Share

Bab 8

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2022-06-30 03:13:51

Lepas salat isya Mas Agung baru pulang karena memang ada pengajian rutin sehabis magrib di Masjid Al-Hadid. Akan tetapi, yang membuat penasaran adalah kenapa mereka berdua pulang bersamaan bahkan jam sudah menunjuk angka sembilan malam?

Mas Agung memasang raut terkejut ketika aku panggil sementara Ainun menyapa dengan senyuman sambil berlalu seperti tidak ada yang perlu dia jelaskan juga.

"Kok menunggu di luar?" tanyanya begitu sampai di depanku.

Segera kuhidupkan kembali layar ponsel dan mengarahkan ke wajah Mas Agung. "Lihat, Mas. Kamu salat di mana sebenarnya, masa jam sembilan malam baru tiba di rumah padahal jarak ke masjid cuman seratus meteran?"

Mas Agung menggaruk tengkuknya. "Itu tadi ... Pak Imam musyawarah, Dek. Jadi, gak enak kalau langsung pulang."

"Kok Ainun ikut?"

"Aku nggak tahu, di saja juga ada beberapa ibu-ibu."

"Musyawarah apa, Mas?" telisikku seraya mengekorinya dari belakang.

Nampak sekali kalau Mas Agung tengah berpikir. Dia pasti kesulitan mencari alasan karena kalau masalah biasa tidak mungkin Pak Imam yang membahasnya. Lagipula Mas Agung kan bukan aparat masjid, kenapa harus ikut?

Kebohongan semakin besar, aku meneriakkan luka dalam hati. Kalau saja dulu percaya pada Melinda kalau Mas Agung ini bukan orang benar, pasti tidak akan merasakan sakitnya dikhianati.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Ah, ya bahkan walau satu detik pun.

"Musyawarah pergantian bendara masjid, soalnya Pak Erwin mengundurkan diri jadi perlu menunjuk orang baru," jawab Mas Agung dengan terbata.

"Tapi kok perempuan diikutkan rapat juga, Mas?"

"Sudahlah, aku tidak tahu masalah itu. Sekarang mau tidur saja, besok banyak urusan di kantor!" ketus Mas Agung.

Baru terlihat semua sifat aslinya setelah menikah padahal dulu manis bak gulali sekarang pedas melebihi bon cabe. Ada rasa ingin mengulek bibir pembohong itu, tetapi harus sabar sedikit lagi.

"Mas mau tidur dalam keadaan perut kosong? Gak baik loh, Mas. Sejak pulang kantor tadi kamu belum makan apa-apa. Yuk, kita makan sama-sama. Aku sudah masak rendang favoritemu."

"Tadi aku sudah maka ...." Mas Agung meralat ucapannya. "Makan di masjid sehabis pengajian, Dek."

"Lah kan cuman roti, Mas. Ayo kita makan nasi, nanti kamu kena penyakit maag loh. Siapa yang repot, aku juga kan bukan tetangga sebelah rumah?"

"Maksud kamu apa?"

"Gak apa, bercanda doang, Mas. Yuk ah kelamaan!"

Mas Agung melepas peci, lalu mengacak rambutnya. Aku tahu dia pasti ke warung makan tadi bersama Ainun makanya lama dan pulang-pulang sudah langsung mau tidur karena kekenyangan.

Entah alasan apa pula yang disampaikan Ainun pada Mas Haiqal karena telat pulang dari masjid. Huh, mereka berdua memang pandai bersilat lidah.

Nasi yang masih mengepul karena aku panaskan di magic com kini sudah ada di depan Mas Agung. Malam ini dia harus mendapat hukuman karena sudah menipu istri sendiri.

Rendang aku tuang ke piringnya, lalu menambahkan beberapa potong ayam. Tidak lupa kuambilkan sepiring ikan goreng tumis dan meletakkannya di dekat gelas tinggi.

"Makan, Mas. Biasanya kamu doyan makan seperti ini!"

"Mas kayaknya sakit, Dek. Nafsu makan berkurang. Kamu makan sebagian ya?"

