Share

Solusi

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2024-05-14 14:06:12

"Ada sedikit masalah, Bu karena jemuran," jawab Dina. "Maaf ya Bu, saya masuk dulu, anak saya belum selesai makan tadi."

Untungnya, Bu RT mengangguk mengiyakan, lalu Dina masuk dan kembali menyuapi anaknya makan. Sementara Dewi terdengar berbicara dengan Bu RT.

"Saya tu kesel Bu, sama dia. Masa tiap hari asal saya mau keluar dia malah ngeluarin jemuran. Kan airnya netes kena saya, Bu," ucap Dewi. Wajahnya masih ditekuk. Diliriknya Dina dengan lirikan tajam penuh kebencian.

"Jadi begitu. Maaf ya, Bu Dewi, bukan saya mau ikut campur. Kalau ada masalah kan bisa kita bicarakan baik-baik. Terus ini kan rumahnya begini, nggak ada tempat lagi buat jemur. Kan kasihan, lho." Bu RT coba menengahi. Dewi justru mencebik tak suka.

"Saya sampai nggak pernah nyapa atau ngajak main anaknya karena kesel sama mamanya. Padahal saya nggak gitu, saya itu seneng kalau ada anak kecil. Suka saya ajak main." Dewi berkata sebelum bu RT menghabiskan kalimatnya.

"Begini saja, saya panggil Bu Rini kesini ya, biar kita semua dapat solusi," kata Bu RT akhirnya.

Bu Rini merupakan pemilik rumah kontrakan. Rumah Bu Rini hanya beda desa, jika naik motor sekitar sepuluh menit sudah sampai.

"Saya permisi dulu, nanti saya kesini lagi ya, Bu." Bu RT pamit pada Dewi juga Dina yang ada di dalam rumah.

Bu RT baru saja meninggalkan halaman, Dewi segera mengalihkan pandangan pada Dina yang masih menyuapi anaknya. Wajahnya masih menyimpan amarah.

"Sekarang semua orang tau. PUAS LO?!" Dewi bersuara lantang di depan pintu rumah Dina. Sementara Dina tak acuh karena sibuk dengan anaknya. Setelah itu Dewi Pun masuk ke dalam rumah dengan menghentakkan kaki.

***

Di rumah Dewi, ada Bu Rini, Bu RT, Dewi dan juga Dina. Mereka semua duduk melingkar di ruang tamu Dewi.

"Jadi begini ibu-ibu, saya sebagai RT di lingkungan ini, ingin menengahi masalah Bu Dewi juga Bu Dina. Karena saya nggak enak kalau dalam lingkungan ini ada yang ribut-ribut. Saya berharap semua warga rukun," kata Bu RT memulai.

"Dan maaf saya terpaksa memanggil Bu Rini sebagai pemilik kontrakan, supaya ada jalan keluar dari masalah ini," lanjut Bu RT lagi, sambil melihat Bu Rini dengan wajah bersalah.

Bu Rini mengangguk paham, lantas berkata, "Saya juga sebagai pemilik kontrakan berharap, yang tinggal di sini rukun-rukun. Apalagi kita semua kan sama-sama merantau, sama-sama jauh dari keluarga. Ya tetangga kita inilah yang sekarang jadi keluarga, karena kalau ada apa-apa pasti tetangga dulu yang kita jawil. Yang pertama kita mintai tolong. Bener nggak, Bu?" ucap dan tanya Bu Rini dengan suara tenang.

Semua yang hadir mengangguk setuju.

"Bagaimana Bu Dewi, ada yang mau disampaikan?" tanya Bu RT setelah hening beberapa saat.

"Gini Bu, saya itu keganggu gitu, tiap saya mau keluar rumah, kenapa dia ngeluarin jemuran, kan jemuran dia basah, jadi airnya itu netes-netes kena saya juga anak saya kalo lewat. Saya juga pernah kok ngontrak yang rumah saya dilewati tetangga, tapi saya nggak pernah netesin air jemuran," jawab Dewi panjang pendek. Sesekali ia melirik Dina yang duduk berseberangan dengannya.

"Bagaimana Bu Dina?" tanya Bu RT menengahi.

Dina menghela napas sejenak sebelum berbicara.

"Maaf ya, Bu, saya kan nggak tau jadwal Bu Dewi mau keluar rumah jam berapa. Saya nyuci juga sesempat saya kalau anak saya anteng, begitu selesai ya saya keluarkan jemur di luar," jawab Dina.

Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Dina menajamkan telinga dan mengenali kalau itu suara tangis anaknya.

"Maaf Bu, anak saya nangis, saya permisi dulu ya." Dina pamit pulang karena anaknya menangis, sedangkan di rumah tidak ada orang lain. Gegas ia beranjak setelah diiyakan oleh mereka yang hadir.

"Sebenarnya ini kan masalah kecil, kenapa dibesar-besarkan, Bu?" tanya Bu Rini setelah Dina menghilang di balik pintu. Dewi menunduk.

"Saya sampai malu tadi dapat telepon dari Bu RT kalau di sini rame-rame, sampai terdengar ke tetangga," ucap Bu Rini seraya menghela napas panjang. "Saya harap kejadian ini tidak terulang lagi ya, Bu," lanjut Bu Rini lagi.

"Begini Bu Dewi," ucap Bu Rini, "Kalau misalnya yang situ disekat bagaimana? Nanti saya buatkan pintu keluar supaya Bu Dewi tidak perlu melewati rumah Bu Dina?"

Bu Rini mengarahkan ibu jarinya ke arah tembok pembatas teras Dina dan Dewi.

Dewi terlihat berpikir, lalu berkata, "Boleh juga Bu, tapi kalau disekat, bagaimana nanti saya ngeluarin motor? Ini kan di pojokan?"

"Jadi Bu Dewi maunya bagaimana?" tanya Bu Rini lagi.

Dewi nampak berpikir keras. Jika batas rumahnya dan rumah Dina disekat, maka dia akan kesulitan saat keluar masuk menggunakan sepeda motor. Sedangkan jika tidak disekat, dia juga tidak mau seperti selama ini, kena tetesan air jemuran.

"Terserah ibu sajalah," jawab Dewi, tanpa solusi.

"Lho, kok terserah?" sahut Bu RT, tampak sedikit kesal, "Jangan begitu Bu Dewi. Ini dikasih solusi sama Bu Rini, sudah baik sekali pemilik rumah mau membuatkan pintu pagar lagi dan juga disekat pembatasnya supaya ibu tidak melewati rumah Bu Dina."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Buat Kita Aja

    “Dapat arisan kan, kamu? Kebetulan, sudah saatnya kirim ke ibu.”Hati Lila meradang mendengar ucapan suaminya. Terlebih lagi, melihat ekspresi pria di depannya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. “Itu tabungan aku, Yah!?” seru Lila tak terima.Setelah sekian lama ia menyusul suami ke ibukota, lalu berusaha menyisihkan sedikit tabungan, kini dengan mudahnya lelaki itu merampas apa yang ia punya. Ya, meski semua dari pemberian sang suami. Namun, sebagai istri, dia juga punya hak bukan?“Tabungan kamu kan dari aku juga,” sahut Gema yang langsung menyimpan lembaran-lembaran merah itu ke dalam saku celananya.“Dah lah, sana urusin Ari. Ayah mau tidur biar bisa bangun cepat lalu masak bubur,” pungkas Gema lalu berlalu ke kamar. Lila ingin mendebat, tapi seakan tidak bertenaga. Dalam diam, wanita itu mencari cara supaya bisa mengambil kembali haknya..Tengah malam, Lila terbangun dengan kepala yang pusing luar biasa.

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Perdebatan Suami Istri

    Beberapa saat sebelumnya …Lila memasuki halaman kontrakan dengan berdendang ringan. Wanita itu baru saja pulang dari arisan di komplek sebelah.Aroma masakan langsung menyapa indera penciuman begitu ia membuka pintu. Pemandangan pertama yang terlihat adalah Ari yang sedang duduk manis di depan kotak nasi yang terbuka dan menampilkan isinya.Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di sekitar bocah berumur tiga tahun itu. Melihat siapa yang datang, Ari langsung melebarkan senyum dan menyapa, “Bunda!”Lila tersenyum malas, dan lebih tertarik dengan nasi kotak yang terlihat lezat.“Ayah mana, Nak?” tanya Lila setelah mendaratkan bibir di pipi gembul anak sulungnya.“Ayah masak di dapur!”Gema menyahut sebelum Ari menjawab pertanyaan sang Bunda.“Jam segini baru pulang. Pasti ngerumpi lagi!” gerutu Gema yang segera beranjak dari dapur menuju ruang tamu.“Nggak ingat anak. Main pergi nggak pulang-pulang.”Gema masih meluapkan kekesalannya pada sang istri yang pergi sejak sore hingga mal

