Share

BAB 11

last update Last Updated: 2022-06-21 15:36:22

"Motor aku gimana, Mas?"

Brian melotot, ditatapnya Heni dengan tatapan kesal. Motor? Heni malah memikirkan motornya daripada momen mereka ini?

"Biarlah, nggak mungkin ilang, Hen!" jawab Brian santai sambil menahan gemas. Ia segera membawa mobilnya melaju dari halaman parkir. Ia melirik sekilas, Heni tidak tampak protes dan itu artinya dia juga sama dengan Brian, begitu rindu momen ini dan tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka ini.

"Memang kita mau makan dimsum di mana, Mas?"

Brian kembali melirik wajah itu, senyum Brian merekah. Rasanya sudah cukup lama mereka tidak bersama macam ini. Tidak sia-sia Brian datang jauh-jauh dan menculik Heni, akhirnya rasa rindunya terbayar sudah!

"Warungnya sih kaki lima, Hen. Tapi aku jamin kamu bakalan suka." Brian tahu, Heni sebenarnya bukan tipe gadis gede gengsi yang tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Tapi dia perlu memberitahukan ini sebelum Heni berekspektasi tinggi terhadap tempat makan yang akan mereka datangi.

"Enak?"

Kini tawa Brian pecah. Dia tertawa terbahak-bahak. Kenapa Heni menanyakan hal ini? Tentulah enak! Selera Brian terhadap makanan cukup tinggi. Tentu tidak perlu dijelaskan kenapa lantas Brian mau makan di kaki lima, kan? Sudah pasti selain tempatnya bersih, makananya pasti enak!

"Kau akan tau nanti, Hen. Sabar deh."

Heni tidak lagi bersuara, dia malah menyandarkan tubuh di jok dengan santai. Seperti biasa, ketika dulu mereka masih satu tempat dinas dan Brian rajin antar-jemput Heni ketika mereka ada dalam satu shift yang sama. Brian merasa begitu tenang, damai dan bahagia ketika sosok ini tengah bersamanya. Agaknya Brian betul-betul jatuh cinta dan ia memang perlu mengikuti saran Julius untuk 'menembak' Heni lebih dulu.

Eh, tapi ... siapa bilang kalau selama ini Brian tidak menyatakan perasaan pada Heni? Brian sudah berkali-kali memberi 'kode' dan bahkan bicara blak-blakan pada gadis di sebelahnya ini. Tapi entah Heni yang terlalu polos atau cuek, semuanya seolah hanya gurauan di mata Heni. Padahal Brian serius mengucapkan hal itu, serius dengan setiap perkataan yang mewakili perasannya pada Heni.

Mendadak Brian gusar. Beberapa bulan lagi tentu masa kepaniteraan klinik Heni akan habis. Gadis ini akan diambil sumpahnya dan mengikuti UKMPPD serta serentetan tes lainnya untuk menentukan apakah Heni lolos untuk menjajaki tahapan selanjutnya guna menjadi dokter. Dan internship ... Brian tahu betul Heni berdarah muggle. Dalam artian dia adalah dokter pertama dalam keluarga besar. Yang artinya lagi, Heni sama sekali tidak punya power dalam bidang kedokteran dari keluarga. Itu artinya ....

"Mas? Ngelamun?"

Brian tersentak, ia terkejut dan spotan menoleh menatap Heni yang tengah menatapnya dengan tatapan menyelidik.

"Ah ... ng-nggak kok. Cuma lagi mikir sesuatu aja." jawab Brian sambil berusaha menghilangkan rasa terkejutnya.

"Mikir? Mikirin apaan?" sebuah nada penasaran Brian rasakan di sela-sela kalimat yang keluar dari mulut Heni.

Brian mendesah, tidak ada waktu lagi! Dia memang harus segera menyatakan perasaan seperti apa saran omnya. Kalau tidak ... Brian begitu takut harus kembali kehilangan orang yang dia cintai hanya karena dia terlalu santai terhadap perasaan yang Brian miliki untuk gadis incarannya.

"Hen, besok malam ada acara? Temenin keluar mau?"

***

Wajah Heni berubah cerah ketika gumpalan daging ayam dengan kulit lembut nan juicy itu menyapa indra perasa Heni. Belum lagi nikmat saus cocolan yang pedas dan gurihnya pas di lidah Heni. Ini benar-benar sangat nikmat dan memanjakan lidah Heni, persis seperti apa yang tadi Brian promosikan kepadanya.

"Enak?"

Heni mengangkat wajah, menelan susah payah dimsum yang memenuhi mulutnya. Ia kontan nyengir lebar, menganggukkan kepala dengan cepat lalu kembali bersuara.

"Heem, ini enak banget, Mas!" ucapnya jujur. Dimsum dan saus cocolan nya ini memang enak!

Brian menyunggingkan senyum. Tampak pesanannya masih utuh, matanya fokus menatap Heni. Membuat Heni jadi sedikit salah tingkah. Jadi Brian sejak tadi malah sibuk mengamati Heni makan daripada makan dimsum pesanannya?

"Ma-Mas ... kamu nggak makan?" Heni mengabaikan sejenak dimsum lezat miliknya, tentu dia tidak nyaman dengan Brian yang sejak tadi tidak melepaskan pandangan mata darinya.

"Dimsum nya memang enak, bentuknya indah dan cantik. Tapi sayangnya, apa yang ada di depan mataku, yang kini sedang aku tatap, lebih indah dan cantik daripada mereka."

Heni membelalak, ia tidak salah dengar? Brian tidak sedang bercanda atau kerasukan setan penunggu rumah sakit, kan? Atau kepalanya habis terbentur sesuatu? Jadi saraf otaknya geser dan dia menjadi konslet?

Heni meneliti mata dan wajah Brian, tidak nampak bahwa Brian tengah bercanda. Tidak tampak kebohongan di mata itu. Sebuah fakta yang membuat Heni jadi salah tingkah. Kembali kalimat Brian tadi terngiang. Perihal Heni yang kata Brian begitu indah dan cantik, apakah ini artinya ....

"Mas sehat?"

***

Brian kontan melotot tajam. Rangkaian kalimat rayuan lanjutan yang sudah Brian pikirkan dan siapkan dengan matang mendadak hilang, lenyap entah kemana. Ia mengeram perlahan, rasanya ia ingin menelan bulat-bulat kalau saja dia tidak begitu mencintai gadis ini.

Heni masih menatapnya dengan saksama, dengan tatapan tidak percaya yang terhambat jelas di wajah dan sorot mata itu. Membuat Brian mengusap wajahnya dengan gemas, kapan Heni bisa mengerti bahwa perasaan yang Brian miliki untuknya itu tulus dari dalam hati Brian!

"Mas, kepalamu habis terbentur?" tanya Heni yang kembali membuat Brian mengeram gemas.

"Nggak ... nggak kok!" Brian segera meraih sumpitnya, "Udah ayo lanjut makan!" Brian segera menjepit dimsum pesanannya dengan sumpit. Mencocolnya di saus lalu melalap makanan itu sambil membayangkan makanan yang dia makan ini adalah Heni.

Bisa Brian lihat Heni tersenyum geli, kembali dia menikmati dimsum miliknya. Tidak lagi berkata-kata apapun. Membuat Brian bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan otak dan pikiran gadis ini? Kenapa dia tidak paham juga dengan maksud Brian? Atau sebenarnya Heni sudah paham, tapi dia pura-pura tidak paham?

"Ini bisa di pesan online, kan, Mas? Mau pesan lagi lain kali." gumam Heni dengan mulut penuh dimsum.

"Nggak! Nggak bisa!" jawab Brian tegas. "Kalau mau beli ke sini, telepon aku! Biar aku antar kamu kesini!"

Brian menelan makanannya, kembali memenuhi mulutnya dengan dimsum udang yang menjadi favorit Brian ketika berkunjung ke sini. Wajah itu nampak terkejut, menatap ke arahnya dengan tatapan bingung. Namun Brian tidak lagi peduli. Dia sudah cukup kesal dan gemas pada Heni, jadi Brian lebih memilih untuk fokus menikmati makannya daripada pusing memikirkan gadis yang dia cintai ini.

'Hen ... kamu ini emang lemot atau pura-pura lemot sih, Hen?'

Brian kembali menatap nanar gadis di hadapannya. Dia benar-benar tampak sangat menikmati makannya dan tidak peduli dengan kalimat-kalimat Brian tadi.

"Habis ini Mas antar aku pulang, kan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Pyeriel
Wkwkkwkw.. lagian si Brian ngapain pake kata2 puitis segala yg membandingkan si Heni dgn dimsum cb lngsng to the poin gt lngsng katakan cinta auto muntaber ntr si Heninya ... hahahaha
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
kocak mah pasangan ini
goodnovel comment avatar
Janni Qq
wkwkkwkw suka suka sm pasangan ini selain yoga karina...lanjut up yg bnyk kak .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mendadak Kawin   EP. END

    “Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.

  • Mendadak Kawin   EP. 8

    Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe

  • Mendadak Kawin   EP. 7

    Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala

  • Mendadak Kawin   EP. 6

    “Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc

  • Mendadak Kawin   EP. 5

    Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,

  • Mendadak Kawin   EP. 4

    Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status