bapak tidak perlu berhenti kerja hanya karena merasa tak enak, setiap orang akan menjalani takdirnya masing-masing, saya tidak menyalahkan anak, Bapak sepenuhnya. D
"Na-naya ... A-apa kabar? Kamu sudah pulang?" tanya terbata dan basa-basi."Ada apa perlu apa, Bu Ratna datang kemari?" tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.Wajah Bu Ratna yang tadi terlihat bahagia, kini menegang dan serius."Kedatangan, Mama kemari ada yang ingin, Mama sampaikan ke kamu!""Apa?" Sebenarnya aku penasaran, ingin bertanya banyak tentang mereka, tapi gengsi membuatku terpakasa menahan semua itu. "Khem ... Maksudku cepat katakan, jangan banyak basa-basi, aku sibuk," ucapku, berusaha untuk tegas."Em ... Bram dan Meira, mereka sudah bercerai dan, Bram ...""Itu bukan urusanku. Kalau, Tante datang kemari cuma buat ngasih tau itu, silahkan pulang! Dan, kalau Tante ingin aku dan Mas Bram kembali maaf-maaf saja!" tegasku kembali, memotong pembicaraan Bu Ratna dengan PD.What? Jadi Mas Bram sudah bercerai sama Meira, kok bisa? Sebenarnya dalam hati sangat penasaran mendengar kisah keluarga mantan suamiku itu, tetapi har
Raut wajahnya pun tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan akan pertemuan tidak sengaja ini, dengan cepat ia mengundurkan diri dengan alasan ingin melanjutkan pekerjaan."Maaf, saya pamit!" buru-buru ia membereskan peralatannya, dan berlalu meninggalkan kami.Sejenak aku termangu menatapi kepergiannya, "Bu, Ibu gak apa-apa?" tanya Nisa membuyarkan lamunan."You are oke?" Kini giliran, Dewa yang bertanya. Lalu tatapannya pindah ke arah lelaki yang membuatku bergeming. "Bukankah itu ...." Cepat aku memotong kalimatnya."Em, eh iya aku gak apa-apa, ayo kita pergi!" jawabku, lalu tersenyum meski dalam hati menyimpan perasaan penasaran mendalam.Sembari berjalan aku masih memandang ke arah di mana lelaki itu pergi, hingga punggungnya hilang dibalik dinding yang menjadi skat antar ruang.Tiba di ruangan Pak Bambang yang merupakan kepala cabang, kami langsung mendikusikan masalah pekerjaan, Dewa pun ikut masu
Aku tengah melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sepagi ini jalanan sudah macet, ditambah bunyi klakson mobil dari orang-orang yang mungkin juga ingin buru-buru sampai tujuan, membuat kepalaku sedikit berdenyut.Semakin lama menunggu, bunyi klakson semakin memekakkan indera pendengaran. Aku tak ingin ambil pusing, mengambil hadset dan memasangkannya ke telinga.Begitu jalanan sedikit longgar malah mobil yang bermasalah, memaksa untuk turun dan memeriksa penyebabnya. Sialnya aku sama sekali tidak mengerti soal mesin.Buru-buru aku merogoh ponsel dalam tas dan menghubungi seseorang."Wa, apa kamu bisa kesini sekarang? Mobilku bermasalah," ucapku dengan perasaan cemas."Posisimu di mana sekarang?"Aku pun menyebutkan alamat jalannya, setelahnya menutup ponsel. Melihat lalu lalang kendaraan, sembari menunggu kedatangan Dewa."Mobilnya kenapa, Mbak?" Tiba-tiba seorang lelaki bertanya padaku yang tengah berdiri di dekat mobil. i
Kepercayaanku harus terkikis karena sebuah kenyataan. Ternyata makan itu bukan milik almarhum papanya Mas Bram. Tetapi, nama lain yang tidak kuketahui pemiliknya. Namun, hati kecil tetap berkeyakinan kuat kalau lelaki itu adalah, Mas Bram cinta pertamaku.Dengan tubuh lemas, aku berusaha bangkit dari atas makam kembali berjalan ke arah mobil.Hati dan pikiran ku saling bertanya, apakah mungkin di dunia ini ada orang yang sangat mirip? Ya kuakui kepribadiannya memang berbeda, tetapi manik mata itu aku sangat yakin kalau itu adalah Mas Bram.Begitu masuk mobil, sejenak aku termenung tidak percaya dengan semua ini. Hari semakin beranjak petang, matahari pun mulai pulang keperaduannya, aku segera menyalakan mesin mobil dan kembali menuju pulang, dengan perasaan yang tak karu-karuan, juga tanpa oleh-oleh untuk Oma."Kamu sudah pulang, Nak?" tanya Oma saat langkahku mencapai ruang tamu. Kulihat Oma tengah duduk santai sembari menonton televi
"M-mbak," ucapnya dengan ekpresi terkejut."Panggil, Naya saja! Nama saya Naya," ucapku tersenyum."Oh, Iya. Naya," balasnya sambil mengangguk."Kamu sendirian kesini?" tanyaku basa-basi.Tiba-tiba terlihat Ammar memegangi kepalanya seperti orang yang sedang pusing."Kamu kenapa?" tanyaku panik."Gak apa-apa, saya permisi!" jawabnya, lalu buru-buru meninggalkanku.Aku hanya memandangi punggungnya sampai menghilang di balik pintu. Entah mengapa, aku begitu yakin kalau Ammar adalah Mas Bram.Aku pun melanjutkan langkahku menuju toilet. Usai dari toilet aku kembali menemui Dewa dan Qila."Maaf lama," ucapku tak enak."Santai aja kali, Mbak," jawab Qila sembari tersenyum, begitupun Dewa. Rasanya aku begitu jahat, saat memikirkan laki-laki lain sementara Dewa begitu tulus menerimaku."Habis ini kita kemana lagi?" tanya Dewa sembari menyendokkan makanannya ke dalam mulut."Memangnya mau keman