Share

Salah Paham

Samar-samar terdengar ponsel berdering. Tangan kokoh itu berusaha menyelusup ke bawah bantal sofa mencari keberadaan gadget tersebut. Kelopak matanya mulai mengerjap agar bisa melihat dari siapa panggilan tersebut.

Netra hitam itu langsung terbuka lebar ketika menyadari sekarang sudah pukul 07.00, artinya sudah lewat dari waktu subuh. Tilikan beralih kepada nama yang tertera di layar ponsel. Kakak Cantik.

Assalamualaikum, Kak,” sapa Farzan setelah menggeser tombol hijau.

Dia beralih ke posisi duduk sambil mengurut pelipis. Pemuda itu tidak bisa tidur nyenyak, setelah insiden yang tidak terduga tadi malam. Pandangannya beralih melihat gadis yang masih terbaring di atas kasur.

Waalaikum salam. Katanya tadi malam mau video call,” balas Arini di seberang sana.

“Maaf banget, Kak. Aku sampai apartemen udah kemaleman banget, kakak pasti tidur nyenyak,” ujarnya beralasan.

Terdengar tarikan napas berat. “Di sini sekarang udah siang. Mana nih? Kakak mau lihat wajah kamu.”

Farzan tersenyum lebar. Dengan hal kecil seperti ini sudah cukup berarti baginya. Dia juga mendapatkan kasih sayang dan perhatian Arini, meski tidak bisa memilikinya.

Sekali lagi, ia cukup tahu diri dengan posisi sebagai anak dari perempuan yang telah merenggut kebahagiaan wanita lain.

“Bentar, Kak. Aku cuci muka dulu.”

Arini berdecak berkali-kali. “Salatnya jangan lewat dong, Dek. Dosa loh ditinggalin. Apalagi salat Subuh.” 

Farzan hanya nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala. “Ketiduran, Kak. Biasanya nggak begini. Cuma tadi malam nggak bisa tidur aja.”

“Lain kali kalau ketiduran, langsung salat jangan ngapa-ngapain dulu. Ngerti?”

“Ngerti, Kakak Sayang. Ya udah, sekarang aku cuci muka dulu. Habis itu kita video call,” janji Farzan sebelum mengakhiri panggilan.

Kedua tangannya terangkat ke atas meregangkan tubuh yang terasa pegal. Menggendong tubuh kurus perempuan tadi malam, ternyata bisa membuat ototnya menegang. Farzan mengembuskan napas lesu saat ingat ada orang asing di flatnya.

“Bahaya kalau kakak lihat,” gumamnya mulai panik.

Sambil mengucek mata, ia berdiri lantas beranjak menuju tempat tidur.

“Mbak,” panggil Farzan membangunkan.

Perempuan itu bergeming.

“Mbak,” ulangnya lagi menendang pinggir tempat tidur, sehingga wanita tersebut tersentak.

Netra hitam lebar itu langsung membesar, kemudian beredar ke sekeliling. Sedetik kemudian, ia meringis karena kepala terasa pusing.

Farzan hanya berdiri sambil berkacak pinggang. “Udah sadar, ‘kan? Sekarang silakan pergi.”

Lagi-lagi perempuan berwajah tirus itu melotot bingung. “Lo siapa? Kenapa gue bisa ada di sini?”

Dia menarik selimut menutupi tubuh yang masih berpakaian lengkap. “Lo apain gue tadi malam?” tanyanya sambil meraba di bagian bawah selimut.

Tawa singkat keluar dari sela bibir Farzan. “Makanya kalau minum jangan kebanyakan, Mbak. Untung ada saya yang tolongin. Kalau nggak, mungkin udah diculik dan diperkosa sama dua bule tadi malam.”

Bibir terisi penuh itu sedikit terbuka ketika kening berkerut. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam, sebelum tertunduk lesu.

“Udah ingat? Nah, sekarang silakan pergi dari sini sebelum ada yang datang,” usir Farzan berusaha sopan.

Sorry, udah nuduh lo macam-macam. Thanks juga udah tolongin gue.” Wanita itu mengangkat pandangannya.

You’re welcome.” Farzan menyatukan kedua tangan di depan kepala. “Please, sekarang Mbak pergi ya. Saya nggak mau ada kesalah pahaman.”

