Selamat membaca dan semoga suka, MyRe. Dukung terus novel kita dengan cara vote gems, hadiah, dan komentar manis. Sehat selalu buat kalian semua. Semangat semangat semangat! Papai ... Iag:@deasta18
Nindi tiba di pinggir sebuah pantai yang terlihat sangat bersih, sepertinya pantai ini belum tersentuh oleh tangan manusia. Terlihat dari alam yang masih terjaga. "Wow! Bangus banget. Ternyata ada hikmahnya aku diculik," gumam Nindi, menatap lautan yang indah dengan kagum. Setelah puas menikmati keindahan pantai, Nindi bergegas mencari kerang. Biasanya survivor akan mengumpulkan makanan untuk malam karena malam survivor harus tetap di dalam tenda atau gubuk yang dibangun. Hutan jauh lebih berbahaya jika malam, ada beberapa hewan buas yang berkeliaran saat malam. "Eih, itu mangga kah?" gumam Nindi pelan saat melihat sebuah pohon dengan buah yang mirip sekali dengan mangga. Nindi berhenti mencari kerang lalu segera mendekati pohon tersebut. "Aku ambil beberapa deh. Siapa tahu nanti malam aku pengen makan buah mangga. Siapa tahu!" monolognya. Nindi meletakkan kerang di bawah pohon, lalu mulai memanjat. Nindi cukup pandai memanjat karena setiap ke desa kakek neneknya (dari mam
Andrian begitu senang karena berhasil menikah dengan Nindi. Sekarang Nindi telah menjadi miliknya dan pria tua kejam itu tak akan bisa menghalangi lagi. Untuk suami Nindi, dia hanya tinggal melenyapkan pria itu agar pria itu benar-benar hilang dan perceraian Nindi mudah ia urus. "Sekarang kau sudah menjadi milikku, Nindi," ucap Andrian, berdansa dengan Nindi–disaksikan oleh anak buahnya. Pria itu senyum lembut pada perempuan yang telah ia nikahi tersebut, "persiapkan dirimu untuk nanti malam, kita akan melakukan malam pertama," ucap Andrian dengan lembut, mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi istrinya. Di sisi lain, Gisella senyum bahagia karena akhirnya dia menikah dengan Andrian. Pria itu mengulurkan tangan dan dia membiarkannya–tak sadar karena efek terlalu senang sudah menikah dengan pria yang ia cintai selama bertahun-tahun. Andrian mengerutkan kening saat menyentuh wajah Nindi. Tekstur kulit wajah perempuan ini terasa aneh, bukan seperti kulit manusia. Jika dilihat de
Nindi bangkit dari ranjang kemudian mendekat ke arah jendela tersebut. Namun, sebelum melakukan apa-apa, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Seorang perempuan cantik masuk dengan wajah marah dan galak, melayangkan tatapan membunuh ke arah Nindi. Wanita itu menutup pintu, menguncinya. Dia mengeluarkan pisau dari balik tubuh lalu berjalan mendekat ke arah Nindi. "Aku akan membunuhmu!" Nindi cukup panik akan tetapi sebisa mungkin mengendalikan dirinya. "Hei, apa masalahmu? Ki-kita bisa bicara baik-baikkan?" ucap Nindi dengan bahasa internasional, karena perempuan itu menggunakan bahasa tersebut. "Bicara baik-baik? Bagaimana bisa aku masih bicara dengan baik padamu? Kamu merebutnya dariku!" pekik perempuan itu dengan mata yang sudah memerah dan berair–ingin menangis. "Me-merebut siapa?" Nindi berkata dengan suara terbata-bata, perempuan itu semakin mendekat dan pisau itu sudah mengarah ke arahnya. "Kamu merebut Andrian!" pekik perempuan itu, langsung mengarahk
"Tuan, anda tidak apa-apa?" tanya Oliver dengan nada khawatir, memperhatikan wajah tuannya yang terlihat tegang dan dipenuhi rasa cemas. Ini jam satu malam, dia dan beberapa bodyguard baru tiba di kota ini. Cuaca sedang buruk, ada masalah pada penerbangan sehingga penerbangan terus ditunda. Dia dan beberapa anak buah mereka, baru tiba di dini hari sekarang. Mereka tidak menyusul Zeeshan ke hotel, karena tuan mereka sudah bergerak untuk mencari Nindi. Saat ini Zeeshan berada di hotel yang terdekat dengan lokasi istrinya. Sebenarnya lokasi Nindi jauh dari titik Zeeshan saat ini, akan tetapi ini penginapan terdekat menuju titik Nindi dari semua penginapan yang ada di kota ini. Mengenai penembakan, Zeeshan tentunya berhasil menghindar. Dia bukan pemula untuk hal seperti ini. Namun, dia tetap merutuki dirinya sendiri karena terlalu meremehkan keadaan. Dia kira pria itu tak akan nekat seperti saat ini, menculik Nindi lalu membawanya jauh dari kota dan pemukiman. Menjengkelkannya, k
"Baik, Ayah. Kami akan segera pulang." Nindi menajamkan pendengaran, mencoba berusaha mengetahui apa pembicaraan ayahnya dan sang suami. Yah, saat ini Zeeshan dan ayahnya sedang berbicara lewat sambungan telepon–di balkon. Sedangkan Nindi ada di dalam kamar. Sayang sekali Nindi tak terlalu mendengarkan pembicaraan Zeeshan dan ayahnya. Hanya samar-samar! "Ini mereka bicarain apa sih? Aku cuma dengar 'baik ayah doang." Nini menggerutu pelan, kesal karena dia tak dapat mendengar jelas pembicaraan ayahnya dan sang suami. Hingga tiba-tiba saja …- "Poni." Zeeshan memanggil, "sedang apa?" lanjutnya. "Oh." Nindi ber oh ria, begitu gugup dan kaku. Dia senyum lebar ke arah suaminya lalu mendekat pada Zeeshan. "Aku menguping," jawab Nindi, berdiri tepat di sebelah suaminya. Zeeshan menaikan sebelah alis, lalu senyum geli pada Nindi. Dia menarik perempuan itu kemudian memeluknya erat. "Sepertinya kita memang harus kembali." "Oke." Nindi menganggukkan kepala pelan, "jadi apa alasanny
Nindi sedang memandang cincin di tangannya, cincin pemberian Zeeshan–kemarin. Cincin tersebut memiliki rakitan ataupun motif edelweis yang mengelilingi berlian pada cincin. Edelweis tersebut begitu kecil, akan tetapi sangat detail dan cantik. Nindi sangat mengagumi cincin ini. Dia suka! Ah, yah. Setelah dia jujur jika dia mencintai Zeeshan, sikap pria itu pada Nindi masih sama. Kaku dan dingin. Hanya saja, dia banyak senyum serta lebih lengket. Saat ini mereka sedang di sebuah restoran dekat pantai, Zeeshan mengajaknya jalan-jalan dan sekarang mereka sedang istirahat di sini–sambil makan siang. Zeeshan saat ini sedang ke toilet, sehingga Nindi duduk sendiri di sini. Nindi meraih handphone lalu memfoto tangannya. Dia sibuk sendiri. Namun, tiba-tiba saja seseorang menghampirinya. "Hai, Kak Nindi," sapa orang tersebut, membuat Nindi mendongak lalu menatap bingung pada orang tersebut. Namun, setelah dia mengenali pria itu, dia langsung senyum. "Ouh hai, Victor," sapa Nindi