"Seharusnya keputusan ini lebih dulu diketahui oleh pihak dalam perusahaan, terutama investor. Apa Tuan tidak pertimbangkan hati-hati, siapa orang yang kompeten memimpin perusahaan Anda?!" ucap Chris dengan suara bergetar menahan emosi.
"Dan siapa kau berani bicara, hum? Apa kau salah satu investor?" Tuan White berjalan pelan ke arah Ryan. "Keputusan yang kuambil tentu bukan hal yang mudah. Aku hanya tidak ingin terpengaruh oleh para penjilat di dalam perusahaan ini. Dan aku tahu permainan-permainan kotor di belakangku." Tuan White menatap sinis ke arah Chris."Tapi itu tidak etis!""Baiklah, kuperjelas. Meski kau bukan salah satu pemegang saham." Tuan White memutar tubuhnya kembali berjalan ke kursinya. "Seharusnya ini menjadi rahasia kami, tapi mungkin pemuda yang terlalu bersemangat seperti kau terlalu banyak ingin tahu. Ha-ha-ha ... ya, ya, baiklah."Sesaat setelah dia duduk, sekretaris wanita menekan remote untuk mematikan seluruh lampu di ruangan itu. Layar presentasi itu kini menampilkan surat perjanjian dan aturan kepemilikan saham pada White Stone Construction.
Seisi ruangan terasa senyap, semua mata tertuju pada layar dan membaca jelas apa yang sedang ditampilkan. Tertera jelas bahwa Tuan White mengatur dalam setiap keputusan utama termasuk pengangkatan jabatan seorang petinggi perusahaan. Mungkin ini akan terlihat beda dari banyaknya perusahaan lain, tapi di situlah tampak bagaimana kekuasaan Tuan White begitu mendominasi.
Pertumbuhan pesat perusahaanlah yang membuat orang berlomba-lomba menaruh saham di dalamnya. Sedangkan Chris hanyalah salah seorang pegawai perusahaan yang sudah naik jabatan semenjak awalnya hanya seorang supervisor.
Chris perlahan kembali duduk di kursinya, sikap tidak terimanya tampak sesaat menatap Ryan dengan tajam.
Dalam perkenalan sebagai CEO baru, Ryan pun tidak ingin banyak bicara. Namun, hal-hal penting yang dia sampaikan begitu jelas dan sangat memukau para investor, berikut para petinggi departemen, dengan memberikan catatan bahwa perencanaan ke depan masih dirahasiakan.
Tidak terkecuali Briana, yang selama ini menganggap Ryan hanya sibuk berkutat di balik perangkatnya. Dia tidak bisa menyangkal bahwa sosok pemimpin yang tenang, cerdas, dan bijaksana sepenuhnya muncul di diri Ryan. Briana saat ini merasa malu sendiri telah salah menilai, tapi tetap memberi kesan tidak tertarik oleh sosok Ryan.
Jam sudah menunjukkan waktu makan siang, pertemuan disudahi dengan ucapan selamat dan bersalaman dengan setiap orang di dalam ruangan itu. Kecuali Chris, yang memilih melengos keluar ruangan saat semuanya tengah sibuk mengerumuni Ryan dan melempar kata-kata sanjungan. Ryan yang sesungguhnya tidak tertarik oleh basa-basi itu, hanya menanggapinya dengan senyum.
“Selamat. Tuan CEO.” Briana mengulurkan tangan menyalami Ryan, sudut bibirnya terangkat dan hanya sekilas memandang Ryan.
“Terima kasih.” Ryan membalas senyum canggung.
Briana pun keluar ruangan, berikut satu per satu orang yang akan melanjutkan untuk makan siang bersama, di salah satu restoran berkelas favorit Tuan White. Akan tetapi, dengan berbagai alasan Ryan mencoba menghindari ajakan darinya. Meski kecewa, pada akhirnya Tuan White mempersilakan Ryan untuk tidak bergabung bersamanya, memaklumi kepribadian Ryan yang tertutup.
