Share

Bab 8

Lepas salat isya Mas Agung baru pulang karena memang ada pengajian rutin sehabis magrib di Masjid Al-Hadid. Akan tetapi, yang membuat penasaran adalah kenapa mereka berdua pulang bersamaan bahkan jam sudah menunjuk angka sembilan malam?

Mas Agung memasang raut terkejut ketika aku panggil sementara Ainun menyapa dengan senyuman sambil berlalu seperti tidak ada yang perlu dia jelaskan juga.

"Kok menunggu di luar?" tanyanya begitu sampai di depanku.

Segera kuhidupkan kembali layar ponsel dan mengarahkan ke wajah Mas Agung. "Lihat, Mas. Kamu salat di mana sebenarnya, masa jam sembilan malam baru tiba di rumah padahal jarak ke masjid cuman seratus meteran?"

Mas Agung menggaruk tengkuknya. "Itu tadi ... Pak Imam musyawarah, Dek. Jadi, gak enak kalau langsung pulang."

"Kok Ainun ikut?"

"Aku nggak tahu, di saja juga ada beberapa ibu-ibu."

"Musyawarah apa, Mas?" telisikku seraya mengekorinya dari belakang.

Nampak sekali kalau Mas Agung tengah berpikir. Dia pasti kesulitan mencari alasan karena kalau masalah biasa tidak mungkin Pak Imam yang membahasnya. Lagipula Mas Agung kan bukan aparat masjid, kenapa harus ikut?

Kebohongan semakin besar, aku meneriakkan luka dalam hati. Kalau saja dulu percaya pada Melinda kalau Mas Agung ini bukan orang benar, pasti tidak akan merasakan sakitnya dikhianati.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Ah, ya bahkan walau satu detik pun.

"Musyawarah pergantian bendara masjid, soalnya Pak Erwin mengundurkan diri jadi perlu menunjuk orang baru," jawab Mas Agung dengan terbata.

"Tapi kok perempuan diikutkan rapat juga, Mas?"

"Sudahlah, aku tidak tahu masalah itu. Sekarang mau tidur saja, besok banyak urusan di kantor!" ketus Mas Agung.

Baru terlihat semua sifat aslinya setelah menikah padahal dulu manis bak gulali sekarang pedas melebihi bon cabe. Ada rasa ingin mengulek bibir pembohong itu, tetapi harus sabar sedikit lagi.

"Mas mau tidur dalam keadaan perut kosong? Gak baik loh, Mas. Sejak pulang kantor tadi kamu belum makan apa-apa. Yuk, kita makan sama-sama. Aku sudah masak rendang favoritemu."

"Tadi aku sudah maka ...." Mas Agung meralat ucapannya. "Makan di masjid sehabis pengajian, Dek."

"Lah kan cuman roti, Mas. Ayo kita makan nasi, nanti kamu kena penyakit maag loh. Siapa yang repot, aku juga kan bukan tetangga sebelah rumah?"

"Maksud kamu apa?"

"Gak apa, bercanda doang, Mas. Yuk ah kelamaan!"

Mas Agung melepas peci, lalu mengacak rambutnya. Aku tahu dia pasti ke warung makan tadi bersama Ainun makanya lama dan pulang-pulang sudah langsung mau tidur karena kekenyangan.

Entah alasan apa pula yang disampaikan Ainun pada Mas Haiqal karena telat pulang dari masjid. Huh, mereka berdua memang pandai bersilat lidah.

Nasi yang masih mengepul karena aku panaskan di magic com kini sudah ada di depan Mas Agung. Malam ini dia harus mendapat hukuman karena sudah menipu istri sendiri.

Rendang aku tuang ke piringnya, lalu menambahkan beberapa potong ayam. Tidak lupa kuambilkan sepiring ikan goreng tumis dan meletakkannya di dekat gelas tinggi.

"Makan, Mas. Biasanya kamu doyan makan seperti ini!"

"Mas kayaknya sakit, Dek. Nafsu makan berkurang. Kamu makan sebagian ya?"

Segera aku menempelkan punggung tangan di dahi Mas Agung. "Biasa aja, Mas. Gak panas kok. Udah deh gak usah malu-malu, buruan di makan sebelum dingin. Biasanya juga kamu nambah dua porsi, Mas."

Aku tersenyum melihat Mas Agung meraih sendok dan melahap nasi tersebut. Tepatnya senyum penuh ejekan dan kemenangan. Malam ini pasti perutnya semakin kembung karena kekenyangan.

Begitu nasi Mas Agung hampir habis, aku kembali menambah satu centong. Matanya membulat sempurna, tetapi aku tidak peduli hal itu. Sekarang ikan seekor sudah menghias piringnya.

"Makan, Mas. Biasanya abis makan nasi dengan rendang, kamu suka nambah pakai ikan ini kan?" Aku tersenyum sangat manis.

"Mas kenyang, Dek."

"Kenyang gimana maksudnya, Mas? Sebelum berangkat ke masjid aja aku sempat dengar perut kamu keroncongan. Udah makan, jangan ngandelin roti di masjid aja tadi nanti kurus disangka tetangga sebelah rumah aku gak pandai ngurus suami!" Sengaja aku memanyunkan bibir.

"Kenapa selalu bahas tetangga, Dek? Ainun gak pernah menjelek-jelekkan kamu, loh!" sewot Mas Agung.

"Loh, Mas. Aku kan gak nyebut nama Ainun kenapa kamu bawa-bawa nama dia. Lagian tetangga kita kan bukan cuma Dia. Ada bu Retno juga di samping kiri rumah."

Mas Agung diam, dia mengatup rapat bibir sekilas, kemudian kembali menikmati makanannya. Pasti dia menyesal karena sudah membawa nama Ainun padalah aku memang niat memancing.

"Mas pikir kamu cemburu sama Ainun, Dek. Maaf," lirihnya kemudian.

"Masa aku cemburu jelas aku lebih cantik. Dia juga udah punya suami, gak mungkin suka sama suami orang!"

Ucapanku berhasil membuat Mas Agung tersedak. Segera kusuguhkan segelas air, dia pun meminum hingga tandas. Tidak lama kemudian dia kembali menyantap makanan sampai habis.

Dalam kamar dia bersandar di kepala ranjang sambil terus mengelus perut buncitnya. Baju kaos yang dikenakan pun terlihat ketat sekali.

"Kenyang amat ya, Mas?"

"Iya, abis makan tiga piring!"

"Loh, bukannya dua?"

Mas Agung tertawa kecil. "Iya, dua."

Aku ikut tertawa menyaksikan kebohongannya. Mengingat sebentar mereka akan video call, aku langsung pura-pura menguap. Lampu utama padam menyisakan cahaya remang.

"Mas, aku tidur duluan ya! Ngantuk banget, kayaknya besok subuh telat bangun ini!"

"Iya, tidur yang nyenyak, Istriku!" balasnya.

Aku hanya mengangguk, kemudian memejamkan mata. Mendengar kata 'istriku' di ujung kalimat membuat perut ingin memuntahkan semua isinya.

Waktu terus berputar, sekitar pukul sepuluh malam Mas Agung melakukan panggilan. Lampu kamar dinyalakan, untung saja aku menutup seluruh tubuh dengan selimut.

"Kamu cantik banget, mas jadi kangen sama kamu, Ainun." Rupanya mereka benar-benar melakukan video call.

"Memangnya selama ini mas gak pernah kangen apa?" Suara berujung desahan itu membuatku muak.

"Selalu kangen."

"Kok, kamu telat teleponnya, Mas?"

Mas Agung pun menceritakan perkara tadi ketika aku memaksanya untuk makan dua piring. Ainun tertawa pelan, dia juga bilang bahwa di warung tadi juga makan dua porsi nasi.

Udah b r e n g s e k, rakus pula.

Mereka terus mengobrol dengan suara penuh nafsu. Desahan mereka terdengar sangat menjijikkan. Aku tahu Ainun kini sedang memakai pakaian seksi karena Mas Agung terus memuji dua bukit kembar yang katanya terlihat sangat menantang.

"Gitu ya, Mas?" Aku sengaja bersuara, tetapi dengan mata terpejam.

Selimut ini tersingkap, Mas Agung mencubit pelan pipiku. Setelah itu dia berkata, "Ningsih cuma lagi ngigau, Ai!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri tolol kebanyakan drama
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
bodoh qm agung bntr lagi kebohongn mu akan terbongkar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status