Karena ditinggal dinas malam oleh suaminya. Livya hanya berdiam diri di kamar, menahan hasrat terpendam yang belum dia salurkan. Arnesh tidak mendengarkan, pria itu kekeuh dengan keinginannya untuk kerja di malam hari.Livya hanya bisa pasrah, sambil tengkurap di atas ranjang.Suara denting notifikasi, membuyarkan lamunan Livya yang sedang gundah gulana. Dengan malas, ia cek siapa yang mengirim pesan.[Di mana, Sayang? Aku ke rumahmu, kangen soalnya.]Sekejap, mata yang tadinya akan terpejam langsung terbelalak ketika Daniel akan datang ke rumah. Sebelum datang, Livya akan mencegahnya, takut orang rumah curiga.[Aku ngantuk. Nanti orang-orang curiga. Please deh. Jangan mencari perkara.]Gegas ia mematikan dan menonaktifkan ponselnya agar Daniel tidak mengganggunya. Pasanya, Livya sedang ingin Arnesh didekatnya.Tok ... tok ..."Non Livya, ada Den Daniel di depan. Kata beliau ingin bertemu dengan anda," ujar ART."Ya, aku akan turun!" sahutnya kesal.Belum ada beberapa menit tenang, Li
Dua bulan kemudian ....Waktu bergulir begitu cepat, tak terasa kehamilan Gladys kini sudah menginjak 3 bulan. Perutnya sudah sedikit menonjol, ia bahagia. Tetapi ... orang-orang pasti akan mengetahuinya.Gladys mengusap lembut perutnya, dia terduduk lemas di kasur miliknya. Berusaha memikirkan cara, agar orang tidak curiga jika dirinya sedang hamil."Semoga saja nggak ada yang tahu, Mama belum siap membeberkan kebenarannya, Nak. Tenang saja. Mama akan melindungimu," gumam Gladys.Bangkit berdiri, membuka tas besar untuk mencari pakaian yang yang tebal, agat perutnya terhalang. Gladys memakainya dan mulai bekerja.Dari sebelah rumahnya, terlihat ramai karena sebentar lagi Ghani akan menikah. Gladys tidak tahu dengan siapa, tidak mau ikut campur."Eleuh si Neng, cantik pisan euy. Kirain Emak nggak bakalan betah jualan," kekeh Mak Yati, begitu antusias kedatangan Gladys."Betah kok, Mak. Seru. Bisa keliling," balas Gladys. Makin hari, keduanya makin dekat. Baik Mak Yati maupun Gladys ha
Kabar bahagia datang, setelah sekian lama menantikan. Arnesh ikut senang, bahwa dirinya akan memiliki seorang anak. Ya walaupun tidak mencintai Livya, anak itu adalah dagingnya. Sudah kewajibannya menjaga dan merawatnya.Livya bergelayut manja di lengan kekar sang suami, karena sedang dilanda perasaan senang sekarang. "Kamu mah diam aja, kamu senang nggak sih kalau aku hamil, Mas?" tanya Livya. Kesal, tentu saja.Respons Arnesh malam biasa saja, tidak sesuai yang dia harapkan. Dan juga, tidak seperti suami pada umumnya yang begitu antusias saat tahu istrinya sedang menikah.Ah, Livya lupa. Arnesh memang acuh tak acuh dari dulu. Namun sesak saja jika pria itu selalu saja begitu padanya."Memangnya rasa senang harus direalisasikan dengan cara bagaimana?" tanya Arnesh, terheran-heran.Tidak bisa dipungkiri dia memang senang, hanya saja tidak menunjukkannya pada Livya."Maunya aku, kamu tuh kelihatan gitu kayak orang yang senang. Kamu malah kayak biasa aja denger aku hamil," kesal Livya
Hanggini menunggu kedatangan calon suaminya, ingin meminta penjelasan. Dia jadi tidak tenang, terlebih lagi mendengar desas-desus tidak benar yang dilontarkan oleh para warga desa.Hanggini meremas jarinya, dari kejauhan memperhatikan dua orang. Dari kontrakan sana, Ghani terlihat ceria dengan senyum yang tercetak di wajah tampannya. Sayang, senyuman indah itu tidak pernah Ghani tunjukkan kepadanya. Pria itu malah abai, apa alasannya?"Mas, aku ingin bicara," ucap Hanggini, ketika Ghani menepikan motornya di halaman rumah.Ghani membuka helm dan mengangguk. "Di dalam saja."Ghani berjalan melalui Hanggini tanpa melirik ke arahnya sama sekali. Keduanya duduk di ruangan tamu, mendaratkan bokong dikursi yang berbeda.Wajah rupawan Ghani, seolah menghipnotis Hanggini yang diam-diam mencuri pandang pada calonnya yang dang menyugar surai hitamnya."Malah memperhatikan, kamu ingin bicara apa tadi, Gin?" tanya Ghani, saat menangkap basah wanita yang memperhatikannya."Ah, iya maaf, Mas. Pere
Malam harinya, Arnesh hanya bisa diam dan menemani Livya yang sedang merasakan gejala kehamilan. Wajahnya sudah pucat dan badannya pun lemas, karena memuntah isi perutnya.Livya keluar dari kamar mandi dengan kedua mata yang sudah dibasahi oleh air mata. "Ternyata begini rasanya hamil! Mual mulu nggak berhenti-berhenti!" kesalnya.Arnesh menghentikan memainkan ponselnya, menghampiri Livya yang tampak tersiksa di kehamilan pertama. "Sabar, Liv. Namanya juga ibu hamil. Pasti ngerasain begini.""Sabar! Sabar! Gimana bisa aku sabar, Mas! Makan nggak nafsu, pengen muntah tapi nggak keluar apa-apa! Sebel!" Livya menutup wajahnya dan menangis terisak-isak.Dia mungkin tak terbiasa, gejala kehamilan memang kadang menyiksa. Namun, itulah risikonya orang hamil. Ia sendiri bahkan pernah mengalaminya.Tangan Arnesh terulur, mengusap perut Livya yang masih rata. "Lebih baik kamu tidur, Mama pasti curiga kalau dengar kamu nangis, Liv," kata Arnesh, merasa pengang mendengar Livya yang terus menangis
Arnesh mengacak rambutnya frustasi, tidak bisa bebas karena diapit 3 wanita yang menurutnya biangnya rusuh. Alhasil, dia menjauhkan diri. Memilih untuk bergabung dengan ayahnya saja.Papa Wandi menoleh, menatap wajah putranya yang tertekan pagi ini."Kalau mau kerja, berangkat saja. Soal Livya ada kami yang urus. Sehari nggak kerja, sepertinya kamu pusing sekali," kekeh ayahnya, yang sedang membaca buku di tangannya.Meski usianya tak lagi muda, Papa Wandi memang punya kegemaran membaca. "Kenapa Livya jadi bertambah rewel seperti itu saat sedang hamil. Apakah Mama juga sama?" tanya Arnesh.Mulai membandingkan Gladys dan Livya, keduanya jauh berbeda. Livya lebih banyak keinginannya. Dari semalam saja, Arnesh ingin sekali menemui istri mudanya. Namun tidak sempat, karena Livya tidak mengizinkan dirinya pergi ke mana pun.Dia hanya ingin, melihat kondisi Gladys usai dirampok saat berdagang. Dirinya pikir, Gladys lebih membutuhkan orang di sisinya, sedangkan Livya sudah terbiasa dilimpahi
Arnesh mengekori tubuh Gladys yang menghindari dirinya, dia menarik dan menahan pergelangan tangan sang istri lalu mendorongnya ke tembok dengan hati-hati.Gladys memberontak, sayangnya Arnesh malah mengunci pergerakan tangannya."Lepas, Pak Arnesh! Anda mau apa datang ke sini? Mau bersikap sok pahlawan, iya?" desis Gladys, begitu jengkel ketika kehadiran Arnesh saat banyak orang yang melihat.Ia tidak ingin, orang-orang curiga karena dirinya kedatangan pria. "Kenapa kamu nggak bilang kepadaku sih kalau butuh sesuatu?" tanya Arnesh."Sudah aku bilang, aku nggak butuh bantuan anda! Minggir, nggak!" Tangan Arnesh di samping kepala Gladys. Tatapan seolah menerkam, karena sang istri sulit sekali dijinakkan.Andai dia tidak datang, mungkin Arnesh tidak akan tahu, betapa kasarnya pemilik kontrakan itu pada istrinya. Kesal? Jangan ditanya, rasanya ia ingin memberikan pelajaran karena sudah keterlaluan."Diem bisa nggak sih? Lagi sakit masih saja keras kepala. Ayahku ingin bertemu denganmu,"
Menjelang 1 hari pernikahan. Ghani tak henti-hentinya memikirkan Gladys, wanita pujaan hati yang mustahil untuk ia miliki. Apalagi besok, dia akan menyelenggarakan pernikahan dan menjadi suami orang lain.Dia belum siap, karena hatinya masih tentang Gladys. Ghani penasaran, sedang apa Gladys sekarang?"Mustahil bagiku untuk memilikimu, Glad. Haruskah aku mengungkapkan isi hatiku agar kamu tahu?" gumam Ghani, bermonolog sendiri.Selagi tidak ada orang di rumahnya, Ghani langsung memakai sandal untuk pergi ke kediaman Gladys. Semoga saja gadis itu belum tidur.Ia mengetuk pintu dan menunggu, sampai kontrakan itu terbuka dan menampilkan Gladys yang sangat sederhana dengan penampilan rumahannya."Udah aku bilang, Mas Ghani jangan datang sembarangan saat malam. Apalagi besok Mas Ghani akan menikah, aku nggak mau dikataki yang bukan-bukan." Gladys langsung memberikan penegasan.Lelaki tersebut tampak muram, menilik pada Gladys yang memperlihatkan wajah datar."Aku ingin menyampaikan sesuatu