Aku terpaksa menikahi pacar adikku yang sudah berbadan dua sebagai bentuk tanggung jawab keluarga, karena adikku meninggal seminggu sebelum pernikahannya. Kuhina, kumaki-maki bahkan kusiksa mental dan batinnya, tak kuturuti ngidamnya karena dialah penyebab semua kekacauan terjadi. Kupikir dia hanya akan menangis dan tak berani padaku, tak kusangka dia justru ....
View More"Jangan manja! Jangan minta aneh-aneh! Udah untung aku nikahi! Jangan ngelunjak kamu!" bentakku padanya.
Cahaya tersentak, matanya berkaca-kaca. "Mas, aku kan cuma minta dibelikan kelapa muda, tapi kenapa Mas marah-marah?" tanyanya dengan suara gemetar. "Hei, apa kamu gak sadar? Kamu itu penyebab semua kekacauan terjadi! Jadu jangan pernah minta atau berharap apapun sama aku!" bentakku kasar. Perempuan dengan perut buncit itu tertunduk, menahan isaknya, bahunya bergetar. Aku bisa melihat air matanya jatuh satu per satu. Tapi aku gak peduli. Gara-gara dia semuanya jadi berantakan, adikku meninggal karena kecelakaan, dan sekarang aku harus bertanggung jawab atas hal yang tidak kulakukan. Aku juga terpaksa berpisah dengan kekasihku demi menikahinya yang sudah berbadan dua. Teringat kejadian delapan bulan yang lalu .... "Menikahlah dengan Cahaya, Nak." Aku terdiam mendengar permintaan Mama, di tengah gejolak musibah dan kesedihan yang terjadi. "Kasihan gadis itu. Ini juga demi keluarga kita." "Mama bilang kasihan sama gadis itu tapi gak kasihan sama aku?" Mama menatapku penuh harap dengan mata yang begitu sembab dan berkaca-kaca, ia menggeleng perlahan. "Bukan seperti itu, Nak. Tapi---" Aku mengepalkan tangan di bawah meja makan, rahangku mengeras saat kata-kata Mama masih menggantung di udara. "Kamu satu-satunya yang bisa menyelamatkan nama baik keluarga," suara Mama lirih, tapi penuh penekanan. Aku mendongak, menatapnya. "Seminggu lagi, Langit harusnya menikah dengan Cahaya. Seminggu lagi. Persiapan pernikahan semuanya sudah siap. Tapi sekarang dia udah nggak ada ...." Mama menunduk, berusaha menahan air matanya. "Kami tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi pernikahan ini sudah diumumkan, keluarga Cahaya juga bergantung pada kita. Kalau batal, mereka akan menanggung malu..." "Makanya jadi cewek itu jangan murahan! Sekarang yang gak tau apa-apa harus kena getahnya juga!" "Angkasa, ini bukan hanya salah Cahaya, tapi juga salah mendiang adikmu! Dan ini juga salah kami karena tak bisa mendidiknya dengan benar." Aku mengusap wajah, kesal dan juga sesak. Semua rencana yang sudah kususun berantakan begitu saja. "Tolong jangan ungkit yang sudah terjadi, Nak. Kita fokus solusi. Ini jalan terbaik untuk semuanya." Kali ini Papa angkat bicara. Semuanya. Tapi tidak untukku. Aku menghela napas panjang, menekan semua beban yang menyesaki dada. "Aku setuju." akhirnya aku membuka suara. Mama dan Papa langsung menatapku penuh harap, tapi aku mengangkat tangan sebelum mereka sempat bicara. "Dengan satu syarat." Tatapanku tajam, menatap langsung ke mata mereka. "Setelah pernikahan terjadi, kalian nggak boleh ikut campur dalam rumah tanggaku. Aku akan menjalankan tanggung jawabku, tapi dengan caraku sendiri." Mama tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Baik, Nak." Dan akhirnya pernikahan itupun terjadi karena keterpaksaan. Mama menatapku dengan khawatir saat aku mengatakan akan langsung memboyong Cahaya ke Surabaya. "Nak, kenapa buru-buru? Paling tidak tunggu beberapa hari di sini, biar semuanya tenang dulu," bujuknya dengan suara lembut. Aku menggeleng tegas. "Pekerjaanky sudah menunggu. Aku harus pergi, Ma." Mama terdiam, seolah ingin membantah, tapi ia tahu aku takkan mengubah keputusan. Akhirnya, di hari ketiga setelah pernikahan, aku membawa Cahaya ke Surabaya. Perjalanan panjang itu terasa begitu menyesakkan. Cahaya hanya diam dan terlihat bersedih. Aku tidak peduli. Aku menyetir dengan pikiran yang penuh amarah dan penyesalan. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk tanpa menoleh ke arahnya. Aku tidak peduli apakah dia mengikutiku atau tidak. "Mas ..." suaranya terdengar ragu dari belakangku. Aku berhenti. "Mulai sekarang, aku akan menjalankan tanggung jawabku. Tapi jangan pernah berharap lebih." Cahaya menunduk. Hari-hari setelah itu berjalan dengan dingin. Aku tetap pulang ke rumah, memastikan kebutuhan Cahaya terpenuhi, tapi aku tidak pernah benar-benar ada untuknya. Kami lebih seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu atap. Dering ponsel membuyarkanku dari lamunan. Kuraih ponsel di saku kemeja. Nama Elena tertera di layar. Aku tersenyum cerah, mendapati wanita yang sangat kucintai menelepon. “Hallo, Sayang?” “Hallo, Mas, Mas kapan mau ke sini? Aku udah nungguin dari tadi,” ucapnya di seberang telepon dengan nada manja. “Aku otewe ke ssana sekarang, Sayang. Kamu mau dibawain apa?” “Mas, aku mau es kelapa muda dan jangan lupa nasi padang ya!” “Siap, Sayang. Tunggu aku ya." Aku menutup panggilan telepon itu. Kulihat Cahaya langsung pergi dengan ekspresi entah. Ah, apa peduliku? Kuraih kunci mobil dan bertolak ke kediaman Elena. Di tengah jalan, aku membeli pesanan Elena, Nasi padang dan juga es kelapa muda. Untuk sejenak, aku terdiam mengingat permintaan Cahaya tadi. Untuk pertama kalinya dia meminta padaku, hanya kelapa muda, tapi aku justru membentaknya sampai menangis. Aku menghela napas panjang, lalu membeli kelapa muda utuh, akan kuserahkan pada Cahaya nanti setelah pulang dari rumah Elena. Kalau tidak lupa. Setengah jam kemudian aku sampai, Elena menyambutku dengan antusias. “Akhirnya kamu datang juga, aku kangen, Mas.” Aku membalas pelukannya, mencium keningnya lembut. “Aku juga kangen, Sayang. Ayo kita makan dulu.” Elena mengangguk. Kami makan dengan lahap. “Mas, hari ini kita jalan-jalan yuk! Aku suntuk di rumah.” “Iya, Sayang.” Gegas, Elena Bersiap-siap, mengenakan dress selutut dan cardigan rajut yang tampak elegan saat dipakai. Bibirnya yang merah cerah melengkungkan sebuah senyuman manis. “Mas, ini kelapa muda siapa?” tanya Elena saat masuk dalam mobil. “Oh, itu untuk Cahaya tadi dia minta dibelikan kelapa muda.” Mendengar jawabanku seketika ekspresi Elena berubah. “Jadi kamu peduli sama dia? Jangan-jangan kamu sudah menyentuhnya? Katanya kamu menikahinya karena terpaksa, tapi kenapa---” “Elena, dengarkan aku. Dugaanmu tidak benar, seujung kukupun aku tak menyentuhnya sama sekali. aku kan sudah terbuka sama kamu, aku menikahinya sebagai bentuk tanggung jawab keluarga. Itu saja.” “Kau sudah janji kan, setelah bayi itu lahir kau akan menceraikannya?” “Ya, tentu saja.” “Aku pegang janjimu itu, Mas!” “Hmmm …” Dering ponsel menghenyakkan kami. Aku meraih ponsel, ternyata dari Mama. “Hallo, Ma.” “Hallo, Nak. Kami sedang perjalanan ke rumahmu.” “Mama mau ke sini?” “Iya, Nak, Kami ingin mendampingi Cahaya. HPL-nya sudah semakin dekat. Mama juga akan menginap di rumahmu sampai cucu Mama lahir.” Deg! Ucapan Mama di seberang telepon membuatku kelimpungan. “Mama udah sampai mana?” tanyaku sedikit gugup. “Kata Papamu setengah jam lagi sampai. Mama udah gak sabar ingin ketemu Cahaya.”Bab 12Aku langsung berdiri. "Di mana alamatnya?! Tolong beri tahu saya!"Suara di telepon menyebutkan alamat. Entah kenapa mendengarnya jantungku terasa berbunga-bunga. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghubungi Papa."Hallo Papa! Aku dapat informasi!""Apa?" "Ada yang melihat Cahaya di pinggiran kota!""Cepat susul dia! Bawa Cahaya pulang.""Baik, Pa, aku akan ke lokasi sekarang!"Tanpa membuang waktu, aku mengambil kunci mobil dan berlari keluar menuju tempat parkir.Aku tidak peduli seberapa jauh atau seberapa buruk kondisiku sekarang. Aku hanya ingin menemukan Cahaya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat di jalan yang sepi. Malam sudah larut, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menemukan Cahaya secepat mungkin.Saat tiba di alamat yang disebutkan, aku langsung keluar dari mobil dan berdiri di depan kompleks kos-kosan kecil. Aku
"Kos-kosan punya kenalan. Tempatnya bersih, cukup nyaman buat istirahat. Aku udah ngobrol sama pemiliknya, dia bisa kasih harga murah, dan kalau kamu belum ada uang, bisa bayar belakangan."Cahaya menatapnya, bingung. "Kenapa kamu repot-repot nolongin aku?"Alam menatap lurus ke matanya. "Aku cuma nggak tega, Cahaya. Kamu hamil besar, sendirian, dan nggak punya tujuan. Aku bukan orang kaya, tapi kalau bisa bantu meskipun sedikit, kenapa nggak?"Cahaya menggigit bibir, hatinya berkecamuk. Sejak ia pergi dari rumah tadi pagi, ia tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang seperti Alam—orang asing yang dengan tulus mau membantunya tanpa pamrih.Perawat datang lagi dan mulai melepaskan infusnya. "Baik, Bu Cahaya, kalau sudah siap, nanti bisa langsung ke meja administrasi untuk penyelesaian berkas."Setelah perawat pergi, Alam berdiri. "Ayo, aku temenin ke luar."Mereka berjalan perlahan keluar dari ruang perawatan, menuju meja a
Bab 11Cahaya masih menggeleng lemah, tetap bersikeras. "Aku nggak mau ke rumah sakit…"Alam menghela napas panjang. "Bukan rumah sakit, kita ke puskesmas aja. Deket dari sini.""Tapi aku nggak mau berhutang…" suara Cahaya nyaris tak terdengar.Alam menatapnya dengan serius. "Siapa yang bilang kamu harus bayar? Di puskesmas nggak semahal rumah sakit. Yang penting kamu dan bayi kamu selamat."Namun, Cahaya tetap diam, menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Alam mengumpat pelan. Melihat Cahaya yang makin pucat dan tubuhnya mulai gemetar, ia tahu tak bisa terus membujuknya dengan kata-kata.Tanpa pikir panjang, Alam langsung berdiri dan menoleh ke sekeliling. Ia melihat beberapa ibu pedagang kaki lima yang tengah duduk di bangku dekat warung, serta beberapa juru parkir yang tengah bersandar di bawah pohon."Ibu! Pak! Tolong bantu saya!" serunya lantang.Beberapa orang langsung menoleh. Se
Bab 10"Kalau sampai sesuatu terjadi pada putriku, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Angkasa! Kamu akan menanggung akibatnya!"Suara ancaman Pak Lanang menggema di telingaku, penuh amarah dan kecemasan. Aku menutup mata, menahan debar jantung yang berdegup kencang.Aku ingin menyangkal, tapi... tidak bisa. Karena itu benar. Cahaya pergi karena aku.Panggilan telepon dari bapak mertuaku seolah menjadi cambuk yang menyadarkanku. Tanpa membuang waktu, aku kembali menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan sekali lagi berkeliling menyusuri kota Surabaya. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, membelah jalanan malam yang semakin sepi. Kata-kata Pak Lanang terus terngiang di benakku. Setibanya di rumah, aku melihat mobil Papa sudah terparkir di garasi. Aku buru-buru masuk dan mendapati Mama duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan."Angkasa!" Mama langsung berdiri begitu melihatku. "Bagaimana? Ada kabar Cahaya?"Aku menggeleng lemah. "Belum, Ma..."Mama menutup mulutnya, matan
Bab 9 Detik berikutnya, dunia seakan berputar cepat, pandangannya meredup. Seseorang menahannya sebelum ia benar-benar jatuh. "Lho, Mbak! Hati-hati!" teriak pria itu.Suara itu samar di telinganya, tapi Cahaya bisa merasakan tangan kuat menopang tubuhnya yang nyaris jatuh ke lantai terminal. Ia mencoba mengangkat kepala, tetapi kelopak matanya terasa berat."Kamu kenapa?"Cahaya memaksakan senyum kecil meskipun bibirnya terasa kering. "Aku… nggak apa-apa."Alam, pria yang tadi menghampirinya, kini berlutut di sampingnya. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Nggak kelihatan baik-baik aja, sih. Kamu pucat banget. Udah makan belum?"Cahaya mengalihkan pandangannya. Hatinya mencelos. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali makan dengan benar. Sejak pagi, perutnya hanya terisi sedikit air putih dan teh manis hangat dari Bu Laras sebelum ia pergi meninggalkan rumah.Alam mendesah pelan. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar sebelum kembali menatap Cahaya. "Kamu nunggu seseorang di sini?"Cahaya
Bab 8"Tunggu sebentar!"Cahaya menegang. Seseorang memegang bahunya. Dan jari-jari itu menggenggam kuat, membuatnya spontan menoleh. Seorang pria muda berdiri di belakangnya, wajahnya tak ia kenali.“Kamu sendirian?” Suara pria itu rendah, seperti menahan sesuatu.Cahaya mundur selangkah, punggungnya hampir membentur tiang. Ia menelan ludah, mencari kata-kata.“Saya…”Matanya melirik sekeliling. Tidak ada yang memperhatikan mereka. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing.Pria itu menyadari ketakutannya, lalu mengangkat kedua tangannya, memberi tanda bahwa ia tak berniat jahat. “Maaf, saya nggak bermaksud menakutimu. Saya cuma lihat kamu dari tadi di sini, dan—” Ia melirik perut Cahaya yang besar. “—kamu kelihatan nggak punya tujuan.”Cahaya terdiam. Benar. Ia memang tidak tahu.Namun, ia juga tidak bisa mempercayai sembarang orang.“Saya baik-baik saja,” ucapnya akhirnya, meski suaranya terdengar rapuh.Pria itu mengangguk pelan. “Kalau kamu butuh bantuan, kasih tahu saya. N
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments