Share

Pertemuan yang Tidak Diharapkan

Delapan bulan kemudian

Hampir delapan belas jam perjalanan dari Zürich menuju Jakarta, membuat Farzan tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Dia sudah tidak sabar bertemu lagi dengan Arini, wanita yang sangat dirindukan saat ini. Sejak beberapa jam yang lalu, foto wanita itu yang selalu dilihatnya di pesawat.

Akhirnya Farzan selesai menempuh pendidikan di kota yang dikenal dengan nama lain Turicum tersebut. Pemuda itu berencana untuk bekerja di perusahaan otomotif dibandingkan harus mengelola perusahaan sang Ayah yang kini ditangani oleh Brandon, kakak tirinya. Apalagi perusahaan The Harun’s Group tidak bergerak di bidang otomotif, melainkan properti dan garment.

Dua jam kemudian, pesawat yang ditumpangi Farzan berhasil mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta. Seperti biasa, tidak ada yang menjemputnya di bandara karena kondisi kesehatan Arini sedang tidak baik. Kedua keponakannya juga bersekolah, sementara Brandon sibuk dengan pekerjaan di perusahaan.

“Pulang sama apa, Zan?” tanya Bram menepuk bahu Farzan.

“Taksi. Biasa,” jawab Farzan singkat.

Bramasta senyam-senyum melihat wajah semringah sahabatnya. “Senang banget mau ketemu sama pujaan hati.”

Farzan meninju pelan perut Bram, lantas melingkarkan tangan di lehernya. “Pujaan hati apanya?” sungut pemuda itu.

Pemuda berkacamata itu meringis kesakitan dan berusaha melepaskan lingkaran tangan sahabatnya.

“Lo udah janji nggak bakal bahas itu di Jakarta, Bram,” protes Farzan setelah menurunkan lengannya.

“Ya sorry. Lagian gue ‘kan nggak nyebut merek, Zan,” ucap Bram menggerakkan leher yang terasa sedikit sakit.

Farzan kembali mengalihkan pandangan ke tempat baggage conveyor berada. Sorot mata elangnya mencari keberadaan dua koper besar yang diangkut dari Zürich.

“Cari pacar gih sana, biar nggak berlarut-larut tuh perasaan,” saran Bram membuat Farzan kembali menoleh kepadanya.

Pemuda bertubuh tinggi tegap tersebut mengangkat bahu singkat, lantas menggelengkan kepala.

“Kenapa?”

“Ngapain cari pacar kalau cuma buat pelarian,” tanggapnya singkat, “kasihan anak orang dong.”

Bram tertawa mendengar perkataan sahabatnya. Entah berapa kali ia menyarankan hal yang sama kepada Farzan dan sudah berapa kali juga mendengar jawaban serupa.

“Ya udah. Gue harap, lo bisa kuat, Zan.” Bram menepuk lagi pundak sahabatnya tiga kali.

Setelah menemukan barang bawaan masing-masing, mereka berdua segera keluar dari area pengambilan bagasi. Senyuman kembali menghias paras tampan Farzan, karena sebentar lagi akan bertemu dengan Arini.

Begitu tiba di pintu keluar terminal kedatangan, senyuman itu memudar seketika. Langkah Farzan berhenti saat melihat perempuan yang tidak ingin lagi ditemuinya, kini berdiri di antara puluhan orang yang menunggu kedatangan keluarganya.

“Kenapa, Zan?” Bram bingung sendiri melihat reaksi aneh Farzan.

“Hah?”

“Apanya yang hah? Kenapa berhenti? Counter taksi ada di sebelah sana,” kata Bram menunjuk sebelah kanan pintu masuk terminal.

Farzan menelan ludah, kemudian menurunkan topinya ke bawah. Dia mempercepat langkah menuju tempat pemberhentian taksi.

“Lo kenapa sih, Zan?” Bram sudah berjalan di samping Farzan setelah mengejarnya dengan napas mulai tersengal-sengal.

“Gue pengin cepetan nyampe rumah aja. Kangen sama Mama dan Papa,” desis Farzan asal.

Bramasta menatap curiga sahabatnya. Dia tidak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan pemuda itu. Empat tahun mengenal Farzan, ia tahu persis ada yang disimpan olehnya.

“Ya udah. Gue cabut duluan ya. Jangan lupa weekend kita nongkrong di Beer Garden,” pungkas Farzan ketika melihat taksi yang dipesan tiba.

Dia segera meninggalkan Bram yang kebingungan dengan perubahan sikapnya barusan. Taksi mulai berjalan pelan meninggalkan area terminal kedatangan internasional, termasuk dengan perempuan yang dilihat Farzan. Mata elangnya terpejam erat saat tubuh bersandar di jok mobil.

“Gimanapun, dia adalah Ibu kamu. Dia yang melahirkan kamu, jadi harus tetap berbakti ya, Dek.”

Penggalan nasihat yang kerap diberikan Arini kembali terngiang di pikiran pemuda itu. Tangannya naik lagi ke atas, mengusap wajah dengan kasar. Dia mendesah pelan sebelum bersuara.

