“Aaah, mmmpht! Uuuuhhh … aaahhh.” Terdengar samar suara desahan itu berasal dari kamar utama. Jantung Leonel seakan berhenti berdetak. Wajahnya memucat, ia membatu di tempat. Ia baru saja kembali dari bekerja, tapi langsung disambut dengan desahan-desahan penuh nikmat yang jelas sekali bunyian itu berasal dari mulut istrinya.
Gegas Leonel berlari menuju kamar, ia lempar tas kerjanya secara sembarang. Pintu kamar tidak terkunci sama sekali ketika ia memutar gagang.“Bajingan!” Leonel memaki dengan emosi yang menguasai. Wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras. Napasnya terdengar ngos-ngosan karena menahan amarah.“Mas ….” Airin menoleh menatap suaminya. Wajah wanita itu tampak memerah menahan kenikmatan. Suaranya terdengar parau, serak, dan bergetar. Tubuhnya setengah telanjang dengan keringat yang membasahi badan.Leonel menatap sekitar, mencari seseorang.“Di mana keparat itu?!” Leonel mencari menuju kamar mandi, tapi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan lelaki lain di sana. Ia kembali menuju ranjang, merunduk untuk mengecek kolong ranjang. Namun, tetap saja tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada Airin seorang diri dengan televisi yang tengah menyala. Layar kaca itu menayangkan pasangan yang tengah bercinta. Desahan, erangan, dan juga decakan terdengar berasal dari tayangan itu.“Mas nyari siapa?” Airin bangkit berdiri. Dipeluknya tubuh sang suami dari belakang, berusaha menenangkan sekaligus melepas kerinduan.Namun, emosi Leonel masih belum mereda. Ia lepas pelukan istrinya dengan kasar, kemudian beranjak menuju jendela yang tampak terkunci dengan gorden yang tertutup sempurna. Ia bahkan tidak mencium ada aroma parfum lelaki lain di sana.“Dengan siapa kau bercinta?” Leonel menyorot istrinya dengan tajam. Manik matanya seakan hendak menikam. Pikirannya tengah dikuasai oleh banyak hal.Airin tersenyum lebar. Ia sama sekali tidak tersinggung ketika pelukannya dilepas secara paksa oleh suaminya. Ia terus berusaha agar bersikap lembut, sebab ia sangat mencintai lelaki yang tengah berdiri di hadapannya. Apa pun yang lelaki itu lakukan, tidak akan mampu mengurangi sedikit pun kadar cintanya.“Aku tidak bercinta dengan siapa pun.” Airin menjawab dengan lembut disertai senyum manis di bibirnya.“Jangan berpikir kau bisa membohongiku. Aku mendengar desahanmu dari ruang depan, lalu dengan tampilanmu yang sekarang, kau yakin aku masih bisa percaya dengan kata-kata yang kau lontarkan?” Leonel berucap dengan tajam.Senyum Airin semakin lebar menatap wajah marah suaminya. Sebab, itu menandakan bahwa Leonel masih mencintainya. Lelaki itu tidak akan marah jika ia tidak punya rasa.“Aku mencari kenikmatan dengan tanganku sendiri. Kau tidak ingin memuaskanku, jadi aku cari kepuasan sendiri tanpa harus memaksamu untuk melakukan apa yang tidak kau inginkan.”“Kau masturbasi?” Leonel bertanya memastikan.Airin mengangguk. Matanya tampak menyipit ketika ia tersenyum menatap lelaki itu. Ia beranjak meraih remote control, lalu mematikan televisi yang tengah menayangkan film dewasa.“Aku terlalu menikmatinya, jadi aku tidak sadar jika kau sudah pulang.” Airin membenarkan dan merapikan pakaiannya.Leonel menghela napas dengan dalam, tidak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan oleh Airin. Bisa-bisanya wanita itu masturbasi di jam seperti sekarang. Namun, ia merasa sangat lega. Sebab, tidak ada lelaki lain di dalam kamarnya.Airin mendekat. Ia melingkarkan kedua lengannya ke leher Leonel. Sorot matanya seakan meminta agar lelaki itu menuntaskan hasrat yang tengah memuncak. Ia merasa sangat tanggung, sebab Leonel menghentikan aksinya sebelum ia meraih kepuasan.Airin mendekatkan wajahnya, hendak melumat bibir Leonel yang sudah sangat ia rindukan. Bibir itu sangat basah dan kenyal, rasanya juga begitu manis dan membuat candu. Sudah tiga hari ia tidak merasakan kekenyalan bibir itu.“Aku capek.” Leonel membuang muka sebelum bibir mereka saling beradu. Ia selalu saja mencari cara dan alasan untuk menolak setiap adegan romantis yang Airin harapkan.Airin menghela napas kecewa. Namun, ia tetap tersenyum dengan wajah ceria. Wanita berambut bergelombang itu melepas lingkaran tangannya di leher Leonel. Menyembunyikan tumpukan kekecewaan di balik manisnya senyum yang ia miliki.“Mau mandi sekarang atau mau aku buatin minum dulu?” Airin bertanya dengan begitu lembut. Tatapannya penuh cinta menyorot sang suami.“Aku mau istirahat. Aku sedang pusing karena proyegku gagal lagi, kau jangan ganggu aku” Leonel mengempaskan tubuhnya ke ranjang dengan cukup kasar. Terdengar helaan napas berat berasal dari lelaki itu. Jemarinya memijit pelipis atas untuk mengurangi rasa pusing di kepala. Ia memejamkan mata.Airin mendekat. Ia lepas sepatu dan kaus kaki yang membungkus kaki Leonel. Setelahnya ia ikut naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh suaminya yang tengah berbaring kelelahan.“Mau aku pijitin?” Airin langsung memijit ubun-ubun suaminya sebelum mendapat jawaban.Leonel tidak melarang. Ia tampak menikmati setiap pijitan yang Airin berikan.“Lain kali kalau mau begitu lagi, pintu kamar sama pintu depan jangan lupa dikunci.” Leonel memberi peringatan.Airin menghela napas. Awalnya ia berpikir jika Leonel akan berubah karena merasa tertampar dan tersadarkan ketika menyaksikan dirinya tengah masturbasi. Namun, nyatanya tidak sama sekali.“Mas, apa aku tidak menarik sehingga kau tidak ingin bercinta denganku?” Airin akhirnya melontarkan pertanyaan yang telah menguasai otaknya selama enam bulan terakhir. Mereka sudah dua tahun menikah dan belum dikaruniai anak. Kualitas bercinta mereka juga makin ke sini makin menurun. Leonel seakan bosan terhadap tubuh indah milik istrinya sehingga enggan untuk melakukan hubungan suami istri sesering biasanya. Airin tidak ingat kapan terakhir kali mereka bercinta. Yang ia tahu, bulan ini sang suami belum pernah menjamahnya. Sementara bulan akan segera berganti.Leonel hanya akan mencium bibirnya sesekali. Itu juga karena Airin yang sudah memaksa dan mendesak.“Aku capek.” Leonel memberi jawaban yang serupa. Entah sudah berapa kali jawaban itu ia lontarkan untuk menanggapi pertanyaan dari Airin.“Bukan karena cara bercintaku yang tidak sesuai dengan keinginanmu? Aku akan upgrade cara bermainku jika kau merasa tidak puas dengan cara mainku.”Leonel menoleh menatap istrinya. Ia sorot manik mata indah itu dengan dalam.“Bukankah kita sudah pernah berdiskusi jika rumah tangga itu bukan hanya masalah selangkangan? Tapi masalah komitmen.” Lelaki itu berucap dengan lembut.“Tapi nafkah batin itu juga bagian dari komitmen yang pernah kita bicarakan.”“Aku tidak bernafsu, Airin. Aku sangat lelah, tenagaku juga sudah habis di tempat kerja.”“Lalu, bagaimana denganku? Aku selalu bernafsu ketika melihatmu.”“Kau lakukan saja seperti tadi. Kau bisa mencari kepuasan sendiri bukan? Kau tidak membutuhkanku untuk mendapatkan kepuasanmu. Aku akan membelikanmu mainan seks untuk menambah imajinasimu.” Leonel berucap dengan enteng. Seakan tidak ada beban sama sekali.Lagi, Airin menghela napas dengan kasar. Ia tidak lagi mampu berkata-kata setelah mendengar kalimat yang terlontar dari mulut suaminya. Jika terus begini, apa arti dari pernikahan mereka? Apa arti Leonel dalam hidupnya jika lelaki itu tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang suami? Jika hanya nafkah berupa uang, ia tidak perlu menikah untuk mendapatkan itu. Sebab, orangtuanya juga orang kaya. Mereka akan memenuhi semua kebutuhannya tanpa diminta.Tak sadarkah Leonel bahwa yang Airin butuhkan hanya pria itu?
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le