Perempuan itu keluar dari selimut yang membungkus tubuh, kemudian mengambil tas yang tergeletak di lantai. Dia malu sekali karena telah menuduh Farzan yang bukan-bukan. Seperti anak kecil yang melakukan kesalahan, ia berdiri takut-takut sambil membungkukkan tubuh.

“Sekali lagi makasih ya,” ucapnya sembari merapikan rambut di sela pusing yang masih terasa.

Farzan mengangguk singkat sambil melirik jam dinding. Dia ingin gadis ini cepat pergi, agar bisa memenuhi janji untuk video call dengan Arini.

Pemuda itu mengulurkan tangan ke arah pintu. “Silakan.”

Perempuan bertubuh semampai itu melangkah menuju pintu, namun kembali membalikkan tubuh menghadap Farzan.

“Nama gue Nadzifa. Gue ke sini cuma buat liburan aja.” Dia nyengir kuda sebelum melanjutkan perkataan. “Gue tahu ini nggak penting buat lo. Tapi gue nggak mau lo berpikir aneh-aneh tentang gue.”

Farzan memiringkan kepala sambil mengerling ke arah pintu. Pertanda gadis itu sudah harus pergi dari sana. Khawatir juga jika Bram datang pagi-pagi ke flatnya. Apalagi pemuda berkacamata tersebut tinggal di flat sebelah.

Gadis bernama Nadzifa itu kembali memutar tubuh menghadap pintu, lantas mengayunkan kaki lagi. Langkahnya berhenti ketika Farzan membukakan pintu.

“Wah kebetulan lo buka pintu, Zan. Tadi ma—” Tiba-tiba sosok yang tidak ingin ditemui Farzan muncul di sela pintu.

Netra di balik kacamata itu memelotot ketika melihat perempuan berada di flat sahabatnya pagi-pagi sekali. Keningnya berkerut ketika pandangan berpindah kepada Farzan. Sudah pasti menuntut penjelasan.

“Nanti gue ceritain,” ujarnya.

Nadzifa hanya tersenyum gugup kepada Bramasta.

“Sekali lagi thanks ya. Kalau lo nggak datang tepat waktu, gue pasti—”

“Udah, Mbak. Saya terima kok ucapan permintaan maaf dan terima kasih dari Mbak. Sekarang pergi ya,” kata Farzan tak sabar.

Kepala Nadzifa manggut-manggut. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, ia pergi dari sana dengan langkah gontai.

“Ternyata lo diam-diam menghanyutkan, Man,” goda Bramasta menepuk pelan dada Farzan setelah gadis itu menghilang di dalam kotak besi.

“Sialan.” Tangan Farzan naik ke atas, lalu mengusap wajah Bram.

Mereka berdua berjalan memasuki flat yang terlihat berantakan, gara-gara kejadian tadi malam.

“Cuci dulu tuh otak lo. Jangan salah paham.” Farzan mengempaskan tubuh di sofa.

Bram ikut duduk di sebelah sang Sahabat dengan tenang. Ah, tidak tenang juga karena senyum usil masih tergambar jelas di parasnya.

“Gimana nggak suuzan coba. Pagi-pagi ada cewek di flat lo.” Bram tampak antusias. “Udah gitu tadi malam pulang dadakan, tanpa pamitan juga. Wajar dong kalau gue pikir kalian ngapa-ngapain.”

Farzan berdecak malas sambil bersandar di sofa. Dia mulai menceritakan kejadian tadi malam tanpa mengurangi atau melebihkan. Termasuk dengan celotehan Nadzifa ketika bangun, sebelum tertidur lagi.

“Dia ngajak lo nikah?” seru Bram tak percaya.

Farzan mengangkat bahu singkat. “Jangan berpikir kalau lo percaya dengan ucapan orang mabok.”

Bram menegakkan tubuh sambil memangku tangan. “Zan, Zan. Lo pikir ucapan orang mabok nggak bisa dipercaya?”

“Justru orang mabok itu suka ngomong jujur,” sambungnya lagi.

“Udah ah, nggak penting juga.” Farzan mengibaskan tangan malas. Dia kemudian berdiri lagi, berniat membersihkan wajah di kamar mandi.

