Share

Membungkam Mulut Tetangga Julid
Membungkam Mulut Tetangga Julid
Author: Nisa Khair

Dewi Mengamuk

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2024-05-14 14:00:07

Brak!

Suara pintu yang dibuka paksa, menimbulkan suara yang memekakkan telinga.

Dina yang sedang menyuapi anaknya untuk sarapan, reflek menoleh ke arah datangnya suara untuk melihat siapa yang datang dan membuka pintu dengan kasar.

Dapat dilihatnya Dewi, wanita yang setahun ini menjadi tetangga samping rumahnya, berdiri di ambang pintu dengan menatap tajam dan tangan berkacak pinggang. "Mau kamu apa, sih?!" tanya perempuan berkacamata bulat itu dengan mata melotot marah dan bibir bergetar. 

"Tiap saya mau keluar malah kamu keluarin jemuran. Kamu pikir, enak apa ketetesan air jemuran?!" sambungnya dengan suara menggelegar.

Deg!

Jantung Dina seketika berdetak lebih kencang.

Jujur, dia tak menyangka kalau pakaian yang dijemur di depan bagian rumah itu ternyata sampai mengganggu tetangganya.

Mereka memang tinggal di rumah kontrakan berderet.

Ada lima rumah dalam satu pagar dengan dua buah pintu pagar untuk keluar masuk.

Dewi menempati rumah paling ujung di sebelah timur, sedangkan Dina di sebelah kanannya.

Di tengah ada Bu Yati, sebelahnya lagi ada Nia. Paling barat ada Iwan dan Roni, si penjual bubur ayam.

Kebetulan, pintu gerbang kontrakan ada di depan kamar Dina, sedangkan yang satu lagi di depan pintu rumah Nia.

Jadi, mau tak mau Dewi memang harus memilih untuk melewati halaman Dina setiap keluar masuk pagar.

Tapi seharusnya jemuran Dina tidak mengganggu, sebab terletak di langit-langit plafon teras, bukan di halaman yang tak seberapa lebar.

"Astaghfirullah … Mbak Dewi. Mau saya ya rukun sama tetangga," jawab Dina sambil mengusap lengan anaknya, "Lagian saya kan nggak tau jadwal Mbak mau keluar rumah jam berapa." 

"BOHONG!!" teriak Dewi semakin melebarkan kedua matanya. Sorot itu semakin berkilat penuh benci. Tidak peduli pada bocah berumur tujuh bulan yang terhenti kegiatan makan pagi sebab terganggu dengan kedatangannya. "Kamu pasti sengaja kan, biar kalo saya lewat kena air jemuran kamu?" sambung Dewi lagi.

Dina tidak menjawab, melainkan kembali menyuapi anaknya. Ia ingin mengusir tamu yang tak diundang itu, tapi tidak punya keberanian. Suara bentakan telah menciutkan nyali perempuan itu, hingga badannya bergetar hebat.

"Saya kan sudah pernah bilang, jangan jemur baju di jalanan. Susah amat sih, dibilangin?!" bentak Dewi lagi.

Sementara Dina yang mendapat bentakan demi bentakan mengucap istighfar berkali-kali.

Benar memang, beberapa Minggu sebelumnya Dewi pernah mengingatkan dirinya untuk tidak menjemur pakaian di depan rumah. Namun, kondisi yang ada, membuat Dina tidak punya pilihan. Dan secara kebetulan juga, tetangganya itu justru baru keluar setiap kali ia baru selesai dengan pekerjaan menjemur pakaian.

Dina sendiri tak tahu mengapa ini terjadi.

"Jadi saya harus jemur baju dimana, Mbak?" tanya Dina pada akhirnya.

Suaranya melemah, merasa putus asa dengan dirinya sendiri. Tatapannya menyorot ke luar jendela, di mana di sana sedang berbaris rapi pakaian yang sedang menari-nari sebab tertiup angin.

"Di kamar mandi kan bisa!" sahut Dewi dengan tatapan mengintimidasi.

"Saya juga pernah nempatin rumah di tengah begini, tapi nggak pernah saya netesin tetangga sama jemuran. Selalu saya keringkan dulu di mesin cuci, sudah setengah kering baru saya keluarin. Masa kamu nggak mau beli mesin cuci?!"

Dina memejamkan mata demi mendengar curahan hati tetangganya.

Semua aktifitas yang berhubungan dengan air di rumahnya, dilakukan di dalam kamar mandi.

Jika jemuran juga ditaruh di sana, bisa dipastikan tak ada lagi ruang gerak. Karena sekali nyuci pasti satu hanger bulat itu penuh dengan baju bayi yang baru berumur tujuh bulan. Belum lagi pakaian Dina dan suami. Jangan lupakan selimut dan sprei yang sering kena pipis, karena Dina tidak memakaikan popok sekali pakai pada bayinya.

Dan soal mesin cuci, tentu saja Dina mau membeli jika punya rejeki lebih. Dina juga tak ingin kepontal dengan jemuran yang seakan tak ada habisnya. Yang dijemur belum kering, sedangkan keranjang baju kotor sudah penuh lagi. Ibu-ibu yang punya bayi pasti mengerti kondisi ini.

"Terus kamu bilang anakku berisik, anak kamu nangis terus dari orok kamu pikir nggak berisik apa?!" Dewi berkata dengan kekuatan penuh dan dada naik turun.

Kali ini Dina terkejut dengan ucapan Dewi. Ingatannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu ketika ia meminta tolong pada Dewi supaya menegur anaknya yang bernama Sultan. Anak lelaki satu-satunya yang berumur delapan tahun.

Saat itu sudah jam sembilan malam. Sultan masih sibuk berlarian kesana-sini dengan menendang bola, gedebag gedebug di depan kamar Dina. Dina yang sedang menidurkan bayinya pun merasa terganggu. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia keluar kamar dan menemukan Dewi sedang mengawasi anaknya yang bermain bola sendirian.

Tidak ia sangka kalau Dewi tersinggung, bahkan menyebut anaknya berisik. Tidak mau memperpanjang urusan, Dina segera bangkit dan mengulurkan tangan pada sang tamu yang menatapnya penuh dendam.

"Ya sudah saya minta maaf ya, Mbak, kalau saya punya salah sama Mbak," ucap Dina, menatap tangannya yang tak kunjung disambut.

Dewi hanya melirik, membiarkan tangan yang terulur di depannya menggantung di udara.

"Saya gak butuh maaf kamu, dan saya nggak percaya ucapan kamu!"

"Ya sudahlah kalau nggak percaya, terserah Mbak aja," jawab Dina, menarik kembali tangannya.

Ia baru berniat untuk kembali duduk dan melanjutkan menyuapi anaknya ketika melihat Bu RT muncul di depan pagar yang terbuka lebar, lalu menghampiri mereka.

"Assalamu'alaikum ... . Ada apa ini, kok ribut-ribut?" 

Alis wanita itu bertaut, seolah meminta jawaban secepatnya.

"I--itu...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Buat Kita Aja

    “Dapat arisan kan, kamu? Kebetulan, sudah saatnya kirim ke ibu.”Hati Lila meradang mendengar ucapan suaminya. Terlebih lagi, melihat ekspresi pria di depannya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. “Itu tabungan aku, Yah!?” seru Lila tak terima.Setelah sekian lama ia menyusul suami ke ibukota, lalu berusaha menyisihkan sedikit tabungan, kini dengan mudahnya lelaki itu merampas apa yang ia punya. Ya, meski semua dari pemberian sang suami. Namun, sebagai istri, dia juga punya hak bukan?“Tabungan kamu kan dari aku juga,” sahut Gema yang langsung menyimpan lembaran-lembaran merah itu ke dalam saku celananya.“Dah lah, sana urusin Ari. Ayah mau tidur biar bisa bangun cepat lalu masak bubur,” pungkas Gema lalu berlalu ke kamar. Lila ingin mendebat, tapi seakan tidak bertenaga. Dalam diam, wanita itu mencari cara supaya bisa mengambil kembali haknya..Tengah malam, Lila terbangun dengan kepala yang pusing luar biasa.

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Perdebatan Suami Istri

    Beberapa saat sebelumnya …Lila memasuki halaman kontrakan dengan berdendang ringan. Wanita itu baru saja pulang dari arisan di komplek sebelah.Aroma masakan langsung menyapa indera penciuman begitu ia membuka pintu. Pemandangan pertama yang terlihat adalah Ari yang sedang duduk manis di depan kotak nasi yang terbuka dan menampilkan isinya.Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di sekitar bocah berumur tiga tahun itu. Melihat siapa yang datang, Ari langsung melebarkan senyum dan menyapa, “Bunda!”Lila tersenyum malas, dan lebih tertarik dengan nasi kotak yang terlihat lezat.“Ayah mana, Nak?” tanya Lila setelah mendaratkan bibir di pipi gembul anak sulungnya.“Ayah masak di dapur!”Gema menyahut sebelum Ari menjawab pertanyaan sang Bunda.“Jam segini baru pulang. Pasti ngerumpi lagi!” gerutu Gema yang segera beranjak dari dapur menuju ruang tamu.“Nggak ingat anak. Main pergi nggak pulang-pulang.”Gema masih meluapkan kekesalannya pada sang istri yang pergi sejak sore hingga mal

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Aku suka Rumahnya, Mas

    "Gimana Dek, setuju nggak kalau kita pindah ke sana?"Deny sungguh ingin tahu pendapat sang istri, meski sudah terbaca dari raut wajahnya saat berada di sana sore tadi."Setuju sih, Mas. Tapi ... ," jawaban Dina menggantung, seakan ada hal yang berat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun, ia sudah jatuh hati dengan rumah yang mereka kunjungi, terlebih dengan halaman di belakang rumah. Ia tak perlu ke luar rumah untuk menjemur cucian, bukan? Juga akan merasa aman menemani anaknya bermain di halaman depan karena sudah memiliki pagar."Tapi kenapa, Dek?" kali ini Deny memandang lekat penuh tanya pada sang istri."Apa nggak mahal sewanya, Mas?” cicit Dina membuat salah satu sudut bibir suaminya tertarik ke atas.“Sudah kuduga,” batin Deny.Dina menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “Rumahnya bagus, lho. Halaman ada dua, sudah dipagar lagi," terucap juga pertanyaan yang mengganjal hati wanita itu. Se

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Survei Lokasi

    Di tempat kerja, Deny disambut dengan ungkapan belasungkawa dari teman-teman kerja. Pria yang masih berduka itu menerima sumbangan kematian dari rekan kerja yang dimasukkan di dalam amplop berwarna putih. Sudah menjadi hal wajar di tempat ia bekerja. Namun, belum ada niat untuk membuka dan melihat isinya. Ia pun menyimpan amplop itu di dalam tas. "Ayo Den, kita ke luar, yuk," ajak Sapto saat jam makan siang."Mau ke mana?""Makan di depan yuk. Aku yang traktir, deh," jawab Sapto dengan senyum tulus."Ya udah, ayok."Mereka berjalan beriringan. Ada empat orang lagi yang ikut serta. Mereka semua teman satu divisi, berusaha menghibur Deny yang masih dalam suasana berkabung dengan bermacam cara.."Dek, ini tadi Mas dapat uang kematian dari teman-teman," ucap Deni saat buah hati mereka sudah terlelap, sambil menyerahkan amplop tebal."Ini buat Ibu kan, Mas? Dikirim aja uangnya," saran Dina begitu sa

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Sampai Tuntas

    Wajah Dina menjadi seputih kapas begitu meninggalkan dapur."Kenapa, Bu?" Deni saat melihat perubahan istrinya."I-itu, Pak. Ada ekor di dalam kompor," ucap Dina dengan nada panik mode on.Deni tersenyum menanggapi. Tanpa berkata lagi, ia beranjak untuk membuka pintu depan. "Tutup dulu pintu kamarnya, Bu."Dina menurut meski tak mengerti dengan maksud sang suami.Deni kembali ke dapur untuk melepaskan sambungan regulator, kemudian mengangkat kompor dua tungku tersebut ke luar rumah.Deni berhenti di luar pagar, lantas membalik kompor itu, dan benar saja, si pemilik ekor yang ditemukan oleh istrinya melompat ke luar."Pergi yang jauh, jangan kembali lagi, ya," ucap Deni sambil dadah dadah.Deni kembali ke dalam rumah, mengambil lap untuk membersihkan kompor."Sudah ketemu, Pak?" ia disambut dengan pertanyaan dari istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi."Sudah, Bu. Sudah pergi malah.""Alhamdulillah ... ."Dina menghembuskan napas lega, sambil menepuk dada."Senang sekali dengar

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Ada Tamu

    Pukul empat sore, ibu-ibu sudah memenuhi halaman rumah Bu Sari. Sudah menjadi kebiasaan di sana, jika ada warga meninggal, warga lain bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sore hari setelah Ashar untuk ibu-ibu, sedang untuk bapak-bapak setelah sholat Maghrib. Bu Sari serta Dina ikut bergabung dengan para ibu. Sesekali Bu Sari masih meneteskan air mata. Dina tetap setia di samping Bu Sari mencoba menguatkan.Sedikit hiburan untuk Bu Sari dengan adanya Putri. Sesekali diajak bercanda untuk melupakan kesedihan karena ditinggal belahan jiwa. Tak jarang pula kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatan, membuat butiran mutiara berdesakan hendak ke luar dari indera penglihatan.***Tak terasa sudah tiga hari Dina dan Deny menemani Bu Sari di rumah setelah kepergian sang suami. Bu Sari sedikit terhibur dengan adanya Putri, cucu satu-satunya yang bertingkah lucu. Tak jarang Bu Sari menggendong dan menemani bermain saat Dina harus beristirahat. Kondisinya yang sedang berbadan dua d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status