“Pi, Mas Leo sudah dikasih tau kalau Airin dipindah ke sini kan?” Airin bertanya dengan sangat lemah pada ayahnya. Bibir wanita itu tampak sangat pucat dan pecah-pecah.“Sudah, Sayang. Sudah papi kasih tahu kok.” Arie menjawab dengan senyuman. Diusapnya lembut ubun-ubun Airin dengan penuh kasih sayang. Ia terpaksa berbohong, sebab tidak ingin Airin bertemu kembali dengan Leonel. Apalagi ia mengetahui perselingkuhan lelaki itu dari Robin.Ayah mana yang tidak akan marah ketika tahu jika putri yang begitu ia sayangi disakiti hingga sedalam itu? Sedikit pun tidak akan ia beri ampun jika ia bertemu kembali dengan Leonel. Tidak akan ia beri maaf sedikit pun untuk Leonel meski lelaki itu bersujud memohon ampun di kakinya.“Pi … Mas Leonel belum datang, ya?” Airin tampak menunggu suaminya. Dari ranjang ruang VVIP itu ia selalu menoleh pada pintu ruangan, berharap Leonel segera datang. Ini sudah mulai larut malam, tapi ia tidak kunjung tidur karena menunggu Leonel menemuinya.“Jangan ditunggu
Leonel membuka aplikasi pesan. Ia cari nomor Airin yang sudah ia arsipkan. Kembali ia baca semua pesan yang ia terima dari Airin. Ada banyak pesan manis dari wanita itu dan jarang sekali ia beri balasan. Dengan alasan baterai habis, sibuk, hingga masalah jaringan. Kini ia berharap Airin mengirimkan pesan. Sebuah keinginan yang begitu mustahil terkabulkan.Lagi, Leonel menghela napas dengan kasar. ia bangkit dari ranjang, lalu beranjak ke meja televisi yang ada di kamar. Ia buka laci meja itu, mencari sesuatu di sana.Ada banyak DVD film dewasa, juga beberapa alat bantu seksu*l yang pernah ia belikan untuk Airin. Ternyata alat itu masih terbungkus dengan sempurna di kotaknya. Airin tidak pernah menggunakannya.Leonel mengeluarkan semuanya. Ia bawa barang-barang itu ke halaman belakang, lalu membakarnya. Bodoh sekali ia yang telah mengambil keputusan yang salah. Enam bulan bukan waktu yang sebentar bagi Airin untuk hidup tanpa sentuhan dari suaminya. Namun, wanita itu masih tetap setia.
Bugh!Sebuah pukulan keras menghantam wajah Leonel ketika ia berbalik dan hendak beranjak pergi. Pukulan-pukulan lainnya menyusul dengan begitu brutal. Leonel tidak diberi izin untuk menghela napas sama sekali, apalagi untuk membela diri. Lelaki itu terjatuh ke lantai. Arie langsung menindih perutnya dan kembali memberikan pukulan demi pukulan.“Bajingan! Sialan! Ini yang kau inginkan?! Mati saja kau, Brengsek! Neraka tempat yang pantas untukmu!” Arie memaki dengan terus memberikan hantaman tiada henti. Wajahnya terlihat begitu menakutkan. Napasnya terdengar sangat memburu. Manik matanya menyorot dengan sangat tajam, seakan hendak menikam. Jika sorot matanya berupa bilah pisau, Leonel sudah habis ditusuk ratusan kali.“Om … aku bisa jelaskan.” Leonel berusaha menghentikan Arie yang tengah menghajarnya. Namun, Arie tidak ingin mendengar sama sekali. Ia terus saja melayangkan pukulan secara beruntun. Ia sangat brutal, sehingga tidak ada yang berani menghentikan.“Tidak ada yang perlu ka
Leonel terbangun setelah mendapat perawatan di rumah sakit. Ia hanya di ruang UGD dengan jarum infus yang menancap di punggung tangan. Kata dokter, ia tidak perlu rawat inap di sana. Setelah sedikit membaik nanti, ia bisa lekas pulang. Di pelipis kanannya ada tiga jahitan karena luka terbuka akibat hantaman Arie. Bibirnya juga pecah, bahkan hidungnya kembali patah. Hampir dari seluruh wajahnya bengkak dan biru lebam. Tulang rahangnya retak, ada tiga luka pecah di kulit jidatnya.Leonel sedikit sulit untuk membuka mata, sebab matanya yang bengkak.Terdengar helaan napas kasar yang berasal dari Robin. “Kau lihat, Arie yang begitu lembut bisa berubah menjadi sangat buas karena kau menyakiti putrinya.” Robin berucap dengan perasaan entah.Leonel hanya diam. Ia tidak menanggapi sama sekali. Sebab, mulutnya tidak bisa dibuka.“Kau dan Airin akan bercerai. Itu adalah keputusannya.” Robin memberitahu. Ia tahu Leonel telah sadar meski kedua matanya masih tertutup dengan rapat.Ada tetes air ma
