Setelah malam itu, Ryan tidak pernah lagi menemui Briana di bar dan hotel yang sama. Pria itu kehilangan jejak. Akan tetapi, Tuan White yang memberitahukannya bahwa Briana sempat pulang dan bertengkar dengan sang ayah.
Ryan tidak ingin ikut campur masalah keluarga itu, bersikap seakan itu di luar jangkauannya untuk membuntuti keberadaan Briana. Pria itu memilih diam, walau sebenarnya dia mampu mendeteksi lokasi Briana dan bisa meyakinkan bahwa gadis itu baik-baik saja.
Beberapa hari kemudian. Tuan White menghubungi Ryan melalui telepon ruangan kantor. Kala itu Ryan tengah sibuk memeriksa beberapa laporan masuk yang mulai ada kejanggalan lagi pada database.
"Ryan, di sini."
"Ini aku, White. Sebentar lagi akan datang seseorang ke ruanganmu, membawa setelan jas untuk kau pakai pukul 10 nanti." "Aku sudah punya. Untuk apa kau mengirimkan jas?" Ryan tidak habis pikir, sepagi ini pria tua itu menelepon hanya untuk mengatakan membelikannya jas."Kau harus memakainya, itu jas pilihan putriku. Akan ada pertemuan penting. Berpakaianlah dengan baik."
"Apa-apaan dia!" gumam Ryan dalam hati. "Kurasa pakaianku sangat layak, tidak terlihat buruk sama sekali. Apakah begitu penting? Aku harus memeriksa beberapa laporan," jelas Ryan. "Ini jauh lebih penting dari apa yang kau kerjakan pada laptopmu. Ikuti saja saranku, tidak perlu membantahku." Ryan mengerutkan dahinya, jika ini sesuatu yang penting, bisa jadi suatu hal yang akan mengganggu pekerjaannya. Dia menghela napas sedikit kesal dan menjawab datar, "Baiklah."Panggilan itu pun langsung terputus begitu saja, Ryan langsung menghubungi Jacob untuk segera ke ruangannya. Jacob segera masuk dengan terburu-buru, mendengar nada bicara Ryan yang tampak serius.
"Ada apa, Kawan? Apa benar ada laporan bermasalah?""Apa aku terlihat buruk?""Kupikir apa, pertanyaan macam apa itu? Tidak, tidak buruk sama sekali, sudahlah.""Pria tua itu mengirimkan setelan jas untukku, apa itu tidak aneh?" ucap Ryan sambil memasang ekspresi risih."Wow. Apa dia mau menjadikanmu Cinderella? Ha-ha-ha."
"Hentikan tawamu, aku sedang bertanya. Sial!" Ryan makin kesal dibuatnya.Jacob langsung meredam tawanya melihat Ryan yang melirik serius. "Ada perihal apa, kapan kau diminta memakainya?"
"Pukul sepuluh, akan ada pertemuan penting. Apa kau tahu pertemuan apa itu?""Bagaimana aku bisa tahu, kau sendiri atasanku tapi tidak tahu informasi itu."Tiba-tiba seseorang mengetuk dan Ryan menyahut mempersilakan masuk, kemudian salah seorang pria masuk membawa sebuah setelan jas beserta cover-nya. "Tolong tanda tangani, Tuan,"Ryan kemudian menerimanya dan menyelipkan uang tips pada si anak buah. Kemudian orang itu pun keluar dari ruangan. Dibukanya cover setelan jas itu, sebuah setelan jas berwarna hijau pucat dari seorang perancang ternama. "Hijau pucat? Ini warna pakaian militer!""Ha-ha-ha ... kau yakin pria tua itu yang memilihkan?" Jacob tertawa geli."Briana. Dia pasti berniat mengerjaiku. Aku tidak akan memakainya!"
"Ayolah, Kawan, kau pasti terlihat lebih tampan. Apa pun yang kau pakai, kau pasti terlihat keren. Lagi pula hanya 2 jam. Setelah makan siang kau bisa memakai pakaian berkabungmu""Jadi kau juga senang aku tampak seperti tentara, huh?"Jacob hanya berani menahan tawa, enggan mengomentari Ryan yang terpaksa memakainya, sedangkan sahabatnya itu lebih sering berpakaian dominan serba hitam. Pukul 10 akhirnya Ryan menuju lantai 36, di mana sebuah ruang rapat berukuran lebih luas berada. Ryan berusaha menahan emosinya, lalu masuk dan memasang senyum pada beberapa orang yang telah hadir. pun salah satu kursi yang berderet melingkari meja berbentuk persegi panjang. Beberapa pasang mata para petinggi yang hadir dan para investor menyorot pada sosok Ryan yang melangkah masuk. Kharisma dan ketampanan dari pria tinggi berambut cokelat itu muncul saat mengenakan jas yang terlihat mahal. Briana tidak mengira bahwa pakaian itu jauh dari kata aneh jika melekat di tubuh bidang Ryan. Sejumlah orang yang hadir bahkan baru kali pertama melihat Ryan, sedikit gumaman dan bisikkan terdengar samar mempertanyakan siapa dirinya.Salah satu dari mereka adalah Christopher, yang menyadari kehadiran Ryan dengan setelan jas itu. Sambil memandang remeh, Chris saling melempar tawa kecil dengan salah seorang petinggi departemen.
Akan tetapi, tawa ejek Chris sama sekali tidak mempan bagi Ryan. Bahkan hal itu dibalasnya dengan menyungging senyum dan ekspresi wajah yang tenang. Chris seketika canggung dan meredupkan tawanya.
Sebelum rapat, awalnya Briana berharap bisa memasang senyum kemenangan dari pembalasannya. Namun, kenyataannya bola mata wanita itu menyorot takjub melihat penampilan Ryan yang berkelas dan di luar dugaan.
“Selera pakaiannya sangat unik, apa dia bercita-cita menjadi seorang tentara? Ha-ha-ha!” bisik Chris yang menggeser pelan kepalanya dan berbisik ke telinga Briana.
Briana membalas dengan diam. Hanya melirik sekilas dan tersenyum masam. Dia pun merasa risih. Tujuannya membalas Ryan tidak untuk menguntungkan Chris saat ini.
Ryan memang jauh dari terlihat buruk dengan setelan jas tersebut, karena desain yang dibuat sang perancang ternama memang sesuai pada tubuhnya yang proporsional.
Beberapa saat kemudian Tuan White pun datang, seluruh orang di dalam ruangan itu berdiri dan sedikit menganggukkan kepala memberi hormat.
“Terima kasih. Kuharap Anda semua tidak menunggu terlalu lama, silakan duduk.”
Setelah semuanya kembali duduk di kursinya, Tuan White lanjut membahas tentang perencanaan ke depan bagi perusahaannya. Setelah selama satu jam dia berbicara dan berdialog dengan para investor, tiba-tiba Tuan White kembali berdiri untuk menyampaikan hal utama dalam pertemuan itu.
“Seperti Anda yang tahu, pertumbuhan pesat White Stone Contruction ini tidak akan luput dari tangan-tangan profesional dan otak cerdas orang-orang di dalamnya. Semua departemen turut bertanggung jawab mengawasi divisi-divisi yang bekerja sangat maksimal demi perusahaan ini. Bahkan terjaga ketat.” Tuan White memandangi sebagian orang-orang departemen yang diam memperhatikannya bicara. “Tapi, Anda tahu bahwa aku tidak akan sanggup di usiaku saat ini, bukan? Ha-ha-ha,” jelas Tuan White menyisipkan sedikit canda.
Chris yang sedang memasang sikap percaya diri, melirik tipis Briana sambil tersenyum dengan deretan giginya. Tidak mendapat balasan, Chris pun canggung dan kembali memandang ke arah Tuan white.“Bagaimana pun itu, tidak akan membuat perusahaan ini menjadi lemah. Aku tidak lagi memiliki kekhawatiran. Karena aku memiliki calon tepat untuk menggantikan diriku,” lanjut Tuan White.
Seisi ruangan terdengar sedikit riuh dengan desis dan bisik orang-orang yang tadinya terlihat duduk rapi. Sepertinya ini suatu kejutan yang tidak pernah diketahui oleh para investor. Namun, mereka seperti mempertanyakan, siapakah sosok yang akan menggantikan Tuan White. Salah seorang investor mengangkat tangan untuk berbicara.
“Setahuku, pengangkatan jabatan CEO kita rencanakan dua tahun lagi, apa ini maksudnya adalah keputusan sepihak Anda, Tuan White?” tanya salah seorang investor.“Jika Anda berani menaruh 50 persen lebih saham di perusahaanku, kubiarkan Anda berdiri. Seharusnya Anda sudah tahu surat perjanjian awal kita.”Sang investor hanya terdiam, tidak berani menanggapi lebih keputusan Tuan White. Karena Tuan White adalah pendiri sekaligus pemilik utama di perusahaan itu dan CEO yang tadinya akan diserahkan pada Briana.
Namun, rencana Tuan White melenceng dari keputusan awal, dia malah mencari sosok lain yang tepat untuk menggantikan Briana.
“Aku memiliki calon yang tepat. Seorang CEO, pengganti diriku. Dia salah satu penyelamat perusahaanku. Karena aku tahu banyak hal yang dia lakukan tanpa ingin diketahui siapa pun.”
Christopher semakin memasang senyum lebar, dia merasa sebentar lagi dirinya akan dipanggil untuk maju. Sedangkan Ryan yang mendengar itu seketika melirik ke arah Briana, tatapan keduanya bertemu tapi dibalas dengan ekspresi datar.“Sebaiknya tidak perlu berlama-lama, kuperkenalkan pada Anda semua. Mari sambut CEO baru kita. Silakan Tuan ... Ryan Miller.” Tuan White mengulurkan tangan mempersilakan ke arah Ryan.Sontak mata Chris membulat sempurna, sedari tadi posisi duduknya bersandar santai mendengarkan setiap kalimat Tuan White. Tiba-tiba satu gebrakan keras terdengar dari sudut salah satu meja.“Apa-apaan ini!”
Saat berada di dalam ruangan, tiba-tiba Briana kembali mengirimkan pesan pada Ryan.Briana : [ Ryan, apa kau sudah makan siang? ]Ryan : [ Ya, Candice membawakan pesananku ke ruangan. Aku ingin segera menyelesaikan analisisku untuk beberapa proposal. Kita perlu membuang pikiran tentang pekerjaan besok, bukan? ]Briana : [ Oh, baiklah. Katakan padaku jika kau sudah selesai. Aku ingin bicara denganmu ]Ryan : [ Apakah itu penting? ]Briana : [ Entahlah Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu ]Ryan : [ Baiklah, aku akan ke tempatmu setengah jam lagi ]Setelah Ryan menyelesaikan proposal terakhir, dia bergegas datang ke ruangan Briana, wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tidak biasanya Briana bicara empat mata secara tiba-tiba. Dia sempat berpikir bahwa gadis itu ingin membatalkan rencana besok. Saat memasuki ruangan dan menutup pintu. Kecanggungan terasa saat Ryan berjalan mendekat ke mejanya."Ada apa, Briana?"Sejenak Briana tampak menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat
Seorang pria tampan melangkah masuk ke lobi kantor perusahaan White dengan percaya diri. Setelan jas abu-abu tua yang membalut tubuh tegapnya terlihat sempurna, menonjolkan postur tubuh yang atletis dan penampilan elegan. Rambut cokelatnya tertata rapi dan mata biru yang tajam seolah menarik perhatian setiap orang yang berada di lobi. Aaron Ford, kakak kedua Ryan, menyambangi kantor itu untuk menemui Briana. Para karyawan yang kebetulan berada di lobi tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria berkharisma ini.Pria setinggi enam kaki itu terus melangkah menuju meja resepsionis. Tatapannya yang menawan membuat sang resepsionis tersenyum kikuk, tetap berusaha profesional."Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan suara yang berusaha tetap tenang.Aaron membalas dengan senyum menenangkan. "Selamat siang. Saya Aaron Ford. Saya ingin bertemu dengan Nona White," ucapnya dengan suara bariton
Setelah beberapa hari pemulihan dan kejenuhannya selama berada di mansion, Ryan akhirnya kembali ke kantor dengan penuh semangat. Pagi itu dengan langkah yang tidak lagi tertatih, dia memasuki area lobi, tampil tampan dan berkharisma dengan setelan jas biru gelap dan kemeja putih.Ryan kini tampak jauh berbeda jika dibandingkan dirinya dulu, seorang manager IT perusahaan itu. Kewibawaan sosok CEO-nya semakin terpancar, menampakkan jiwa sesungguhnya yang seorang Ryan Stanley Ford—sang anak pengusaha kedua terbesar di US. Meskipun kini dia masih menjaga identitas palsunya sebagai Ryan Miller, tapi tidak bisa dipungkiri jati dirinya yang garis keturunan seorang miliarder.Para karyawan yang telah merindukan kehadiran sang CEO, pun menyambutnya dengan hangat. Mereka semua berdiri di lobi, bertepuk tangan dan tersenyum ketika Ryan memasuki lift khusus menuju lantai atas. Ryan membalas sambutan itu dengan senyum lebar dan anggukan kepala, merasa sangat dihargai oleh tim dan karyawan yang ber
Briana mengangkat pandangan dari bunga mawar itu dan melihat ke arah Candice. "Selamat pagi, Candice. Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional meskipun ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul."Ini adalah laporan yang perlu Anda tinjau hari ini. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai proyek baru." Candice tersenyum tipis dan melangkah mendekat, menaruh berkas-berkas di meja Briana. Briana mengangguk. "Terima kasih. Aku akan melihatnya segera," jawabnya singkat sambil melihat pada berkas yang ditaruh ke meja. Mata Candice masih menatap bunga dan kotak perhiasan yang ada di meja Briana. "Pemberian dari seseorang yang spesial?" tanyanya dengan senyum canggung. "Ya, seseorang yang sangat berarti bagiku," sahut Briana sambil mengulas senyum, teringat kembali oleh Ryan. "Senang mendengarnya. Jika ada yang perlu dibantu, tolong beritahu saya." Candice mengangguk, menyembunyikan perasaannya dengan baik. Setelah itu, Ca
Ryan menatap langit-langit penthouse-nya, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Briana. Dia memutuskan untuk menghubungi Briana, merasa perlu mendengar suaranya untuk sedikit mengobati rasa rindunya. Dia mengambil ponselnya dan menekan nomor Briana, menunggu dengan cemas."Halo, Ryan," suara lembut Briana terdengar dari seberang sana."Briana. Bagaimana kabarmu? Kau sudah kembali ke kantor?" tanya Ryan, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan.Terdengar tawa halus sekilas dari Briana, sedikit memanjakan telinga Ryan mendengar gadis itu menerima teleponnya dengan manis. "Ya, aku sudah kembali. Rasanya aneh setelah sekian lama tidak di sana, tapi semuanya berjalan lancar. Bagaimana denganmu? Bagaimana pemulihanmu?"Ryan menghela napas, mencoba terdengar ceria. "Aku baik-baik saja. Hanya saja, terjebak di sini membuatku merasa sedikit ... terisolasi."Briana merasakan simpati. "Aku bisa membayangkan. Aku berharap bisa datang menemuimu dan membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak cukup ban
“Selamat siang, Tuan Miller.” Candice melangkah gemulai di atas lantai marmer dengan heelsnya. "Saya pikir ada beberapa detail teknis yang perlu kita diskusikan lebih lanjut," ucapnya dengan nada profesional, sambil menata beberapa dokumen di atas meja ruang utama itu.Setelah beberapa hari selalu berada di kantor, Candice akhirnya mengunjungi Ryan di penthouse. Kunjungannya kali diisi dengan tugas profesional yang semakin intens. Namun, di antara niatnya untuk membicarakan serangkaian rapat dan diskusi, dia menemukan kesempatan untuk mendekati Ryan.Diskusi panjang itu kini rampung dan telah mendapatkan hasil yang baik dari para tim project yang bekerja profesional, sebuah proyek masa depan yang sangat menjanjikan. “Baiklah, segalanya be