“Sore ini kalian akan mengepas pakaian, jadi kamu jangan datang terlambat. Lokasi butiknya dekat dengan kantor. Aku akan menjemput Celeste agar kita langsung bertemu di sana saja,” ucap Bunda.
“Baik, Bunda,” jawab Jason menurut. Suasana sarapan pada pagi ini sangat berbeda dengan suasana sebelumnya. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Apakah keputusanku untuk menyelamatkan Jason adalah keputusan yang tepat?
Yang membuatku curiga adalah sikap diam Jovita. Dia bukan wanita yang mudah menyerah. Aku tidak akan tenang sebelum pernikahannya dengan Yosef dilangsungkan. Tetapi wanita itu tidak pernah memiliki perasaan apa pun kepada sepupuku, apa mungkin dalam kehidupan kali ini dia akan berubah sikap kepadanya?
Sial. Ciuman yang tidak sengaja terjadi semalam membuatku bimbang dengan keputusanku sendiri. Aku tidak boleh begini. Meskipun apa yang akan terjadi ke depan masih tanda tanya, aku tidak boleh meragukan pilihan yang aku buat sendiri.
“Jonah, apa kamu baik-baik saja?” tanya Bunda. Ayah dan Jason ikut melihat ke arahku. “Semalam kamu lama sekali berada di kamar mandi.”
“Aku baik-baik saja, Bunda. Jangan khawatir,” jawabku singkat.
“Kata Bunda, kamu yang mengantar tunanganku pulang pada hari Jumat malam. Terima kasih sudah menjaganya dengan baik. Aku harap kamu tidak berpikir untuk merebutnya dariku,” ucap Jason bercanda. Tetapi aku bisa menangkap sinyal serius pada nada suaranya.
“Mengapa kamu berpikir bahwa Jonah akan merebut Celeste darimu?” tanya Bunda bingung.
“Bunda, dia adalah gadis yang sangat cantik. Walaupun Jonah selalu berlagak dingin, dia tetaplah laki-laki normal. Bisa saja dia jatuh cinta kepada tunanganku setelah banyak menghabiskan waktu bersamanya,” kata Jason.
“Aku yang menarik paksa Jonah untuk makan malam bersama kami dan aku juga yang memaksanya untuk mengantar Celeste pulang. Jonah tidak akan merebut dia darimu. Berhenti berpikiran yang negatif mengenai adikmu sendiri. Sampai kapan kalian mau berkompetisi terus seperti ini?” ucap Bunda kepada Jason.
“Bunda yang memintanya mengantar tunanganku pulang?” tanya Jason tidak percaya.
“Iya. Karena aku harus menjemput ayahmu. Jalannya berbeda arah, maka akan lebih praktis bila Jonah yang mengantarnya dan aku yang menjemput suamiku,” jawab Bunda.
“Aku sudah selesai. Aku pamit lebih dahulu,” kataku sambil berdiri dari tempat dudukku. Aku tidak tertarik mendengar percakapan mereka lebih lama lagi. Pintu ruang makan terbuka saat aku hampir menyentuh kenopnya. Pak Raihan meminta maaf, lalu bergerak ke pinggir untuk memberiku jalan.
“Maaf, Tuan Besar. Ada tamu yang datang. Pak Gunawan dan keluarganya,” ucap kepala pelayan rumah kami itu dengan sopan. Langkahku automatis terhenti.
Ayah dan Bunda saling bertukar pandang, tidak mengerti untuk alasan apa mereka datang ke rumah kami. Tetapi aku tahu. Mereka tidak datang pada hari pertunangan, lalu mengapa mereka memilih datang pada hari ini? Apa yang terjadi kepada Yosef?
Aku membiarkan Ayah dan Bunda keluar dari ruangan lebih dahulu sebelum aku menyusul mereka. Pak Raihan telah mengantar tamu kami menunggu di ruang depan. Keluarga itu berdiri saat kami memasuki ruangan. Apakah tujuan kedatangan mereka seperti apa yang ada dalam pikiranku?
