"Ah sial, aku menangis lagi!" Umpatnya melemparkan sapu tangan yang baru saja ia pakai ke sembarang arah. Ruby bingung. Seharian ini, ia tidak berhenti menangis selain tidur. Sekali pun ingin berhenti, otaknya kembali memutar hal yang menyakitkan hingga air matanya kembali merembes keluar. Sulit untuk menahan semua ini. Sepertinya, ini efek ingatan Ruby yang dulu, atau memang luka di hatinya belum pulih. Hari ini rasanya begitu mencekam. Kepalanya sakit, hidungnya memerah, dan matanya mulai panas. Ruby ingin segera tidur meski matahari belum terbenam sekali pun. Rasanya, ia sangat lelah. "Apa nona baik-baik saja?" tanya Elina yang kini duduk bersimpuh di bawah Ruby demi membenarkan gaun yang majikannya pakai. Ah, iya. Ada undangan makan malam dari Raja yang tidak bisa Ruby lewatkan. Padahal, sebelumnya Ruby menolak ajakan Theron untuk minum teh bersama dengan Zalina. Tidak lagi. Mungkin Zalina akan berulah lagi dan Ruby yang jadi getahnya. Sungguh merepotkan. "Tentu saja tidak. K
"Memangnya mudah untuk membatalkan sayembara dengan seenaknya," cibir Ruby dengan nada mengejek. Gadis itu berkacak pinggang. "Yeeahh sangat mudah karena kau calon Rajanya bodoh!" Umpat Ruby kemudian menendang pot bunga yang baru saja lepas dari pandangannya. Emosi, kesal, dan muak menjadi satu. Gadis itu menggenggam rambutnya frustasi. Baru saja dia sembuh dari penyakit tangisnya, ia justru harus memutar otak tentang sayembara ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kabur. Namun, tentu saja kabur dengan uang sedikit bukanlah hal yang bagus. Jika saja ini adalah sebuah novel, mungkin Ruby sedang merencanakan balas dendamnya karena sudah dijahati oleh sang penulis. Ah tidak, itu karmanya karena sudah menjahati sang protagonis. "Apa aku terus menjahati Zalina saja agar dipenggal dan kembali ke duniaku?" gumamnya lagi. "Tapi ... mengerikan juga kalau aku mati langsung masuk neraka, HIH!" Ruby merinding seraya memegang lehernya sendiri. "Ngomong-ngomong kalau aku tidak jadi Putri
Di musim dingin seperti ini, Ruby seharusnya menimbun dirinya di bawah selimut, tidur seharian jika ia tidak lupa tentang sayembara yang akan di adakan sebentar lagi. Meski Theron tidak menyebutkan waktunya secara spesifik, akan tetapi, semuanya telah siap, dan mungkin saja Zalina juga sudah menyiapkan segala hal. Perpustakaan Istana hari ini terasa begitu senyap seperti hari-hari biasanya. Sudah empat hari Ruby menghabiskan waktunya di sini, sendirian. Tanpa Elina. Mereka harus merahasiakan fakta ini. Ruby dijuluki sebagai 'Lady Jenius', mustahil dia pergi ke perpustakaan demi mempelajari dasar-dasar kerajaan yang sudah ia hapal di luar kepala. "Haruskah aku belajar etika?" gumam Ruby kini mengganti bukunya. Gadis itu membaca dengan jarak yang dekat. Pandangannya mulai kabur. Sepertinya karena kebanyakan membaca. Beruntung tulisan di sini sama seperti di dunianya. Dengan satu lentera serta teh Chamomile yang menemani, Ruby mengeratkan kain di punggungnya saat dingin mulai menyergap
"Lancang sekali bicaramu, pelayan!" Sentak suara barithon yang begitu familiar di telinga Ruby. Ruby berpaling, dapati Theron tengah menyorot tajam ke arah Bizzie yang kini menunduk takut. Tangannya berpegang pada ujung pedang seakan bersiap untuk mengambilnya. Gadis itu menegang di tempat, apa Theron mendengar seluruh percakapan mereka? "Maafkan saya, Yang Mulia, saya tidak bermaksud—" "Teganya ... kau menuduhku, Bizzie," lirih Ruby memotong ucapan Bizzie yang akan membela diri dengan sejuta alasannya. Pelayan itu tidak bisa berkutik saat Ruby memberinya senyum getir. Gadis itu menutup mulutnya dengan sorot kecewa. Menggeleng. Seolah mendalami peran sebagai karakter yang polos yang tengah dikhianati. "Minta maaf pada Ruby sekarang atau kau dikurung di ruang bawah tanah Istana dalam semalam?" titah Theron membuat Bizzie bergetar ketakutan. Siapa yang bisa bertahan di penjara bawah tanah dalam musim dingin seperti sekarang? Meski hanya semalam, Bizzie bisa beku berada di bawah san
Latihan di tengah musim dingin seperti ini membuat fokus Theron menjadi terbelah. Lirikan matanya selalu mengarah pada orang-orang yang berlalu lalang di lorong Istana. Seberapa banyak manusia pun yang hadir di depan matanya, ia masih berharap seseorang muncul di hadapannya meski hanya sesaat. Apa ini namanya Theron sendiri juga masih ragu. Intinya, ia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya selama seminggu ini. Hanya ingin melamun. Bahkan, sup terenak masakan sang Ibu pun, nampak tidak menarik. Pikirannya hanya tertuju pada satu orang. "Ruby?" gumamnya. Terlihat gadis itu dari kejauhan keluar dari lorong Istana utama. Tanpa sadar Theron meninggalkan para ksatria yang lain tanpa pamit. Bahkan, panggilan dari Jack sang asistennya pun tak ia hiraukan. Tungkainya hanya berporos pada satu tujuan. "Nona Ruby? Anda tidak merencanakan sesuatu untuk nona Zalina, 'bukan?" Mendengar itu, Theron membeku. Menatap nyalang ke arah pelayan yang kini membelakanginya. Suara itu, ia sangat mengenaln
"Ini sup penghilang pengarnya, nona." "Terima kasih." Ruby bangkit dari tidurnya. Memperhatikan sup yang baru saja disajikan pelayan dengan asap mengepul. Gadis itu menghembuskan nafas kasar. Lonjakan dari perutnya sukses membuat air mata keluar. Sepertinya, ia terlalu mabuk semalam. Bahkan, Ruby tidak ingat kapan Theron meninggalkan kamarnya. Ah masa bodoh. Mendesah lelah kemudian menyendokkan sup yang sudah ia tiup ke dalam mulut. Dalam genggamannya terdapat surat misterius yang kini belum ia pecahkan apa di dalamnya. Meski pening, Ruby tetap memaksa untuk meneliti setiap inci dari surat itu. Namun, nihil. Tidak ada hal yang mencurigakan dari tiap sisinya. "Ah ... sepertinya di sini terlalu gelap. Apa aku lihat dari jendela saja?" Gumamnya kemudian mengarahkan kertas itu pada jendela kamarnya. "Ini?" kejutnya saat mendapati beberapa huruf muncul saat matahari menyorot kertas dari arah belakang. "Apa?" Ruby menyipitkan mata.Pastikan bunga itu ada di sisi nona Ruby. Karena kan
"Apa Zalina sering terkena racun seperti ini? M-maksudku, dia sering sakit begitu? Dan semua orang menuduhku yang melakukannya?" tanya Ruby menggebu pada Elina. Ia masih ingat tentang kilasan masa lalu Ruby. Gadis itu bahkan berharap Theron tidak percaya seperti orang lain, akan tetapi, lelaki itu yang datang menuduhnya secara langsung. Menodongnya dengan pertanyaan yang Ruby tidak pahami. Sejahat itu memang. Dan mungkin, saat ini Theron juga percaya dengan rumor itu. Bahkan, Ruby bersiap memberi alasan jika lelaki itu datang menuduhnya yang tidak-tidak. Akan tetapi, saat sore menjelang, tak ada yang datang. Theron tidak menampakkan batang hidungnya. Sedangkan Ruby, memilih untuk mengurung diri di kamarnya. "Jika dihitung, ini sudah yang ke enam kali nona Zalina terkena racun selama tinggal di Istana. Entah itu datang dari makanan, atau minuman yang beliau konsumsi," jawab Elina membuat Ruby tertawa lirih. "Dan selalu aku yang dituduh meracuninya?" Anggukan dari Elina cukup membua
Beberapa hari berlalu, Kabar menyebar luas dengan cepat. Sebagian orang percaya bahwa Ruby dalang atas racun yang menimpa Zalina. Meski tidak ada bukti kuat, mereka tetap menyebarkan rumor itu hingga keluar Istana tanpa bisa dicegah. Bahkan Ruby sendiri pun, kini lebih sering mengurung dirinya dalam kamar. Tidak ingin menemui siapa pun, bahkan terkadang makanan yang telah pelayan siapkan untuknya masih bersisa. "Salam cahaya kekaisaran Darian, Yang Mulia Putra Mahkota." Sapa hormat Duke Edelmiro menunduk dalam. Theron memandang lelaki paruh baya itu dengan hati gelisah. Meski jelas kedatangan Duke jauh-jauh ke Istana untuk membahas pencucian dana. Tentu juga kabar tentang Ruby telah sampai ke telinganya. Akan tetapi, tidak biasanya Duke bersikap seperti ini. Bahkan ia seringkali acuh tak acuh. Ruby bisa membereskan semuanya sendiri. "Atas izin dari cahaya kekaisaran, bolehkah saya menjenguk Ruby? Saya dengar, dia kurang sehat akhir-akhir ini," ungkap Duke kemudian setelah mereka d