Nayara Ishvara terpaksa menikah dengan pria yang menabrak ayahnya hingga tewas. Alih-alih karena tanggung jawab, Devanka Aryasatya menikahinya karena tidak ingin kehilangan posisinya sebagai ahli waris. Pernikahan itu tak ubahnya penjara tanpa cinta. Devanka tetap berhubungan dengan kekasihnya, seolah Nayara tidak ada. Hingga suatu malam, Devanka mabuk dan merenggut kehormatan istrinya dengan paksa. Bukannya menyesal, Devanka justru menuduh Nayara sengaja menjebaknya. Tak tahan, Nayara memutuskan pergi membawa nyawa kecil yang tak diinginkan sang suami. Devanka tidak terima dan berusaha membawanya kembali! Akankah Nayara kembali pada suaminya? Atau lebih memilih pria lain yang menawarkannya cinta?
Lihat lebih banyak“Kau harus melayaniku malam ini.”
Ucapan pria itu membuat sekujur tubuh Nayara Ishvara gemetar di bawah kungkungannya. Mereka memang sudah resmi menjadi suami istri beberapa jam yang lalu. Namun, pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa. Nayara berusaha memberontak, tetapi tenaganya kalah dan sang pria terus membungkam mulutnya dengan ciuman kasar. “Tolong, jangan—ahh!” Nayara tersentak saat tangan kekar itu merobek gaun pengantin hingga bahu mulusnya terekspos. Devanka Aryasatya—CEO muda dengan pahatan wajah tampan alami, menyeringai puas dan mulai menurunkan ciumannya ke leher tanpa mempedulikan penolakan Nayara. Dalam sekejap, ia berhasil melucuti gaun putih panjang yang tadinya melekat di tubuh wanita itu. “Hentikan, kumohon ...,” rintih Nayara yang jelas saja tidak mendapat sahutan. Devanka masih terus melancarkan aksinya, menyentuh dan mencumbu tubuh Nayara seperti orang kelaparan. “Diamlah dan nikmati saja!” ujarnya dengan suara rendah. Nayara dapat menghirup aroma alkohol yang begitu pekat dari embusan napas hangat pria itu. Sentuhan demi sentuhan itu membuat tubuh Nayara seolah terbakar, entah karena terpantik gairah atau takut … ia tidak tahu. Air matanya luruh kala merasakan Devanka turun ke bagian inti tubuhnya, menjamah bagian paling pribadi yang selama ini ia jaga. Setelah mencapai puncak kenikmatannya, Devanka membaringkan tubuh lantas tidur begitu saja, tak peduli Nayara menangis sesenggukan di sebelahnya. Namun, penyesalan itu tidak berhenti sampai di sana. Saat pagi menjelang, Nayara begitu terkejut saat mendengar Devanka berteriak marah. “Apa-apaan ini?!” Pria itu bangun sambil memegangi kepalanya yang pening. Detik berikutnya ia membelalak saat menatap bercak merah di sprei. “Kamu … melakukannya semalam ….” “Nggak mungkin. Pasti kau yang menggodaku semalam, iya ‘kan?!” Nayara menggeleng. “Kamu mabuk, Mas. Kamu memaksaku—” “Diam!” Devanka membuang muka ke arah lain, tangannya menjambak rambut frustasi. “Aku tidak menginginkanmu. Jadi, jangan sampai kau hamil atau semuanya akan semakin kacau!” Nayara menepis air mata yang kembali jatuh membasahi pipinya. Perih di pangkal pahanya tak sebanding dengan nyeri di hatinya. Kalau bukan karena orang tua Devanka yang memohon-mohon, Nayara tidak akan mau menikah dengan pria arogan itu. Beberapa hari lalu, ayah Nayara meninggal karena ditabrak mobil sport yang dikemudikan oleh Devanka. Orang tua pria itu meminta maaf dan mengatakan mereka akan bertanggungjawab atas hidupnya. Namun, tanpa ia sangka tanggung jawab yang dimaksud adalah menikah dengan putra tunggal mereka, menjadikannya sebagai menantu dan bagian dari Keluarga Aryasatya. “Berapa uang yang ditawarkan orang tuaku sampai kau mau menerima pernikahan ini?!” Lamunan Nayara buyar. “Uang apa?” tanyanya bingung. “Mereka nggak menawarkan apa-apa, aku juga nggak tahu kalau maksud mereka bertanggungjawab adalah dengan menikahkan kita ....” Devanka mendengkus kasar. “Ayahmu pasti sengaja menabrakkan diri ke mobilku supaya dapat uang, kan? Apesnya ... dia malah meninggal!” Sepasang netra Nayara berkilat menahan amarah atas tuduhan tersebut. Bagaimana bisa Devanka mengatakan hal sejahat itu? Bahkan saat itu, ayahnya sedang sakit dan hendak berobat. “Kami memang miskin, tapi kami nggak serendah itu!” kata Nayara dengan suara tertahan. Sekali lagi, Devanka mendengkus. “Masih berkilah? Nyatanya, sekarang kau ada di pernikahan ini. Untuk apa kalau bukan harta, hah?” Nayara tidak tahan lagi. Ia perlahan bangkit, memegang erat selimut agar tidak terlepas dari tubuhnya. Ia menerima tawaran pernikahan ini karena mertuanya mengatakan mereka adalah sahabat mendiang ayahnya, juga pernah berencana menjodohkan anak masing-masing. Nayara pikir, menuruti permintaan mertuanya akan membuat mendiang ayahnya tenang, sama sekali tidak terbesit perihal uang seperti yang dituduhkan Devanka. Namun, sepertinya pria itu tidak akan percaya penjelasannya. Matanya sudah tertutup kebencian. “Terserah kalau kamu berpikir seperti itu—” “Oh, jadi kau mengakuinya?” sela Devanka cepat. “Pintar sekali kau memanfaatkan situasi untuk masuk ke keluargaku!” Sungguh, harga dirinya telah diinjak sedemikian kejam. Perasaannya tercabik oleh setiap kata yang keluar dari mulut Devanka. Mahkotanya telah direnggut paksa, tapi Devanka masih tega menodongnya dengan tuduhan tidak berdasar! “Jangan pikir karena sudah menyerahkan tubuhmu, aku sudi menerimamu. Lebih baik kau sadar diri!” Nayara mengepalkan tangannya dengan kuat, setengah mati menahan agar tidak menangis lagi. Ia tidak mau menangisi manusia tidak punya hati ini! Devanka lantas beranjak ke kamar mandi, diiringi dentam pintu yang dibanting keras. Sementara wanita cantik itu terduduk luruh di lantai. Kakinya seolah kehilangan tenaga. “Papa ... lebih baik aku ikut mati saja …,” gumamnya lirih. Ia mengepalkan tangan dan memukul-mukul dada yang terasa sesak. Tak lama kemudian, Devanka keluar dari kamar mandi mengenakan pakaian yang lebih rapi. “Nggak usah drama,” sindir pria itu dengan nada dingin. “Cepat ganti baju. Setelah ini kita pindah ke apartemen!” perintahnya. Belum sempat Nayara menjawab, pria itu sudah keluar dari kamar. Mau tak mau, Nayara pun segera bergegas. *** Mereka tiba di sebuah gedung pencakar langit yang berdiri di tengah hiruk pikuk kota. Apartemen mewah itu terletak di lantai paling atas, penthouse dengan panorama menakjubkan. “Letakkan barangmu di kamar sebelah. Kita pisah kamar,” ucap Devanka, menunjuk pintu di sisi kanan ruang utama. Nayara hanya menjawab dengan anggukan, ia segera meletakan tasnya yang berisi beberapa baju dan segelintir barang-barang lain. Lantas menuju dapur karena merasa perutnya lapar. Saat aroma tumisan mulai menyebar, Nayara mendengar suara bel berbunyi. Dengan ragu, ia melangkah ke pintu dan membukanya. Sosok di hadapannya membuat Nayara terpaku sejenak. Seorang wanita tinggi semampai berdiri angkuh. Kulitnya putih mulus, hidung mancung, bibir merah merona. Dress mini berwarna hitam membungkus tubuh lengkap dengan heels berkilau dan clutch mungil di tangan. “Kau