Musim semi empat tahun lalu. Awal musim semi yang masih terasa dingin ini seakan memanggilnya, menggodanya dengan rangkaian bayangan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang daunnya sudah tumbuh berpucuk. Dan akhirnya, ia pergi keluar Istana tanpa diketahui oleh siapa pun. Gadis itu memejamkan mata. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhnya hingga rambut cokelat yang dikepang itu menari-menari di bawah mentari sore. Sudah lama ia tidak ke sini. Tempat yang membuatnya merasa tenang. Di pinggir danau yang tak jauh dari Istana. Tempat yang membuat Ruby merasa nyaman dan jujur akan dirinya sendiri. Mengeluarkan keluh kesahnya selama berada di Istana. Bagaimana para pelayannya, Theron, Ratu Miranda, dan tentu saja tentang perasaannya. "Sejujurnya, aku sudah lupa bagaimana wajah Ibuku," celetuk Ruby di tengah heningnya suasana. "Yah ... setiap ingatan manusia memang akan pudar selama berjalannya waktu." Warna jingga dari mentari sore menyinari wajah
Kematian Grand Duke Ramon Darian dan Grand Duchess Diana Swayneza kini telah menyebar luas. Kabarnya, mereka berdua meninggal karena kecelakaan saat menuju pusat kota Eurõbia. Tepatnya di wilayah Santora dengan hutan terpanjang di kerajaan Darian. Akan tetapi, siapa tahu ini adalah kecelakaan yang sebenarnya, atau telah disiapkan oleh seseorang? Ruby menggenggam erat anyelir putih dengan kedua tangannya. Gaun hitamnya tertarik menyapu tanah musim semi. Dibiarkan beberapa daun hinggap. Wajah lesunya jelas menunjukkan kekhawatiran. "Kau yakin dengan ini? Ruby ... sudah lama kau tidak mengunjungi pemakaman dan—" "Aku baik-baik saja," potong Ruby kemudian. Theron menggeleng lemah, ia yakin saat ini Ruby takut. Semenjak kematian Ibunya, Ruby tidak pernah menghadiri pemakaman siapa pun sejak saat itu. Dia selalu mengurung dirinya saat terdengar kabar kalau orang terdekat mereka telah gugur waktu peperangan. Atau pelayan Istana yang selalu menjaga mereka. "Aku bisa meletakkan bungamu d
"Ke mana lagi aku harus pergi?" gumam seseorang terdengar jelas di telinga Ruby. Ruby menoleh. Menatap ke sekeliling. Kosong. Di mana dia sekarang? Semuanya terlihat gelap, petir mulai menyambar hingga kilatnya membuat Ruby terpekik. Tubuhnya basah kuyup. Ia menggigil. "Yang Mulia! Anda benar-benar mencintai nona Zalina?" lagi, suara itu menyapa telinga Ruby hingga menjalarkan sakit ke seluruh tubuh. Sekali lagi, Ruby mengedarkan pandangan. Mencari sumber suara yang sepertinya begitu dekat. Hingga ia menemukan sosok gadis yang basah kuyup. Sama seperti dirinya. Dengan gaun yang kotor, gadis itu menangis. Terduduk di tepi danau yang tertelan dalam kegelapan. "Iya," jawab seseorang. Kali ini bukan suara gadis, akan tetapi suara berat milik seorang laki-laki. Lagi-lagi Ruby memutar tubuhnya untuk mencari sumber suara. Apa ada orang lain selaim dirinya dan gadis itu? Namun, nihil. Ia tak menemukan seorang pun. Ruby lagi-lagi berpaling ke arah gadis yang berada di tepi danau. Keadaanny
"Sinar mentari dan kejayaan bagi kota Darian, Yang Mulia Putra Mahkota." Pria setengah baya itu mengangkat sebelah tangannya di dada dengan patuh dan tunduk pada lelaki yang ada di depannya tengah duduk angkuh memperhatikan pergerakan lawan bicaranya. "Ruby ... apa dia berulah lagi?" tanya lelaki itu tersirat rasa khawatir dalam kalimatnya nan dingin. Seberapa pun ia berusaha membenci, tetap saja dirinya tidak bisa mengabaikan. "Tidak sama sekali, Yang Mulia. Dari pemeriksaan saya, nona Ruby kehilangan sebagian ingatannya tentang tempat ini, bahkan marganya sendiri, dia tidak bisa mengingatnya," kata Tabib itu setengah membela pada keadaan Ruby yang terdengar tidak baik-baik saja. "Dia bahkan lupa dengan apa yang membuatnya tidak sadarkan diri selama tujuh hari, dan dia tidak tahu siapa yang menyelamatkannya dari kematian, Yang Mulia," sambungnya lagi. "Apa ini adalah alibinya agar tidak dihakimi akan tindak kejahatannya pada Zalina?" beo Theron datar. "Ruby ingin lari dari tanggun
Akhirnya kau bangun juga, Ruby!" Suara berat nan dingin itu menginterupsi seluruh ruangan hingga membuatnya senyap. Perawakan tinggi dengan wajah yang tegas membuat siapa pun tak berani menatap sosok itu. Sosok yang membuat bulu kuduk Ruby berdiri karena auranya yang menakutkan. Siapa dia? Semenjak lelaki asing itu masuk, Ruby tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah tampan itu. Ruby masih tidak percaya ada patung Yunani tengah berjalan dengan ekspresi datarnya seolah menusuk Ruby yang tengah duduk tenang. "Yang Mulia datang?" Elina membungkuk sembilan puluh derajat dengan senyum haru terpatri di bibir manisnya. Sementara Ruby hanya mengernyit. "Keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat Darian!" Ruby masih terpaku di tempatnya. Otaknya bertanya-tanya tentang lelaki yang sudah ada di depannya saat ini. Gadis itu sedikit mendongak untuk membalas tatapannya. "Hm," satu gumaman dengan seribu makna ambigu itu diangguki semua pelayan termasuk Elina. Mereka keluar tanpa menatap ora
Mimpi aneh. Suasana hari ini begitu tenang, tetapi tidak dengan hati Ruby. Rasa gelisah menghantuinya. Mimpi itu, bukankah memiliki dialog yang sama? Jika malam itu Ruby hanya mendengar, kali ini ia memerankannya sendiri. Perdebatan itu terjadi di dalam kamar ini. Dengan lelaki yang mengunjunginya tempo hari. "Baiklah, anggap saja aku Ruby dan aku mencintai pria 'Yang Mulia' itu. Lalu, aku mundur karena dia sudah memiliki kekasih. Zalina, 'kan? Dia kandidat Putri Mahkota selain aku. Dan kenapa aku harus bunuh diri hanya karena putus cinta? Bodoh!" Gumam Ruby mondar-mandir mengelilingi kamarnya. "Lalu, kalau sudah tau si 'Yang Mulia' itu pasti memilih kekasihnya kenapa aku harus ikut sayembara ini? Apa-apaan? Mereka ingin aku menanggung malu? Di mana keluargaku? Ke mana mereka? Apa mereka membuangku? Bukankah aku anak tunggal? Kenapa tega sekali, sih." Lanjutnya lagi diakhiri dengan memukul meja rias. "Dan jika aku bukan orang yang dia suka, anggap saja lah ini perjodohan seperti di
"Eron? Aku bersumpah tidak pernah sedikit pun memikirkan untuk mencelakai nona Zalina, kau pasti tahu itu, kau sangat mengenalku!" lirihnya dengan suara bergetar. Kecewa. Ruby mendesis menatap wajah Theron yang terlihat sangat kalut. Lelaki itu enggan menatap Ruby yang sudah menggebu-gebu. "Aku dulu memang sangat mengenalmu, tapi aku tidak yakin karena kau pasti akan memihak Ayahmu. Mulai sekarang panggil aku dengan sebutan formal, itu terdengar tidak sopan karena kita hanya sebatas sahabat!" balas Theron sukses membuat air mata Ruby menetes. Ruby tersenyum lirih, "semenjak datangnya perempuan itu kau tidak lagi terlihat seperti sahabatku, Yang Mulia!" Ruby rasa, dadanya akan meledak seiring denyutan rasa sakit itu seolah membelah hatinya menjadi kepingan yang berserakan. Satu kata yang ia dengar dari ucapan Theron mampu menusuknya hingga bagian terdalam. "Jaga mulutmu Ruby!" ancamnya lagi. "Kenapa? Kau keberatan karena aku membawa-bawa kekasihmu itu? Lalu apa yang kau perbuat s
Geming. Hening sesaat karena Zalina tidak langsung menjawab. Gadis itu mengerjap cepat. Mungkin dia sendiri juga tidak sadar dengan apa yang baru saja terucap dari mulut kecilnya. "Saya ... tidak bermaksud demikian. Tapi anda malah menyimpulkan hal itu sendiri," bantahnya dengan senyuman lembut. Sedikit gugup dengan tatapan tajam milik Ruby. "Tidak bermaksud demikian? Lalu apa maksudnya, kekhawatiranmu dengan sayembara saat aku hilang? Maaf nona, kita ini saingan. Aku paham perasaanmu, siapa saja pasti ingin menang tanpa berusaha, 'bukan?" balas Ruby dengan tatapan remeh. Zalina mengepalkan tangannya dengan kuat. Seharusnya, Ruby menghindar seperti biasa. Bukan malah menanggapi ucapannya. Kali ini, mengapa gadis itu menohoknya dengan kata-kata yang tidak biasa. Seolah tidak takut akan aduannya pada Theron? "Nona Ruby, saya bukan orang yang seperti anda ucap—" "Tapi kau tenang saja, aku bukanlah Ruby yang terobsesi akan tahta. Kau dan Putra Mahkota saling mencintai, maka lebih baik