“Gunawan? Ada kehormatan apa kalian datang ke rumah kami?” tanya Ayah dengan sopan.
“Sebaiknya kamu tanyakan sendiri kepada putra sulungmu.” Mereka melihat ke arah belakangku. Kami menoleh dan melihat Jason sedang mengerutkan keningnya.
“Apa ini Jovita? Mengapa kamu datang ke sini bersama orang tuamu?” tanya Jason heran.
“Aku mengandung anakmu.” Jovita meletakkan tangannya di perutnya.
“Kamu bohong. Itu tidak mungkin.” Jason benar. Yang ada dalam kandungan perempuan itu bukanlah anaknya.
“Kertas ini tidak akan berbohong.” Jovita mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. Jason mendekat dan mengambilnya dengan enggan. Dia mengerutkan keningnya membaca isi kertas tersebut. “Aku sedang hamil dan usianya delapan minggu.”
“Tetapi kita sudah lama tidak melakukannya. Ini tidak mungkin.” Jason melihat ke arah Ayah dan Bunda. Mereka hanya bisa menatapnya tak percaya.
“Jangan lari dari tanggung jawab. Mana pernah ada laki-laki yang langsung mau mengakui anak yang dikandung wanita yang pernah ditidurinya,” ucap Om Gunawan dengan sengit.
“Jason, kamu pernah bersama wanita ini?” tanya Ayah. Jason menelan ludah dengan berat. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, jadi aku juga tidak tahu bagaimana menolong keluargaku. Keluarga Jovita memang licik, mereka lebih cerdik dariku.
“Iya, Ayah. Hubungan kami berakhir beberapa hari yang lalu. Tetapi kami sudah lama tidak tidur bersama,” ucap Jason membela diri.
“Jason tidak mengakui anak itu sebagai anaknya. Tapi kami juga tidak percaya sepenuhnya kepada putra kami.” Ayah melihat ke arah Bunda. Lalu dia kembali menatap Om Gunawan. “Kami akan bertanggung jawab atas bayi itu ketika dia lahir nanti.”
“Apa maksudmu, Jarvis?! Kamu sedang menghina putriku? Kamu sedang menganggap reputasi keluargaku bukan apa-apa?! Putramu telah menghamili putriku. Dia harus bertanggung jawab atas dirinya juga!” hardik Om Gunawan marah.
“Gunawan, kalau kamu tidak mau bicara dengan kepala dingin, aku tidak akan mau membahas ini sama sekali denganmu,” ucap Ayah dengan tegas. Om Gunawan ingin mengatakan sesuatu tetapi Ayah mengangkat tangan memintanya untuk tidak memotong.
“Putrimu memberi dirinya dengan sukarela dan putraku tidak memaksakan kehendak kepadanya. Dia juga harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Anak yang ada dalam kandungannya akan menjadi tanggung jawab Jason juga. Tetapi jangan bermimpi untuk menggunakan kehamilan itu agar putrimu bisa menikahi putraku,” kata Ayah dengan tegas.
“A-apa maksudmu, Jarvis? Aku tidak pernah mendengar ….” Om Gunawan terduduk seolah-olah ucapan Ayah itu telah memukulnya dengan telak.
“Zaman sudah berubah, Gunawan. Anak-anak zaman sekarang suka tidur bersama walaupun mereka belum menikah. Kamu tidak bisa lagi memaksa keduanya untuk menikah hanya karena sang wanita hamil. Putrimu tahu betul apa akibat dari tidur bersama laki-laki yang bukan suaminya. Maaf, tetapi aku hanya bisa menawarkan tanggung jawab kami sepenuhnya atas anak itu, tidak dengan putrimu.”
Aku tidak pernah menyangka Ayah akan mengatakan hal itu. Aku pikir dia akan menyerah pada keinginan mereka dan membiarkan Jovita menikah dengan Jason. Ternyata aku telah meremehkan kemampuan ayahku sendiri. Hanya ada kami di ruangan ini, tentu saja tidak akan ada gunanya bila Om Gunawan mencoba untuk mendesak kami menikahkan Jason dengan putrinya.
“Reputasi adalah segala-galanya, Om.” Jovita membuka mulutnya. “Pada detik aku memberitahu wartawan mengenai kehamilanku dan perlakuan keluarga Om kepadaku, pada saat itu juga nama baik keluarga Om akan hancur.”
“Silakan saja jika kamu mau mencobanya, Nak. Pikirkan juga nama baik keluargamu sebelum kamu melakukan semua itu.” Ayah melihat ke arah Om Gunawan.
Jovita terlihat semakin marah. “Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa seorang ayah. Kalian lihat saja nanti. Aku dan Jason pasti akan menikah.”
Hai, GoodReaders! Akhirnya, aku bisa menulis lanjutan cerita ini. Terima kasih banyak sudah bersabar menunggu, ya. O(≧▽≦)O Selamat membaca kisah Jonah dan Celeste. Jangan segan untuk memberi komentar jika ada. Yuk, kita mulai petualangan kita! ♥ Salam sayang, Meina H.
~Celeste~ “Jacob Nicholas Putra!” seruku melihat anakku yang berusia sembilan tahun malah asyik memakan es krim cokelat di ruang makan. Dia mengotori pakaiannya padahal kami harus pergi sekarang. Aku menoleh ke arah suamiku yang berdiri di sisiku. “Oke. Ini salahku.” Dia menurunkan putri kami dari pelukannya dan memberikan tangannya padaku. “Ayo, Jacob, kita bersihkan tanganmu dan ganti pakaianmu.” Aku mendesah napas keras melihat mereka berjalan menuju pintu belakang. Aku hanya beberapa menit berada di kamar untuk bersiap-siap setelah membantu anak-anak berpakaian. Saat aku pikir kami sudah siap untuk pergi, selalu saja terjadi kecelakaan serupa. Jacob makan sesuatu hingga mengotori tangan, wajah, dan pakaiannya atau Jolene yang menumpahkan minuman ke bajunya. Meninggalkan anak-anak dalam pengawasan suamiku memang bukan ide yang baik, tetapi siapa lagi yang bisa aku percaya kalau bukan dia? Andai saja Ayah dan Bunda ada di sini. Mereka masih dalam pe
Aku melihat ke arah arloji pemberian istriku yang melingkari pergelangan tanganku. Tidak peduli berapa harganya, benda itu sangat berarti bagiku. Pemberian pertama darinya untukku. Meskipun dia tidak ada di sini bersamaku, aku merasakan dukungannya.Hari ini pertama kalinya aku akan menghadiri rapat pemegang saham di perusahaan Anggara. Om dan Bunda tersenyum kepadaku saat mereka melihat aku duduk di kursi yang mereka sediakan untukku. Di sisi Om Mahavir. Wajah peserta lainnya menatapku dengan rasa ingin tahu. Mereka semua sudah mendengarkan kemampuan dan beberapa prestasiku, mereka pasti tidak sabar mau mendengar langsung apakah aku seperti yang dikatakan Om.Asisten Om Mahavir menenangkan ruangan dan memimpin jalannya rapat. Dia membacakan agenda dari pertemuan kami sebelum mempersilakan direktur utama untuk menyampaikan laporannya. Aku menghela napas panjang, bersiap mengikuti diskusi panjang nanti.“Aku tidak percaya proyek ini lolos begitu mudah,&rdqu
“Mengapa aku harus berpakaian seperti ini?” keluh Celeste untuk kesekian kalinya. Dia memakai gaun paling indah dan mahal yang selalu menjadi dambaan banyak wanita, tetapi dia mengeluh. Aku bahkan memberi dia gelang berlian untuk menyempurnakan penampilannya.“Kamu akan mengerti begitu kita tiba di sana.” Kali ini aku tidak menyetir dan meminta salah satu sopir keluarga kami untuk mengendarai mobilku.“Aku merasa seperti maneken yang kamu bawa ke pesta hanya untuk dipamerkan.” Dia memajukan bibirnya, menyatakan rasa tidak sukanya. Seandainya kami dalam perjalanan pulang, aku pasti akan menciumnya habis-habisan di mobil ini sampai senyuman menghiasi wajahnya. Tetapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang, riasan wajahnya bisa rusak.“Malam ini istimewa, sayang. Aku mau mereka semua tahu bahwa meskipun aku masih muda, aku bisa mendapatkan uang yang banyak untuk membelikan istriku pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal.
