Satu tahun pernikahan Anjani tak pernah disentuh oleh suaminya. Anjani selalu berusaha menarik perhatian Farhan, tapi pria itu selalu bersikap dingin bahkan tak segan melontarkan kata menyakitkan. Namun, sebagai istri Anjani tetap menunggu dengan sabar, berharap sang suami akan luluh dan menerima dirinya sebagai bagian hidup lelaki itu. Namun, semua rasa sakit bertambah menyesakkan ketika dia mengetahui jika selama ini Farhan mencintai wanita lain. “Mas, kamu jangan gila! Kalian gak mungkin bersama!“ “Aku memang sudah gila! Dan aku mencintainya!” Lelah, Anjani akhirnya meminta cerai. Namun, saat Anjani pergi, Farhan baru menyadari cintanya untuk sang istri. Farhan meminta Anjani untuk kembali. Bagaimana Anjani akan memilih? Apakah dia akan kembali, atau memilih tetap pergi? *,*...
View MoreHal yang paling menyesakkan adalah menunggu cinta menghampiri. Meskipun tahu, cinta itu tak pernah ada.
*,* Gaun putih tipis membalut tubuh indah Anjani Rahayu. Surai panjang nan hitam terurai indah. Aroma lembut dari parfum Night Dream menguar dari tubuhnya. Bibir tipisnya merah merekah, wajah putihnya sedikit diberi perona. Siapapun yang melihat penampilannya malam ini pastilah akan terpukau akan kecantikan wanita 25 tahun tersebut. “Bagaimana penampilanku?“ Anjani memutar tubuhnya. “Mbak Anjani sangat cantik, aku yakin kak Farhan gak akan bisa menolak.” Senyum tipis menghiasi wajah Vana-Adik iparnya. Kedua pipi Anjani merona, dia tersipu dengan senyum malu-malu. “Apa kau yakin? Kemarin aku juga dandan kayak gini, tapi Mas Farhan tetep nolak. Alasannya capek kerja,” keluhnya. Sudah satu tahun menikah dan mereka belum pernah melakukan malam pertama. Segala macam cara Anjani lakukan untuk menarik perhatian suaminya itu, tapi selalu berakhir kecewa. "Kali ini aku yakin akan berhasil. Kak Farhan gak bakal bisa nolak. Yakin sama aku.” Vana merangkul pundak Kakak iparnya. “Mbak Anjani cantik gini, masa Kak Farhan masih nolak?” Senyum malu-malu kembali terbit di bibir wanita cantik itu. Jantungnya sejak tadi berdebar tak karuan. Sudah tidak sabar menunggu sang suami pulang. “Semoga saja...," gumamnya dengan suara pelan malu-malu. “Semangat! Biar keponakanku segera jadi.” Anjani memukul lengan Vana gemas. Rasanya malu campur deg-degan. Dua wanita beda 4 tahun itu kembali saling melontarkan candaan hingga suara mobil terdengar dari halaman depan. Vana buru-buru mengintip dari jendela kamar. “Mbak, Kak Farhan udah pulang. Aku ke luar dulu ya,“ pamit gadis itu, sebelum ke luar kamar Vana kembali menoleh ke belakang. "Mbak Anjani! Semangat!” Kedua tangannya mengepal memberi semangat untuk Kakak iparnya. Anjani mengangguk pelan seraya menampilkan senyuman tipis. Jantungnya semakin berdebar saat pintu tertutup. Kedua tangannya saling meremas gelisah. Kakinya sejak tadi tak bisa diam, terus mondar-mandir cemas. Beberapa saat kemudian pintu kamar kembali terbuka, dan sosok yang sejak tadi ia tunggu akhirnya masuk ke dalam kamar. Bibirnya tersenyum lebar. "Mas...,” ucapnya menyambut sang suami. Langkahnya riang menghampiri suaminya. Senyum dibibir Anjani perlahan memudar ketika melihat ekspresi datar suaminya. Hatinya berdenyut, tetapi Anjani mencoba untuk mengabaikan dan kembali tersenyum. Ia terus berjalan mengikis jarak. “Mas....“ Anjani memeluk tubuh suaminya yang berdiri kaku di depan pintu kamar. Tak ada respon, ia kemudian mengurai pelukan. Wajah lelaki yang berdiri di depannya masih datar, tatapan mata itu sangat dingin hingga membuat hati Anjani kembali berdenyut. Namun, kendati demikian tak membuat Anjani menyerah, ia mengalungkan kedua tangan di leher suaminya, bergelayut manja. “Mas..., apa aku cantik?” Jemari lentik itu meraba dada bidang suaminya. Bibir merahnya senantiasa mengembangkan senyuman. Ia tatap suaminya dengan tatapan menggoda. "Aku sengaja dandan buat kamu. Apa aku terlihat cantik dengan gaun ini?” Suaranya mendayu lembut. Kedua mata iku saling tatap, Anjani dengan tatapan penuh cinta, sedangkan Farhan dengan tatapan dinginnya. "Aku lelah!" Dua kalimat yang membuat aktivitas jemari lentik Anjani terhenti. Meskipun hatinya berdenyut nyeri, tapi bibirnya tetap mengembangkan senyuman. Anjani masih berusaha mendapatkan simpati suaminya. Ia dekatkan wajahnya, pandangan mata bulatnya mengarah pada bibir sang suami. Perlahan namun pasti. Malam ini, ia harus menjadi istri seutuhnya seorang Farhan Adinata. Jantung di dalam sana menggila. Debarannya bahkan sampai terdengar telinga. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Anjani merasa seperti wanita malam yang sedang menggoda pelanggan. Namun, hubungan mereka halal, dan sah saja jika dia menggoda suaminya duluan. Toh, tidak akan dosa malah akan mendapat pahala. Pikir Anjani saat memulai aksinya. Deg! Hatinya diremas kuat saat Farhan memalingkan wajah. Pria itu seolah enggan atau malah jijik? Lagi dan lagi Farhan menolak sentuhannya, menolak dirinya. Wajahnya seakan tertampar keras. Hatinya begitu nyeri. "Mas..., kamu capek ya? Mau mandi dulu?” Anjani tetap tersenyum walau hati gerimis. "Jangan lakukan seperti ini lagi! Aku gak suka!” Deg! Kini hatinya dihantam hujan badai mendengar perkataan Farhan. Lelaki itu seolah menegaskan jika yang dilakukan Anjani sangat menjijikan. “Kenapa gak suka? Aku istrimu! Aku berhak atas dirimu begitupun sebaliknya. Kamu berhak atas diriku, Mas.” “Tapi aku gak suka! Aku gak suka disentuh seperti itu!” tegas Farhan. Retakan dalam hatinya semakin lebar. Anjani tersenyum miris. "Kenapa gak suka?!” Kini ia menuntut penjelasan. “Apa aku harus memberimu alasan?!” Suara Farhan semakin dingin. "Harus!” tegas Anjani menatap lurus pada kedua mata suaminya. Semakin ditatap hatinya semakin sakit. Namun, Anjani tetap menatap kedua manik hitam milik Farhan, mencari letak kurangnya di mata lelaki itu. "Hanya itu alasanku. Aku tidak suka sikapmu. Apalagi berpenampilan seperti ini!” Lagi, hati Anjani serasa dihantam kuat membuat dadanya sesak, sungguh sesak. Air mata yang tadi berada di ujung mata kini tumpah juga. “Kalau kamu gak suka, kenapa dulu menikahiku, Mas! Kalau kamu gak suka aku sentuh, kenapa dulu kamu memintaku untuk jadi istrimu, hah? Kenapa..?!!” Suara Anjani meninggi. Sesak yang selama ini ia pendam meledak juga. "Kenapa kamu menikahiku kalau akhirnya kamu jijik sama aku?!” Setiap tetes air mata menyimpan ribuan duka, setiap tarikan napas yang memburu menyimpan ribuan luka. Selama ini Anjani cinta sendiri, pria ini tidak pernah mencintainya. "Apa kamu masih normal, Mas?” Akhirnya kata yang selama ini berada di ujung lidah terucap juga. Ekspresi Farhan masih dingin, seolah dia tidak terpengaruh oleh amarah istrinya. Ia pun menjawab dengan santai. "Aku normal.” Hanya kata itu yang terucap sebelum kakinya melangkah meninggalkan Anjani dengan sejuta luka. Selalu seperti ini, tiap kali Anjani menuntut jawaban, Farhan akan pergi dan hanya meninggalkan luka di hati. Pertama kali bertemu, ia sudah jatuh hati pada lelaki itu. Farhan adalah Managernya di perusahaan tempatnya bekerja. Selama tiga tahun Anjani hanya bisa mencintai dalam diam. Hingga suatu malam Farhan menyatakan ingin menjadikannya sebagai istri. Malam itu adalah malam terindah untuk Anjani, cinta dalam diamnya ternyata bersambut. Dengan penuh rasa bahagia, ia menerima lamaran Farhan tanpa berpikir dua kali. Dan siapa sangka ternyata malam itu adalah awal penderitaannya? Tangis Anjani kembali pecah, kali ini dadanya teramat sesak. Namun, detik berikutnya ia kembali mengusap air matanya. Ia akan mempertegas hubungan mereka, tak mau terus menjalani rumah tangga seperti ini. Anjani membuka pintu kamar dengan langkah pelan. Ia ke luar dan berjalan menuruni anak tangga. Sampai di ruang tengah , ia menghampiri suaminya. Farhan duduk di sofa dengan kaki bersilang, satu tangan menggenggam remote, tangan lainnya menopang dagu. Dasi kerjanya belum dilepas, dan dua kancing kemeja terbuka, menunjukkan guratan otot dada yang biasanya membuat Anjani berdebar. Namun, malam ini rasa itu berganti jadi nyeri. Sikap Farhan seperti tak terjadi apa-apa. "Mas..." panggil Anjani pelan, penuh hati-hati. Farhan hanya menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangan pada televisi. Tidak menjawab. Tidak bertanya. Bahkan tidak menegur. Ia memperlakukannya seperti angin lalu. Anjani menelan ludah, mencoba tetap tenang. Ia duduk di sisi sofa, namun Farhan sedikit menggeser tubuhnya, menciptakan jarak seakan kehadiran istrinya mengganggu. “Mas Farhan, kita bisa bicara?” “Kamu baru saja bicara di kamar,” jawab Farhan datar, matanya tetap terpaku ke layar televisi. "Aku lelah, Anjani. Jangan buat malam ini makin menyebalkan." Anjani mengepal jemarinya. “Aku cuma ingin tahu… sampai kapan kita akan seperti ini? Kamu gak pernah menyentuhku, bahkan memeluk pun tidak. Aku istrimu, Mas. Tapi rasanya seperti hanya numpang di rumah ini.” Farhan tertawa kecil, getir. “Kamu mulai drama lagi, ya?” “Drama?” Anjani menoleh cepat. “Kamu pikir ini drama?” Farhan mengangkat bahu. “Bukankah memang seperti itu? kamu selalu menuntut ini itu. Kamu pikir semua laki-laki suka perempuan yang haus perhatian kayak kamu?” Air mata Anjani menetes tanpa bisa ia tahan. Sakit itu bukan lagi nyeri, tapi seperti dihujam belati dari berbagai arah. “Aku hanya ingin dicintai, Mas. Itu salah?” “Kalau kamu butuh cinta, cari di tempat lain.” Kalimat itu meluncur dari bibir Farhan tanpa sedikit pun emosi. Datar. Dinginnya menusuk tulang. Anjani terdiam. Lidahnya kelu. Napasnya tercekat. Kata-kata suaminya lebih kejam dari penolakan mana pun yang pernah ia terima. "Kamu nyuruh aku selingkuh, Mas? Suami macam apa kamu Mas? Kamu anggap aku perempuan murahan yang suka obral cinta?“ Allah... Sakit sekali rasanya. Farhan bangkit dari duduknya tanpa menjawab, berjalan menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin. Saat ia kembali melewati Anjani, ia berhenti sejenak. “Aku butuh ruang untuk sendiri. Dan… jujur saja, aku muak melihat sikapmu yang seperti jalang!” Deg. Itu pukulan paling telak. Farhan berlalu tanpa menoleh. Suara pintu kamar tamu tertutup membuat Anjani menunduk lemas. Tubuhnya bergetar hebat, tapi bukan karena dingin. Melainkan karena hati yang hancur berantakan, tak tersisa. Ia menatap sofa kosong di depannya, lalu memeluk lututnya sendiri. Tangisnya pecah lagi, kali ini lebih keras. Malam yang ia siapkan dengan harapan, berakhir menjadi malam yang merenggut harga diri dan kebanggaannya sebagai seorang istri. *,*Bu Vanya menepis tangan Farhan saat lelaki itu akan memegang tangannya. Menatap Farhan dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan Farhan? Sejak kapan kamu begini?“ Dia menatap Farhan seraya menunjukkan fotonya. Rasanya tak percaya Farhan akan seperti ini. Farhan menunduk merasa bersalah. Sesal dalam hati membuatnya malu luar biasa. Namun, inilah konsekuensi akibat perbuatannya yang menyimpang. “Sejak pertama kali melihatmu. Sebelum kamu menikah dengan Ayah," ungkapnya. Cinta itu tumbuh jauh sebelum Bu Vanya menjadi istri sang ayah. Bu Vanya menatap lekat wajah Farhan. Rasanya tak percaya, anak tirinya akan jatuh cinta padanya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Rasa kecewa itu ada, tapi dia mencoba untuk memaafkan dan melupakan. “Ibu tidak akan memberitahu ayahmu. Tapi, lupakan perasaanmu. Jalani rumah tanggamu dengan Anjani dengan baik. Ibu gak mau jadi perusak rumah tangga kalian.“ "Kamu gak pernah merusak rumah tangga siapapun!" Farhan menatap lekat wajah wanita yang
Pagi tiba seperti biasa. Anjani menjalani aktivitasnya, menyiapkan air hangat dan baju ganti untuk Farhan. Selesai dengan tugasnya di lantai atas, kini Anjani turun ke lantai bawah, langkahnya menuju dapur. Di sana sudah ada Bu Vanya. Wanita itu sedang membuat kopi untuk ayah mertua. “Pagi, Bu," sapa Anjani sopan. Bu Vanya tersenyum. "Pagi juga, An. Ibu sudah masak untuk sarapan,“ kata Bu Vanya. “Iya, Bu. Tapi lain kali biar Anjani yang masak. Ibu gak usah repot-repot.“ Anjani tersenyum tipis. Teringat saat Farhan memarahinya karena membiarkan Bu Vanya masak sendiri. "Ibu gak repot. Masak untuk anak mantu masak dibilang repot sih.“ Anjani kembali tersenyum tipis. Dia mengambil kopi dan menyeduhnya. Meskipun hati tak lagi sama, tetapi dia masih berstatus istri Farhan. Keperluan lelaki itu masih ia siapkan. “An, mana kopiku?“ Dua wanita itu menoleh saat mendengar suara Farhan. Mereka menatap dengan ekspresi masing-masing. Bu Vanya dengan senyuman, Anjani dengan wajah
Anjani meremas selimut dengan kuat. Sentuhan Farhan semakin menuntut. Jika dulu pastilah bahagia yang dirasa, tapi sekarang hanya jijik yang ada. Netranya masih setia terpejam, berharap Farhan menghentikan aksinya. Namun, sepertinya suaminya itu telah diliputi nafsu. "An, bukankah ini yang selama ini kamu inginkan?“ Suara Farhan terdengar semakin berat, deru napasnya semakin memburu. "Apa kamu mau menolak suamimu, hem?“ Tangannya membelai wajah Anjani dari mata sampai bibir tipis wanita itu. “Bukankah wanita muslimah sepertimu tahu hukum menolak suami?” Air mata Anjani tumpah, hatinya seperti ditikam sembilu. Ia buka netra yang berkaca, menatap Farhan dengan penuh luka. "Kenapa baru sekarang, Mas?“ Farhan kembali membelai wajah cantik Anjani. Ia akui istrinya ini sangatlah cantik. Tak heran hampir semua pria di perusahaan tergila-gila pada istrinya ini. Hanya saja hatinya terlanjur jatuh terlalu dalam untuk Bu Vanya. Sejak pertama kali melihat wanita yang sekarang m
Anjani menampik tangan Farhan, rasa perih di rahang tak sebanding rasa perih di hatinya. "Ke luar Mas!“ Farhan menatap Anjani nanar, tangannya terulur ingin menyentuh pipi Anjani yang memar akibat ulahnya. Namun, tangannya langsung ditampik Anjani kasar. “Aku ingin sendiri.“ Ada rasa bersalah dalam hatinya melihat luka di pipi Anjani. Meskipun demikian lidahnya terasa kelu untuk mengucap kata maaf. Farhan akhirnya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Anjani sendiri di dalam kamar. Anjani menatap pintu kamar dengan tatapan pilu. Bahkan Farhan tidak meminta maaf karena sudah menyakitinya. "Aku memang gak sepenting itu.” Air mata Anjani kembali menetes, tapi dengan cepat ia menghapusnya. "Sudah Anjani, jangan keluarkan air matamu lagi untuk pria brengsek seperti Farhan!" Kali ini Anjani bertekad untuk tidak menangis lagi. Sudah cukup air mata selama satu tahun ini. Sekarang dia ingin bangkit, ingin mengejar bahagianya sendiri. Lelah fisik serta mental, Anjani kemb
Saat akan membalas pelukan Farhan, tangan Anjani tertahan. Ia kembali menurunkan tangannya saat rasa sakit kembali datang. “Tapi aku lelah, Mas. Aku lelah menunggu cintamu. Aku lelah cinta sendirian.” Air matanya kembali jatuh. Astaghfirullah... Kenapa selalu cengeng begini? Kenapa dia tidak bisa menahan sakitnya sebentar saja. Farhan melerai pelukan, ia menatap wajah Anjani kemudian menghapus air mata itu. “Bertahanlah sebentar lagi, An. Aku janji gak akan lama.” Dalam tangis, Anjani tersenyum pahit. Sebentar? Kata sebentar bukan penyejuk bagi Anjani, akan tetapi seperti bola api yang membakar hati. "Kenapa kamu gak ngomong kalau saat ini, detik ini kamu ingin melupakannya. Kenapa kamu malah bilang sebentar?“ "An....” Farhan hampir kehilangan kesabaran. Namun, ia coba untuk tenang. Farhan memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas pelan. Ia kembali menatap Anjani yang berdiri di depannya. Saat akan kembali memeluk, Anjani menghindar. “Tetap di sana Mas.” Anjan
"Anjani! Apa kamu tidak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk?!” Farhan membentak dengan tatapan tajam. Ia segera mengambil bingkai foto yang terjatuh dan langsung memasukkannya kembali ke dalam laci meja. Anjani berjalan mendekati suaminya dengan wajah datar. Tatapannya lurus pada Farhan. “Siapa wanita dalam foto itu, Mas?!“ Kini Anjani berdiri di depan Farhan dengan meja sebagai penghalang mereka. Farhan terlihat gugup, tapi secepatnya mengubah ekspresi gugup menjadi datar. "Kamu gak perlu tau siapa dia!“ Anjani tersenyum kecut. Tatapannya tak pernah berpindah dari kedua mata suaminya. “Bu Vanya?” Mata Farhan membeliak, terkejut sampai hatinya berdenyut ngilu. Secepat mungkin mengubah ekspresi wajah menjadi datar. "Jangan ngaco kamu! Mana mungkin foto itu Ibu!” sentak Farhan mencoba untuk tidak gugup. "Dia Bu Vanya, kan? Ibu tiri kamu?” Meskipun suaranya terdengar tenang, tapi hatinya bergemuruh. Kaki dan seluruh tubuhnya gemetar karena marah. "Kamu jangan bicara sembara
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments