LOGIN🥰🥰 tuh udah nyantol suri nya
Leland meremas permukaan sofa, sambil menahan napas saat Suri menyusuri wajahnya lagi—leher kiri, lalu kanan—lebih lembut, dalam jengkal yang semakin pendek.“Rain…” Leland meraih pinggangnya, tapi Suri menepis.“Tidak boleh!” kata Suri dengan senyum manis. “Kau yang meminta siksaan.”“Aku menyesal…” Leland mendesah, sambil bersandar, menahan kedua tangannya di samping tubuh agar tidak menyentuh Suri “Sayangnya… aku menyukai ini.” Suri menyeringai, menatap Leland seperti seseorang yang sedang menilai barang dagangan.“Fuck!” Leland tidak bisa menahan umpatan saat Suri perlahan menjauh, lalu membuka pakaiannya.Tentu saja diperlihatkan dalam proses yang detail. Suri seperti sedang mengupas tubuhnya, dengan sengaja memelankan gerakan saat Leland terlihat tidak sabar. Lembar demi lembar kain jatuh di sekitar kakinya.“Rain…” Leland masih bertahan duduk tapi sudah sangat gelisah tentu.Suri mendekat—tapi masih diluar jangkauan Leland, “Kau mencintaiku?”“Ya…” Suara Leland semakin serak
“Aku… aku tidak menyangka, mengira rumah ini akan sama. Hanya hunian, tidak lebih dari tempat singgah sebelum aku menemukan rumah. Tapi aku sudah menemukannya.”Suri dulu menghitung hari dimana ia akan mengakhiri pernikahan dan pergi dari rumah itu.Sekarang jauh berbeda. Bukan hanya Leland yang membuatnya betah, tapi semuanya.“Aku merasa memiliki keluarga di sini.” Suri tersenyum, akhirnya bisa kembali menatap Martell yang terdiam. Suri tidak peduli reaksinya seperti apa, tapi lega sudah mengatakannya. “York mungkin keluarga Leland,” lanjut Suri sambil menatap tangannya sendiri. Suri sudah nyaris lupa dengan mimpinya karena Quinn menghancurkan bayangannya tentang keluarga, tapi menemukannya lagi setelah ada di rumah itu.“Tapi orang-orang di sini… memperlakukanku seperti keluarga lebih baik daripada siapa pun. Bahkan Kaiden.”Leland langsung menegang. “Hanya Kaiden?”Suri menahan tawa, menepuk lututnya. “Kau itu suamiku. Kau tidak perlu disebut. Kau alasan utamanya.”Leland mende
Tawa itu meledak keras, panjang, dan benar-benar tidak menunjukkan tanda mereda—justru semakin menjadi. Taylor panik.“Sir, tolong tenang…” Taylor sudah bersiap dengan tabung oksigen, bahkan satu tangannya menahan bahu Martell, takut tawa itu memicu serangan lain.Tapi Martell malah mengibaskan tangan, napasnya pendek-pendek karena terlalu banyak tertawa.“Kalau aku mati karena tawa ini,” katanya terengah, “aku tidak akan menyesal!”“Itu bodoh!” sergah Leland. “Untuk apa kau mati karena tertawa?!”Suri menunduk, pipinya memerah, tapi matanya bersinar puas. Ia tidak menyangka kisahnya di rumah sakit—yang ia ceritakan beberapa menit lalu—bisa membuat Martell hampir pingsan karena terlalu bahagia.“Untuk apa? Untuk merayakan!” Martell jatuh bersandar ke bantalnya dengan napas memburu, tapi tetap tertawa kecil di sela-selanya. “Kalau masih bisa, aku sudah bersalto mengelilingi kamar.”Taylor hanya bisa memandang ke langit-langit seakan mengajukan permohonan agar Martell ini diberi sedikit
Lottie dan Mark saling berpandangan, tidak ada yang terucap, tapi mata mereka penuh sukacita.“Kau akan selamat… kau akan sehat lagi …” Lottie meremas tangan Mark yang mengangguk.“Suri…” Mark menatap Suri dengan mata penuh air mata haru. “Terima kasih.”Terdengar suara muak dari Leland, yang mendekati Suri. Masih ingin berusaha. “Rain… aku mohon. Jangan—”Suri mengangkat tangan, meminta Leland diam, kemudian berjalan mendekati Mark, berdiri di samping ranjangnya.“Te…terima kasih, Suri.” Mark berterima kasih lagi, bahkan berusaha meraih tangan Suri—yang mana dihindari.Suri mundur, masih dekat tapi di luar batas jangkauan tangan Mark. Pandangan Mark pun berubah heran.“Baru sekarang aku mendengar mu begitu sering menyebut namaku. Kau dulu lebih sering menyebutku ‘makhluk’, ‘anak sialan’, ‘kutukan’, ‘pembawa sial’, ‘makhluk aneh’ dan lainnya. Kau nyaris tidak pernah memanggilku dengan nama.” Suri hanya memberi sedikit contoh, masih banyak yang lainnya. Mata Mark melebar kebingungan. T
Leland ingin mencari Suri, tapi saat sampai di luar tentu Suri sudah tidak terlihat. Leland sangat bisa bertanya dimana Suri, tapi rasanya akan percuma. Suri terlihat sangat bertekad tadi.“Belum tentu akan cocok. Kau tenanglah.” Kaiden yang sudah menyusul keluar menepuk punggung Leland ingin menenangkannya.“Bagaimana kalau cocok?” Leland melotot padanya.“Well…” Kaiden mengangkat bahu. “Sekali lagi itu terserah Suri. Ia berhak memutuskan apa yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Apalagi ini bukan hal ilegal.”“Seharusnya ilegal! Kenapa Suri harus menghabiskan seumur hidup hanya dengan satu ginjal? Pria itu tidak pantas mendapatkan apapun dari Suri!”Leland menghempaskan diri di atas kursi sambil meremas rambutnya sendiri. Tidak berusaha mencari Suri karena ia juga yakin usahanya itu akan percuma. Suri kemungkinan tidak mau mendengarnya.“Suri lebih baik dari kita. Aku pun mungkin tidak akan sudi memberikan.” Kaiden duduk di samping Leland, menepuk pahanya.Leland hanya bisa menghela na
Suri mendekat, menatap mata cekung yang tidak lagi menakutkan. Suri masih ingat bagaimana mata itu membuatnya takut. Mata itu yang dipakai Mark untuk memberi peringatan padanya. Suri akan menghindar setiap kali mata itu tertuju padanya.Tapi tidak untuk saat ini, Suri menatap balik. Mata gelap itu tidak menakutkan. Tidak bisa melotot, sayu dan tampak tidak fokus. Sama sekali tidak menunjukkan tanda kalau dulu pernah menjadi sumber teror.“Su—tolong aku…” Mark berbisik, lirih. Tangannya bergerak, ingin menggapai, meminta Suri menyentuhnya.Suri hanya menatap tentu. Tangan itu yang selalu menyakitinya. Tidak mungkin Suri ingin menyentuhnya.Tangan Mark akhirnya hanya menggantung di udara—tidak bersambut, sebelum akhirnya kembali jatuh lemas.Meski hanya separuh sadar, Mark mengerti kalau dirinya baru saja diabaikan, matanya tampak memerah.“Kau tahu…” Suri bergumam, tanpa senyum, hanya tatapan.Suri tidak ingin menjelaskan emosinya memang, ia ingin Mark menebak. Juga Lottie, yang perlah







