Share

Bab 5 - Ciuman Pertama

Aku mengalihkan pandanganku agar tidak melihatnya. Seluruh keluarga kami sedang mengarahkan pandangan kepada mereka, jadi tidak ada yang melihat ekspresiku. Aku selamat untuk kali ini. Tetapi jika aku tidak bisa juga mengendalikan diriku sendiri, mereka semua bisa curiga melihat sikapku. Aku dan Celeste bukanlah siapa-siapa dalam fase kehidupan sekarang.

Iya, dia adalah tunanganku, kekasihku, istriku, ibu dari anakku pada kehidupanku sebelum aku mati. Dia yang sekarang hanyalah orang yang aku kenal selama beberapa hari sejak dia datang ke kantor Ayah dan menandatangani surat perjanjian yang berujung pada pertunangannya dan Jason.

Jovita dan orang tuanya tidak datang, maka aku sudah berhasil mengubah segalanya. Kakakku yang akan menjadi suaminya. Meskipun aku akan sangat menderita karena perubahan keadaan ini, tetapi hidupku dan Jason akan lebih panjang. Itu pertukaran yang adil.

Dan aku salah duga. Ternyata Jason hanya membisikkan sesuatu kepada Celeste, bukan mencium bibirnya. Mereka berdua berdiri berdekatan agar fotografer dan kamerawan mengabadikan foto dan video mereka. Ayah akan membutuhkannya untuk mempublikasikan pertunangan mereka di media nanti. Sekali lagi, aku menjaga agar ekspresi wajahku tetap datar saat Jason meletakkan tangannya di pinggang gadis itu.

“Bagaimana hasil pertemuanmu dengan dosenmu itu, Celeste? Apakah segalanya berjalan dengan lancar?” tanya Ayah saat kami semua sedang makan malam.

“Iya, Om. Aku akan sidang skripsi pada hari Rabu depan,” jawab Celeste dengan bangga.

“Itu berita yang sangat baik. Selamat, Nak.” Ayah menoleh ke arah Om Bisma. “Mengapa kamu tidak mengatakan berita ini kepadaku?”

“Jarvis, aku sedang fokus memperbaiki keadaan restoranku. Aku tidak sempat memikirkan hal lain. Lagi pula kamu sudah mengetahuinya sekarang.” Om Bisma tertawa kecil.

“Kalau Celeste sudah tidak sibuk lagi dengan skripsinya, maka kita pun tidak perlu menunda hari pernikahan mereka, sayang,” ucap Bunda memberi usul kepada Ayah. “Bukankah kita memilih hari setelah wisuda karena kita berpikir bahwa Celeste masih sibuk dengan kuliahnya?”

“Kamu benar juga.” Ayah melihat ke arah Jason yang dari tadi tidak berhenti meletakkan tangannya di tubuh gadis yang duduk di sisinya. “Bagaimana menurutmu, Jason?”

“Aku setuju saja dengan apa kata Ayah dan Bunda,” katanya dengan senyum bahagia di wajahnya. Dia menoleh ke arah tunangannya. “Bagaimana menurutmu, sayang? Apakah kamu keberatan jika pernikahan kita dilaksanakan lebih cepat?”

“Tidak,” jawab Celeste singkat. Dia melihat ke arahku sesaat sebelum menunduk dan melanjutkan menikmati makanannya. Apa arti tatapannya itu tadi?

“Sebelum kamu bertanya, aku juga tidak keberatan, Jarvis,” kata Om Bisma saat Ayah menoleh ke arahnya. Mereka semua tertawa.

“Bagus, kalau begitu!” ucap Bunda bersorak senang. “Aku akan menghubungi event organizer dan mulai menyusun rencana persiapannya. Setelah Celeste selesai sidang, kita akan mulai dari memilih pakaian untuk kalian berdua. Lalu foto pranikah agar bisa segera mencetak undangan.”

