Selamat membaca dan semoga suka, MyRe. IG:@deasta18
"Ini sudah tengah malam, kenapa kau belum pulang?" "Ini-- saya ingin pamit, Tuan," jawab Alice. "Biar saya saja yang mengantarkan Alice, Tuan," ucap Oliver cepat. Dia tahu Alice sedang mengkode agar diantar pulang oleh tuannya, oleh sebab itu dia dengan cepat menawarkan diri. Dia hanya takut nyonyanya tahu tuannya mengantar Alice, lalu akhirnya nyonya dan tuannya bertengkar karena masalah tersebut. "Tidak perlu," jawab Zeeshan tegas, "seharian ini kau belum beristirahat. Biarkan bodyguard yang mengantar Alice." "O-oh, baik, Tuan," jawab Oliver dengan cepat. Zeeshan segera beranjak dari sana, berjalan dengan langkah tenang. Alice memandang punggung Zeeshan yang kian menjauh dari pelupuk mata. Tatapannya sayu dan ekspresinya terlihat kecewa. 'Semakin hari, perhatian Tuan semakin menghilang. Aku dan Pak Oliver sama-sama bekerja keras, tetapi hanya Oliver yang diperhatikan.' batin Alice, setelahnya menunduk sedih. Sekarang Zeeshan begitu dingin dan cuek padanya. "A
"Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa aku menyukaimu sejak lama?" Deg deg deg' Mendengar itu, seketika mata Nindi membulat dan mulutnya terbuka, menganga karena terkejut pada perkataan Zeeshan. Nindi reflek berdiri, masih menatap Zeeshan dengan ekspresi kaget bercampur gugup. Jangan tanya bagaimana keadaan jantung Nindi? Bagai petasan tahun baru, meledak ke langit lalu berbunga-bunga. Zeeshan meraih tangan Nindi, menggenggamnya dengan lembut. "Aku men--" Namun, tiba-tiba saja Nindi melepas genggaman tangan pria itu secara cepat. Hal tersebut membuat Zeeshan menghentikan ucapannya. Nindi menjauh dari Zeeshan lalu buru-buru berjalan ke arah balkon. Perempuan itu menyibak sedikit gorden dan tirai, mengintip ke luar dan melihat apa yang terjadi di luar sana. 'Nggak ada hujan badai ataupun hujan meteor. Nggak ada angin beliung, pesawat piring UFO pun nggak ada.' batin Nindi, masih mengintip ke luar. Satu tangan Nindi memegang tirai dengan kuat dan satu lagi ia letakkan di atas dada
Clara menggaruk kepala, dia mulai bingung. "Iya juga sih. Bahaya juga kalau dia sedang berpura-pura sayang ke kamu lalu kamu terjerat oleh cinta palsu itu. Tapi-- caranya memandangmu, itu indah banget loh, Nin. Dalam dan … seolah kamu saja yang bisa ditangkap oleh indra penglihatannya. Kurasa itu bukan sekadar suka sih, tapi sudah cinta …-" "Eish, jangan bikin aku berharap dong, Nyet." Nindi dengan cepat memotong ucapan Clara. "Ouh, jadi kamu nggak benci lagi sama Tuan Zeeshan? Udah cinta nih ceritanya?" Clara senyum jahil, menggoda Nindi yang terlihat kalang kabut dan salah tingkah. "A-apaan sih?! Siapa yang suka? Aku masih benci," jawab Nindi kesal dan ketus, padahal aslinya sedang deg degkan. "Daniel kamu!" Clara mendengus, menatap malas ke arah Nindi. "Yaudah, berarti kamu cuma punya pilihan ganti wallpaper." "Tapi kan--" "Tepe ken!" ledek Clara, "ganti, Nyet. Ngaku-ngaku benci tapi fotonya kamu jadiin wallpaper." "Kan aku sudah jelasin. Ini itu penolak malapetaka
"Lalu siapa pria di walpaper handphonemu?" Wajah Nindi seketika tegang dan jantungnya langsung berdebar kencang. "O-oh, wallpaperku yah?" ulang Nindi, mencoba tetap tenang walau dia sudah berkeringat dingin karena gugup dan panik, "itu … aku juga tidak tahu. Fotonya asal aku comot di pintere-t. Fotonya bagus jadi kusimpan dan kujadikan sebagai wallpaperku," jawab Nindi dengan penuh keyakinan, senyum manis di akhir kalimat sambil menoleh ke arah suaminya–berharap pria ini percaya pada kebohongannya. Nindi terpaksa berbohong karena sangat memalukan jika dia mengatakan yang sebenarnya. Foto wallpaper-nya adalah foto Zeeshan sendiri. Foto tersebut Nindi ambil secara diam-diam saat mereka high school dulu, saat Zeeshan berada di lapangan basket–sedang bermain basket bersama dua temannya. Namun, dalam foto tersebut hanya ada Zeeshan karena Nindi hanya mengincar Zeeshan. Ada banyak gambar yang ia dapat, tetapi gambar saat Zeeshan membelakangi kamera lah yang ia jadikan sebagai wallpaper
"Pencitraan," gumam Kaze pelan, "karena kita keluarga Nindi," lanjutnya. "Tapi dia terlihat sangat berwibawa dan … hebat! Aura alpha-nya sangat kuat. Kakak ipar memang cocok untuk Nindi kita." "Dulu aku juga sepertimu," gumam Kaze pelan. Mereka berdua segera pergi dari sana, mengikuti maid ke ruang makan. Sedangkan Zeeshan masih di dapur, berdiri tepat di depan istrinya. "Aku juga membuatkan nasi goreng dan minuman markisa untukmu," ucap Zeeshan tiba-tiba, mengikis jarak antara dia dan Nindi–di mana tubuhnya dan Nindi semakin rapat, "jadi kenapa hanya adikmu dan sepupumu saja yang mendapat imbalan?" "Hah?" Nindi bengong, mendongak sepenuhnya pada Zeeshan, "imbalan apa, Mas? Aku nggak memberikan imbalan apapun pada Kae dan Danish." "Bagaimana dengan udang tadi?" ucap Zeeshan, mengingatkan Nindi pada udang yang Kaze bawa. Dari cerita ayah mertuanya–dulu, Kaze sangat suka udang dan Nindi malah sebaliknya, kurang suka karena kepala Nindi sering pusing setelah memakan u
"Jika itu untuk Tuan, lebih baik buang. Tuan alergi dengan udang," ucap Alice tiba-tiba, melirik sinis ke arah masakan Nindi. Nindi menoleh pada Alice, menatap berang serta kesal pada perempuan itu. "Sok tahu! Orang ini makanan kesukaan Mas Ze," gumam Nindi pelan, setelah itu dengan bangga mengangkat wadah cantik berisi udang masakannya tersebut. Dia tidak sabar menyajikan ini pada Zeeshan, dan dia yakin Zeeshan pasti menyukainya. Nindi berniat beranjak dari sana. Akan tetapi Alice berhasil menghentikan langkahnya. "Cih." Perempuan itu berdecih remeh, "makanan kesukaan Tuan Zeeshan? Aku mempertanyakan status anda sebagai istri Tuan. Bagiamana bisa sesuatu yang dapat membuat Tuan kesakitan, anda sebut sebagai makanan favorit Tuan?" Nindi kembali menoleh pada Alice, mengerutkan kening–antara kesal dan mulai ragu. Apa iya Zeeshan alergi udang? "Jangan-jangan anda dikirim oleh keluarga Adam untuk melenyapkan Tuan," ucap Alice dengan nada enteng, lagi-lagi melirik sinis ke