“Biasakan dirimu mulai sekarang, Anak muda.” Tuan White menepuk pelan punggung Ryan sambil berlalu.
Ryan kini sudah kembali berada di ruangannya dan segera keluar untuk mengganti pakaian di toilet khusus. Tanpa sadar, seseorang tengah membuntutinya. Sampai setelah dia selesai mengganti pakaian, tiba-tiba seseorang menarik kerah kemejanya dan menyeretnya keluar sesaat dia membuka pintu.
“Kau sudah merencanakan ini, bukan?!” Chris mencengkeram kerah kemeja Ryan sambil memojokkannya ke dinding di dalam kamar kecil VIP itu.
Meski terkejut, Ryan tetap bersikap dingin. Dia sudah tahu pasti ini akan terjadi. Chris yang berambisi meraih posisi CEO, sudah terlihat sangat emosi seakan ingin membunuh dirinya.
“Aku tidak akan menjawab pertanyaan konyol! Tanyakan saja pada dirimu, kenapa hanya aku yang menjadi kandidat satu-satunya bagi Tuan White.” Ryan sambil menepis kuat lengan Chris hingga terlepas dari lehernya, karena mulai terasa mencekiknya.
“Ternyata kau kuat juga. Brengsek! Kita lihat sebatas apa kemampuanmu.”
Chris langsung melayangkan kepalan tangan untuk mengenai sisi wajah Ryan, tapi dengan cepat Ryan menangkap pukulan yang nyaris mendarat di wajahnya. Kemudian bagian pergelangan tangannya diputar oleh Ryan hingga Chris meringis kesakitan.
“Hanya sebatas ini, huh? Aku tidak biasa menggunakan emosi untuk menyakiti orang.” Ryan membalas dengan nada datar."Rasakan ini!" Satu tangan lainnya terangkat untuk memukul bagian perut, tapi segera ditahan oleh lutut Ryan yang langsung menendang tubuh Chris hingga termundur beberapa langkah dengan tidak seimbang."Ini hanya sedikit tenaga, Chris. Ayolah, ini kantor bukan jalanan.“ Ryan memasang wajah remeh pada Chris. "Lanjutkan, tapi jangan lupa kau sedang membelakangi CCTV. Ini bukan di dalam kamar kecil.”
Chris yang sudah memasang posisi untuk berkelahi, akhirnya menyadari itu. Dia segera menarik dirinya mundur. “Kau! Berhati-hatilah. Jangan sampai aku tahu kau merebut Briana, sebaiknya jaga nyawamu baik-baik,” ancam Chris pelan, lalu membalikkan tubuhnya dengan cepat berjalan keluar dari tempat itu dengan menunduk menghindari sorotan kamera pengamanan. Karena kesal, Ryan merapikan kerah kemejanya dengan kasar sambil menatap dirinya di cermin. Chris benar-benar mulai mengawasi gerak-geriknya akhir-akhir ini. Sambil mengusap wajah, dia membatin, "Sangat sulit menemukan bukti-bukti lebih jauh lagi, gerakanku semakin terbatas karena orang-orang ini! Sial!" Telapak tangannya mengepal dan memukul marmer washtafel dengan kuat.
Ryan pun lalu berjalan keluar menuju ruangannya kembali. Sesaat kemudian dia baru membuka pintu, dilihatnya kini Briana tengah duduk di salah satu sofa ruang kerjanya. "Sedang apa kau di sini?""Menunggumu. Siapa lagi?" jawab Briana sambil mengangkat dagunya.
"Ada hal apa mencariku?" Ryan melenggang tak acuh melewati Briana dan duduk di kursi meja kerjanya.
"Aku ingin mengajakmu makan siang. Banyak yang perlu kita bicarakan.""Makan siang? Kau ingin menraktirku? Ha-ha-ha ... sayang sekali pesanan makan siangku akan datang.""Kau makan di ruang kerja? Jangan mengotori ruangan ini!""Kurasa setiap ruangan adalah hak penghuninya, dan aku hanya makan pizza, itu tidak akan kotor.""Kau harus menghindari makanan cepat saji untuk bisa memiliki tenaga. Kau adalah CEO, isi kepalamu perlu nutrisi.""Terima kasih atas nasihatmu. Kurasa aku cukup kuat." Ryan menyungging senyum kecil. "Ngomong-ngomong, sejak kapan kau begitu perhatian. Bukankah kau yang sengaja mengirimkan setelan jas hijau pucat itu, itu seleramu, bukan?""Bukan be--!" Briana menyentak di posisi duduknya lalu terhenti bicara, dia merasa dianggap memiliki selera seperti itu. "Sudahlah! Jika tidak suka, kenapa kau memakainya?""Ayahmu memaksaku, jadi kupakai," jawab Ryan sambil bersikap santai. "Hanya karena Ayah?""Lalu siapa, bukankah menurutmu dia yang selalu memaksa?""Ti-tidak. Bukan itu. Tapi, ah, sudahlah. Jadi kau tidak ingin makan siang?"Ryan menggeleng pelan sambil kembali memasang kacamatanya. Dia mengabaikan Briana, sama sekali tidak melihat ke arah wanita yang kini sudah berdiri menunggu jawaban makan siang bersama. "Kau saja, oke," ucap Ryan datar sambil menatap laptopnya. "Dasar pria aneh!" Briana pun mendengkus kesal sambil berlalu, sampai di dekat pintu dia pun menghentikan langkah kembali. "Periksa berkas di atas mejamu, beberapa hal yang harus kau ketahui ada di sana." Dia pun lanjut berjalan keluar meninggalkan Ryan.Sesaat Briana pergi, Ryan menoleh sedikit ke arah kaca dari dalam ruangannya. Terlihat Briana yang berjalan cepat dan semakin menjauh. "Dia pasti kesal sekali," gumam Ryan sambil tersenyum tipis.Matanya kini tengah melihat isi berkas yang dibawa oleh Briana. Sesaat memeriksa satu per satu berkas itu, tiba-tiba Ryan tersenyum kembali dan memasang ekspresi puas.
"Kena kau!"
Ryan berdiri melihat ke atas di depan gedung perkantoran itu. Lalu dia berjalan pelan di sisi jalan dengan lalu lintas padat dan gemerlap lampu kota malam hari itu yang menemani langkahnya menuju apartemen. Dia memilih santai berjalan kaki, setelah menolak ajakan Jacob untuk menumpang. Kendaraannya kini masih berada di bengkel dengan masalah kerusakan lain yang begitu aneh karena merambat pada hal lain, yang seharusnya hanya mengganti kaca depan saja. Saat dia melangkah pelan di jalur yang mulai sedikit tidak ramai, tiba-tiba sebuah sedan mewah merapat dan berjalan pelan di sebelah seakan mengikuti langkahnya. Awalnya Ryan tidak menyadari hal itu, karena risih merasa diikuti akhirnya menoleh ke arah kendaraan itu.Kaca mobil itu pun terbuka pelan, muncul sosok Briana yang memanggilnya untuk berhenti. “Hati-hati kepalamu, kau melihatku sambil berjalan!” teriak Briana dari dalam mobilnya. “Berhentilah sebentar.”“Kau?” Ryan tersentak, dia berhenti dan diam di posisinya. “Mau kuantar?
Ryan memperhatikan Briana dengan seksama, adegan kali ini hampir mirip dengan mimpinya kala itu. Matanya terkecoh oleh cara duduk Briana, benar-benar mengacaukan pikirannya. Pria itu pun sengaja bangkit dari sofa dan berpura-pura mengambil sesuatu di dalam lemari pendingin. “Hey, kau tidak menjawab pertanyaanku!” teriak Briana dari ruang utama. Ruang apartemen berukuran tidak luas yang dihuninya, terdapat ruang-ruang yang saling terhubung dan mudah dilihat dari titik tengah ruangan. Sedangkan kamar pribadi dan kamar mandi yang terpisah, tidak bisa mudah disambangi siapa pun karena letak pintunya terdapat di sudut ruangan dan terhalang sebuah penyekat ruang. Sangat bisa dikatakan kecil untuk orang sekelas Ryan, yang awalnya seorang manager dan kini telah menjadi CEO perusahaan besar.“Untuk apa?” Ryan kembali dengan membawa dua buah apel dan pisau buah di tangannya.“Kau harus menjawabnya. Atau ... akan kubongkar identitasmu pada semua rekan kerja,” ancam Briana pelan.Ryan sempat ka
Ryan lantas berbalik dan berlari keluar dari ruang apartemennya, mencari sumber suara yang kini tidak lagi terdengar. Pria itu bergegas turun dari lantai 2 apartemen dengan berlari, dia yakin Briana belum jauh dari lokasi. “Maaf, apa kau melihat seorang wanita berambut cokelat keluar dari gedung ini?” tanya Ryan pada seorang staff yang sedang sendirian di area lobi. “Aku berada di sini selama beberapa jam dan tidak ada siapa pun yang melewati lobi.” jawabnya tak acuh, dia merasa tidak melihat siapa pun melewati area itu. “Ah, tentu saja!” gumam Ryan dengan malas. Ryan membuang napas kasar dengan jengkel, ketika melihat sebuah headphone di dekat meja penjaga itu, maka bisa dipastikan kalau si staff sedari tadi memasang headphone dan tidak mengawasi sekitarnya.Tidak ingin berhenti untuk mencari Briana, Ryan berlari ke arah luar apartemen. Jika pikirannya benar, Briana mungkin saja dilarikan melalui tangga darurat di luar gedung berlantai 4 itu. Sesampainya di depan apartemen. D
Dengan langkah pelan, Ryan kini masuk ke apartemennya. Dia terus memegangi balutan perban di lengan kiri yang terluka. Tubuhnya begitu lelah, hari yang begitu berat sejak kemarin pagi. Kini dia pun harus mengabaikan kewajiban dan segala masalah kantor. Tidak habis pikir, hari pertamanya sebagai CEO begitu banyak pertentangan dan tantangan dari berbagai arah.Pesan masuk ke ponsel saat Ryan tengah berbaring di tempat tidur. Tak acuh oleh bunyi panggilan telepon sekali pun. Dia berusaha meraih lalu mematikan ponselnya saat panggilan itu sudah terlampau mengganggu. Logika pikirannya ingin menyerah, tapi pria itu telanjur penasaran dan hatinya membara akan dendam. Ryan terpaksa menunjukkan jati dirinya sesegera mungkin. Dia sudah muak oleh segala perlakuan dan hanya mampu berdiam saja. Pria itu akan memastikan tidak akan ada lagi orang yang mencoba mengganggu, karena kekuasaan itu sudah berada di tangannya. Berita kejadian itu cepat menyebar di media. Dua petugas keamanan yang turut menj
"Dia ... tidak melakukan apa-apa padaku. Dan kau sudah berjanji tidak akan bertanya apa pun!" pekik Briana."Hm. Baiklah. Perlukah kucari tahu sendiri?" desak Tuan White."Ayah! Kalau begitu, aku tidak akan makan apa pun sampai tubuhku kering dan mati!""Oke ... oke ... aku tidak akan mencari tahu urusan kalian. Tapi keputusan ayah sudah bulat, Ryan akan mendapatkan asistennya besok."Tuan White segera beranjak dari kamar Briana. Tidak memedulikan putrinya yang menentang keras asisten baru untuk Ryan. Briana tidak pernah berharap ada sosok lain yang akan berada dekat dengan Ryan. Satu-satunya cara bagi dirinya untuk selalu dekat adalah dengan melanggar peraturan sang ayah lagi seperti dulu."Jika aku menurut pada Ayah, maka Ryan tidak akan mengawasiku lagi." ****Jacob menggedor pintu apartemen Ryan, karena staff apartemen tetap bertahan tidak memberikan kunci ganda padanya. Selain demi keamanan, bagi mereka Jacob adalah pria asing, dan Ryan sudah memberikan ketegasan untuk tidak me
Sontak Ryan dan Candice menoleh ke sumber suara. Briana datang membawa sebuah berkas untuk Ryan."Nona White?"Ryan melepaskan tangannya dari tangan Candice, tampak dari kejauhan wajah Briana menegang dan sedikit kemerahan seperti menahan rasa marah. Namun, Ryan dengan tak acuh kembali menggeser pandangannya ke arah laptop. "Ada apa Briana? Apa kau sudah makan si--.""Aku tidak berencana mengajak Anda makan siang, Tuan Miller. Hanya membawa berkas ini saja." Lalu mata Briana melirik sekilas pada Candice. "Dan memastikan bahwa asisten baru Anda bekerja dengan baik. Kurasa ... dia bisa memberikan Anda lebih dari sekadar kepentingan kantor. Aku permisi."Briana pun membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar ruangan. Ryan yang sedari tadi bahkan tidak menyahut atau mencegah kepergian Briana, kini memandangi wanita itu dari dalam ruang kerjanya yang berdinding kaca. "Maafkan aku, Tuan Miller. Apakah aku sudah menyinggung Nona White?" ucap Candice dengan nada bersalah. "Tidak tahu. Kau tany
Seorang pria berkemeja hitam yang tidak tampak rapi, menenteng jas dan tas punggung berisi laptop. Ryan Miller, manajer IT White Stone Construction itu melirik jam yang melingkar di lengan kanannya. “Sial! 15 menit lagi rapat dimulai!" Dia menggeleng gusar memikirkan para petinggi departemen sudah menunggu di ruang rapat sedangkan lift kini tertahan di lantai 9. “Kau bisa memakai lift VIP tanpa berdesakan, pergilah,” saran Jacob, sahabatnya. Ryan berdecak, sesungguhnya enggan menyetujui. “Kutunggu kau di ruangan!” ucap Ryan menepuk bahu Jacob sambil melewatinya untuk beralih ke lift khusus. “Persetan dengan VIP!” gumamnya. Sudut mata pria bermata elang itu kini tersita perhatian oleh sosok wanita berambut cokelat, yang dengan langkah terburu-buru mendahuluinya hingga bunyi heels-nya terdengar menggema di lantai granit area lobi. Ryan mempercepat langkah dan sedikit berlari menyusul ke lift yang sama agar tidak tertinggal saat pintunya mulai menutup. Cepat-cepat tangannya menyel
Ryan melirik jengkel, lalu kembali fokus pada bahan presentasinya saat ini. “Ayolah, Jac. Hentikan candaanmu, aku sedang serius.”“Aku tidak sedang bercanda, Kawan. Tapi … apa kau ingin menampilkan pipi merah seperti itu saat presentasi?”Mendengar teguran sahabatnya, Ryan sontak terkejut. “Apa?” "Ha-ha-ha ... lihat saja wajahmu sendiri." Mendengar Jacob semakin tertawa puas. Ryan pun cepat-cepat membuka ponsel untuk melihat wajah melalui kamera depan. “Dasar wanita gila!” umpatnya.“Apa itu sakit? Hei, katakan saja kau terlambat hari ini karena menghabiskan malam yang hebat, ha-ha-ha.” Jacob malah menggodanya seakan Ryan habis bermalam dengan seorang wanita.“Seorang wanita tantrum menamparku.” Ryan kemudian meletakkan ponselnya kembali dengan cepat, lalu menutup layar laptopnya. “Lihat saja apa yang terjadi padanya pagi ini,” gumamnya.“Tapi bagaimana ….” Dengan sedikit kesal Ryan pun berjalan meninggalkan Jacob yang mengikutinya sambil tertawa. Keduanya pun berjalan menaiki lift