Setelah tiga minggu dirawat di rumah sakit, akhrinya Airin diperbolehkan untuk pulang. Kondisinya memang sudah mulai membaik, tapi tidak dengan jiwanya. Wanita itu lebih banyak murung dan diam. Ia jadi jarang tersenyum. Sorot matanya menunjukkan jika ia enggan untuk menjalani kehidupan.“Hati-hati, Sayang.” Arie membantu Airin untuk turun dari mobil. Ia merangkul pinggang putrinya memasuki rumah mewah milik mereka.Airin seperti mayat hidup. Hanya diam dengan wajah yang pucat. Ia melangkah mengikuti langkah ayahnya. Ia dipandu melangkah menuju kamar di ruang tengah. Kamar lamanya berada di lantai dua, tapi karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk naik turun tangga, terpaksa ia menghuni kamar tamu untuk sementara waktu.Lenzy menyiapkan bantal. Ia ikut membantu ketika Arie membaringkan Airin di ranjang dengan begitu lembut. Ditariknya selimut, lalu ia tutupi tubuh mungil milik Airin.“Kalau butuh apa-apa, kasih tahu mami, ya.” Lenzy berpesan.Airin hanya diam dengan wajah yang b
Peristiwa menjijikkan itu kembali terekam dengan jelas di otaknya. Ia merasa sangat kotor, jijik, dan benci terhadap diri sendiri karena tidak bisa menjaga diri. Kali ini ia tidak lagi ingin mengalami hal yang serupa.Ketiga orang itu berjalan mendekat dengan tatapan nyalang yang bersiap untuk menerkam. Airin kehabisan senjata untuk menyerang. Barang-barang yang ada di nakas telah ia lempar semuanya. Tangannya dengan pelan membuka laci nakas. Di sana ada sebuah gunting yang bisa ia jadikan sebagai alat pelindung diri.“Jangan mendekat!” Airin mengarahkan ujung gunting pada tiga orang itu secara bergantian.“Pergi!” Airin terus berucap sekuat tenaga.“Mami! Papi!” Airin mulai histeris ketika ketiga orang itu semakin mendekat. Tangisnya begitu kuat.“Airin!” Pintu kamar terbuka dengan kemunculan kedua orang tua Airin.Seketika ketiga orang itu menghilang setelah orangtuanya datang.“Sayang, kenapa?” Arie berlari menghampiri, membawa sang putri ke dalam dekapan untuk menenangkan. Gunting
Leonel tampak begitu nelangsa. Ia mengusap wajah dengan kasar, lalu menghela napas dengan kasar. Rumah itu tampak sangat sepi sekarang. Setelah Airin pergi, ayahnya juga kembali pulang ke rumahnya. Meninggalkan Leonel seorang diri.Tidak ada hal yang bisa Leonel lakukan selain tidur, makan, lalu tidur lagi. Ia belum mencari pekerjaan setelah dipecat dari kantor yang lama. Semangat hidupnya tidak ada sama sekali. Rumah terlihat begitu berantakan. Pakaian kotor di mana-mana, bungkus makanan juga bergeletakan secara sembarangan. Ada banyak sampah di tempat yang tidak seharusnya.Dering ponsel membuat Leonel bangkit untuk duduk. Tertera nama Livy di layar. Ia langsung menolak, tidak ingin berbicara dengan wanita itu sama sekali. Masih terngiang-ngiang di telinganya ketika Livy mengajak Robin untuk bercinta di bulan lalu ketika dirinya berada di ruang UGD rumah sakit setelah mendapat hantaman dari ayah Airin. Ia tidak menyangka Livy benar-benar tidak memiliki rasa malu sama sekali. Wanita
“Om—” Leonel mendekat, hendak mencium punggung tangan mertuanya. Namun, Arie langsung memberi jarak.“Apa kau sudah tidak sayang dengan nyawamu hingga kau berani datang ke sini?”“Om, aku minta maaf.” Leonel berusaha memelas iba. Ia berlutut di kaki lelaki paruh baya itu, memasang wajah semenyedihkan mungkin agar hati Arie bisa ia sentuh. “Tolong izinkan aku bertemu dengan Airin.” Lelaki itu memohon dengan penuh harap. Ia memelas.Arie menghela napas dengan kasar. Andai membunuh seseorang tidak dilarang, sudah ia habisi Leonel sejak lama. Kesabarannya benar-benar selalu diuji ketika berhadapan dengan Leonel.“Paksa dia untuk pergi. Jika perlu beri sedikit kekerasan agar dia jera.” Arie memberi perintah pada dua satpam yang berjaga di sana.“Baik, Tuan.” Kedua satpam itu menjawab dengan serentak dan penuh ketegasan.Arie berbalik, lalu beranjak pergi. Namun, langkahnya tertahan karena Leonel memeluk kaki kanannya.“Om, tolong maafkan aku. Aku rela diberi hukuman apa pun, tapi jangan pi