"Terserah deh, kamu kayaknya lebih percaya dia daripada aku!" sewot Melinda.
"Bukan begitu, Lin. Cuman kita harus berprasangka baik sama semua orang. Toh di luar sana juga banyak yang langgeng pernikahannya padahal baru kenal seminggu. Kamu tenang saja, aku akan selalu bahagia nanti. Oke?"
"Iya." Panggilan diputus sepihak.
Sikap Melinda tidak pernah sejudes itu apalagi sama aku. Dia seperti ada dendam pribadi pada Mas Agung, tetapi tidak ingin menguaknya.
Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mata perlahan terpejam hingga terbuai di alam mimpi.
Sentuhan lembut menyentuh kepala membuatku terjaga. Ketika selesai mengucek mata, rupanya itu mama. Segera aku bangun dan melihat jam sudah menunjuk angka tiga sore.
"Ningsih, mama mau tanya sesuatu sama kamu."
"Tanya aja, Ma."
"Kamu yakin mau menikah sama Agung?"
"Kenapa, Ma? Ada masalah tadi ya?"
Buru-buru mama menggeleng. Ternyata beliau hanya ingin memastikan kemantapan hati anaknya. Aku pun mengangguk sebagai jawaban.
Tiba-tiba Mas Darwis ikut masuk kamar. Dia menanyakan tentang hatiku. Entah mengapa dengan semua orang seperti ragu menerima lelaki itu.
"Kadang kita harus menimbang dengan matang untuk mendapat keputusan paling baik," tutur Mas Darwis.
"Iya, Mas. Aku akan meminta petunjuk dari Allah."
***
Hari yang dinanti sudah tiba, Mas Agung datang membawa kedua orangtua serta paman dan bibinya. Aku bahagia, pun tampil dengan pakaian terbaikku.
Dua keluarga besar bercengkrama diselingi tawa kecil. Beberapa kali aku mendapati Mas Agung mencuri pandangan, pipi pun jadi merona dibuatnya.
"Jadi, bagaimana, Pak? Apa lamaran anak kami Agung diterima?" kata ayahnya yang diketahui bernama Pak Pras.
"Begini, Pak Pras. Kami bukan meragukan Agung, tetapi mereka baru kenal beberapa waktu lalu. Apa Pak Pras yakin ada kebahagiaan jika pernikahan berlangsung?"
"Tentu saja. Aku sudah mengenal baik si Agung ini. Dia pasti bisa memberi kebahagiaan untuk Ningsih," jawab Pak Pras dengan yakin seraya melirik dan tersenyum ramah padaku.
Berbeda dengan ibunya, dia hanya diam tanpa kata. Ketika pandangan kami bertemu pun tidak ada senyuman di sana. Entah dia baik atau tidak, pasti papa atau bisa merasakannya.
"Jadi, apa lamaran ini diterima?" tanya ibu Mas Agung akhirnya. Wajahnya kini sedikit bersahabat.
"Itu terserah Ningsih saja, Bu. Kami hanya bisa memberi restu, bagaimana pun dia yang akan menjalani kehidupan rumah tangga itu," jawab mama sesopan mungkin.
Semua mata memandangku, sekarang aku merasa seperti buronan yang perlu diintrogasi. Jantung tiba-tiba berdegup cepat seperti pacuan kuda.
"Dijawab, Ningsih!" perintah papa.
"Bismillahirrahmanirrahim. Dengan mengharap ridha Allah, lamaran Mas Agung aku terima." Aku menunduk dalam, air mata pun mengalir di pipi.
Suasana yang begitu haru ini diiringi dengan ucapan hamdalah. Aku tersenyum seraya memohon kebahagiaan kepada Allah.
Sesuatu yang dimulai dengan baik insya Allah berakhir dengan baik pula. Semoga Mas Agung benar-benar bisa dipercaya menggandeng tangan ini menuju surga.
Mereka kembali memperbincangkan mahar dan tanggal pernikahan, sementara aku pamit masuk kamar karena tidak bisa selalu menahan senyum. Ketika ponsel sudah ada dalam genggaman, ada panggilan dari Melinda.