Segera aku menempelkan punggung tangan di dahi Mas Agung. "Biasa aja, Mas. Gak panas kok. Udah deh gak usah malu-malu, buruan di makan sebelum dingin. Biasanya juga kamu nambah dua porsi, Mas."

Aku tersenyum melihat Mas Agung meraih sendok dan melahap nasi tersebut. Tepatnya senyum penuh ejekan dan kemenangan. Malam ini pasti perutnya semakin kembung karena kekenyangan.

Begitu nasi Mas Agung hampir habis, aku kembali menambah satu centong. Matanya membulat sempurna, tetapi aku tidak peduli hal itu. Sekarang ikan seekor sudah menghias piringnya.

"Makan, Mas. Biasanya abis makan nasi dengan rendang, kamu suka nambah pakai ikan ini kan?" Aku tersenyum sangat manis.

"Mas kenyang, Dek."

"Kenyang gimana maksudnya, Mas? Sebelum berangkat ke masjid aja aku sempat dengar perut kamu keroncongan. Udah makan, jangan ngandelin roti di masjid aja tadi nanti kurus disangka tetangga sebelah rumah aku gak pandai ngurus suami!" Sengaja aku memanyunkan bibir.

"Kenapa selalu bahas tetangga, Dek? Ainun gak pernah menjelek-jelekkan kamu, loh!" sewot Mas Agung.

"Loh, Mas. Aku kan gak nyebut nama Ainun kenapa kamu bawa-bawa nama dia. Lagian tetangga kita kan bukan cuma Dia. Ada bu Retno juga di samping kiri rumah."

Mas Agung diam, dia mengatup rapat bibir sekilas, kemudian kembali menikmati makanannya. Pasti dia menyesal karena sudah membawa nama Ainun padalah aku memang niat memancing.

"Mas pikir kamu cemburu sama Ainun, Dek. Maaf," lirihnya kemudian.

"Masa aku cemburu jelas aku lebih cantik. Dia juga udah punya suami, gak mungkin suka sama suami orang!"

Ucapanku berhasil membuat Mas Agung tersedak. Segera kusuguhkan segelas air, dia pun meminum hingga tandas. Tidak lama kemudian dia kembali menyantap makanan sampai habis.

Dalam kamar dia bersandar di kepala ranjang sambil terus mengelus perut buncitnya. Baju kaos yang dikenakan pun terlihat ketat sekali.

"Kenyang amat ya, Mas?"

"Iya, abis makan tiga piring!"

"Loh, bukannya dua?"

Mas Agung tertawa kecil. "Iya, dua."

Aku ikut tertawa menyaksikan kebohongannya. Mengingat sebentar mereka akan video call, aku langsung pura-pura menguap. Lampu utama padam menyisakan cahaya remang.

"Mas, aku tidur duluan ya! Ngantuk banget, kayaknya besok subuh telat bangun ini!"

"Iya, tidur yang nyenyak, Istriku!" balasnya.

Aku hanya mengangguk, kemudian memejamkan mata. Mendengar kata 'istriku' di ujung kalimat membuat perut ingin memuntahkan semua isinya.

Waktu terus berputar, sekitar pukul sepuluh malam Mas Agung melakukan panggilan. Lampu kamar dinyalakan, untung saja aku menutup seluruh tubuh dengan selimut.

"Kamu cantik banget, mas jadi kangen sama kamu, Ainun." Rupanya mereka benar-benar melakukan video call.

"Memangnya selama ini mas gak pernah kangen apa?" Suara berujung desahan itu membuatku muak.

"Selalu kangen."

"Kok, kamu telat teleponnya, Mas?"

Mas Agung pun menceritakan perkara tadi ketika aku memaksanya untuk makan dua piring. Ainun tertawa pelan, dia juga bilang bahwa di warung tadi juga makan dua porsi nasi.

Udah b r e n g s e k, rakus pula.

Mereka terus mengobrol dengan suara penuh nafsu. Desahan mereka terdengar sangat menjijikkan. Aku tahu Ainun kini sedang memakai pakaian seksi karena Mas Agung terus memuji dua bukit kembar yang katanya terlihat sangat menantang.