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Aku suka Rumahnya, Mas

    "Gimana Dek, setuju nggak kalau kita pindah ke sana?"Deny sungguh ingin tahu pendapat sang istri, meski sudah terbaca dari raut wajahnya saat berada di sana sore tadi."Setuju sih, Mas. Tapi ... ," jawaban Dina menggantung, seakan ada hal yang berat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun, ia sudah jatuh hati dengan rumah yang mereka kunjungi, terlebih dengan halaman di belakang rumah. Ia tak perlu ke luar rumah untuk menjemur cucian, bukan? Juga akan merasa aman menemani anaknya bermain di halaman depan karena sudah memiliki pagar."Tapi kenapa, Dek?" kali ini Deny memandang lekat penuh tanya pada sang istri."Apa nggak mahal sewanya, Mas?” cicit Dina membuat salah satu sudut bibir suaminya tertarik ke atas.“Sudah kuduga,” batin Deny.Dina menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “Rumahnya bagus, lho. Halaman ada dua, sudah dipagar lagi," terucap juga pertanyaan yang mengganjal hati wanita itu. Se

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Survei Lokasi

    Di tempat kerja, Deny disambut dengan ungkapan belasungkawa dari teman-teman kerja. Pria yang masih berduka itu menerima sumbangan kematian dari rekan kerja yang dimasukkan di dalam amplop berwarna putih. Sudah menjadi hal wajar di tempat ia bekerja. Namun, belum ada niat untuk membuka dan melihat isinya. Ia pun menyimpan amplop itu di dalam tas. "Ayo Den, kita ke luar, yuk," ajak Sapto saat jam makan siang."Mau ke mana?""Makan di depan yuk. Aku yang traktir, deh," jawab Sapto dengan senyum tulus."Ya udah, ayok."Mereka berjalan beriringan. Ada empat orang lagi yang ikut serta. Mereka semua teman satu divisi, berusaha menghibur Deny yang masih dalam suasana berkabung dengan bermacam cara.."Dek, ini tadi Mas dapat uang kematian dari teman-teman," ucap Deni saat buah hati mereka sudah terlelap, sambil menyerahkan amplop tebal."Ini buat Ibu kan, Mas? Dikirim aja uangnya," saran Dina begitu sa

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Sampai Tuntas

    Wajah Dina menjadi seputih kapas begitu meninggalkan dapur."Kenapa, Bu?" Deni saat melihat perubahan istrinya."I-itu, Pak. Ada ekor di dalam kompor," ucap Dina dengan nada panik mode on.Deni tersenyum menanggapi. Tanpa berkata lagi, ia beranjak untuk membuka pintu depan. "Tutup dulu pintu kamarnya, Bu."Dina menurut meski tak mengerti dengan maksud sang suami.Deni kembali ke dapur untuk melepaskan sambungan regulator, kemudian mengangkat kompor dua tungku tersebut ke luar rumah.Deni berhenti di luar pagar, lantas membalik kompor itu, dan benar saja, si pemilik ekor yang ditemukan oleh istrinya melompat ke luar."Pergi yang jauh, jangan kembali lagi, ya," ucap Deni sambil dadah dadah.Deni kembali ke dalam rumah, mengambil lap untuk membersihkan kompor."Sudah ketemu, Pak?" ia disambut dengan pertanyaan dari istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi."Sudah, Bu. Sudah pergi malah.""Alhamdulillah ... ."Dina menghembuskan napas lega, sambil menepuk dada."Senang sekali dengar

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Ada Tamu

    Pukul empat sore, ibu-ibu sudah memenuhi halaman rumah Bu Sari. Sudah menjadi kebiasaan di sana, jika ada warga meninggal, warga lain bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sore hari setelah Ashar untuk ibu-ibu, sedang untuk bapak-bapak setelah sholat Maghrib. Bu Sari serta Dina ikut bergabung dengan para ibu. Sesekali Bu Sari masih meneteskan air mata. Dina tetap setia di samping Bu Sari mencoba menguatkan.Sedikit hiburan untuk Bu Sari dengan adanya Putri. Sesekali diajak bercanda untuk melupakan kesedihan karena ditinggal belahan jiwa. Tak jarang pula kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatan, membuat butiran mutiara berdesakan hendak ke luar dari indera penglihatan.***Tak terasa sudah tiga hari Dina dan Deny menemani Bu Sari di rumah setelah kepergian sang suami. Bu Sari sedikit terhibur dengan adanya Putri, cucu satu-satunya yang bertingkah lucu. Tak jarang Bu Sari menggendong dan menemani bermain saat Dina harus beristirahat. Kondisinya yang sedang berbadan dua d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status