Share

Bab 7

"Terserah deh, kamu kayaknya lebih percaya dia daripada aku!" sewot Melinda.

"Bukan begitu, Lin. Cuman kita harus berprasangka baik sama semua orang. Toh di luar sana juga banyak yang langgeng pernikahannya padahal baru kenal seminggu. Kamu tenang saja, aku akan selalu bahagia nanti. Oke?"

"Iya." Panggilan diputus sepihak.

Sikap Melinda tidak pernah sejudes itu apalagi sama aku. Dia seperti ada dendam pribadi pada Mas Agung, tetapi tidak ingin menguaknya.

Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mata perlahan terpejam hingga terbuai di alam mimpi.

Sentuhan lembut menyentuh kepala membuatku terjaga. Ketika selesai mengucek mata, rupanya itu mama. Segera aku bangun dan melihat jam sudah menunjuk angka tiga sore.

"Ningsih, mama mau tanya sesuatu sama kamu."

"Tanya aja, Ma."

"Kamu yakin mau menikah sama Agung?"

"Kenapa, Ma? Ada masalah tadi ya?"

Buru-buru mama menggeleng. Ternyata beliau hanya ingin memastikan kemantapan hati anaknya. Aku pun mengangguk sebagai jawaban.

Tiba-tiba Mas Darwis ikut masuk kamar. Dia menanyakan tentang hatiku. Entah mengapa dengan semua orang seperti ragu menerima lelaki itu.

"Kadang kita harus menimbang dengan matang untuk mendapat keputusan paling baik," tutur Mas Darwis.

"Iya, Mas. Aku akan meminta petunjuk dari Allah."

***

Hari yang dinanti sudah tiba, Mas Agung datang membawa kedua orangtua serta paman dan bibinya. Aku bahagia, pun tampil dengan pakaian terbaikku.

Dua keluarga besar bercengkrama diselingi tawa kecil. Beberapa kali aku mendapati Mas Agung mencuri pandangan, pipi pun jadi merona dibuatnya.

"Jadi, bagaimana, Pak? Apa lamaran anak kami Agung diterima?" kata ayahnya yang diketahui bernama Pak Pras.

"Begini, Pak Pras. Kami bukan meragukan Agung, tetapi mereka baru kenal beberapa waktu lalu. Apa Pak Pras yakin ada kebahagiaan jika pernikahan berlangsung?"

"Tentu saja. Aku sudah mengenal baik si Agung ini. Dia pasti bisa memberi kebahagiaan untuk Ningsih," jawab Pak Pras dengan yakin seraya melirik dan tersenyum ramah padaku.

Berbeda dengan ibunya, dia hanya diam tanpa kata. Ketika pandangan kami bertemu pun tidak ada senyuman di sana. Entah dia baik atau tidak, pasti papa atau bisa merasakannya.

"Jadi, apa lamaran ini diterima?" tanya ibu Mas Agung akhirnya. Wajahnya kini sedikit bersahabat.

"Itu terserah Ningsih saja, Bu. Kami hanya bisa memberi restu, bagaimana pun dia yang akan menjalani kehidupan rumah tangga itu," jawab mama sesopan mungkin.

Semua mata memandangku, sekarang aku merasa seperti buronan yang perlu diintrogasi. Jantung tiba-tiba berdegup cepat seperti pacuan kuda.

"Dijawab, Ningsih!" perintah papa.

"Bismillahirrahmanirrahim. Dengan mengharap ridha Allah, lamaran Mas Agung aku terima." Aku menunduk dalam, air mata pun mengalir di pipi.

Suasana yang begitu haru ini diiringi dengan ucapan hamdalah. Aku tersenyum seraya memohon kebahagiaan kepada Allah.

Sesuatu yang dimulai dengan baik insya Allah berakhir dengan baik pula. Semoga Mas Agung benar-benar bisa dipercaya menggandeng tangan ini menuju surga.

Mereka kembali memperbincangkan mahar dan tanggal pernikahan, sementara aku pamit masuk kamar karena tidak bisa selalu menahan senyum. Ketika ponsel sudah ada dalam genggaman, ada panggilan dari Melinda.

"Ya, Lin?" sahutku.

"Bagaimana acaranya?"

"Alhamdulillah lancar, Lin. Di luar lagi bahas mahar dan lainnya. Ternyata orangtua Mas Agung begitu ramah apalagi ayahnya. Insya Allah semua akan baik-baik saja!" seruku.

"Alhamdulillah. Satu pesan dariku bahwa pernikahan bukan ajang coba-coba. Terlepas bagaimana nanti, kamu harus kuat mental dan aku selalu siap membantu kapan pun!"

"Iya-iya."

Kami terus mengobrol ringan seperti biasa. Pada hari ini hatiku sangat bahagia dan ingin terbang ke angkasa. Waktu berputar begitu lambat karena menantikan sesuatu.

"Ningsih, kamu kok melamun?" tegur Mas Agung membuyarkan lamunan. Tangan kekarnya yang bertengger di pundak aku tepis perlahan karena marasa jijik.

"Eh, Mas." Aku memaksa senyum padahal sebenarnya ingin muntah. "Madu aku mana, Mas?"

"Ma-madu?" Wajahnya seketika memucat, pasti mengira membahas Ainun.

"Iya, Mas. Kamu kan janji mau beliin aku madu, masa lupa?"

Mas Agung menepuk jidat untuk menutupi kecanggungannya. "Maaf, Dek. Tadi mas udah cari, tapi habis. Katanya ada yang borong gitu. Eh tapi kok tadi kamu marah-marah, ada apa?"

"Enggak, Mas. Tadi cuma lagi abis baca cerita di Ka Be Em saja tentang perselingkuhan seorang suami!" tekanku.

"Suami seperti itu gak layak dijadikan imam rumah tangga," respons Mas Agung dengan santainya.

"Iya, Mas apalagi kalau suaminya sudah punya anak dan mengaku perjaka. Tega banget, kan?" sindirku.

Mas Agung gelagapan, dia langsung mendekat ke meja rias dan menyisir rambut di sana. Bibir bergetar menahan tawa, dia pikir aku ini bodoh apa?

"Mas, gimana menurut kamu tentang rumah tangga yang saling tertutup. Misalnya istri yang selingkuh atau sama-sama selingkuh deh." Sengaja aku membahas topik ini biar dia semakin tersinggung.

Mas Agung tidak melirikku, dia sibuk mengubah gaya rambut dengan menyisir ke kanan, kiri, atas, belakang dan depan. Kurang kerjaan sekali dia kali ini.

"Mas gak setuju dong. Harusnya suami istri itu saling terbuka. Kalau ada rasa ketidakcocokan ya jangan langsung selingkuh, bicarakan pada pasangan kamu tentang kekurangannya. Lagi pula tidak ada manusia yang sempurna kan di bumi ini?" jawab Mas Agung akhirnya.

Aku muak mendengar itu, tetapi berusaha untuk tersenyum manis.

"Apalagi kalau suami sampai berzina, ya, Mas?" sindirku lagi.

Anehnya, Mas Agung malah mendekat dengan raut wajah santai, lalu ikut duduk di sampingku. Dia tersenyum semanis mungkin sampai aku ingin menonjok wajah itu. B r e n g s e k memang.

"Apalagi suami pezina, itu tega banget nyakitin istrinya. Mas gak habis pikir sama suami model gitu, sudah ada ladang di rumah malah mencari ladang yang lain. Apa mungkin karena lebih subur?"

Aku mencebik kesal seraya mencubit perutnya. Ya, aku juga tahu kalau rumput tetangga lebih hijau. Mas Agung malah tertawa tanpa beban.

"Kenapa? Mau ya?"

"Mau apa?"

"Itu tuh!" Mas Agung menatap nakal padaku.

Jika dulu aku akan senang hati melayani, sekarang muak dan selalu ingin muntah di wajah mesumnya. Aku menggeleng cepat beralasan nanti Mas Agung mandi dua kali.

Tidak ada raut kecewa di wajahnya, malah langsung berdiri mengambil sajadah karena azan berkumandang. Hebat, dia bahkan terlihat alim dari luar.

Tentu saja aku menguntit di belakang. Pantas saja Mas Agung rajin ke masjid karena Ainun juga menyusul. Hati terbakar api cemburu, tetapi dilabrak sekarang pun rasanya tiada guna.

"Aku tidak akan membiarkan kalian hidup bahagia sementara aku tersiksa di sini!" gerutuku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
tenang dan sabar ya Ningsih tahan nanti juga mereka berdua kena karma nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status