"Gitu ya, Mas?" Aku sengaja bersuara, tetapi dengan mata terpejam.

Selimut ini tersingkap, Mas Agung mencubit pelan pipiku. Setelah itu dia berkata, "Ningsih cuma lagi ngigau, Ai!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri tolol kebanyakan drama
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
bodoh qm agung bntr lagi kebohongn mu akan terbongkar
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menguak Kebohongan Suamiku   Bab 30

    Itu suara ayah mertua. Untung saja Mas Darwis sudah duduk di sisiku. Mereka serentak menjawab salam bersamaan dengan ibu mertua yang keluar membawa Fatir. "Anak siapa itu, mirip sekali sama Agung?" Pertanyaan ayah meyakinkan diri ini kalau dia belum pernah bertemu Fatir atau sekadar mengetahui perselingkuhan anaknya. Memang sejak awal menjadi menantu di rumah ini, ayah bilang sudah menganggap aku sebagai putri sendiri. Terbukti, dia selalu melarangku melakukan pekerjaan rumah dengan dalih seorang putri terkadang harus dimanjakan. Namun, aku hanya menanggapi dengan senyum, lalu membantu ibu di dapur. "Ningsih, datang kenapa gak bilang-bilang? Agung bilang kamu ngidamnya itu tidak mau melihat muka suami, makanya mama sama mas kamu datang. Sekarang sudah rindu?" Ayah mertua bertanya dengan nada menggoda. Sepertinya memang belum tahu keadaan yang sebenarnya. Senyum lelaki berperut besar itu merekah sempurna apalagi setelah melihat perutku. Dia berdoa agar anak ini sehat wal afiat. "M

  • Menguak Kebohongan Suamiku   Bab 29

    "Bukan urusan aku?!" Melinda tersenyum sinis. "Sejak sebelum kamu menikahi Ningsih, dia memang sahabat aku. Jadi, urusan dia, urusan aku juga!""Mema–""Bayar duit aku kalau kamu masih punya muka!" kataku ketus.Sekarang bukan masanya menghargai suami yang telah menipu dan menghancurkan masa depan kita. Persetan pula dengan rasa cinta, semuanya sudah lenyap.Aku berusaha kuat bukan karena tidak ingin dikata perempuan lemah dan bodoh, tetapi memang ingin menguak kebenaran. Tidak mungkin kita terus mengagungkan cinta pada lelaki penipu."Beri aku waktu, Ning. Selama ini kan kamu juga menikmati gaji aku," lirih Mas Agung.Aku heran kenapa dia bisa memelankan suara sekaligus merubah ekspresi padahal tadi angkuh sekali. Suara hati menolak tegas untuk mengasihaninya."Aku menikmati uangmu, kamu menikmati tubuhku. Ini bukan tentang pelacuran, tetapi nafkah! Kamu pikir nafkah batin cuma perkara hubungan badan? Hati istri juga harus dipikirin, Mas. Lah gimana kamu mau mikirin istri kalau terny

  • Menguak Kebohongan Suamiku   Bab 28

    Ditemani Mas Darwis dan Melinda, aku benar-benar meluncur ke rumah ibu mertua sementara mama menjaga rumah sekaligus mencari tahu info tentang Ainun.Aku sengaja duduk di belakang bersama Melinda agar dia tidak canggung-canggung amat. Dalam perjalanan, kami menonton video di beberapa aplikasi."Viral!" pekik Melinda ketika aku baru saja menoleh ke jendela samping kiri."Apa yang viral?"Melinda tidak menjawab karena bibirnya melengkungkan senyum yang merekah indah. Aku lihat itu postingan Bu Yuyun di Facebo0k waktu di rumah Pak RT tadi.Ada ribuan komentar, ribuan laik bahkan ratusan orang yang share tanpa izin. Beragam kalimat umpatan dan sumpah serapah tertuju pada Ainun dan Mas Agung."Mereka memang pantas mendapatkan itu, Lin," kataku kemudian.Bahkan kalau bisa lebih dari itu. Mas Agung telah berani menghancurkan masa depanku. Sekolah yang aku perjuangkan selama bertahun-tahun terasa sia-sia. Namun, tidak mengapa karena pasti ada hikmah di balik semua ini.Aku harus kuat demi ana

  • Menguak Kebohongan Suamiku   Bab 27

    "Kamu menikahi aku dengan pura-pura menjadi laki-laki baik padahal itu semua untuk menutupi aib kamu. Berulang kali aku memergokimu teleponan sama Ainun dan kamu pikir aku gak merekam dan mengambil fotomu, Mas?!" Aku membuang napas perlahan. "Semua bukti ada di ponselku!""Tenang, Bu," kata Pak RT. Kali ini sepertinya dia lebih simpatik sama aku."Berhari-hari aku menyimpan sesak sendirian, Mas. Aku terluka, batinku tersiksa dalam keadaan hamil begini. Kamu itu suami pezina dan tidak pantas punya muka!" teriakku lagi sambil memukul kepalanya."Astagfirullah, ternyata Fatir itu bukan anaknya Haiqal!" tukas Bu Ana.Aku berdiri dari kursi, lalu menunjuk wajah Ainun dan Mas Agung bergantian. "Kalian pikir aku ini bodoh apa?! Setiap Ainun datang ke rumah minta nebeng, aku tahu kalau itu cuma modus. Makanya aku berusaha bersabar. Kalian brengsek!" pekikku.Bu RT langsung membawaku dalam pelukannya meminta agar bisa sedikit tenang apalagi sedang mengandung. Kalau saja tidak berdosa, sudah la

  • Menguak Kebohongan Suamiku   Bab 26

    Di rumah Pak RT tidak begitu ramai, hanya ada istrinya juga semua orang yang ada di rumah. Jantung sedikit berdegup lebih cepat ketika melirik pada Ainun yang menajamkan pandangan serupa elang yang mencari mangsa.Aku tidak takut padanya, hanya enggan mencari ribut. Sejak dulu aku benci perdebatan dan juga masalah, tetapi sekarang masalah datang dengan kapasitas yang sangat besar.Sampai aku tidak bisa lari. Sampai aku tidak bisa mengelak. Sampai aku sering merasa kalah."Jadi benar kalau Ningsih selingkuh dengan Haiqal, sementara Agung dengan Ainun?" tanya Pak RT. Dia menatap penuh intimidasi."Ya enggaklah, Pak. Yang bener itu Ningsih berusaha ngerebut suami aku," jawab Ainun dengan tawa meremehkan.Tatapannya yang seperti sedang mengejek semakin membangkitkan rasa semangat dan keberanianku untuk mempermalukan mereka di sini. Biar saja viral karena aku tahu, Bu Yuyun sedang menyalakan kamera."Bohong!" elakku tegas."Tunjukkan bukti-bukti. Kalian tidak bisa menuduh atau mengelak tan

  • Menguak Kebohongan Suamiku   Bab 25

    "Menduakan apa? Aku gak ngerti, Gung, kenapa kamu datang dengan muka sepucat itu seperti habis dikejar setan aja!" cebik Mas Darwis. "Eh?" Mas Agung tersentak. Keringat di pelipisnya semakin banyak. Bibir itu gemetar, tetapi berusaha dia tutupi dengan melipatnya kuat-kuat. Aku tertawa pelan melihat reaksi Mas Agung. Dia pasti mengira aku sudah cerita semuanya pada masku. Ya memang belum sih, tetapi tetap saja dia sudah tahu karena mendapat inbox itu. Namun, melihat adegan ini membuatku ragu kalau pemilik akun itu adalah Mas Agung. Tidak mungkin dia sebodoh itu sampai ketar-ketir padahal sudah memberi tahu Mas Darwis. Tersangka selanjutnya adalah Ainun. Ah, entahlah. Bisa jadi perempuan itu sengaja menyewa seseorang untuk memata-matai kami sampai akhirnya bercerai karena diadu domba. "Tadi kamu bilang apa, Mas? Berpaling pada Mas Haiqal?" Aku tersenyum miring. "Sejak kapan aku suka sama suami orang? Aku juga masih punya harga diri." "Memang kamu suka sama Haiqal, kan?" Mas Agung m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status