Aku menyerahkan dokumen terakhir yang perlu aku tanda tangani sebagai manajer pemasaran kepada Fabian. Sudah tidak ada lagi dokumen atau laporan yang aku sisakan di atas meja. Dengan begitu, orang baru yang akan menggantikan aku tidak dibebani dengan tugas yang masih menjadi tanggung jawabku.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Pak. Saya ikut bangga Bapak naik ke posisi baru,” ucap Fabian dengan tulus.“Terima kasih juga padamu, Fabian. Kamu asisten terbaik yang pernah aku miliki.” Aku melirik jam tanganku. “Apa kamu ada janji malam ini Mau makan malam bersamaku?”“Saya tidak ada janji, tetapi—” jawabnya dengan segan.“Tidak ada tetapi. Ayo, aku traktir.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku jasku, lalu berjalan mendekati pintu. Dia mengikuti aku keluar dan bergegas menyimpan dokumen tadi di lemari besi kemudian menguncinya.Fabian tidak menyebut makanan tertentu yang dia suka
~Jonah~Suasana rumah pada pagi itu tepat seperti dugaanku. Ketika aku masuk ruang makan dan Celeste tidak bersamaku, aku terpaksa memberi tahu Ayah dan Bunda bahwa dia pulang ke rumah Papa semalam. Bunda histeris dan Ayah segera menenangkannya.Namun tidak ada yang bisa membuat Bunda berhenti menangis sehingga kami pergi bersama untuk membujuk dia pulang. Aku mengendarai mobilku sendiri, sedangkan Ayah dan Bunda di mobil Ayah. Kami harus ke kantor setelah urusan ini selesai, jadi kami tidak bisa pergi dengan satu kendaraan.Bu Liana menyambut kedatangan kami, lalu mengantar kami ke ruang tamu. Dia meninggalkan kami untuk memanggil Celeste. Nevan masuk beberapa saat kemudian bersama seorang pelayan yang membawakan kudapan. Dia hanya mendesah pelan sebelum duduk di salah satu sofa kosong.“Tolong, maafkan adikku. Dia—” Nevan berusaha untuk menjelaskan.“Ini adalah kesalahanku. Celeste berhak untuk marah,” tukas Ayah. Ne
~Celeste~Restoran yang dimiliki Papa berawal dari warung makan sederhana yang dimulainya bersama Mama. Mereka mengawali usaha itu dari nol hingga akhirnya berdiri sebuah restoran berlantai tiga. Dari menu makanan sehari-hari khas Indonesia hingga orang tuaku mempekerjakan koki khusus masakan luar negeri. Restoran itu unik karena lantai dasar tetap diperuntukkan bagi makanan yang terjangkau layaknya warung nasi sederhana, sedangkan lantai dua khusus makanan yang sedikit lebih mahal.Pelanggan semakin banyak dan mereka berharap ada cabang lain yang jaraknya lebih dekat dari tempat tinggal atau kantor mereka. Karena itu Papa ingin membangun restoran yang kedua. Itu adalah prestasi terbesarnya setelah lama berdua kehilangan Mama.Lalu ada orang yang sengaja menghancurkan impian Papa dan sengaja merebut semua itu darinya. Dan orang itu tidak lain adalah ayah mertuaku sendiri? Bagaimana bisa orang kaya punya pikiran yang begitu egois? Mereka tidak lebih baik dari Fel