"Ya, Lin?" sahutku.
"Bagaimana acaranya?"
"Alhamdulillah lancar, Lin. Di luar lagi bahas mahar dan lainnya. Ternyata orangtua Mas Agung begitu ramah apalagi ayahnya. Insya Allah semua akan baik-baik saja!" seruku.
"Alhamdulillah. Satu pesan dariku bahwa pernikahan bukan ajang coba-coba. Terlepas bagaimana nanti, kamu harus kuat mental dan aku selalu siap membantu kapan pun!"
"Iya-iya."
Kami terus mengobrol ringan seperti biasa. Pada hari ini hatiku sangat bahagia dan ingin terbang ke angkasa. Waktu berputar begitu lambat karena menantikan sesuatu.
"Ningsih, kamu kok melamun?" tegur Mas Agung membuyarkan lamunan. Tangan kekarnya yang bertengger di pundak aku tepis perlahan karena marasa jijik.
"Eh, Mas." Aku memaksa senyum padahal sebenarnya ingin muntah. "Madu aku mana, Mas?"
"Ma-madu?" Wajahnya seketika memucat, pasti mengira membahas Ainun.
"Iya, Mas. Kamu kan janji mau beliin aku madu, masa lupa?"
Mas Agung menepuk jidat untuk menutupi kecanggungannya. "Maaf, Dek. Tadi mas udah cari, tapi habis. Katanya ada yang borong gitu. Eh tapi kok tadi kamu marah-marah, ada apa?"
"Enggak, Mas. Tadi cuma lagi abis baca cerita di Ka Be Em saja tentang perselingkuhan seorang suami!" tekanku.
"Suami seperti itu gak layak dijadikan imam rumah tangga," respons Mas Agung dengan santainya.
"Iya, Mas apalagi kalau suaminya sudah punya anak dan mengaku perjaka. Tega banget, kan?" sindirku.
Mas Agung gelagapan, dia langsung mendekat ke meja rias dan menyisir rambut di sana. Bibir bergetar menahan tawa, dia pikir aku ini bodoh apa?
"Mas, gimana menurut kamu tentang rumah tangga yang saling tertutup. Misalnya istri yang selingkuh atau sama-sama selingkuh deh." Sengaja aku membahas topik ini biar dia semakin tersinggung.
Mas Agung tidak melirikku, dia sibuk mengubah gaya rambut dengan menyisir ke kanan, kiri, atas, belakang dan depan. Kurang kerjaan sekali dia kali ini.
"Mas gak setuju dong. Harusnya suami istri itu saling terbuka. Kalau ada rasa ketidakcocokan ya jangan langsung selingkuh, bicarakan pada pasangan kamu tentang kekurangannya. Lagi pula tidak ada manusia yang sempurna kan di bumi ini?" jawab Mas Agung akhirnya.
Aku muak mendengar itu, tetapi berusaha untuk tersenyum manis.
"Apalagi kalau suami sampai berzina, ya, Mas?" sindirku lagi.
Anehnya, Mas Agung malah mendekat dengan raut wajah santai, lalu ikut duduk di sampingku. Dia tersenyum semanis mungkin sampai aku ingin menonjok wajah itu. B r e n g s e k memang.
"Apalagi suami pezina, itu tega banget nyakitin istrinya. Mas gak habis pikir sama suami model gitu, sudah ada ladang di rumah malah mencari ladang yang lain. Apa mungkin karena lebih subur?"
Aku mencebik kesal seraya mencubit perutnya. Ya, aku juga tahu kalau rumput tetangga lebih hijau. Mas Agung malah tertawa tanpa beban.
"Kenapa? Mau ya?"
"Mau apa?"
"Itu tuh!" Mas Agung menatap nakal padaku.
Jika dulu aku akan senang hati melayani, sekarang muak dan selalu ingin muntah di wajah mesumnya. Aku menggeleng cepat beralasan nanti Mas Agung mandi dua kali.
Tidak ada raut kecewa di wajahnya, malah langsung berdiri mengambil sajadah karena azan berkumandang. Hebat, dia bahkan terlihat alim dari luar.
Tentu saja aku menguntit di belakang. Pantas saja Mas Agung rajin ke masjid karena Ainun juga menyusul. Hati terbakar api cemburu, tetapi dilabrak sekarang pun rasanya tiada guna.
"Aku tidak akan membiarkan kalian hidup bahagia sementara aku tersiksa di sini!" gerutuku.
Itu suara ayah mertua. Untung saja Mas Darwis sudah duduk di sisiku. Mereka serentak menjawab salam bersamaan dengan ibu mertua yang keluar membawa Fatir. "Anak siapa itu, mirip sekali sama Agung?" Pertanyaan ayah meyakinkan diri ini kalau dia belum pernah bertemu Fatir atau sekadar mengetahui perselingkuhan anaknya. Memang sejak awal menjadi menantu di rumah ini, ayah bilang sudah menganggap aku sebagai putri sendiri. Terbukti, dia selalu melarangku melakukan pekerjaan rumah dengan dalih seorang putri terkadang harus dimanjakan. Namun, aku hanya menanggapi dengan senyum, lalu membantu ibu di dapur. "Ningsih, datang kenapa gak bilang-bilang? Agung bilang kamu ngidamnya itu tidak mau melihat muka suami, makanya mama sama mas kamu datang. Sekarang sudah rindu?" Ayah mertua bertanya dengan nada menggoda. Sepertinya memang belum tahu keadaan yang sebenarnya. Senyum lelaki berperut besar itu merekah sempurna apalagi setelah melihat perutku. Dia berdoa agar anak ini sehat wal afiat. "M
"Bukan urusan aku?!" Melinda tersenyum sinis. "Sejak sebelum kamu menikahi Ningsih, dia memang sahabat aku. Jadi, urusan dia, urusan aku juga!""Mema–""Bayar duit aku kalau kamu masih punya muka!" kataku ketus.Sekarang bukan masanya menghargai suami yang telah menipu dan menghancurkan masa depan kita. Persetan pula dengan rasa cinta, semuanya sudah lenyap.Aku berusaha kuat bukan karena tidak ingin dikata perempuan lemah dan bodoh, tetapi memang ingin menguak kebenaran. Tidak mungkin kita terus mengagungkan cinta pada lelaki penipu."Beri aku waktu, Ning. Selama ini kan kamu juga menikmati gaji aku," lirih Mas Agung.Aku heran kenapa dia bisa memelankan suara sekaligus merubah ekspresi padahal tadi angkuh sekali. Suara hati menolak tegas untuk mengasihaninya."Aku menikmati uangmu, kamu menikmati tubuhku. Ini bukan tentang pelacuran, tetapi nafkah! Kamu pikir nafkah batin cuma perkara hubungan badan? Hati istri juga harus dipikirin, Mas. Lah gimana kamu mau mikirin istri kalau terny
Ditemani Mas Darwis dan Melinda, aku benar-benar meluncur ke rumah ibu mertua sementara mama menjaga rumah sekaligus mencari tahu info tentang Ainun.Aku sengaja duduk di belakang bersama Melinda agar dia tidak canggung-canggung amat. Dalam perjalanan, kami menonton video di beberapa aplikasi."Viral!" pekik Melinda ketika aku baru saja menoleh ke jendela samping kiri."Apa yang viral?"Melinda tidak menjawab karena bibirnya melengkungkan senyum yang merekah indah. Aku lihat itu postingan Bu Yuyun di Facebo0k waktu di rumah Pak RT tadi.Ada ribuan komentar, ribuan laik bahkan ratusan orang yang share tanpa izin. Beragam kalimat umpatan dan sumpah serapah tertuju pada Ainun dan Mas Agung."Mereka memang pantas mendapatkan itu, Lin," kataku kemudian.Bahkan kalau bisa lebih dari itu. Mas Agung telah berani menghancurkan masa depanku. Sekolah yang aku perjuangkan selama bertahun-tahun terasa sia-sia. Namun, tidak mengapa karena pasti ada hikmah di balik semua ini.Aku harus kuat demi ana
"Kamu menikahi aku dengan pura-pura menjadi laki-laki baik padahal itu semua untuk menutupi aib kamu. Berulang kali aku memergokimu teleponan sama Ainun dan kamu pikir aku gak merekam dan mengambil fotomu, Mas?!" Aku membuang napas perlahan. "Semua bukti ada di ponselku!""Tenang, Bu," kata Pak RT. Kali ini sepertinya dia lebih simpatik sama aku."Berhari-hari aku menyimpan sesak sendirian, Mas. Aku terluka, batinku tersiksa dalam keadaan hamil begini. Kamu itu suami pezina dan tidak pantas punya muka!" teriakku lagi sambil memukul kepalanya."Astagfirullah, ternyata Fatir itu bukan anaknya Haiqal!" tukas Bu Ana.Aku berdiri dari kursi, lalu menunjuk wajah Ainun dan Mas Agung bergantian. "Kalian pikir aku ini bodoh apa?! Setiap Ainun datang ke rumah minta nebeng, aku tahu kalau itu cuma modus. Makanya aku berusaha bersabar. Kalian brengsek!" pekikku.Bu RT langsung membawaku dalam pelukannya meminta agar bisa sedikit tenang apalagi sedang mengandung. Kalau saja tidak berdosa, sudah la
Di rumah Pak RT tidak begitu ramai, hanya ada istrinya juga semua orang yang ada di rumah. Jantung sedikit berdegup lebih cepat ketika melirik pada Ainun yang menajamkan pandangan serupa elang yang mencari mangsa.Aku tidak takut padanya, hanya enggan mencari ribut. Sejak dulu aku benci perdebatan dan juga masalah, tetapi sekarang masalah datang dengan kapasitas yang sangat besar.Sampai aku tidak bisa lari. Sampai aku tidak bisa mengelak. Sampai aku sering merasa kalah."Jadi benar kalau Ningsih selingkuh dengan Haiqal, sementara Agung dengan Ainun?" tanya Pak RT. Dia menatap penuh intimidasi."Ya enggaklah, Pak. Yang bener itu Ningsih berusaha ngerebut suami aku," jawab Ainun dengan tawa meremehkan.Tatapannya yang seperti sedang mengejek semakin membangkitkan rasa semangat dan keberanianku untuk mempermalukan mereka di sini. Biar saja viral karena aku tahu, Bu Yuyun sedang menyalakan kamera."Bohong!" elakku tegas."Tunjukkan bukti-bukti. Kalian tidak bisa menuduh atau mengelak tan
"Menduakan apa? Aku gak ngerti, Gung, kenapa kamu datang dengan muka sepucat itu seperti habis dikejar setan aja!" cebik Mas Darwis. "Eh?" Mas Agung tersentak. Keringat di pelipisnya semakin banyak. Bibir itu gemetar, tetapi berusaha dia tutupi dengan melipatnya kuat-kuat. Aku tertawa pelan melihat reaksi Mas Agung. Dia pasti mengira aku sudah cerita semuanya pada masku. Ya memang belum sih, tetapi tetap saja dia sudah tahu karena mendapat inbox itu. Namun, melihat adegan ini membuatku ragu kalau pemilik akun itu adalah Mas Agung. Tidak mungkin dia sebodoh itu sampai ketar-ketir padahal sudah memberi tahu Mas Darwis. Tersangka selanjutnya adalah Ainun. Ah, entahlah. Bisa jadi perempuan itu sengaja menyewa seseorang untuk memata-matai kami sampai akhirnya bercerai karena diadu domba. "Tadi kamu bilang apa, Mas? Berpaling pada Mas Haiqal?" Aku tersenyum miring. "Sejak kapan aku suka sama suami orang? Aku juga masih punya harga diri." "Memang kamu suka sama Haiqal, kan?" Mas Agung m