All Chapters of Menaklukkan Duda Dingin: Chapter 1 - Chapter 10
128 Chapters
1. Bertemu Tuan Dingin
“Hei, kembalikan barang-barangku!” pekik Amber sambil berusaha bangkit dari timbunan salju. Hidungnya yang berair kini memerah karena marah.“Hei!” seru wanita dengan mantel putih berbulu itu lagi. Dengan susah payah, ia melangkah menuju aspal. “Berhenti kalian! Jangan membuatku marah! Kalian akan menyesal jika aku berhasil menangkap kalian!”Malangnya, ketika Amber hampir tiba di bahu jalan, mobil yang dikejarnya sudah berputar arah. Dua pria yang tadi melemparnya pun tertawa puas sembari melambaikan tangan dari jendela.“Adjö!”Tanpa memedulikan apa yang disebut oleh si orang asing, Amber berteriak sekencang-kencangnya. “Dasar penipu! Aku membayar mahal untuk diantar menemui Adam Smith, bukan ditelantarkan di tengah hutan seperti ini!”Dengan mata berkaca-kaca, Amber melihat mobil perampok itu menghilang di kejauhan. Ia sadar, tidak ada gunanya memekik ataupun mengejar. Si orang asing tidak akan kembali menjemputnya.“Aku tidak seharusnya percaya pada mereka,” sesal wanita itu geram
Read more
2. Jangan Menguji Kesabaranku
Sambil tersenyum miring, Tuan Dingin menuangkan teh dari panci ke dalam cangkir. Sama sekali tidak ada penyesalan pada raut wajahnya. Sorot mata pria itu malah tampak puas. “Dasar perempuan bodoh,” gumamnya samar. “Tidak ada satu orang pun yang bisa mengusik ketenanganku. Kau harus tahu itu.” Setelah menyeruput sedikit, Tuan Dingin membawa cangkirnya menuju sebuah kursi di dekat jendela. Dari situ, ia dapat melihat salju turun dari langit dan angin kencang mulai menggerakkan puncak pinus. “Hm? Apakah malam ini akan ada badai lagi?” Seraya mengangkat alis, pria itu menikmati tehnya. Ia senang telah berhasil mengembalikan kedamaian. Namun, semakin banyak salju yang turun, semakin jauh tatapannya menerawang. Hingga pada satu titik, desah cemas berembus dari mulutnya. “Perempuan itu ... mampukah dia bertahan?” Selang perenungan singkat, Tuan Dingin menggeleng cepat. Tidak seharusnya bayangan Amber menetap lama dalam benaknya. “Kenapa aku memikirkan perempuan itu? Dia bukan siapa-si
Read more
3. Bagian Favoritku
“Aku pasti sudah gila. Kenapa aku malah memancing kemarahan Beruang Gila itu?” sesal Amber sambil berusaha mengatur napas. Dengan kepala tertunduk, ia mencoba menata ulang pikiran. “Apakah benar laki-laki itu tidak meniduriku?” tanyanya lirih. Sembari mengerutkan alis, Amber menggerak-gerakkan kaki, memeriksa apakah ada yang aneh pada bagian bawah tubuhnya. Setelah memiringkan kepala, wanita itu mulai mengangguk samar. “Dia pasti impoten. Kalau tidak, kenapa dia semarah itu?” gerutu Amber sebelum terdiam sesaat. “Tapi, apa maksudnya dengan memakanku bulat-bulat? Apakah dia benar-benar psikopat?” Sembari merenung, tatapan Amber mulai menjelajahi dapur. Tanpa sadar, tangannya bergerak sendiri mengelus perut. “Aku butuh makanan.” Masih dengan selimut membungkus tubuh, wanita itu bergerak memeriksa apa yang ada di atas meja. Begitu menemukan tumpukan Cinnamon Roll di atas piring, mata Amber sontak membulat. “Ini pasti enak,” ujarnya bahagia. Tanpa berpikir panjang, ia mulai melahap
Read more
4. Kau Adalah Makananku
“Bukankah tadi kau bilang masih ingin hidup?” gumam Tuan Dingin seraya mengelus pergelangan tangan Amber dengan ibu jari. Kini ia yakin bahwa garis cokelat di sana benar-benar nyata. Mendapat pertanyaan semacam itu, sang wanita pun bergeming. Dengan alis berkerut, ia mengamati situasi. “Aku memang masih ingin hidup,” ucapnya di sela gemuruh napas. “Lalu, kenapa kau punya bekas luka seperti ini?” tanya Tuan Dingin seraya memutar pergelangan tangan sang wanita. Sebelah alisnya terangkat sedikit lebih tinggi. Melihat jejak torehan pisau di kulitnya, Amber pun terkesiap. Ia tidak menduga bahwa orang pertama yang berhasil menemukan rahasianya adalah laki-laki dingin yang sama sekali tidak dikenal. “Itu bukan urusanmu,” jawabnya sambil menyentak tangan. Alih-alih melepaskan, Tuan Dingin malah mencengkeram lebih erat. “Daripada kau mati sia-sia, bukankah akan lebih baik jika kau menyerahkan diri kepadaku?” Sambil menggertakkan geraham, Amber mulai mempertajam tatapan. “Aku belum mau ma
Read more
5. Puas
“Baiklah! Aku minta maaf. Aku percaya kalau kau tidak impoten. Kau tidak perlu membuktikannya,” ujar Amber sambil memaksakan otak untuk menemukan solusi. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu semangatku?” “Semangat?” tanya Tuan Dingin seraya menyipitkan mata. Tanpa berpikir ulang, sang wanita mengangguk tegas. “Ya. Jika sudah bertekad, aku bisa melakukan apa saja, seperti mengurus rumahmu. Apakah kau tidak lelah mengurus pondok ini seorang diri?” “Jadi maksudmu, kau mau menjadi pelayan di rumah ini?” selidik sang pria, meragukan. Meski sempat ragu, Amber akhirnya melebarkan senyuman. “Ya, tentu saja. Aku bisa menyingkirkan semua debu dari perabotan, mencuci piring-piring kotor, dan ...” wanita itu berkedip-kedip mencari ide, “memasak makanan.” “Kau bisa memasak?” “Ya! Tentu saja. Aku tahu banyak resep makanan enak,” angguk Amber, berharap kebohongannya tidak terdeteksi. Selang perenungan sesaat, Tuan Dingin beranjak dari sang wanita. “Kalau begitu, buatkan aku makan sian
