**“Siapa perempuan itu? Sialan!”Jessica Freya memukuli setir mobilnya bertubi-tubi, melampiaskan rasa kesal yang sudah meluap sejak ia meninggalkan apartemen Gavin. “Baru kali ini Gavin bawa pulang perempuan, tapi kenapa bentukannya kayak gembel begitu? Sudah begitu, aku pula yang disalahkan! Apa maunya itu orang sebenarnya?”Puas mengomel dan marah-marah kepada setir mobilnya, perempuan cantik itu lantas meraih ponsel yang tergeletak di atas dashboard. Mendial sebaris nomor kemudian.Butuh beberapa kali dengung nada sambung sampai panggilannya diterima.“Aldo!” seru Jessica, bahkan tanpa salam pembukaan atau sesuatu. “Siapa perempuan yang ada di apart Gavin?”“Hah?”“Hah-hah, aku tanya siapa perempuan yang ada di apart Gavin, jangan seperti orang bodoh begitu, kamu!”“Kenapa kamu tanya aku, bukan Gavin sendiri? Kamu pikir aku ibunya?” jawab lelaki bernama Aldo di seberang sana, tak kalah sarkas. Sendirinya juga kaget tiba-tiba dituntut seperti itu tanpa aba-aba apapun.“Biasanya k
**SUV hitam milik Gavin berhenti di pelataran luas kediaman kedua orangtuanya ketika malam belum cukup larut. Mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Namun, bagaimanapun Gavin memacu kendaraan dengan cepat, sepertinya ia harus kecewa ketika melihat mobil Jessica sudah ada di sana. Ia terlambat, ya.Lelaki itu disambut oleh raut keruh sang Mami bahkan pada langkahnya yang pertama menapaki lantai rumah.Nah, mendapati ekspresi seperti itu dari Riani Sanjaya, perasaan Gavin semakin tidak enak.“Selamat malam, Mam,” sapa sang putra tunggal Sanjaya. Ia mencoba tersenyum, namun yang keluar justru seringai sarkas. “Mami baik sekali menyambutku seperti ini di pintu masuk. Biasanya nggak pernah.”Riani berdecih. Ia memutar tumit dan melangkah kembali ke dalam ruangan, diikuti Gavin di belakangnya.“Melihat gelagat Mami, sepertinya sudah ada yang melapor macam-macam,” komentar Gavin lagi.Riani menoleh sekilas. “Ke ruang tengah, Vin. Jessica dan Papi sudah menunggu di sana.”“Aku ha
**Inara tidak tahu, menunggu itu ternyata bisa semenjenuhkan ini. Ia juga tidak tahu, malam ternyata bisa terasa sepanjang ini. Sepanjang malam perempuan itu lewati dengan gelisah. Sebentar-sebentar ia terbangun dari tidurnya dan berharap hari sudah terang, namun ternyata waktu hanya bertambah sepuluh menit dan sepuluh menit lagi. Lambat sekali, entah mengapa.Penyebab Inara menunggu hari cepat berganti, tak lain dan tak bukan adalah karena sosok yang beberapa waktu belakangan ini telah menyertai hidupnya.Inara mengkhawatirkan Gavin, ya. Sekali lagi, ia tidak –belum– terlalu mengenal bagaimana kehidupan seorang Gavin Devano Sanjaya, jadi ketika lelaki itu berjanji akan pulang esok pagi, Inara benar-benar berharap pagi yang Gavin janjikan segera datang.“Tunggu, kenapa aku nungguin dia?” Seperti baru tersadar, ia merasa amat heran dengan kelakuannya sendiri. “Bukankah sama sekali nggak menjadi urusanku apa yang dia lakukan di luar sana? Dia meninggalkan aku dan Aylin di dalam rumah m
**“Pak, s-saya nggak sengaja, tolong lepaskan saya, jangan begini–”Inara berusaha menggeser tubuhnya yang jatuh tepat di atas tubuh Gavin, berusaha menyingkirkan kedua tangan yang bertengger dengan santai di pinggangnya itu. Namun, sepertinya satu yang lain sama sekali tidak kooperatif. Tidak bermaksud mengendurkan cengkeramannya, pun. Sampai Inara nyaris menangis dibuatnya.“Pak! Lepaskan!”“Terserah aku mau lepas apa nggak,” tolak Gavin dengan santai. Sesungguhnya pria itu sudah hampir meledak tertawa melihat wajah ketakutan Inara yang hampir menangis, tapi ia masih berpura-pura memasang tampang sangar. Rasanya menyenangkan melihat gadis itu kepayahan menjauh. Menyenangkan sekaligus … membuatnya panas.Baiklah, Gavin mengutuki dirinya sendiri untuk yang terakhir.“Pak,lepas–”“Mama?”Nah, Aylin menyelamatkan keadaan. Gavin akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Inara sehingga perempuan itu bisa menjauhkan diri saat mendapati Aylin sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya
**“Pak Gavin, apa saya boleh duduk di belakang saja, bersama Aylin?” tanya Inara dengan takut-takut. Sebab setelah berkata demikian, Gavin segera melemparkan tatapan tajamnya.“Apa di matamu aku terlihat seperti sopir pribadi?”“Ah, tidak, tidak. Bukan begitu, Pak. Saya hanya–”“Duduk di depan, Inara.”Lalu seperti biasanya, Inara tidak bisa menolak titah pria itu. Ia menutup pintu belakang mobil dan membuka yang depan dengan lesu. Melayangkan tatapan iri kepada Aylin yang sedang bermain-main dalam damai bersama boneka-bonekanya di kursi belakang.Sekali lagi, Inara duduk di samping Gavin di dalam mobil yang beberapa saat kemudian melaju dalam kecepatan konstan menuju entah.Inara kembali membisu sepanjang perjalanan. Ia tidak tahu pria tampan di sampingnya ini akan membawanya ke mana. Pun Inara tidak berani bertanya macam-macam.Sampai akhirnya suara Aylin memecah keheningan canggung itu.“Om, kita mau ke mana?”“Hm?” sahut Gavin pelan, ”Aylin maunya kita ke mana?”“Jalan-jalan ya,
**Inara tahu, Gavin berkali-kali menoleh memandangnya dari balik kemudi. Terlihat dari sudut mata. Namun, Inara sama sekali tidak berani memandang balik. Ini menjengkelkan, benar. Sebab setelah memandang sekilas, Gavin tersenyum-senyum seperti orang lupa diri. Inara merasa sangat terintimidasi karenanya.“Pak Gavin, apakah ini terlihat sangat aneh di mata anda?” desahnya frustasi. Perempuan itu mencengkeram ujung dress berwarna merah marun yang ia kenakan.“Menurutmu, apakah aneh?”“T-tidak, Pak. Tadi waktu di cermin, kelihatan bagus, kok.”“Nah, ya sudah. Berarti nggak aneh.”“Tapi kenapa Pak Gavin menoleh-noleh terus sambil tersenyum begitu?”“Aku tidak tahu kalau aslinya kamu sangat cerewet, Inara. Terjawab sudah dari mana Aylin mendapatkan sifat itu.”Bungkam sudah. Inara seperti mati kutu mendapat pernyataan seperti itu dari Tuan CEO ini. Baginya, ini sangat memalukan. Lantas ia hanya cemberut dengan tangan terus mencengkeram ujung dress yang tepat berada di atas lututnya itu.“
**“Di mana kamu berada beberapa malam ini, Gavin?”Jessica bersendekap dengan kedua hasta menyilang di atas dada. Kerutan halus menghiasi dahinya yang sepagi ini sudah bening berkilauan bersaput make up.“Kenapa bertanya?” jawab Gavin singkat. Membuat yang lebih muda merotasikan bola mata, kesal.“Kalau telepon atau chat aku yang nggak kamu balas, oke lah. Tapi ini Mami, Vin. Please, respek sedikit sama orang tua.”“Jangan bawa-bawa orang tuaku hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.”“What your mean?”Gavin masih fokus kepada berkas-berkas yang bertebaran di atas meja kerjanya. Sama sekali mengabaikan gadis yang sudah effort bangun dan berdandan sepagi ini hanya untuk menemuinya.“Kamu bisa saja mendapatkan seluruh simpati Mami dengan pura-pura perhatian kepadanya. Tapi sorry to say, itu nggak akan berpengaruh apapun buat aku.” “Gosh!” Jessica berdecak frustasi. Rambut panjangnya yang pagi ini di-curly cantik bergoyang seiring gerakan kepalanya. “Bisa-bisanya kamu ngomong seper
**“Aylin, hari ini kita mau ngapain, Nak?” Inara bertanya kepada putri kecilnya sembari mengepang surai panjang gadis cilik tersebut.Hari masih cukup pagi, namun Inara seperti sudah menyelesaikan tugas-tugas rumahnya. Apalagi sekarang ada seorang maid yang dipekerjakan Gavin di rumah itu agar Inara tidak terlalu repot mengurus tetek bengek hal temeh temeh seputar perumahtanggan. Gavin hanya ingin perempuan itu fokus kepada putrinya saja.“Aylin mau menanam bunga, Mama,” tutur putri kecil tersebut dengan semangat. “Kemarin Aylin jalan-jalan sama Opa Joseph dan lihat bunga-bunga bagus, terus Aylin dibelikan biji supaya bisa ditanam sendiri. Begitu kata Opa.”Inara terkekeh pelan. Gembira melihat tumbuh kembang putrinya yang semakin ke sini semakin baik. Benar, sumber daya memang salah satu faktor kesuksesan membesarkan buah hati. Sepertinya, Inara sekarang mulai mensyukuri keadaan. Semua ini tidak akan terjadi jika dulu ia memaksa membawa kabur Aylin dan menolak pendekatan Gavin lagi.