Ryan Stanley Ford mengganti identitasnya untuk misi membalas dendam dan mencari bukti kehancuran perusahaan Andrew Ford, sang ayah. Ryan harus mengikuti permainan licik James White yang memintanya sebagai CEO dan menjalin kedekatan dengan putri tunggalnya, Briana. Kini keduanya semakin terikat. Ryan dilema antara melanjutkan misi atau membatalkan dendamnya demi Briana.
View MoreSeorang pria berkemeja hitam yang tidak tampak rapi, menenteng jas dan tas punggung berisi laptop. Ryan Miller, manajer IT White Stone Construction itu melirik jam yang melingkar di lengan kanannya. “Sial! 15 menit lagi rapat dimulai!" Dia menggeleng gusar memikirkan para petinggi departemen sudah menunggu di ruang rapat sedangkan lift kini tertahan di lantai 9.
“Kau bisa memakai lift VIP tanpa berdesakan, pergilah,” saran Jacob, sahabatnya.
Ryan berdecak, sesungguhnya enggan menyetujui. “Kutunggu kau di ruangan!” ucap Ryan menepuk bahu Jacob sambil melewatinya untuk beralih ke lift khusus. “Persetan dengan VIP!” gumamnya.
Sudut mata pria bermata elang itu kini tersita perhatian oleh sosok wanita berambut cokelat, yang dengan langkah terburu-buru mendahuluinya hingga bunyi heels-nya terdengar menggema di lantai granit area lobi.
Ryan mempercepat langkah dan sedikit berlari menyusul ke lift yang sama agar tidak tertinggal saat pintunya mulai menutup. Cepat-cepat tangannya menyela pintu lift kemudian menerobos masuk.
Setelah menekan tombol menuju lantai 29, kemudian Ryan melangkah ke belakang untuk bersandar di sudut. Matanya sempat berpapasan dengan sang wanita cantik berpakaian rapi yang tadi terburu-buru masuk ke lift yang sama. Rasanya sangat canggung, kini hanya dia dan sang wanita yang berada di dalam lift.
Seketika saja wanita itu merapat ke sisi kanan pintu lift, menghindari Ryan. Sambil sesekali mata keabu-abuan wanita itu melirik sinis mengawasi pria berusia 30 tahun itu.
“Sangat mengherankan, demi apa orang bisa berani masuk ke dalam lift khusus ini,” sindir wanita itu sambil menaikkan dagunya. “Sudah beberapa kali kuajukan keamanan sensor wajah, tapi belum juga dikerjakan!” imbuhnya.Tidak ingin menanggapi, Ryan hanya berdeham karena menyadari kata-kata itu tertuju padanya. Dia menjatuhkan pandangan ke lantai, tetapi seketika matanya tertahan, menyorot pada sesuatu yang janggal di bagian rok wanita itu.
Demi apa pun, Ryan yang tidak berniat berkomunikasi, tetapi karena iba dia pun mencoba mengajak bicara, “Nyonya—.” Dia sengaja menahan kepalanya agar tetap tertunduk. Hanya jari tangannya yang menunjuk ke arah rok sang wanita.“Apa? Nyonya!” bentak wanita itu yang sontak menoleh geram, tidak membiarkan Ryan melanjutkan bicara.
“Oke. Nona, aku hanya—.” Lagi-lagi ucapan Ryan tertahan.“Apa yang kau lihat, huh? Kau terus saja memandangi bokongku. Hey, kujelaskan padamu, Pria asing. Keamanan di sini begitu ketat dengan banyak kamera pengawas. Berani sekali kau memandangiku dengan tatapan kotor?” cecar sang wanita.Bibir tipis Ryan terbuka dan spontan menganga, tidak habis pikir, tatapan kotor apa? Jangankan memandangi terus menerus, baru sedikit saja mendongak, wanita itu membulatkan mata mengawasi gerak-geriknya.“Ngomong-ngomong, jangan menyesal jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku.” Ryan melipat tangannya di dada sambil membalas tatap dengan sombong. Niat baiknya bahkan dicecar pikiran negatif wanita itu. "Terus saja kau bicara. Apa masalah hidupmu begitu rumit sampai tantrum seperti ini!" Ryan membatin. “Kau pikir siapa dirimu, huh?”Ryan hanya mendengkus kesal, wanita itu terus menyela dengan cacian. “Terserah apa katamu.”Meskipun begitu, Ryan yang terusik malah merasa kasihan jika tidak memberitahu bahwa resleting rok wanita itu terbuka dan menganga di posisi belakang. Tentu wanita itu akan merugi dan malu selama berada di dalam kantor.
Lantai yang dituju pun kini sudah sampai. Ryan memikirkan cara lain untuk memberitahu, dia pun lantas maju dan segera melebarkan jas miliknya. Akan tetapi, dirinya tidak menyadari bahwa tatapan curiga wanita itu masih tertuju kepadanya.
“Kau mau apa?!” tanya wanita itu dengan tatapan tajam.
Tidak banyak basa-basi, Ryan menempelkan jasnya pada punggung wanita itu. “Kau pasti membutuhkan itu,” ucapnya sekilas sambil melangkah keluar dari dalam lift.
Wanita pemarah itu pun cepat melangkah maju, menangkap dan menarik lengan Ryan hingga tubuh pria itu kehilangan keseimbangan. Langsung saja tamparan keras mendarat ke pipi pria itu. Jas yang merosot jatuh di dekat kakinya pun dilemparkannya pada Ryan.
“Hei! Kau gila, ya!” Ryan meninggikan suara. Baginya ini tidak setimpal dengan niat baiknya.
“Kau menyentuh pinggangku, Pria mesum! Aku akan mengingat wajahmu, penyusup brengsek!”
Makian itu terdengar jelas di telinga Ryan. Dia mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan, sambil menatap geram. Pintu pun kini tertutup lalu lift naik ke lantai atas. Pria itu meraih jas miliknya yang terjatuh di lantai akibat dilemparkan wanita itu.
“Ya, Tuhan. Wanita macam apa itu, bar-bar sekali!” Dia mengerutkan kedua alisnya. Sekilas matanya melihat ke arah tombol lift yang menyala, saat hendak beranjak dari posisi. “Lantai 35? Bukankah itu lantai ruangan direksi?”
Baru hitungan menit kejadian tadi, Jacob yang akhirnya sampai di lantai yang sama, memanggilnya dari kejauhan. “Ryan!“ "Kau cepat sekali." "Aku nekat menaiki lift barang, Kawan.“ ucap Jacob sambil mengatur napasnya karena berlari. "Hey, ini kabar mendadak. Tim kita menyerah, teror siber bermunculan dan lokasinya terpencar. Aku mendapat data satu peretas berlokasi di kota Dallas, kupikir kita harus melaporkan ini ke atasan,” ungkap Jacob berjalan cepat beriringan dengan Ryan menuju ruang manajer.
“Aku sudah mengaturnya tadi malam. Baru saja data keuangan turut diretas oleh IP Blacklist. Akan ada sistem baru untuk menjaga seluruh data perusahaan,” ucap Ryan setengah tidak peduli, sambil membuka pintu dan masuk ke ruangannya. “Kupikir kau telah paham bagaimana perusahaan ini menekan biaya. Mereka anggap ini sepele! Bahkan untuk keamanan data pun, mereka memilih melarikannya untuk investasi. Biaya pemulihan data ini sangat besar. Tapi mereka menutup telinga!"“Aku akan mengawasi pergerakan, percayakan ini padaku, tidak akan kulepas kalian begitu saja. Dan apabila mereka tidak ingin para investor menarik kembali sahamnya di perusahaan ini, hanya menunggu waktu untuk bernegosiasi di ruang rapat.”
“Aku mengandalkanmu, Kawan. Posisi tim bergantung padamu, kau yang memimpin.”
“Mereka hanya punya dua pilihan. Mempercayakan sistem baru ini, atau … perusahaan akan berhenti merayakan ulang tahun. Ah, dengar, itu hanya politik, Jac.” Ryan menghentikan kata-katanya dan kemudian membatin, “Atau ... jika kecurigaanku benar, ada yang ingin bermain-main di sini. Kalian tidak perlu mengetahuinya.” Ryan berdiri melipat tangannya sambil melirik sekilas pada Jacob, dia lalu mengalihkan pandangannya lagi ke arah laptop.Ryan bisa melakukan segalanya tanpa menggunakan biaya fantastis dari perusahaan, dengan gratis. Akan tetapi, dia sedang menelisik ke mana arah aliran uang perusahaan yang selalu saja ditahan untuk kepentingan khusus. Dia berpikir lebih baik menyerahkan hasilnya untuk para tim, meski sangat mudah baginya untuk menangani ini sendiri dalam waktu singkat.
Jacob mengangguk pelan, dia adalah orang pertama yang mendukung segala keputusan Ryan. Sang sahabat tidak pernah meragukan kecekatan Ryan dalam bekerja.Keduanya kini tengah memantau beberapa kejanggalan, untuk segera melakukan penanganan. Sorot cahaya dari layar mengenai sebagian wajah Ryan, hal itu membuat Jacob tiba-tiba menahan tawa.
“Seorang wanita beruntung, hum?” tegur Jacob yang masih memperhatikan Ryan fokus dengan laptopnya.
“Pertanyaan apa itu? Aku tidak tidur beberapa malam membuat program ini, kau tahu!”
“Tenang, Kawan.” Tawa Jacob semakin menjadi-jadi. “Ha-ha-ha, maksudku … apa kau tidak punya waktu hingga nekat bercinta di dalam lift, Ryan?” "Apa maksudmu?" Ryan menegakkan tubuhnya dan menatap jengkel.Saat berada di dalam ruangan, tiba-tiba Briana kembali mengirimkan pesan pada Ryan.Briana : [ Ryan, apa kau sudah makan siang? ]Ryan : [ Ya, Candice membawakan pesananku ke ruangan. Aku ingin segera menyelesaikan analisisku untuk beberapa proposal. Kita perlu membuang pikiran tentang pekerjaan besok, bukan? ]Briana : [ Oh, baiklah. Katakan padaku jika kau sudah selesai. Aku ingin bicara denganmu ]Ryan : [ Apakah itu penting? ]Briana : [ Entahlah Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu ]Ryan : [ Baiklah, aku akan ke tempatmu setengah jam lagi ]Setelah Ryan menyelesaikan proposal terakhir, dia bergegas datang ke ruangan Briana, wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tidak biasanya Briana bicara empat mata secara tiba-tiba. Dia sempat berpikir bahwa gadis itu ingin membatalkan rencana besok. Saat memasuki ruangan dan menutup pintu. Kecanggungan terasa saat Ryan berjalan mendekat ke mejanya."Ada apa, Briana?"Sejenak Briana tampak menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat
Seorang pria tampan melangkah masuk ke lobi kantor perusahaan White dengan percaya diri. Setelan jas abu-abu tua yang membalut tubuh tegapnya terlihat sempurna, menonjolkan postur tubuh yang atletis dan penampilan elegan. Rambut cokelatnya tertata rapi dan mata biru yang tajam seolah menarik perhatian setiap orang yang berada di lobi. Aaron Ford, kakak kedua Ryan, menyambangi kantor itu untuk menemui Briana. Para karyawan yang kebetulan berada di lobi tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria berkharisma ini.Pria setinggi enam kaki itu terus melangkah menuju meja resepsionis. Tatapannya yang menawan membuat sang resepsionis tersenyum kikuk, tetap berusaha profesional."Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan suara yang berusaha tetap tenang.Aaron membalas dengan senyum menenangkan. "Selamat siang. Saya Aaron Ford. Saya ingin bertemu dengan Nona White," ucapnya dengan suara bariton
Setelah beberapa hari pemulihan dan kejenuhannya selama berada di mansion, Ryan akhirnya kembali ke kantor dengan penuh semangat. Pagi itu dengan langkah yang tidak lagi tertatih, dia memasuki area lobi, tampil tampan dan berkharisma dengan setelan jas biru gelap dan kemeja putih.Ryan kini tampak jauh berbeda jika dibandingkan dirinya dulu, seorang manager IT perusahaan itu. Kewibawaan sosok CEO-nya semakin terpancar, menampakkan jiwa sesungguhnya yang seorang Ryan Stanley Ford—sang anak pengusaha kedua terbesar di US. Meskipun kini dia masih menjaga identitas palsunya sebagai Ryan Miller, tapi tidak bisa dipungkiri jati dirinya yang garis keturunan seorang miliarder.Para karyawan yang telah merindukan kehadiran sang CEO, pun menyambutnya dengan hangat. Mereka semua berdiri di lobi, bertepuk tangan dan tersenyum ketika Ryan memasuki lift khusus menuju lantai atas. Ryan membalas sambutan itu dengan senyum lebar dan anggukan kepala, merasa sangat dihargai oleh tim dan karyawan yang ber
Briana mengangkat pandangan dari bunga mawar itu dan melihat ke arah Candice. "Selamat pagi, Candice. Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional meskipun ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul."Ini adalah laporan yang perlu Anda tinjau hari ini. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai proyek baru." Candice tersenyum tipis dan melangkah mendekat, menaruh berkas-berkas di meja Briana. Briana mengangguk. "Terima kasih. Aku akan melihatnya segera," jawabnya singkat sambil melihat pada berkas yang ditaruh ke meja. Mata Candice masih menatap bunga dan kotak perhiasan yang ada di meja Briana. "Pemberian dari seseorang yang spesial?" tanyanya dengan senyum canggung. "Ya, seseorang yang sangat berarti bagiku," sahut Briana sambil mengulas senyum, teringat kembali oleh Ryan. "Senang mendengarnya. Jika ada yang perlu dibantu, tolong beritahu saya." Candice mengangguk, menyembunyikan perasaannya dengan baik. Setelah itu, Ca
Ryan menatap langit-langit penthouse-nya, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Briana. Dia memutuskan untuk menghubungi Briana, merasa perlu mendengar suaranya untuk sedikit mengobati rasa rindunya. Dia mengambil ponselnya dan menekan nomor Briana, menunggu dengan cemas."Halo, Ryan," suara lembut Briana terdengar dari seberang sana."Briana. Bagaimana kabarmu? Kau sudah kembali ke kantor?" tanya Ryan, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan.Terdengar tawa halus sekilas dari Briana, sedikit memanjakan telinga Ryan mendengar gadis itu menerima teleponnya dengan manis. "Ya, aku sudah kembali. Rasanya aneh setelah sekian lama tidak di sana, tapi semuanya berjalan lancar. Bagaimana denganmu? Bagaimana pemulihanmu?"Ryan menghela napas, mencoba terdengar ceria. "Aku baik-baik saja. Hanya saja, terjebak di sini membuatku merasa sedikit ... terisolasi."Briana merasakan simpati. "Aku bisa membayangkan. Aku berharap bisa datang menemuimu dan membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak cukup ban
“Selamat siang, Tuan Miller.” Candice melangkah gemulai di atas lantai marmer dengan heelsnya. "Saya pikir ada beberapa detail teknis yang perlu kita diskusikan lebih lanjut," ucapnya dengan nada profesional, sambil menata beberapa dokumen di atas meja ruang utama itu.Setelah beberapa hari selalu berada di kantor, Candice akhirnya mengunjungi Ryan di penthouse. Kunjungannya kali diisi dengan tugas profesional yang semakin intens. Namun, di antara niatnya untuk membicarakan serangkaian rapat dan diskusi, dia menemukan kesempatan untuk mendekati Ryan.Diskusi panjang itu kini rampung dan telah mendapatkan hasil yang baik dari para tim project yang bekerja profesional, sebuah proyek masa depan yang sangat menjanjikan. “Baiklah, segalanya be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments