“Kau harus melayaniku malam ini.” “Tolong, jangan—ahh!” Wanita itu tersentak saat tangan kekar suaminya merobek gaun pengantin hingga bahu mulusnya terekspos. “Diamlah dan nikmati saja!” *** Nayara Ishvara terpaksa menikah dengan pria yang menabrak ayahnya hingga tewas. Alih-alih karena tanggung jawab, Devanka Aryasatya menikahinya karena tidak ingin kehilangan posisinya sebagai ahli waris. Pernikahan itu tak ubahnya penjara tanpa cinta. Devanka tetap berhubungan dengan kekasihnya, seolah Nayara tidak ada. Hingga suatu malam, Devanka mabuk dan merenggut kehormatan istrinya dengan paksa. Bukannya menyesal, Devanka justru menuduh Nayara sengaja menjebaknya. Tak tahan, Nayara memutuskan pergi membawa nyawa kecil yang tak diinginkan sang suami. Devanka tidak terima dan berusaha membawanya kembali! Akankah Nayara kembali pada suaminya? Atau lebih memilih pria lain yang menawarkannya cinta?
View More“Kau harus melayaniku malam ini.”
Ucapan pria itu membuat sekujur tubuh Nayara Ishvara gemetar di bawah kungkungannya. Mereka memang sudah resmi menjadi suami istri beberapa jam yang lalu. Namun, pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa. Nayara berusaha memberontak, tetapi tenaganya kalah dan sang pria terus membungkam mulutnya dengan ciuman kasar. “Tolong, jangan—ahh!” Nayara tersentak saat tangan kekar itu merobek gaun pengantin hingga bahu mulusnya terekspos. Devanka Aryasatya—CEO muda dengan pahatan wajah tampan alami, menyeringai puas dan mulai menurunkan ciumannya ke leher tanpa mempedulikan penolakan Nayara. Dalam sekejap, ia berhasil melucuti gaun putih panjang yang tadinya melekat di tubuh wanita itu. “Hentikan, kumohon ...,” rintih Nayara yang jelas saja tidak mendapat sahutan. Devanka masih terus melancarkan aksinya, menyentuh dan mencumbu tubuh Nayara seperti orang kelaparan. “Diamlah dan nikmati saja!” ujarnya dengan suara rendah. Nayara dapat menghirup aroma alkohol yang begitu pekat dari embusan napas hangat pria itu. Sentuhan demi sentuhan itu membuat tubuh Nayara seolah terbakar, entah karena terpantik gairah atau takut … ia tidak tahu. Air matanya luruh kala merasakan Devanka turun ke bagian inti tubuhnya, menjamah bagian paling pribadi yang selama ini ia jaga. Setelah mencapai puncak kenikmatannya, Devanka membaringkan tubuh lantas tidur begitu saja, tak peduli Nayara menangis sesenggukan di sebelahnya. Namun, penyesalan itu tidak berhenti sampai di sana. Saat pagi menjelang, Nayara begitu terkejut saat mendengar Devanka berteriak marah. “Apa-apaan ini?!” Pria itu bangun sambil memegangi kepalanya yang pening. Detik berikutnya ia membelalak saat menatap bercak merah di sprei. “Kamu … melakukannya semalam ….” “Nggak mungkin. Pasti kau yang menggodaku semalam, iya ‘kan?!” Nayara menggeleng. “Kamu mabuk, Mas. Kamu memaksaku—” “Diam!” Devanka membuang muka ke arah lain, tangannya menjambak rambut frustasi. “Aku tidak menginginkanmu. Jadi, jangan sampai kau hamil atau semuanya akan semakin kacau!” Nayara menepis air mata yang kembali jatuh membasahi pipinya. Perih di pangkal pahanya tak sebanding dengan nyeri di hatinya. Kalau bukan karena orang tua Devanka yang memohon-mohon, Nayara tidak akan mau menikah dengan pria arogan itu. Beberapa hari lalu, ayah Nayara meninggal karena ditabrak mobil sport yang dikemudikan oleh Devanka. Orang tua pria itu meminta maaf dan mengatakan mereka akan bertanggungjawab atas hidupnya. Namun, tanpa ia sangka tanggung jawab yang dimaksud adalah menikah dengan putra tunggal mereka, menjadikannya sebagai menantu dan bagian dari Keluarga Aryasatya. “Berapa uang yang ditawarkan orang tuaku sampai kau mau menerima pernikahan ini?!” Lamunan Nayara buyar. “Uang apa?” tanyanya bingung. “Mereka nggak menawarkan apa-apa, aku juga nggak tahu kalau maksud mereka bertanggungjawab adalah dengan menikahkan kita ....” Devanka mendengkus kasar. “Ayahmu pasti sengaja menabrakkan diri ke mobilku supaya dapat uang, kan? Apesnya ... dia malah meninggal!” Sepasang netra Nayara berkilat menahan amarah atas tuduhan tersebut. Bagaimana bisa Devanka mengatakan hal sejahat itu? Bahkan saat itu, ayahnya sedang sakit dan hendak berobat. “Kami memang miskin, tapi kami nggak serendah itu!” kata Nayara dengan suara tertahan. Sekali lagi, Devanka mendengkus. “Masih berkilah? Nyatanya, sekarang kau ada di pernikahan ini. Untuk apa kalau bukan harta, hah?” Nayara tidak tahan lagi. Ia perlahan bangkit, memegang erat selimut agar tidak terlepas dari tubuhnya. Ia menerima tawaran pernikahan ini karena mertuanya mengatakan mereka adalah sahabat mendiang ayahnya, juga pernah berencana menjodohkan anak masing-masing. Nayara pikir, menuruti permintaan mertuanya akan membuat mendiang ayahnya tenang, sama sekali tidak terbesit perihal uang seperti yang dituduhkan Devanka. Namun, sepertinya pria itu tidak akan percaya penjelasannya. Matanya sudah tertutup kebencian. “Terserah kalau kamu berpikir seperti itu—” “Oh, jadi kau mengakuinya?” sela Devanka cepat. “Pintar sekali kau memanfaatkan situasi untuk masuk ke keluargaku!” Sungguh, harga dirinya telah diinjak sedemikian kejam. Perasaannya tercabik oleh setiap kata yang keluar dari mulut Devanka. Mahkotanya telah direnggut paksa, tapi Devanka masih tega menodongnya dengan tuduhan tidak berdasar! “Jangan pikir karena sudah menyerahkan tubuhmu, aku sudi menerimamu. Lebih baik kau sadar diri!” Nayara mengepalkan tangannya dengan kuat, setengah mati menahan agar tidak menangis lagi. Ia tidak mau menangisi manusia tidak punya hati ini! Devanka lantas beranjak ke kamar mandi, diiringi dentam pintu yang dibanting keras. Sementara wanita cantik itu terduduk luruh di lantai. Kakinya seolah kehilangan tenaga. “Papa ... lebih baik aku ikut mati saja …,” gumamnya lirih. Ia mengepalkan tangan dan memukul-mukul dada yang terasa sesak. Tak lama kemudian, Devanka keluar dari kamar mandi mengenakan pakaian yang lebih rapi. “Nggak usah drama,” sindir pria itu dengan nada dingin. “Cepat ganti baju. Setelah ini kita pindah ke apartemen!” perintahnya. Belum sempat Nayara menjawab, pria itu sudah keluar dari kamar. Mau tak mau, Nayara pun segera bergegas. *** Mereka tiba di sebuah gedung pencakar langit yang berdiri di tengah hiruk pikuk kota. Apartemen mewah itu terletak di lantai paling atas, penthouse dengan panorama menakjubkan. “Letakkan barangmu di kamar sebelah. Kita pisah kamar,” ucap Devanka, menunjuk pintu di sisi kanan ruang utama. Nayara hanya menjawab dengan anggukan, ia segera meletakan tasnya yang berisi beberapa baju dan segelintir barang-barang lain. Lantas menuju dapur karena merasa perutnya lapar. Saat aroma tumisan mulai menyebar, Nayara mendengar suara bel berbunyi. Dengan ragu, ia melangkah ke pintu dan membukanya. Sosok di hadapannya membuat Nayara terpaku sejenak. Seorang wanita tinggi semampai berdiri angkuh. Kulitnya putih mulus, hidung mancung, bibir merah merona. Dress mini berwarna hitam membungkus tubuh lengkap dengan heels berkilau dan clutch mungil di tangan. “Kau siapa?” tanya perempuan itu. Ia melirik ke nomor pintu, seolah memastikan ia tidak salah alamat. “Anda … siapa?” Nayara balik bertanya. Dahi wanita itu mengerut tidak suka. “Aku kekasih Devanka. Kau? Pembantu baru?” Nayara tercekat. “Maaf, mungkin Anda salah unit,” ujarnya sopan, berusaha tetap tenang walau perasaannya mendadak tak karuan. Wanita itu menyeringai. “Nggak salah, kok. Pacarku memang tinggal di sini—” “Calysta ...?” Kedua wanita itu sama-sama menoleh. Devanka muncul dan menghampiri mereka di ambang pintu. “Sayang!” seru wanita itu sambil melangkah masuk, menyenggol bahu Nayara dan langsung memeluk Devanka. “Kenapa nggak bilang mau datang?” tanya Devanka. Suaranya terdengar lembut, sangat berbeda ketika berbicara pada Nayara. “Aku kangen kamu,” kata perempuan yang dipanggil Calysta itu dengan nada manja. Nayara terpaku di tempat saat melihat Devanka tersenyum. Benarkah pria yang berada di hadapannya ini adalah orang yang sama dengan yang dikenalnya? “Mau sampai kapan kau berdiri di sana?” Nayara tersentak saat suara dingin itu menusuk telinganya. “Siapkan makanan dan minuman untuk kekasihku.” “Y-ya?” sahut Nayara linglung. Kekasih … Devanka ternyata masih menjalin kasih dengan wanita lain? “Kau tuli?” sinis Devanka, membuat Nayara kembali menatapnya nanar. Jadi inilah alasan mengapa pria itu mati-matian menolak kehadirannya. “Jangan lama. Aku tidak mau Calysta menunggu.”Nayara duduk di ranjang dengan ponsel di tangan. Lampu kamar sudah diredupkan, selimut menyelimuti setengah tubuhnya. Kantuk sebenarnya mulai menekan matanya, tapi ia bersikeras menahan diri."Mas belum pulang juga, udah jam berapa ini? Apa urusannya se-urgent itu sampai nggak pulang-pulang?" gumamnya seraya mengusap mata memaksa untuk tetap terbuka.Ia menatap layar ponsel yang mati-nyala, jemarinya menggulir layar berulang tanpa arah. Sekadar membuka galeri, menatap foto mereka berdua. Senyum Devanka di sana membuat hatinya hangat, meski kini ada getir menyelip.“Aku mau kasih tahu kabar bahagia ini langsung ke Mas,” bisiknya, sambil mengelus perutnya yang masih rata. Napasnya tersendat, senyum tipis mengembang. “Aku hamil, Mas pasti seneng banget. Ah, tapi Mas malah nggak pulang-pulang.”Detik berikutnya, benda pipih itu bergetar di genggamannya. Notifikasi pesan masuk dari nomor asing. Alisnya bertaut bingung “Siapa ini jam segini?” gumamnya.Dengan jempol bergetar, ia membuka
“Ibu … ini sudah saya belikan,” ucap staf villa itu saat baru saja kembali, ia membawa kantong plastik kecil dari apotek. “Saya beli beberapa jenis tespek, biar lebih meyakinkan. Tapi sebaiknya dicoba besok pagi, ya, Bu. Hasilnya lebih akurat kalau pakai urine pertama setelah bangun tidur.”Nayara mengangguk cepat, tangannya bergetar saat menerima kantong itu. “O-oke, terima kasih banyak.”“Ya, Bu. Tidak perlu khawatir, tidur cepat saja malam ini dan besok bangun langsung tespek. Jangan begadang, Bu.”Nayara tersenyum manis. “Iya, saya ke kamar dulu.”Ia naik ke kamarnya dengan langkah pelan, kantong plastik itu ia peluk erat. Sesampainya di kamar, Nayara menatap benda itu lama. Dadanya berdebar kencang, napasnya tersengal.“Besok pagi katanya … tapi, aku nggak bisa nunggu,” bisiknya.Dengan tangan gemetar, ia membuka bungkus tespek pertama. Plastik bening robek, lalu batang putih kecil itu sudah tergenggam. Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan lampu, dan duduk di kloset. Gerakannya
