Hai, Readers! Kalau kalian suka dengan cerita ini, jangan lupa kasih review dan dukungan ya.... Itu akan sangat berguna untuk ningkatin semangat nulis Pixie. Terima kasiiiiih .... Sehat dan bahagia selalu, Readers!
“Orang-orang berkata kalau aku telah merebut Max dari Gaby. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu,” tutur Amber sebelum mendesah samar. “Aku yang lebih dulu mengenal Max, aku yang lebih dulu menyukainya, dan aku juga yang lebih dulu dekat dengannya.” “Apakah kalian dulu berpacaran?” tanya Adam, terdengar penuh simpati. Sambil tersenyum miris, sang wanita menggeleng. “Tidak. Karena itulah, aku sangat marah ketika Gaby datang. Bagaimana mungkin dia bisa langsung mendapatkan Max, sedangkan aku yang sudah bertahun-tahun mengejarnya tidak pernah diberi kesempatan?” “Kau berpikir kalau Gaby telah merebut Max darimu?” simpul Adam seraya melirik. Sekali lagi, Amber menggeleng. “Entahlah. Max tidak pernah menjadi milikku. Aku tidak bisa mengklaim kalau Gaby sudah merebutnya. Hanya saja, aku tidak terima kalau kesempatanku lenyap. Waktu itu, aku menolak percaya kalau mereka sudah menikah.” “Lalu kau berusaha merebut laki-laki itu dari istrinya?” Nada bicara Adam kembali terdengar mengha
“Lepaskan!” pekik Amber saat mendapat kesempatan bernapas. Namun, sedetik kemudian, mulutnya kembali dibungkam. Wajahnya sampai memerah karena gelagapan. Sadar bahwa Amber belum sempat mengumpulkan oksigen, Adam pun turun ke leher sang wanita. “Berhentilah!” teriak Amber di sela desah napas. “Ini pelecehan! Aku akan menuntutmu kalau kau—” Lagi-lagi, sang pria menargetkan bibirnya. Dengan sisa tenaga yang tak seberapa, Amber tak mampu melawan. Sekuat apa pun ia mendorong, pundak di atasnya tidak juga menjauh. Adam terus mengambil kenikmatan dari bibirnya. Kelelahan, sang wanita akhirnya berhenti meronta. Sambil mengerutkan alis, ia memejamkan mata rapat-rapat. Hatinya panas terbakar kecewa dan marah. “Kenapa Beruang Gila ini selalu menyiksaku? Tidak bisakah dia memperlakukanku dengan layak?” batin Amber sembari menelan kepedihan. Menyadari kepasrahan sang wanita, Adam pun menghentikan aksinya. Seraya mengatur napas, ia memperhatikan air mata yang membasahi pelipis Amber. “Ck, aku
“Aku berdebar karena sentuhannya?” batin Adam sambil berkedip tegas. Pria itu sama sekali tidak bergerak. Ia terlalu sibuk memikirkan keajaiban yang terjadi pada dirinya. Melihat keanehan Tuan Dingin, Amber bertambah bingung. Sembari mengabaikan perasaan ngeri, ia bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” Tiba-tiba, Adam menarik sebelah tangan Amber untuk diletakkan di pipinya. Menyaksikan kelakuan pria itu, sang wanita semakin terbelalak. “Apa yang kau lakukan?” Tanpa memberikan jawaban, si Beruang Gila memindahkan tangan Amber ke atas kepala, pundak, lalu kembali ke dada. Setiap kali sang wanita menyentuhnya, hatinya tergelitik. “Ada apa dengan tangan ini?” “Ada apa dengan tanganku?” balas Amber seraya melihat ke arah yang sama—telapaknya. Tiba-tiba, Adam mendorong sang wanita sehingga mereka kembali rata dengan sofa. Sambil menunggu debar dalam dada, pria itu memiringkan kepala. “Kenapa sekarang malah hilang?” desahnya sebelum berpikir lebih keras. Risih dengan kedekatan mereka, A
“Mana Beruang Gila itu?” gumam Amber saat mendapati Tuan Dingin tidak lagi berada di balik punggungnya. Sambil mengernyitkan wajah, ia beranjak duduk. “Astaga! Ini sudah pukul 11? Aku tidur lebih dari 12 jam?” desah perempuan itu saat melihat penunjuk waktu di dinding. Seraya berkedip-kedip tak percaya, ia bergegas melipat selimut. “Ini gawat! Beruang Gila itu pasti akan memarahiku.” Secepat kilat, Amber bangkit dari sofa. Tepat pada saat itulah, matanya tertuju pada secarik kertas lusuh di atas meja. “Apa ini?” Dengan alis terangkat tinggi, wanita itu membaca pesan yang tertulis. “Aku sudah menunggumu sejak pagi, tapi kau tidak bangun-bangun. Jadi, aku terpaksa berangkat sendiri ke kota besar.” “Dia pergi menemui Adam Smith tanpa mengajakku?” seru Amber dengan mata lebar. “Ah, aku seharusnya bangun lebih awal.” Sembari meringis, ia meneruskan bacaan. “Tapi kau tidak perlu cemas. Aku akan membawakan idolamu itu ke hadapanmu. Jadi bersiaplah! Pakaianmu ada di atas tempat tidur,
"Sekarang, apakah kau puas? Kau sudah melihat betapa menderitanya perempuan yang kau benci ini. Sudah cukupkah hukuman yang kuterima?" Amber mengepalkan tangan, berusaha menghentikan tangis. Akan tetapi, air matanya terus mendesak keluar. Mendengar suara lirih wanita itu, dada Adam bertambah sesak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya memecah hening. "Di sini dingin. Sebaiknya kita bicara baik-baik di dalam." "Kau kira aku sudi menginjak rumahmu lagi?" Sang wanita tertawa datar sejenak. "Jangan bodoh, Tuan Smith. Pondokmu adalah tempat terburuk di muka bumi. Aku sangat menyesal pernah tinggal di sini." Tanpa basa-basi, Amber berjalan melewati pundak sang pria. Spontan saja, Adam menahan lengannya. "Kau tidak perlu pergi. Aku sudah bertekad untuk tidak bersikap kasar lagi." Sorot mata Amber otomatis menajam, sementara sudut bibirnya berkedut jijik. "Simpan omong kosong itu untuk dirimu sendiri! Kau membuatku semakin muak!" Sebelum wanita itu menepis tangannya, Adam memajukan k
"Tidak!" Amber menghindar dari mulut botol. "Jangan meracuniku!" "Tenang, Nona. Ini tidak akan mengantarmu ke neraka. Kau malah akan merasakan surga dunia," bisik sang pria sebelum mencengkeram dagu korbannya lebih kuat. Ketika air berhasil masuk ke mulut, Amber dengan sigap menyemburnya. Melihat perempuan itu masih sanggup melawan, sang pria mulai menggeram. "Minum!" Namun, setiap kali ia mengangkat dasar botol, Amber selalu berhasil menumpahkan air yang dituang. Merasa kesal, laki-laki itu akhirnya melayangkan tamparan keras. Seketika, sang wanita tertunduk dengan alis berkerut dan mata terpejam. Rasa pusing yang hebat telah mengguncang kepalanya. "Seharusnya kau menurut sejak tadi! Minum!" Dalam kondisi setengah sadar, Amber menuruti paksaan. Meski sempat terbatuk-batuk, ia terus dicekoki hingga tidak ada air yang tersisa. Para penjamah semakin bersemangat melihatnya. Mereka tertawa puas selagi membayangkan malam yang membara. "Bagus, Nona," ujar si pemimpin gerombolan sebe
“Aku saja yang ke dapur. Kau beristirahatlah di sini,” ujar Adam sembari mengangguk tulus. Namun, bukannya beranjak, sang wanita malah bergeming. Ia telah terhipnotis oleh mata hijau yang hanya berjarak beberapa inci dari hidungnya. “Amber?” panggil pria yang kebingungan menyaksikan diamnya sang wanita. Tanpa terduga, Amber menangkup pipi Adam dengan kedua tangan. Sembari menutup mata, ia pun merapatkan jarak di antara bibir mereka. Tubuh sang pria seketika menegang. Alisnya terangkat maksimal dan kedipannya tertahan. Selama beberapa saat, ia tidak berani bergerak. Hati dan logikanya sedang bertempur hebat. "Haruskah aku menyambut kecupan? Sudah dua tahun aku lebih tidak merasakan kenikmatan ini. Tapi aku bukan laki-laki berengsek yang memanfaatkan keadaan." Ketika Amber memberi jeda untuk mengambil napas, Adam cepat-cepat memisahkan pundak mereka. Dengan tampang datar, ia mencoba untuk membangkitkan akal sehat sang wanita. "Berhentilah! Bukankah kau tidak mau melakukannya d
“Kau mandul?” desah Amber tak percaya. Tatapannya tak lepas dari kilau mata yang memancarkan kesedihan. “Tolong jangan kau sebarkan berita ini, tapi ya ... aku mandul. Karena itulah, aku marah saat kau menuduhku impoten.” Adam mengangkat bahu sambil memaksakan senyum. Sang wanita berkedip-kedip tanpa suara. Informasi tersebut terasa ganjil baginya. Selang perenungan singkat, barulah ia memecah kebekuan lewat dengus dan gelengan samar. “Berhentilah membohongiku! Aku tidak bodoh. Kau kira aku lupa dengan bayi dalam foto itu? Kau sudah punya anak.” “Itu juga yang kupikirkan dulu. Aku mengira bayi lucu itu adalah anakku. Tapi ternyata ... bukan,” timpal Adam dengan suara yang semakin pelan. Kekesalan di wajah Amber mendadak pudar. Ia tahu, pria di sampingnya tidak sedang bercanda. “Apa yang terjadi?” tanyanya ketus. Kepeduliannya tidak boleh terdengar. “Dulu aku sangat mencintai istriku. Meski bertahun-tahun menikah tanpa dikaruniai anak, kami tet