“Mau ke mana lo?”

“Cuci muka. Ngantuk banget. Nggak bisa tidur tadi malam,” sahut Farzan tanpa menoleh kepada Bran.

“Nggak bisa tidur karena ada cewek cakep?” Bram tidak berhenti menggoda sahabatnya.

“Cakep apaan? Kurus kayak gitu,” teriak Farzan yang sudah berdiri di depan wastafel.

“Iya deh. Bagi lo yang paling cantik itu Kak Arini,” balas Bram ikutan teriak juga.

Farzan hanya tergelak sambil geleng-geleng kepala. Dia segera menggosok gigi, kemudian mencuci muka. Tak lupa juga membasahi rambut bagian atas, agar rapi ketika disisir.

“Sana gih balik. Gue mau VC sama Kak Arini,” usir Farzan mengibaskan tangan singkat.

Senyum usil tergambar jelas di paras Bramasta. Dia berdiri setelah membuang napas singkat. Tangannya bergerak menepuk pundak Farzan dua kali.

Take your time, Man. Jangan lupa dua jam lagi kita ke kampus,” tutur Bram sebelum beranjak ke luar flat.

Farzan hanya geleng-geleng kepala melihat ekspresi sahabatnya. Setelah memastikan pintu flat tertutup, ia langsung bergerak menuju sofa. Tempat dirinya tidur tadi malam.

Tak lama setelah melakukan panggilan video, wajah cantik Arini sudah memenuhi layar ponsel.

“Akhirnya bisa lihat kamu, Dek,” kata Arini tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipi.

Pemuda itu tersenyum mengamati wajah kakak iparnya yang tampak sedikit pucat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikan alami yang dimiliki perempuan berusia awal empat puluh tahun tersebut.

“Maaf tadi malam ada masalah dikit, jadi nggak bisa VC sama kakak.”

Kening Arini berkerut bingung. “Masalah apa? Kamu nggak kenapa-napa ‘kan, Dek?”

Farzan menggelengkan kepala dengan seulas senyum. Dia suka Arini yang perhatian seperti ini. Ternyata penyakit yang diderita tidak membuat wanita tersebut melupakan dirinya.

“Aku keluar sama teman-teman, trus lihat ada cewek Indonesia yang diganggu sama dua orang bule.”

“Trus?” Arini tidak bisa menutupi raut khawatirnya.

Alhamdulillah mereka langsung kabur waktu aku ancam.”

“Syukurlah kalau gitu.” Sesaat kemudian iras wajah Arini berganti jail.

“Cewek yang digangguin cantik nggak? Masih muda? Single?” cecarnya sambil menaik-naikkan kedua alis.

“Kakak apaan sih?” sungut Farzan dengan wajah mengerucut.

“Ya kali aja ketemu soulmate gitu, Zan. Jangan sampai ketikung sama Alyssa loh nanti. Udah ada yang nungguin tuh anak,” tanggap Arini tersenyum lebar.

Aku berharap perempuan itu kamu, Kak, batin Farzan terasa sesak.

“Al dan El lagi di sekolah ya, Kak?” tanya Farzan mengalihkan pembicaraan.

Wanita berkerudung itu berdecak dua kali. “Kamu ini persis kayak Mas Brandon. Kalau nggak mau tersudutkan, langsung ganti topik.”

“Bukannya Kakak yang gitu? Kok malah nuduh Mas Brandon,” balas Farzan menyipitkan mata elangnya.

Bola mata Arini naik ke atas seperti sedang berpikir.

Farzan kembali memperhatikan reaksi kakak iparnya. Dia tahu sekarang memori Arini kembali kacau.

“Kakak udah minum obat?”

Wanita itu bergeming.

“Kak?” panggil Farzan.

“Eh? Apa?” Arini kembali melihat ke kamera. “Kamu cepat pulang ya, Dek. Kakak kangen.”

Pemuda tersebut mengangguk berkali-kali dengan tubuh mulai bergetar. Perasaannya terasa sakit melihat kondisi Arini seperti ini.

“Pasti, Kak. Aku akan pulang secepatnya. Aku janji akan jagain Kakak baik-baik,” desisnya tercekat.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status