Untuk sesaat Anna terdiam, seorang wanita dengan tubuh tinggi langsing berpakaian seksi berdiri di hadapannya. "Ngapain wanita ular itu di sini? mau apa dia?" Anna membathin di dalam hatinya. Tapi kemudian ia bisa menguasai diri kembali, ia tetap tenang dan santai. "Malam," jawabnya datar. Merasa tidak disambut, Elsa menjadi geram. "Gadis ini benar-benar batu, kenapa dia begitu santai? harusnya dia gugup, dan bertanya mau apa kamu di sini? ini kok tenang aja sih." Kali ini Elsa yang bergumul dengan hatinya sendiri, ia merasa kecewa karena reaksi Anna tidak sesuai yang ia harapkan. "Ehem, tidak mempersilahkan saya duduk nih?" tanya Elsa. Ia berusaha menekan suaranya agar terdengar natural. Anna tersenyum mendengarnya, "Oh mau duduk? kalau mau duduk ya duduk aja sih, kenapa repot pake nanya, toh ini bukan rumah saya juga." Elsa tidak menyahut, dengan sedikit kasar ia menarik kursi dan duduk dengan menyilangkan kaki, gadis di hadapannya ini benar-benar tidak menghormatinya. Kedua
Anna pun terdiam, ikut menunggu. Sebenarnya apa yang mau ditanyakan Harry? kenapa sepertinya sangat serius?"Halo, Mas?" ulang Anna."Hmm, ya. Anna, mengapa kamu menemui Elsa?" tanya Harry spontan.Sontak Anna terkejut, bagaimana Harry bisa tahu?"M-mas Harry tahu?" tanya Anna bingung."Aku kan memang sedang mengawasi wanita itu An, aku nggak mau dia melakukan hal buruk lagi pada kamu dan Amel."'Duh gimana ini, mas Harry kan memang memintaku menjauhi Elsa, tapi malah aku terlibat kerjasama begini.' Anna membathin."Mas, memang benar Elsa itu seorang model?""Ya, dulu memang dia seorang top model, tapi sekarang aku nggak tahu lagi. Nggak ada beritanya, mungkin udah nggak laku, karena karier seorang model wanita gemilang-gemilangnya itu di usia 20-25 kan?""Waduh, kenapa Mas nggak bilang? tapi kok aku nggak pernah dengar ya ada top model bernama Elsa?""Dia nggak pake nama sebenarnya, kamu tahu Mis. Dela? itu dia.""Oh, jadi Dela itu Elsa?" Anna terkejut setelah mendengar penjelasan H
"Har, kuliah yang benar. Kamu harus lebih sukses dari aku." Lelaki tampan yang wajahnya mirip Harry itu berpesan."Ck, kan udah ada kamu Dav yang ngurusin perusahaan, aku bisa santai dong.""Dasar bocah bandel, kalau mendiang Daddy masih ada bakal dijewer kamu.""Hahaha, aku bukan bocah lagi Dav, udah 20 ini bentar lagi jadi uncle, ya kan kakak ipar?" Wanita cantik yang berdiri di samping lelaki itu tersenyum."Udah sana berangkat, kamu ada exams kan hari ini? nanti sepulang dari kampus langsung ke kantor, ada yang mau aku diskusikan sama kamu.""Oke dear Bro, aku berangkat. Bye!"Harry melajukan ferrarinya dengan santai ke kampus, entah mengapa hari ini ia merasa malas ngampus, kalau bukan ada ujian dia gak bakalan datang.Dan ia baru saja menyelesaikan ujian hari itu ketika mendapatkan kabar buruk tentang David. Ia segera melesatkan mobilnya ke lokasi, namun ia hanya mendapatkan tubuh yang bermandikan darah. Harry jatuh terduduk seketika, namun ia menguatkan diri.Lelaki itu menggen
Anna tampak berpikir keras, siapa yang di maksud Harry? tapi ia tetap tidak juga menemukan jawabannya."Mas, aku nggak ngerti maksudnya siapa? aku rasa aku nggak punya musuh."Harry tetap tenang menatap Anna. "Coba kamu ingat, seseorang yang terobsesi dengan kamu, lalu merasa kecewa karena kamu menolaknya.""Menolak?" Anna tertegun, "apa mungkin dia yang tempo hari mau dijodohkan oleh nenek?" tanyanya seraya menatap Harry -- meminta jawaban.Harry tersenyum. "Ya, dia telah terobsesi dengan kamu saat nenek kamu menawarkan menjodohkanmu dengannya, namun tiba-tiba kamu kabur darinya.""Maksudnya Ardi?" tanya Anna. Harry mengangguk."Lalu Mas bilang dia dendam sama Mas Har, apa kalian saling mengenal?""Secara pribadi kami tidak mengenal satu sama lain, tapi tahukah kamu, siapa Ardi?" tanya Harry. Anna menggeleng--Dia memang tidak tahu apa-apa, dan tidak mau tahu siapa lelaki yang akan dijodohkannya itu."Dia adalah Ardi Agara, pemilik Agra Group. Kamu tahu, Barnesia Group adalah rival te
Untuk sesaat Anna terpaku melihat kekacauan di ruang itu, beberapa gaun di manekin jatuh. Dan yang paling mengenaskan gaun utama yang akan ditampilkan dirusak, sobek di beberapa bagian. "Safa," panggil Anna, ia berusaha tenang meskipun suaranya bergetar, "bagaimana ini bisa terjadi? apa nggak ada yang nunggu di ruangan?" tanyanya kepada sang asisiten yang tertunduk lemas. "Ada, Mbak. Sesuai yang Mbak Anna arahkan. Tapi kata mereka tiba-tiba lampu padam, beberapa dari mereka keluar ruangan untuk mengecek, pas lampu nyala sudah berantakan." Suara safa terbata-bata menahan rasa sesak di dada. Anna paham di dalam hatinya, ini adalah perbuatan orang-orang Elsa, sekarang ia mengerti, jadi untuk ini mereka ngotot ingin bekerjasama. 'Tidak, aku harus cari cara untuk membereskan kekacauan ini.' Anna membathin di dalam hatinya. Anna meneliti gaun yang koyak dan sobek itu, ada sobekan bekas torehan pisau di bagian bawah dekat lutut, bagian atas masih mulus, mungkin karena gelap, si pelaku
Elsa berusaha tenang, ia mengatur napasnya dengan susah payah dan masih merasakan sakit di lehernya karena cekikan keras pria gila itu. "Katakan!" bentak Ardi mengejutkan Elsa. "B-baik," jawab Elsa terbata-bata. Ia berusaha mendekati Ardi dan membisikkan sesuatu di telinganya. Sejurus lelaki itu tersenyum, Elsa menghela napas lega, dia berpikir Ardi akan melepaskannya. Ia segera merapihkan bajunya dan hendak beranjak, namun tangan lelaki itu dengan kasar kembali menarik rambutnya. Spontan wanita itu teriak kesakitan, namun justru membuat Ardi semakin bergairah. "Aku setuju rencanamu, tapi jangan coba-coba menipuku." Lelaki itu berbisik di telinga Elsa dengan suara berat, namun terdengar mengerikan di telinga Elsa. "A-aku tidak akan menipumu, kamu akan segera mendapatkan gadis gembel it-uuu...." Elsa berkata penuh kebencian kepada Anna, namun tiba-tiba ia merasa sesak ketika tangan kasar Ardi kembali mencekiknya dengan kuat. "Apa kamu bilang? jangan coba-coba menghina milikku! d
Anna kembali memeriksa buket itu dengan teliti, tidak ada petunjuk apa pun yang ditemukan mengenai pengirimnya, akhirnya ia memanggil Safa, asistennya. "Safa, siapa yang nerima buket-buket ini?" tanya Anna. "Aku, Mbak. Ada apa?" Safa sedikit bingung. "Apa ada salinan tanda terima atau bukti pengiriman?" "Ada Mbak, sebentar aku ambilkan." Safa segera bergegas ke luar, tidak lama ia masuk lagi dengan membawa map, lalu menyerahkannya pada Anna. "Terima kasih Saf." Anna memeriksa satu-satu, semua tertera nama pengirim. Hanya satu yang tidak ada namanya, cuma tertulis Mr. X, tapi untungnya ada nama toko dan nomor teleponnya. Anna segera menghubungi toko bunga tersebut, ia menanyakan buket bunga yang mereka kirim lengkap dengan detailnya. Karyawan toko bunga menjelaskan kalau buket itu dipesan via online, pengirim hanya meminta dituliskan pesan seperti itu. Anna membeku sesaat, ia kembali membaca kata-kata dalam pesan itu, sepertinya pesan itu bernada mengancam. Ia berfikir keras, a
Amelia memeluk Anna sambil menangis, Anna segera merangkulnya dan mengusap rambut gadis imut itu penuh kasih meskipun ia bingung, apa yang membuat anak itu kelihatan sedih. Anna menghapus air mata di wajah imut itu --setelah tangisnya mereda-- lalu tersenyum hangat. "Sayang, coba cerita sama Kak Anna, kenapa Amel menangis?" Amelia menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Amel takut, Kak." "Takut kenapa sayang?" tanya Anna lembut sambil tetap tersenuyum. Amelia menghela napas layaknya orang dewasa. "Amel takut Kak Anna dalam bahaya, Amel takut ada orang jahat yang nyakitin Kak Anna, Amel nggak mau kehilangan Kak Anna." Gadis cilik itu kembali terisak. Anna mendekapnya penuh kasih sayang seorang ibu, Amelia anak yang sangat peka. Mungkin kehidupan pahitnya yang tidak memiliki seorang ibu--meskipun Anna tidak tahu yang sebenarnya-- membuat Amelia seperti itu. "Sayang ... Dengerin Kak Anna, kakak nggak apa-apa kok, Kak Anna nggak dalam bahaya, Kak Anna aman-aman saja, jadi Amel ja