“Pak, boleh balik lagi ke tempat tadi?” pintanya merasa tak tega meninggalkan perempuan paruh baya itu sendiri di depan pintu terminal.

Taksi segera berputar arah lagi menuju terminal kedatang internasional. Selang beberapa menit kemudian kendaraan roda empat tersebut berhenti di area drop-off penumpang.

“Bisa tunggu sebentar, Pak? Saya cuma sebentar. Argo jangan dimatikan,” ujar Farzan sebelum membuka pintu mobil.

Setelah memastikan Bram sudah tidak ada lagi di sana, ia segera turun dari mobil lalu melangkah ke tempat wanita paruh baya itu berdiri. Ternyata sosok yang ingin dihindari tadi masih berdiri di sana, menunggu kedatangannya.

Farzan menghela napas berat, sebelum menarik tangan kurus itu menjauh dari kerumunan. Sorot matanya menjelajahi wajah yang kini sudah menua. Tidak ada lagi kecantikan yang dulu dibanggakan di sana. Kerutan sudah menghiasi area mata dan kening. Rambut putih juga mendominasi mahkota hitam tebal yang dulu melengkapi sempurnanya kecantikan seorang Rahayu Harun, istri kedua Sandy Harun.

“Kenapa Mommy bisa ada di sini?” tanya Farzan dengan sorot mata dingin kepada wanita yang telah melahirkannya.

Perbuatan Ayu di masa lalu benar-benar membuat Farzan malu. Apalagi ia juga hasil dari perbuatan buruk sang Ibu yang menjebak ayahnya hingga hamil sebelum menikah. Bagi pemuda itu hanya Maylisa Harun yang diakui sebagai ibu di depan teman-temannya.

“Arini yang kasih tahu kalau kamu datang hari ini,” jawab Ayu tanpa bisa menyembunyikan kerinduan dengan buah hati.

Lagi-lagi Farzan mendesah. “Mommy nggak ngerecokin Papa lagi, ‘kan?”

Ayu menggeleng lesu. “Mommy ke sini hanya ingin ketemu sama kamu, Nak. Mommy kangen.”

Tangan yang mulai berkerut itu naik membelai pinggir wajah Farzan yang sudah menunjukkan sisi dewasanya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang tampan melebihi kakaknya dulu.

“Sekarang udah ketemu, ‘kan? Sekarang Mommy balik lagi ke Uluwatu.” Farzan memperlihatkan wajah memohon.

Ayu kembali menggeleng seraya mengulas senyum. “Arini sudah pesankan apartemen untuk Mommy tinggal selama satu minggu.”

“Kamu nggak perlu khawatir, Mommy janji nggak akan ganggu Mas Sandy dan Mbak Lisa lagi.” Ayu menggenggam erat kedua tangan Farzan. “Toh kamu juga sudah cukup untuk menjamin kehidupan Mommy,” sambungnya kemudian.

Kening Farzan berkerut dalam ketika mencoba menganalisa perkataan Ayu.

“Kamu akan handle perusahaan Papa, ‘kan?” Ayu mengajukan pertanyaan yang membuat Farzan terkesiap. “Tentu iya, ‘kan? Mommy tahu kamu pasti akan dapat setengah dari group perusahaan itu.”

Pemuda itu tidak menyangka sang Ibu masih saja memikirkan materi. Bahkan setelah dipenjara, Ayu masih belum berubah. Dia tidak habis pikir bagaimana Arini bisa membiarkan ular berbisa seperti ini berkeliaran di Jakarta.

Sorot mata elang Farzan menajam ketika menatap Ayu lurus. Kedua tangan menggenggam erat bahu yang begitu kurus.

“Jika itu alasan Mommy ingin tinggal bersama denganku di sini, sebaiknya buang aja jauh-jauh.” Farzan menarik napas mencoba mengendalikan amarah yang mulai naik. “Aku nggak mau kerja di perusahaan Papa. Lagian perusahaan itu milik Mas Brandon. Jadi jangan pernah berpikir hidup Mommy akan sejahtera denganku.”

Farzan kembali menegakkan tubuh. Dia melangkah pergi meninggalkan wanita itu tak jauh dari pintu keluar terminal kedatangan. Hati terasa sakit ketika menyadari sang Ibu hanya menginginkan materi, bukan murni karena rasa sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya.

“Farzan,” panggil Ayu namun tak dihiraukan.

Pemuda itu terus melangkah menuju taksi yang akan membawanya ke rumah keluarga Harun. Tempat di mana ia bisa mendapatkan kasih sayang yang tulus dari Lisa dan terutama Arini.

Sekuat tenaga Farzan menahan bulir bening yang ingin keluar dari netra hitamnya. Dia mendadak menjadi anak laki-laki cengeng. Saat ini yang dibutuhkan adalah bahu Arini, tempat ia biasa menumpahkan air mata ketika merasa sedih dengan nasibnya.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status