Home / Romansa / Mendadak CEO / Chapter 5 : Menemui Briana

Share

Chapter 5 : Menemui Briana

Author: R L
last update Last Updated: 2024-02-29 17:40:57

“Kau memberikan obat pemicu penyakit jantungku. Mudah saja. Kau sengaja ingin membunuhku. Surat itu ada dan sidik jarimu membekas di botol itu,” jelas Tuan White yang tertawa sambil menahan napasnya yang semakin sesak.

Geram dengan rencana busuk Tuan White. Ryan pun berbalik dan membuang napas kasar. “Baiklah! Aku akan menandatanganinya, jika itu maumu!” Dia berjalan menuju meja mengambil surat tadi. “Sialan!” umpatnya dalam hati.

Ryan cepat meraih pena di atas meja kerjanya dan membubuhkan tanda tangan di dasar surat. Dia meletakkan pena dengan kasar, lalu melayangkan surat itu tinggi menghadap Tuan White.

“Kita sepakat, oke? Sekarang hentikan aktingmu di depanku!”

Tuan White menyeringai senang, dia pun meraih botol kapsul lain dari dalam sakunya sendiri dan meminumnya.

“Kuberikan tugas pertama untukmu, Ryan.”

“Katakan.” Ryan menjawab dingin, wajahnya menegang merasa dipermainkan.

“Jaga anak gadisku ... Briana.”

“Akan kucarikan pengawal khusus untuknya, ini terlalu pribadi dan bukan urusanku,” ucap Ryan tegas.

“Tolong! Aku percayakan kau bisa mengendalikan putriku, aku mengkhawatirkannya. Maka, awasilah dia nanti malam. Dia satu-satunya yang kumiliki.” Tuan White merogoh sesuatu dari dalam saku jas dan menyodorkan sebuah kartu. “Simpanlah, untuk berjaga-jaga.”

Ryan mengambil itu kartu seraya mengernyitkan dahi. “Malam ini? Ya Tuhan ... tapi bagaimana—.” 

Tuan White kini leluasa menghela napas setelah meminum obat penawar.

“Briana, hampir dilecehkan.” Tatapannya menerawang seakan mengkhawatirkan kejadian nahas yang hampir mencelakai putrinya. “Ha-ha-ha, tentu saja, Ryan. Aku tidak bodoh melepaskan pengawal pribadi itu. Dia berakhir di gudang. Tiga tembakan di kepala. Tidak terkecuali jika kau macam-macam.” Pria paruh baya itu kini mengarah pada Ryan yang bergeming dekat meja kerjanya.

Bukan karena terkejut membayangkan eksekusi pada si pelaku. Namun, Ryan merasa bingung dan terpojok. Sebuah amanat yang tidak ada kaitan dengan tugas utama jabatannya. Dia membanting tubuh di kursi, menggeleng sambil mengusap wajah dengan kasar.

“Apa lagi ini ... direktur angkuh itu putri Tuan White dan aku harus bertaruh nyawa demi wanita itu?!" Ryan membatin.

Di sisi lain, Tuan White memandangi Ryan seraya tersenyum licik. “Kau pikir bisa mudah melepaskan tanggung jawab itu, Anak muda. Kubuat kau menderita jika berani menyentuh putriku.” ucapnya dalam hati. 

******

Di sebuah bar pada salah satu hotel ternama di kota New york, seorang gadis tengah duduk di hadapan meja bar, termenung sambil memutar-mutar ujung jari pada bibir gelas minumannya. Pakaian formal yang dikenakannya kini tampak sudah tidak rapi, bagian lengan blusnya sudah digulung naik.

Dari kejauhan Ryan berjalan pelan menghampiri wanita itu. Malas dan lelah bercampur dari aktivitas kerja hari ini. Semakin terbebani karena harus mendekati seorang wanita angkuh seperti anak gadis Tuan White, Briana.

Ryan baru hendak menepuk bahu gadis itu dari belakang, tapi niatnya dihentikan hingga dia menurunkan tangannya kembali. Akhirnya dia memilih mendekat dan mengambil posisi duduk di sebelah wanita itu. Berpura-pura memesan minuman dari salah seorang bartender yang menghampiri. 

“Ya, Tuan?” tanya sang bartender. 

“Bir saja, terima kasih,” ucapnya sekilas, lalu Ryan kembali memperhatikan wanita di sebelahnya. 

“Baik, Tuan,” jawab sang bartender yang berlalu dan menyiapkan pesanan.

Ryan mencoba memulai interaksi dengan Briana, sesungguhnya Ryan enggan dipaksa mendekati wanita. Akan tetapi, baru hendak menyapa, sang wanita langsung menoleh dan terkejut memandangnya.

“Untuk apa kau di sini?” Briana menatap tajam dan dingin ke arah Ryan.

“Menemanimu sampai kau selesai minum dan kembali ke kamarmu.”

“Pria tua itu pasti sudah memaksamu, kan? Katakan saja aku bisa sendiri, aku ini wanita dewasa, dia tidak perlu mengatur hidupku. Suruh saja ayahku berhenti melakukan kebodohan.”

“Maksudmu?”

Briana menatap Ryan dengan seksama, matanya yang sudah terlihat sayu karena setengah mabuk semakin diperburuk dengan kata-katanya yang meracau.

“Kau … ya, kau. Aku kenal kau, penyusup,” ucap Briana suara lemah karena pengaruh alkohol.  Dia menunjuk ujung hidung Ryan dengan telunjuknya. “Kau si manager itu, kan? Kutu komputer yang akan menggantikan posisi ayahku, ha-ha-ha …,” lanjut Briana yang lanjut tertawa mengejek.

Ryan menggeleng kesal, membuang pandangannya ke arah lain dan menyambut gelas dari sang bartender.

“Terima kasih.” Ryan langsung meneguk minumannya. Kembali menoleh pada Briana. “Ini sudah larut, seharusnya kau sadar besok masih hari kerja, untuk apa kau membuang waktu di sini?”

“Ha-ha-ha …, hey, Ryan. Itu bukan urusanmu. Bukankah kau hanya menginginkan jabatan? Kau senang sudah mengalahkan posisiku, bukan?”

“Sebaiknya kita bahas lain kali. Sekarang kau kuantar ke kamarmu.” Ryan bangkit dari duduknya dan meletakkan kartu pembayaran dari dalam dompetnya dan menaruh cepat kartu itu di meja bar. “Bayar minuman wanita ini juga, dia bersamaku.” 

Sang bartender yang tadinya bingung dan ragu, akhirnya mengambil kartu milik Ryan untuk transaksi pembayaran.

Briana terkejut saat lengannya dipegang kuat oleh Ryan. Dia berusaha melepaskannya dari genggaman tangan Ryan. “TIdak. Aku tidak akan pulang! Apalagi dengan kau, penjilat!”

“Kau menjadi urusanku sekarang, Nona.” Ryan masih dengan kuat menahan Briana yang berontak, hingga membuat sang bartender berniat menegur. Ryan pun mengeluarkan kartu nama Tuan White. “Kau bisa menghubungi orang ini jika tidak percaya, wanita ini adalah tanggung jawabku.” Ryan kembali fokus pada Briana. “Ayo cepat, aku juga butuh istirahat bukan hanya mengurusimu saja!”

“Oke, tapi lepaskan tanganku, Pria bodoh!” umpatnya, Briana lanjut bergumam kesal, “Mau saja dia diperintah pria tua itu, kau naif sekali.”

“Kau harus janji tidak akan lari, oke?”

Briana berdecak. Mengangguk malas sambil membuang pandangan. “Kalau saja ayahku tidak segila ini, aku memilih mati saja.”

“Kau sangat menyebalkan. Apa ini harus jadi bagian tanggung jawab yang tidak aku inginkan!!” Ryan membatin. “Sudahi racaumu! Aku pun tidak berminat kalau ini di bukan bagian dari tugasku sekarang!” ucap Ryan mulai menaikkan nada bicaranya, lalu melepaskan tangan Briana.

Briana berjalan mendahului, saat Ryan mengambil kartunya dari tangan sang bartender. Dia menaruh uang tips di atas meja bar itu, kemudian menyusul Briana yang sudah mulai jauh dari pandangan. Keduanya pun berjalan menuju lift.  Pria itu terheran, kenapa Briana tidak memilih ke penthouse, justru masuk ke salah satu kamar di hotel.

Ryan berjalan di belakang Briana, memantau gerak-gerik wanita yang melangkah sempoyongan itu. Dia mengantisipasi agar sigap menangkap wanita itu jika terjatuh atau pingsan

Sesampainya di depan pintu kamar, Briana berhenti dan menatap Ryan sinis. “Mau apa? Cukup sampai di sini!” ucap Briana dengan nada perintah.

“Tidak. Harus kupastikan kau tidak melarikan diri dan beristirahat di kamarmu. Dan aku akan pergi.” Ryan menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tidak sabar menyuruh Briana masuk dan memastikan gadis itu tidak kembali ke bar tadi.

“Alasan! Kau pasti punya rencana lain, kan?” Briana memajukan tubuhnya mendekati Ryan lalu menarik kerah kemeja Ryan. “Pasti ada yang kau inginkan dariku …. Bukankah aku gadis yang menarik? Ha-ha-ha … coba saja jika berani, tapi siap-siaplah kepalamu akan dipenuhi lubang peluru besok pagi.”

“Jangan banyak bicara.” Ryan merampas kunci kamar berupa kartu dari tangan Briana, kemudian menggesekkannya ke bagian pintu untuk membukanya. “Cepat masuk!” Dia menarik lengan Briana untuk ke kamarnya.

Sesaat berada di dalam kamar. “Kembalikan kunci itu!”

Briana mendekat dan merampas kartu dari tangan pria itu. Gadis itu mendongak menatap pria tinggi bermata biru, hingga jarak antara mereka begitu dekat hingga ujung hidung Briana nyaris menyentuh dada bidang Ryan. Hingga harum tubuh dan parfum khas pria itu sempat dinikmatinya tanpa sadar.

Napas Ryan tertahan sesaat Briana seakan menggodanya. Pikiran pria itu kembali pada kilasan mimpinya beberapa minggu lalu. 

Namun, tiba-tiba Briana menghentakkan lututnya naik ke atas hingga mengenai alat vital. Ryan pun termundur menahan sakit. Gadis itu mengambil kesempatan lari dan mengunci Ryan di dalam kamar.

Ryan yang melihat Briana melarikan diri pun tidak kalah antisipasi. Kunci ganda berupa kartu yang diberikan Tuan White khusus untuknya segera digunakan. Pria itu pun tidak mau kalah cepat dari seorang wanita mabuk. Dia menggesekkan cepat kartu itu dan keluar berlari mengejar Briana.

Dengan langkah cepat, Ryan mampu menyusul Briana yang sudah berada di depan lift sedang menekan-nekan tombol turun. Langsung saja, Ryan menyergap dan mengangkat tubuh Briana, ditaruhnya gadis itu di pundaknya seperti sebuah kantung besar. 

Sambil berjalan dengan kesal, Ryan mengabaikan Briana yang terus berontak dengan memukul-mukul punggungnya. “Jangan seperti anak kecil!”

“Turunkan aku ..., Dasar cabul!”

Ryan meraih kartu dalam saku celananya, sedangkan tangan satunya masih memikul tubuh Briana. Kini tubuh Briana dijatuhkan di atas tempat tidur, Ryan pun merangkak naik sebelum wanita itu sempat bangkit. 

“Diamlah di situ!”

Baru saja bergerak hendak menghindar, Ryan mendorongnya kembali hingga jatuh terlentang.

“Tidak …tidak mau!”

Dengan nekat Ryan mengukung tubuh wanita yang semakin terpojok itu. Briana panik dan ketakutan menatap wajah pria yang seperti ingin menyerangnya.

“Berapa pun umpatan yang kau lontarkan tidak akan membuatku berubah pikiran. Kau tahu?” Rahang Ryan tampak mengeras menahan marah. “Malam ini seharusnya aku sudah beristirahat di apartemenku! Tapi terpaksa kutunda, jadi pikirkan baik-baik. Jika kau masih berulah, kubuat kau tidak selamat di tangan pria lain.”

Briana tertegun menatap wajah Ryan. Bibirnya sedikit bergetar. “Kau mau apa? Ja-jangan berbuat macam-macam denganku.” Meski kesan menantang, Briana tampak diliputi rasa takut. “Kumohon, kumohon … demi apa pun,” imbuhnya.

Ryan membalas tanpa ekspresi, dia memiringkan kepala dan memicingkan matanya.“Kau bukan seleraku. Ingat itu baik-baik, Nona Direktur.” Tawa kecil sinis muncul di salah satu sudut bibirnya. Ujung jari telunjuknya mendorong kening Briana.

Tatapan terakhir Ryan yang sangat dingin membuat jantung Briana terpacu. Pria yang selama ini dianggapnya kutu komputer mengeluarkan sisi menyeramkan. 

Sesaat kemudian Ryan beranjak turun dari atas tempat tidur. Dia melenggang tak acuh meninggalkan Briana yang tidak bisa berkutik memandanginya menjauh.

“Awas saja dia!” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak CEO   Chapter 33 : Perayaan Kemenangan Tender

    Saat berada di dalam ruangan, tiba-tiba Briana kembali mengirimkan pesan pada Ryan.Briana : [ Ryan, apa kau sudah makan siang? ]Ryan : [ Ya, Candice membawakan pesananku ke ruangan. Aku ingin segera menyelesaikan analisisku untuk beberapa proposal. Kita perlu membuang pikiran tentang pekerjaan besok, bukan? ]Briana : [ Oh, baiklah. Katakan padaku jika kau sudah selesai. Aku ingin bicara denganmu ]Ryan : [ Apakah itu penting? ]Briana : [ Entahlah Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu ]Ryan : [ Baiklah, aku akan ke tempatmu setengah jam lagi ]Setelah Ryan menyelesaikan proposal terakhir, dia bergegas datang ke ruangan Briana, wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tidak biasanya Briana bicara empat mata secara tiba-tiba. Dia sempat berpikir bahwa gadis itu ingin membatalkan rencana besok. Saat memasuki ruangan dan menutup pintu. Kecanggungan terasa saat Ryan berjalan mendekat ke mejanya."Ada apa, Briana?"Sejenak Briana tampak menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat

  • Mendadak CEO   Chapter 32 : Kehadiran Aaron Ford

    Seorang pria tampan melangkah masuk ke lobi kantor perusahaan White dengan percaya diri. Setelan jas abu-abu tua yang membalut tubuh tegapnya terlihat sempurna, menonjolkan postur tubuh yang atletis dan penampilan elegan. Rambut cokelatnya tertata rapi dan mata biru yang tajam seolah menarik perhatian setiap orang yang berada di lobi. Aaron Ford, kakak kedua Ryan, menyambangi kantor itu untuk menemui Briana. Para karyawan yang kebetulan berada di lobi tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria berkharisma ini.Pria setinggi enam kaki itu terus melangkah menuju meja resepsionis. Tatapannya yang menawan membuat sang resepsionis tersenyum kikuk, tetap berusaha profesional."Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan suara yang berusaha tetap tenang.Aaron membalas dengan senyum menenangkan. "Selamat siang. Saya Aaron Ford. Saya ingin bertemu dengan Nona White," ucapnya dengan suara bariton

  • Mendadak CEO   Chapter 31 : Rencana Liburan Bersama

    Setelah beberapa hari pemulihan dan kejenuhannya selama berada di mansion, Ryan akhirnya kembali ke kantor dengan penuh semangat. Pagi itu dengan langkah yang tidak lagi tertatih, dia memasuki area lobi, tampil tampan dan berkharisma dengan setelan jas biru gelap dan kemeja putih.Ryan kini tampak jauh berbeda jika dibandingkan dirinya dulu, seorang manager IT perusahaan itu. Kewibawaan sosok CEO-nya semakin terpancar, menampakkan jiwa sesungguhnya yang seorang Ryan Stanley Ford—sang anak pengusaha kedua terbesar di US. Meskipun kini dia masih menjaga identitas palsunya sebagai Ryan Miller, tapi tidak bisa dipungkiri jati dirinya yang garis keturunan seorang miliarder.Para karyawan yang telah merindukan kehadiran sang CEO, pun menyambutnya dengan hangat. Mereka semua berdiri di lobi, bertepuk tangan dan tersenyum ketika Ryan memasuki lift khusus menuju lantai atas. Ryan membalas sambutan itu dengan senyum lebar dan anggukan kepala, merasa sangat dihargai oleh tim dan karyawan yang ber

  • Mendadak CEO   Chapter 30 : Teka-teki dan Ancaman

    Briana mengangkat pandangan dari bunga mawar itu dan melihat ke arah Candice. "Selamat pagi, Candice. Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional meskipun ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul."Ini adalah laporan yang perlu Anda tinjau hari ini. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai proyek baru." Candice tersenyum tipis dan melangkah mendekat, menaruh berkas-berkas di meja Briana. Briana mengangguk. "Terima kasih. Aku akan melihatnya segera," jawabnya singkat sambil melihat pada berkas yang ditaruh ke meja. Mata Candice masih menatap bunga dan kotak perhiasan yang ada di meja Briana. "Pemberian dari seseorang yang spesial?" tanyanya dengan senyum canggung. "Ya, seseorang yang sangat berarti bagiku," sahut Briana sambil mengulas senyum, teringat kembali oleh Ryan. "Senang mendengarnya. Jika ada yang perlu dibantu, tolong beritahu saya." Candice mengangguk, menyembunyikan perasaannya dengan baik. Setelah itu, Ca

  • Mendadak CEO   Chapter 29 : Kerinduan

    Ryan menatap langit-langit penthouse-nya, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Briana. Dia memutuskan untuk menghubungi Briana, merasa perlu mendengar suaranya untuk sedikit mengobati rasa rindunya. Dia mengambil ponselnya dan menekan nomor Briana, menunggu dengan cemas."Halo, Ryan," suara lembut Briana terdengar dari seberang sana."Briana. Bagaimana kabarmu? Kau sudah kembali ke kantor?" tanya Ryan, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan.Terdengar tawa halus sekilas dari Briana, sedikit memanjakan telinga Ryan mendengar gadis itu menerima teleponnya dengan manis. "Ya, aku sudah kembali. Rasanya aneh setelah sekian lama tidak di sana, tapi semuanya berjalan lancar. Bagaimana denganmu? Bagaimana pemulihanmu?"Ryan menghela napas, mencoba terdengar ceria. "Aku baik-baik saja. Hanya saja, terjebak di sini membuatku merasa sedikit ... terisolasi."Briana merasakan simpati. "Aku bisa membayangkan. Aku berharap bisa datang menemuimu dan membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak cukup ban

  • Mendadak CEO   Chapter 28 : Jerat Godaan di Penthouse

    “Selamat siang, Tuan Miller.” Candice melangkah gemulai di atas lantai marmer dengan heelsnya. "Saya pikir ada beberapa detail teknis yang perlu kita diskusikan lebih lanjut," ucapnya dengan nada profesional, sambil menata beberapa dokumen di atas meja ruang utama itu.Setelah beberapa hari selalu berada di kantor, Candice akhirnya mengunjungi Ryan di penthouse. Kunjungannya kali diisi dengan tugas profesional yang semakin intens. Namun, di antara niatnya untuk membicarakan serangkaian rapat dan diskusi, dia menemukan kesempatan untuk mendekati Ryan.Diskusi panjang itu kini rampung dan telah mendapatkan hasil yang baik dari para tim project yang bekerja profesional, sebuah proyek masa depan yang sangat menjanjikan. “Baiklah, segalanya be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status