“Mas, sudahlah ... aku pusing,” bisiknya lirih,menghentikan ucapan suaminya. Jemarinya meremas pelan tepi ujung bajunya. “Aku mau ke kamar aja. Kepalaku mendadak pening, rasanya nggak kuat kalau berdiri atau duduk lama.”Tanpa banyak bicara, pria itu langsung meraih lengan istrinya dengan lembut “Ayo ke kamar kalau begitu, bair nanti makanannya diantar saja sama stafnya,” jawabnya.Ia menggiring Nayara menuju kamar. Langkah Devanka tegap, tapi perlahan, menyesuaikan langkah istrinya yang mulai limbung. Sesampainya di kamar, ia membantu Nayara naik ke ranjang, menyingkap selimut, lalu membiarkan istrinya berbaring.Nayara menutup mata, wajahnya lelah. “Aku tidur dulu ya, Mas.”Devanka mengangguk tipis. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap kepala istrinya perlahan, jemarinya bergerak tenang di antara helaian rambut yang basah oleh keringat tipis. Napas Nayara mulai teratur, tubuhnya tenggelam dalam buaian mimpi.Beberapa menit Devanka hanya diam, menatap wajah istrinya yang damai. Namun
“Nayara!” panggil Devanka terdengar berat, langkahnya panjang menyusul sang istri.Nayara sudah hampir mencapai pintu, tapi sebelum tangannya menyentuh gagang, pergelangan tangannya ditarik keras. Tubuhnya berputar, terhempas lembut ke arah Devanka.“Mau ke mana kamu?” Tatapan Devanka tajam, napasnya berat.“Mas, lepaskan. Aku butuh waktu—”“Tidak ada waktu untuk salah paham!” potong Devanka cepat. Ia menyeret Nayara kembali ke ruang tamu, menekan bahunya perlahan agar duduk di sofa. Suaranya tegas, tak memberi ruang untuk membantah. “Dengar dulu aku mau jelaskan , jangan kabur-kaburan! Ini di kota orang, kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Tolong pikirkan dulu kalau mau bertindak, Nay. Sekarang diamlah dan dengarkan aku sampai habis.”Nayara menelan ludah, kaget dengan sikap suaminya yang kali ini berbeda. Ia tak membalas, hanya menunduk diam dan menunggu.Devanka mengusap wajah, lalu duduk di hadapan istrinya. “Aryasatya Corp sedang diguncang masalah besar, Nay. Dan itu semua dimulai s
“Mas … sudah bangun dari jam berapa?” tanya Nayara masih serak.Devanka menoleh, ekspresinya melunak. “Jam empat. Ada laporan masuk dari Jakarta. Kamu lanjut tidur aja, Nay.”Nayara duduk, merapikan outer tipis yang dipakainya semalaman. “Nggak, aku temani aja. Kan kita liburan, masa kerja terus?”Devanka menutup laptop dengan suara klik. Ia bangkit, menghampiri ranjang. Tangannya menangkup wajah Nayara. “Aku memang kerja, tapi nggak lupa siapa prioritas utamaku. Kamu.”Nayara tersipu, tapi matanya menatap laptop yang masih tertutup di meja. “Kalau gitu, kenapa mukanya serius sekali tadi?”Devanka menarik napas panjang, duduk di sisi ranjang. “Ada masalah kecil. Proyek kerja sama dengan investor Singapura agak ribet. Mereka minta aku pulang lebih cepat dari rencana.”Wajah Nayara sontak berubah. “Apa … artinya kita nggak jadi stay tiga hari lagi di sini?”“Belum pasti. Aku masih nego lewat Aska,” jawab Devanka datar.Nayara terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Mas, ini pertama kaliny
Matahari pagi menyorot hangat, langit biru cerah tanpa awan. Ombak kecil berkejaran di tepi pantai, dan embusan angin laut membawa aroma asin yang khas. Dari balkon villa, Devanka sudah berdiri dengan kemeja linen putih tipis terbuka di bagian dada, celana pendek krem, dan kacamata hitam menggantung di wajah tampannya.“Nay, ayo siap-siap. Kita ke beach club. Aku booking cabana khusus buat kita.”Nayara keluar dari kamar, rambut panjangnya terurai alami. Ia mengenakan bikini two pieces warna putih gading yang sederhana tapi elegan, dilapisi outer tipis transparan. Sandal pantai menghiasi kakinya, wajahnya tersenyum malu-malu.“Mas, yakin nggak apa-apa aku pakai gini? Takutnya keliatan ....” Ia menutup bagian dadanya dengan tangan.Devanka menoleh, matanya langsung mengunci tubuh istrinya. Bibirnya menyeringai tipis. “Kamu bikin semua orang di beach club nanti menyesal karena tidak punya istri seindah kamu.”“Ih, Mas bisa aja!” Nayara menunduk, wajahnya memerah.Mereka berjalan berdua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments