"Lepaskan tanganmu!" Briana menghempaskan tangan agar telepas dari genggaman Chris. "Kau saja makan sendiri. Dasar pengganggu!" Dia segera berjalan untuk kembali ke ruang kerjanya dan meninggalkan Chris yang tampak geram.Ryan tidak lagi berselera menyantap seafood kesukaannya. Dia kembali berkutat di ruang kerja dan laptop sampai ketika sang asisten masuk dan membawa sesuatu di tangannya. Dilihatnya kedatangan Candice dari arah pintu dan tanpa disadarinya wanita itu sudah berada di samping dan menyentuhkan sisi tangannya sebuah kotak makanan berlogo restoran asia tadi. Ryan sontak melihat ke arah kotak itu lalu mendongak memandang Candice. "Apa ini?” tanyanya datar dan tidak tertarik."Um ... pramusaji restoran tadi mengatakan kau tidak jadi memakan pesananmu, Tuan." Candice mengulas senyum malu-malu di sudut bibirnya. "Jadi ... aku memesannya lagi. Sama persis dengan pesanan Anda." Lalu dia mengeluarkan kartu milik Ryan dari saku blazernya. “Dan … ini kartumu, Tuan.”"Terima kasih.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore hari. Ryan yang masih fokus di meja kerjanya, terlupa mengingatkan sang asisten untuk menyudahi urusan pekerjaan. Candice perlahan mendekat ke arah Ryan dan berdiri di sampingnya."Tuan Miller. Kau tidak ingin pulang?""Hm?" Ryan mendongak ke arah Candice, kemudian kembali melihat pada jam tangan yang dipakainya. "Oh, maaf, kau boleh pulang lebih dulu. Aku masih ada sedikit pekerjaan.""Apa kau perlu bantuan lain?""Tidak ada. Terima kasih."Candice pun lanjut membereskan meja kerjanya dan menenteng tas kecil miliknya sambil menuju pintu. "Sore, Tuan Miller."Ryan hanya mengangguk pelan dan kembali pada berkas di hadapannya tanpa melihat ke arah Candice. Sesungguhnya wanita itu ingin Ryan memperhatikannya keluar, tetapi dia merasa itu hal yang sangat tidak mungkin, karena Ryan hanyalah pria yang selalu bersikap dingin.Hanya berselang setengah jam, Ryan kini sudah selesai dari pekerjaannya. Dia berjalan menuju area gedung parkir perusahaan, mengenaka
Di kawasan elit Mead Lane, South, sebuah mansion megah berdiri kokoh di antara hamparan hijau dan pemandangan laut yang memukau. Hunian milik keluarga Ford, keluarga miliarder yang terkenal di dunia bisnis. Dengan arsitektur yang mewah, mansion ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas teknologi canggih itu berdiri di atas lahan seluas 7 hektar. Ryan menghentikan mobil mewahnya di depan gerbang tinggi mansion. Gerbang tinggi dari besi tempa terbuka otomatis saat mobil hitam itu mendekat, penjaga keamanan memberi hormat saat dia melewati. Lampu-lampu taman yang tersebar di sepanjang jalan setapak menuju rumah memancarkan cahaya lembut, menambah kesan dramatis pada mansion megah itu.Ryan turun dari mobilnya dan berjalan masuk, diiringi oleh gemerisik dedaunan dari taman yang tertata rapi. Langkahnya mantap menuju pintu utama yang besar dan elegan, lalu disambut oleh salah satu pelayan yang sudah lama bekerja untuk keluarganya."Selamat malam, Tuan. Keluarga Anda sudah menunggu di ruang
Seorang pria berkemeja hitam yang tidak tampak rapi, menenteng jas dan tas punggung berisi laptop. Ryan Miller, manajer IT White Stone Construction itu melirik jam yang melingkar di lengan kanannya. “Sial! 15 menit lagi rapat dimulai!" Dia menggeleng gusar memikirkan para petinggi departemen sudah menunggu di ruang rapat sedangkan lift kini tertahan di lantai 9. “Kau bisa memakai lift VIP tanpa berdesakan, pergilah,” saran Jacob, sahabatnya. Ryan berdecak, sesungguhnya enggan menyetujui. “Kutunggu kau di ruangan!” ucap Ryan menepuk bahu Jacob sambil melewatinya untuk beralih ke lift khusus. “Persetan dengan VIP!” gumamnya. Sudut mata pria bermata elang itu kini tersita perhatian oleh sosok wanita berambut cokelat, yang dengan langkah terburu-buru mendahuluinya hingga bunyi heels-nya terdengar menggema di lantai granit area lobi. Ryan mempercepat langkah dan sedikit berlari menyusul ke lift yang sama agar tidak tertinggal saat pintunya mulai menutup. Cepat-cepat tangannya menyel
Ryan melirik jengkel, lalu kembali fokus pada bahan presentasinya saat ini. “Ayolah, Jac. Hentikan candaanmu, aku sedang serius.”“Aku tidak sedang bercanda, Kawan. Tapi … apa kau ingin menampilkan pipi merah seperti itu saat presentasi?”Mendengar teguran sahabatnya, Ryan sontak terkejut. “Apa?” "Ha-ha-ha ... lihat saja wajahmu sendiri." Mendengar Jacob semakin tertawa puas. Ryan pun cepat-cepat membuka ponsel untuk melihat wajah melalui kamera depan. “Dasar wanita gila!” umpatnya.“Apa itu sakit? Hei, katakan saja kau terlambat hari ini karena menghabiskan malam yang hebat, ha-ha-ha.” Jacob malah menggodanya seakan Ryan habis bermalam dengan seorang wanita.“Seorang wanita tantrum menamparku.” Ryan kemudian meletakkan ponselnya kembali dengan cepat, lalu menutup layar laptopnya. “Lihat saja apa yang terjadi padanya pagi ini,” gumamnya.“Tapi bagaimana ….” Dengan sedikit kesal Ryan pun berjalan meninggalkan Jacob yang mengikutinya sambil tertawa. Keduanya pun berjalan menaiki lift
“Masih belum tidur, Kawan?”Ryan mendorong tubuh Jacob. Sang sahabat malah tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi kesal Ryan.“Minggir kau. Aku ingin mandi!”Pukul 2 dini hari. Mata pria setinggi 185 cm itu masih terjaga di hadapan laptop, bersama dengan Jacob yang datang ke apartemen saat Ryan tertidur lelap di sofa. Keduanya berencana mencari jalan keluar kasus peretasan, setelah beberapa jam lalu pihak direksi mengirimkan e-mail persetujuan. Perdebatan tidak sia-sia antara dirinya dan Chris kemarin, kini dana dipersiapkan ditambah bonus ribuan dolar untuk para tim.Di pagi yang masih gelap, Ryan dan Jacob sudah berada di kantor tengah menyiapkan beberapa hal sebelum kedatangan tim divisi IT. Keduanya kini duduk bersebelahan dan tengah sibuk berhadapan dengan laptop. Masalah itu sesungguhnya sepele bagi dirinya, tetapi dia sengaja melibatkan tim agar bonus bisa didapat dan dialirkan pada divisi mereka."Kapan kau membuat program ini? Apa kau sudah meraba kasus ini sejak lama?"
“Lalu, apa urusannya denganku. Kau sudah menikmati uang kotor dari hasil jabatanmu?” Ryan kembali menjawab dengan tenang. Langsung saja Chris turut melangkah maju mendekat dan meninggikan suara.“Apa yang kau ketahui, huh! Tuan White begitu puas akan kinerjaku selama bertahun-tahun. Seketika kau muncul, seakan menjadi pahlawan menyelamatkan data keuangan! Tunjukkan bukti-bukti itu, jika kau berani membeberkan semua itu pada dewan direksi, mari bertaruh!" Tiba-tiba Chris kembali mengendalikan emosinya, berusaha membujuk. "Sudahlah, sebaiknya kau terima kerja sama ini, akan kuberikan bagianku. Sejujurnya aku tidak sabar ingin mendekati Briana. Maka kita berdua akan aman.” Chris menyodorkan jabat tangan.“Briana?” Ryan masih melipat tangannya di dada dan hanya melirik tangan Chris yang menggantung di depannya. Memberi kesan abai. Geram menerima penolakan, Chris menurunkan tangannya kembali. “Jangan pura-pura bodoh. Briana tidak hadir di rapat karena baginya ini tidak penting dihadiri se
“Kau memberikan obat pemicu penyakit jantungku. Mudah saja. Kau sengaja ingin membunuhku. Surat itu ada dan sidik jarimu membekas di botol itu,” jelas Tuan White yang tertawa sambil menahan napasnya yang semakin sesak.Geram dengan rencana busuk Tuan White. Ryan pun berbalik dan membuang napas kasar. “Baiklah! Aku akan menandatanganinya, jika itu maumu!” Dia berjalan menuju meja mengambil surat tadi. “Sialan!” umpatnya dalam hati.Ryan cepat meraih pena di atas meja kerjanya dan membubuhkan tanda tangan di dasar surat. Dia meletakkan pena dengan kasar, lalu melayangkan surat itu tinggi menghadap Tuan White.“Kita sepakat, oke? Sekarang hentikan aktingmu di depanku!”Tuan White menyeringai senang, dia pun meraih botol kapsul lain dari dalam sakunya sendiri dan meminumnya. “Kuberikan tugas pertama untukmu, Ryan.”“Katakan.” Ryan menjawab dingin, wajahnya menegang merasa dipermainkan.“Jaga anak gadisku ... Briana.”“Akan kucarikan pengawal khusus untuknya, ini terlalu pribadi dan buka