Ketika Ayah dan Om Bisma mendiskusikan hingga memutuskan tanggal yang tepat untuk hari besar tersebut, aku tertegun mendengarnya. Itu adalah tanggal pernikahan Jason dan Jovita. Cepat sekali jika mereka menikah dalam waktu dua minggu lagi. Aku butuh waktu lebih lama untuk membiasakan diri dengan perubahan baru ini.

Namun aku hanya diam. Aku tidak mungkin menyatakan tidak setuju. Semua orang akan curiga dan Bunda sudah pasti akan menggodaku dengan berpikir bahwa aku tertarik kepada Celeste. Jason juga akan sangat senang karena dia selalu menyimpulkan bahwa aku iri dengan semua miliknya. Gadis itu bukanlah miliknya. Celeste adalah milikku yang aku relakan menjadi miliknya.

Usai acara duduk bersama di ruangan tadi yang sangat menyiksa itu, akhirnya Ayah pamit kepada keluarga Celeste. Walaupun aku tidak ingin melihatnya, pandangan mataku lagi-lagi melihat ke arah tangan mereka yang saling bertautan. Aku tahu apa yang akan terjadi saat mereka berada di depan dan mengucapkan salam perpisahan. Maka aku pamit ke kamar kecil agar tidak melihat ciuman itu.

Bu Liana menunjukkan kepadaku di mana letak toilet yang sebenarnya sudah aku ketahui. Tetapi aku tetap berterima kasih kepadanya atas kebaikannya tersebut. Aku menunggu beberapa saat di dalam kamar kecil itu sampai kira-kira mereka sudah selesai dengan urusan mereka.

Mengapa aku tidak mati saja? Untuk apa aku hidup lagi dan kembali ke waktu ini? Apa pun pilihan yang aku ambil, keduanya tidak berakhir baik. Aku bersama Celeste, maka aku akan kehilangan Jason untuk selamanya. Sebaliknya, kakakku bersama kekasihku, aku yang merasa tersiksa. Mengapa aku tidak hidup lagi dengan kondisi yang sama seperti pada hari itu? Tanpa perasaan apa pun kepada Celeste? Mengapa waktu terulang lagi dengan perasaan cintaku yang sudah sangat kuat untuknya?

Koridor itu sepi saat aku keluar dari kamar kecil. Aku tidak terburu-buru keluar dari rumah tersebut. Ini akan menjadi hari terakhir aku datang ke sini. Tidak akan ada alasan lagi untukku berkunjung ke rumah ini karena aku dan Celeste sudah tidak punya hubungan apa pun.

Aku menoleh saat mendengar bunyi derap sepatu hak tinggi datang dari arah depanku. Celeste sedang berjalan ke arahku, lalu dia berhenti menunggu sampai aku dekat dengannya. Wajahnya tidak terlihat bahagia. Apakah berciuman dengan Jason seburuk itu? Aku pikir dia akan menyukainya. Karena bila dibandingkan denganku, Jace sangat ahli dalam memuaskan seorang perempuan.

“Kamu sakit perut atau apa? Mengapa kamu lama sekali di kamar mandi?” tanyanya tidak sabar. “Keluargamu sudah pergi. Papa dan Kakak sudah masuk ke kamar mereka dan aku yang disuruh untuk menunggu sampai kamu keluar.”

“Aku berada di kamar mandi selama itu?” Aku melirik jam tanganku.

“Tiga puluh menit. Kamu diare? Kokiku memasak makanan dengan sempurna, jangan bilang kamu sakit perut karena makan malam tadi.” Wajar saja dia terlihat marah. Dia disuruh menunggu selama setengah jam? Mengapa dia tidak masuk ke kamarnya saja? Ada Bu Liana yang akan mengantarku.

“Bukan aku yang memintamu menunggu. Jangan limpahkan kemarahanmu kepadaku,” kataku tidak peduli dengan protesnya itu. Aku berniat berjalan melewatinya. Jika keluargaku sudah pulang, aku tidak punya urusan apa pun lagi di rumah ini.

“Sebentar. Oh!” Celeste meletakkan tangannya di depan dadaku agar aku berhenti, tetapi kakinya yang menghalangi langkahku tiba-tiba kehilangan pijakan. Aku melingkarkan tanganku ke tubuhnya, dia juga segera berpegangan kepadaku agar tidak jatuh. Gadis ini mengapa jadi ceroboh begini? Aku menolongnya untuk berdiri dengan benar. “Lepaskan aku!” Aku menurutinya.

“Kamu mau bilang apa tadi?” tanyaku. Dia menatapku dengan bingung. “Kamu bilang, sebentar.”

“Entah. Aku lupa,” katanya acuh tak acuh. Dia membalikkan badannya. Lalu mataku tertuju kepada sesuatu yang ada di rambutnya.

“Hei.” Aku menyentuh bahunya. Bukannya berhenti dan membalikkan badan, dia malah memegang tanganku itu dengan kedua tangannya lalu berputar melewati bagian bawah tanganku dan berdiri di belakangku, memelintir tangan kananku tersebut. “Aku benci dengan kalian berdua yang suka sekali memegang tubuh orang seenaknya.”

Baik. Dia yang memulai, bukan aku. Aku menariknya agar kembali berdiri membelakangi aku hanya dengan satu hentakan saja. Dia membalas dengan menarik aku dan mengarahkan kakinya ke lekukan bagian belakang lututku. Aku mengangkat kakiku sehingga dia menendang udara dan kehilangan keseimbangan. Tetapi dia menarik aku untuk jatuh bersamanya.

“Sial,” umpatku pelan yang segera memutar tubuhku agar tidak menimpa tubuhnya, melainkan dia yang berada di atas tubuhku. Sakitnya tidak terbayangkan karena aku mendarat dengan posisi yang tidak siap. Bahkan dalam kesempatan kedua kami pun dia masih saja menyusahkan. Lalu aku hanya bisa terdiam saat bibirnya bertemu dengan bibirku.

“Ukh! Dasar laki-laki berengsek.” Celeste segera menjauhkan dirinya dariku. “Berani-beraninya kamu mengambil ciuman pertamaku!” Aku memegang kedua tangannya yang memukul dadaku. Rasanya lama sekali aku tidak bertengkar dan ribut seperti ini dengannya.

“Kamu yang mencuri ciuman pertamaku. Perempuan apa kamu ini menyerang laki-laki yang tidak menyakitimu?” Aku mengangkat tubuhnya dariku agar aku bisa kembali berdiri. Kalau bukan karena dia adalah tunangan Jason sekarang, aku sudah menahan tubuhnya dan menciumnya sepuasku.

“Kamu memegang bahuku sembarangan tadi,” protesnya kesal.

“Aku hanya ingin memberitahu ada daun di rambutmu,” kataku membela diri.

“Kamu bisa mengatakannya tanpa memegangku, ‘kan?” Dia kelihatan kesulitan untuk berdiri.

“Kamu butuh bantuan?” Aku mengulurkan tanganku kepadanya. Dia menatap tanganku sesaat lalu berusaha untuk berdiri sendiri. Benar-benar wanita keras kepala. Melihat dia menyerah, aku kembali memberikan tanganku kepadanya. Kali ini dia menerimanya.

Sebentar. Dia tadi bilang apa? Ciuman pertama? Kecelakaan tadi adalah ciuman pertamanya? Jadi, Jason tidak menciumnya saat mereka berpisah di depan rumah? Apa yang terjadi? Mengapa satu keadaan berubah tetapi situasi yang lain tetap sama? Apakah aku telah mengambil keputusan yang tepat atau jangan-jangan aku telah mengacaukan masa depan kami sendiri?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zahara Letto
kak mei msh lama up nya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status