Read more
6. Tamparan Keras
Sambil mengelus perut, Amber menyandarkan diri di sofa. Wajah pucatnya tidak lagi bersemangat, sementara matanya yang redup tampak begitu putus asa. “Ini sudah lewat beberapa jam, tapi kenapa efeknya belum hilang juga?” gerutu wanita itu sebelum terpejam menahan mual. Malangnya, bayangan sup gagal tadi siang malah terlintas semakin jelas. “Ck, membuatku semakin pusing saja,” lanjutnya seraya memijat pelipis. “Kenapa kau pusing? Apakah karena sup lumpurmu itu?” Mendengar suara Tuan Dingin, Amber sontak menegakkan badan dan membuka mata. Dengan tampang datar, ia menjawab, “Ya, tapi bukan karena rasanya. Sup tomat kentang tadi sangat enak. Hanya saja, aku tidak bisa makan terlalu banyak.” Sambil menaikkan alis, pria yang muncul dari dapur itu mengangguk-angguk. “Kalau begitu, cepat lakukan tugas selanjutnya!” “Tugas apa lagi? Aku sudah merapikan dapurmu dan lemari tulang itu. Aku juga sudah menyingkirkan semua debu dari ruang ini. Tidak bisakah kau memberikan aku waktu istirahat?” p
Read more
7. Memutuskan Pergi
Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin. “Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan. “Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.” Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya. “Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.” Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak
Read more
8. Lepaskan Aku
Begitu terbangun, Tuan Dingin langsung tersentak. Secepat kilat, laki-laki itu melihat ke arah pemanas. Ketika menemukan Amber masih berbaring di lantai, barulah ia dapat bernapas lega. “Syukurlah,” gumamnya tanpa sadar. Dengan tenang, Tuan Dingin menghampiri dan memeriksa. Namun, ketika mendapati wajah yang memerah, matanya kembali terbelalak. “Nona?” panggilnya sambil menarik pundak sang wanita. Tanpa terduga, punggung Amber langsung rebah. Kepalanya pun terkulai tak berdaya. Bibir wanita itu pucat, sementara keringat membanjiri keningnya. Menyaksikan hal itu, sang pria otomatis menyentuh pipi Amber. “Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?” Setelah menggetarkan bola mata sejenak, Tuan Dingin bergegas masuk ke kamar tidur. Dengan alis berkerut, ia mencari pakaian terlayak di antara tumpukan baju. Namun, selang beberapa detik, belum ada satu pun yang dipilih. Tak ingin membuang waktu, pria itu akhirnya membuka lemari dan mengambil sweater putih dari kotak merah. Selesai memakaika
Read more
9. Satu-satunya Harapan
Ketika mobil berhenti, Amber langsung memajukan kepala dan celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya. Namun, dari ujung ke ujung, tidak ada satu pun bangunan yang tertangkap oleh matanya. Yang ada hanyalah bayangan pepohonan di bawah langit biru gelap. “Apakah kita sudah sampai? Mana toko grosir yang kau tuju?” Setelah menarik rem tangan, Adam menoleh ke kanan. Ekspresinya datar. Mustahil bagi sang wanita untuk mengetahui isi hatinya. “Masih beberapa puluh meter di depan. Tapi aku tidak mau ada orang yang melihatmu turun dari mobilku.” “Baiklah, itu berarti kita berpisah sekarang,” gumam Amber seraya mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, wanita itu memasang senyum kecil yang sulit diartikan. “Terima kasih, Tuan Dingin. Terima kasih karena telah menyelamatkanku dan bersabar menghadapiku.” Tak tahu harus menjawab apa, Adam mengangkat bahu sekilas. Tatapannya kemudian beralih ke kaca depan. Sementara itu, Amber mulai melepas anting-anting di telinganya. “Seperti yang sudah kubilang,
Read more
10. Penderitaan Amber
“Kau berbelanja sebanyak ini? Apakah kau kedatangan tamu?” gumam wanita di balik meja kasir saat Adam meletakkan keranjang. Mendengar celetukan si rambut putih, alis sang pria sontak melengkung naik. Setelah hening sejenak, barulah ia menggeleng. “Aku hanya ingin makan lebih banyak.” “Ya, ya. Kanibal sepertimu mana mungkin punya teman,” gerutu si pemilik toko sebelum mulai menghitung harga. Selagi menunggu, Adam kembali menoleh ke arah pintu kaca. Amber ternyata sedang sibuk menulis di sebuah buku. “Apa yang akan terjadi kalau perempuan itu tahu yang sebenarnya? Akankah dia bertekuk lutut padaku? Haruskah aku mengaku?” pikir pria yang ketagihan mempermainkan Amber. “Jika dia kembali ke pondok, dia bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.” Tiba-tiba, dua gadis remaja mendorong pintu. Setelah masuk, salah satunya berbisik, “Ella, bukankah perempuan tadi Amber Lim?” Dalam sekejap, Adam melirik dan mempertajam pendengaran. “Amber Lim? Siapa itu?” “Apa kau lupa? Perempuan yang berusa
Read more
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status