siapa?” tanya perempuan itu. Ia melirik ke nomor pintu, seolah memastikan ia tidak salah alamat. “Anda … siapa?” Nayara balik bertanya. Dahi wanita itu mengerut tidak suka. “Aku kekasih Devanka. Kau? Pembantu baru?” Nayara tercekat. “Maaf, mungkin Anda salah unit,” ujarnya sopan, berusaha tetap tenang walau perasaannya mendadak tak karuan. Wanita itu menyeringai. “Nggak salah, kok. Pacarku memang tinggal di sini—” “Calysta ...?” Kedua wanita itu sama-sama menoleh. Devanka muncul dan menghampiri mereka di ambang pintu. “Sayang!” seru wanita itu sambil melangkah masuk, menyenggol bahu Nayara dan langsung memeluk Devanka. “Kenapa nggak bilang mau datang?” tanya Devanka. Suaranya terdengar lembut, sangat berbeda ketika berbicara pada Nayara. “Aku kangen kamu,” kata perempuan yang dipanggil Calysta itu dengan nada manja. Nayara terpaku di tempat saat melihat Devanka tersenyum. Benarkah pria yang berada di hadapannya ini adalah orang yang sama dengan yang dikenalnya? “Mau sampai kapan kau berdiri di sana?” Nayara tersentak saat suara dingin itu menusuk telinganya. “Siapkan makanan dan minuman untuk kekasihku.” “Y-ya?” sahut Nayara linglung. Kekasih … Devanka ternyata masih menjalin kasih dengan wanita lain? “Kau tuli?” sinis Devanka, membuat Nayara kembali menatapnya nanar. Jadi inilah alasan mengapa pria itu mati-matian menolak kehadirannya. “Jangan lama. Aku tidak mau Calysta menunggu.”"Mending aku keluar aja, deh, daripada nangis terus di kamar kayak orang bodoh," gumam Nayara, meraih tas kecil yang diisi ponsel dan beberapa lembar uang.Udara Zurich menggigit meski mantel tebal melapisi tubuh, salju tipis mulai turun, menambah sepi jalanan di sekitar hotel. Langkahnya membawa ke jalan-jalan berbatu khas Eropa. Lampu kota temaram, udara beku, berpadu dengan suara salju yang diremukkan telapak kakinya. Ia berjalan pelan, menyusuri trotoar sepanjang danau yang permukaannya tenang.Beberapa menit kemudian, matanya menangkap cahaya terang dari balik jendela besar di sebuah bangunan modern."Klub?" dahinya berkerut menatap heran.Ia berdiri sejenak, menimbang. Dari luar, tempat itu tampak tenang. Tidak ada musik menghentak atau kerumunan orang berpesta seperti yang ia bayangkan soal klub malam."Kelihatannya nggak ramai, mungkin cuma lounge biasa," gumam Nayara.Ia masuk, suasana hangat langsung menyergap. Interiornya berwarna cokelat hangat, musik jazz mengalun lembu
Waktu terus merayap hingga melewati tengah hari, tapi Devanka belum juga keluar dari kamar.Nayara duduk di meja makan sendirian. Pandangannya tak lepas dari jam dinding yang berdetak pelan. Pukul satu siang lewat dua belas menit. "Apa dia sakit?" gumam Nayara khawatir.Akhirnya, ia memutuskan membuka aplikasi pemesanan makanan online dan memesan bubur ayam dari restoran. Sekitar tiga puluh menit kemudian, makanan datang.Nayara buru-buru menuangkan bubur panas itu ke dalam mangkok keramik, menambahkan telur rebus dan taburan daun bawang. Ia lalu membuat teh jahe panas, menaruhnya di nampan kayu bersama sendok dan tisu. Setelah memastikan semuanya rapi, ia berjalan pelan ke depan kamar Devanka.Tok! Tok! Tok!"Mas …."Hening.Ia mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Mas Devanka? Udah jam makan siang, aku bawain bubur dan teh jahe. Takut Mas sakit gara-gara semalam mabuk."Tetap tidak ada jawaban.Nayara menarik napas dalam. Dengan ragu, tangannya meraih gagang pintu.
"Siapa dia?"Baru saja pintu unit tertutup, Devanka kembali melemparkan tanya tentang pria tadi.Nayara yang sedang melepas hoodie-nya terdiam. Ia tahu suaminya tak langsung mempercayai, jantungnya berdebar hebat."Itu Rayan, Mas. Teman lama waktu SMA. Nggak ada hubungan apa-apa, dia juga nggak sengaja ke sini."Devanka menatapnya dengan rahang mengeras. Ia melangkah pelan, mendekati Nayara. Tatapan matanya gelap, seperti badai yang belum selesai."Gimana dia tahu kamu di sini? Kau kasih tau, atau—""Enggak," sahut Nayara cepat, gelagapan saat baru sadar tak sengaja menyela ucapan suaminya. "Tadi dia lihat aku dimarahi Bu Lilis, lalu katanya mengikuti mobil kita—""Oke, cukup!" Devanka mengangkat tangannya isyarat agar Nayara berhenti. "Kalau begitu, lebih baik kita buat semuanya lebih fleksibel aja."Nayara mengerutkan alis. "Fleksibel? Maksud Mas apa?"Devanka berbalik, kakinya melangkah menuju minibar yang terletak tak jauh dari pintu, mengambil satu gelas kaca di sana. Ia mengisi
“Bulan madu kalian tetap harus dilanjutkan,” ucap Dian—Mama Devanka dengan tegas, duduk di sofa ruang tamu bersama suaminya.Nayara hanya diam di samping Devanka. Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha menahan seluruh guncangan batin yang nyaris meledak sejak mereka tiba kembali di penthouse.“Ada perubahan jadwal,” lanjut Seno—pria paruh baya dengan setelan rapi dan raut gahar penuh wibawa itu. “Penerbangan diundur dua hari, kami sudah atur ulang. Akan ada orang kepercayaan Papa yang dampingi kalian selama di sana.”Devanka tak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, bahkan tak sedikit pun melirik Nayara.Dian menghela napas berat, lalu menatap sang putra. “Dev, Mama mohon ... untuk kali ini, jangan buat istrimu terluka lagi. Mama ikut sedih kalau seperti ini.”Tak ada reaksi dari Devanka. Hanya kedipan matanya yang terlihat lambat dan senyum kecut terukir enggan di bibirnya.“Kami pulang dulu, Nayara,” ucap Dian sambil menyentuh pipi sang menantu. “Kamu
“Nayara!” Suara yang menggema dari arah jalan utama itu membuat Nayara menoleh. Ia baru saja selesai membersihkan seluruh sudut rumah yang berdebu karena cukup lama tidak dibersihkan. Buru-buru Nayara meletakkan sapu di dekat pintu saat menyadari ibu pemilik rumah kontrakan yang datang. Wajahnya tampak masam dan kedua tangan bersedekap. “Kamu balik ke sini mau ngapain?” Nayara menunduk sopan. “Saya mau tinggal lagi di sini, Bu.” “Kamu nggak bisa tinggal lagi di sini, rumah ini statusnya udah saya kontrakin ke orang lain. Waktu bapakmu meninggal, kamu pergi nggak pamit, sewa nggak dibayar juga. Sekarang tahu-tahu balik, dan minta tinggal gratisan?” “Maaf, Bu. Saya waktu itu memang belum bisa pikir panjang. Saya lagi butuh tempat sekarang, saya akan cari kerja dulu, setelah itu saya bisa bayar,” ucap Nayara dengan suara bergetar. Bu Lilis melengos. “Lha kamu kira hidup segampang itu, Dek? Ini kota besar, bukan dunia sinetron. Kalau dalam minggu ini kamu belum punya uang bu
Keesokan harinya, Devanka tampak lebih sensi dari biasanya. Pria itu berkali-kali memperingatkan Nayara—peringatan yang lebih terdengar seperti ancaman—karena orang tuanya mendadak datang berkunjung. Nayara sebisa mungkin menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Bagaimanapun, mertuanya begitu baik padanya. “Mama sama Papa bakal nginep malam ini, ya.” Devanka langsung menunjukkan rasa tidak suka. “Hotel lebih nyaman, kenapa nggak ke sana saja?” katanya. Mamanya langsung memicingkan mata. “Kamu takut terganggu?” “Bukan gitu, Ma,” sahut Devanka. “Tapi—” “Iya, iya. Mama ngerti,” sela wanita paruh baya itu. Ia lantas tersenyum ke arah Nayara yang sejak tadi hanya diam. “Oh ya, Mama punya hadiah, lho, untuk kalian.” Nayara melirik Devanka sebelum bertanya pada ibu mertuanya itu. “Ha-hadiah?” “Tiket bulan madu ke Swiss!” seru wanita paruh baya itu. “Zurich. Total sepekan penuh. Resort sudah kami pesan, itinerary sudah kami siapkan. Kalian tinggal bawa diri saja.” Devanka menghe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen