Perkenalan singkat membawa Ningsih pada mahligai pernikahan. Siapa sangka, Agung Prasetya—sang suami—menyimpan banyak rahasia. Perlahan rahasia itu terbuka dengan bantuan Melinda yang merupakan sahabat Ningsih. Bagaimana kisah selanjutnya? Ikutin sampai tamat, ya!
View More~Jangan tertipu dengan seseorang yang kamu lihat baik, sopan dan ramah. Sejatinya setiap insan selalu menyembunyikan aib sendiri terlebih ketika menginginkan sesuatu. Dalam hal apa pun termasuk dalam memilih jodoh, selalu libatkan Allah.~
____Bintu Hasan____
***
"Mas, ponselnya kenapa di-charger lagi, bukannya sebelum isya tadi sudah penuh?" tanyaku ketika melihat Mas Agung meletakkan ponsel di nakas.
"Biar tahan lama, Dek," jawab Mas Agung dengan senyum kikuk.
Aku sedikit bingung dengan jawaban yang selalu sama. Sebenarnya ini bukan kali pertama, Mas Agung memang selalu melakukan itu ketika pulang dari Bengkulu.
Namun, untuk menghindari masalah rumah tangga, aku kembali diam. Mas Agung mendekat, mencium pucuk kepalaku sebelum akhirnya tertidur pulas.
Mata terbuka pelan, aku melirik jam dinding yang sudah menunjuk angka sebelas malam. Ketika melirik ke samping, aku melihat Mas Agung memainkan ponsel dalam keadaan memunggungiku.
"Tenang saja, kita aman!" bisik Mas Agung seraya mendekatkan benda pipih berwarna hitam itu ke wajahnya. Dia mengirim voice note pada seseorang.
Aku mengangkat kepala diam-diam untuk mengintip jangan sampai ketahuan, tetapi sulit. Apalagi Mas Agung berdehem seperti menyadari sesuatu. Buru-buru aku menarik selimut, menutupi seluruh kepala.
Mas Agung terkekeh pelan. Kali ini suaranya semakin terdengar jelas. Mungkin dia membalik badan khawatir aku bangun dan mengintip. Baiklah, biar telinga saja yang mendengar semuanya.
"Iya, besok kita ketemu. Kamu tidak perlu risau, Sayang," bisik Mas Agung lagi mengakhiri kalimat itu dengan kecupan basah yang terdengar menjijikkan.
Hati tiba-tiba merasakan perih, air mata pun menjadi saksi bisu perbuatan Mas Agung. Dia selingkuh, tetapi aku belum tahu dengan siapa.
Detik selanjutnya Mas Agung mendesah nikmat. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan, apakah hanya suara atau berlanjut pada adegan tidak senonoh, misalnya saja video call sex.
Tawa Mas Agung begitu menyakitkan, beruntung selimut menutupi wajah atau akan ketahuan. Ternyata suamiku bermain api dengan perempuan lain, pantas saja satu bulan ini dia sering bangun tengah malam.
"Iya, aku sudah beli hadiahnya. Ningsih tidak akan tahu karena kalung itu aku sembunyikan." Suara Mas Agung kembali terdengar.
Setelah beberapa menit berlalu, dia memegang kepalaku. "Nengsih?"
Aku sengaja tidak menyahut, malah bergerak memunggunginya tanpa menyibak selimut. Entah apa maksud Mas Agung memanggil namaku.
"Nengsih benar-benar lelap, kita bisa lanjut. Dia kalau udah tidur emang susah bangunnya."
Bibir tersenyum miring, rupanya memanggil namaku tadi untuk memastikan dia tidak ketahuan. Bodoh sekali kamu, Mas!
Waktu terus berputar, aku tidak tahu sudah pukul berapa yang pasti dua orang dewasa itu sedang dimabuk asmara. Keduanya sama-sama mendesah nikmat. Aku tahu karena Mas Agung menambah volume suara ponselnya.
***
Lepas salat subuh, aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Kali ini masih menu yang sama; nasi goreng dan telur dadar karena itu kesukaan Mas Agung.
Sekalipun perut sudah mulai membuncit karena hamil, tetapi tidak pernah membatasi pergerakanku. Ayah mertua selalu meminta kami menginap di rumahnya, tetapi aku menolak halus karena tidak ingin memberatkan.
"Mas!" panggilku setelah semua sudah terhidang di meja makan. Namun, berulang kali aku memanggil, tidak ada respon.
Khawatir dia sedang mencari sesuatu, aku menyusul ke kamar. Di balik daun pintu yang terbuka setengah, aku bisa melihat Mas Agung melakukan panggilan video dengan seorang perempuan.
Mereka tertawa bahagia. Aku tidak bisa mengenali betul siapa perempuan itu karena sebagian wajahnya ditutupi selimut. Perih kembali merajai hati, tetapi berusaha aku telan sepenuhnya.
"Mas, sarapan sudah siap!" panggilku setelah mundur beberapa langkah tadi.
Semua aku lakukan agar Mas Agung tidak tahu aku sempat memergokinya. Bukan berarti lemah dan membiarkan suami bahagia dengan perempuan lain, tetapi aku tidak ingin bertindak gegabah.
Sesampainya di depan pintu, Mas Agung terlihat memasang dasi dengan ponsel terletak manja di tempat tidur. Aku memaksa senyum agar dia mengira semua baik-baik saja.
"Pagi ini kamu cantik sekali, Dek!" puji Mas Agung mengecup lembut keningku.
Jujur, kini aku merasa risih diperlakukan seperti itu setelah kejadian semalam. Namun, untuk menghindar akan menimbulkan kecurigaan sehingga gagal mengetahui siapa perempuan kedua itu.
Sejak awal aku menekankan pada Mas Agung agar tidak bermain api apalagi memberiku adik madu selama masih sanggup mengurus suami dan bisa memberi anak. Dia setuju, tetapi sekarang malah melanggar.
Kami duduk saling berhadapan. Mas Agung menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya. "Masakan kamu memang selalu enak, Sayang."
"Terimakasih, Mas."
Ponsel Mas Agung berdering, tetapi dia tidak merespon. Mungkin nasi goreng itu benar-benar membiusnya. Aku tidak memasukkan apa-apa, hanya memasak penuh cinta seperti dulu.
"Mas, ponselnya berdering. Kamu makan saja biar aku ambilkan."
"Tidak usah, Dek. Paling orang iseng."
"Siapa tahu penting, Mas!"
Mas Agung melempar sendok di tangannya asal, lalu melenggang masuk kamar. Aku paham sekarang, hatinya benar-benar direbut perempuan lain. Harapan untuk tetap berdua sampai menua kini pupus sudah.
Banyak cerita yang pernah aku baca di aplikasi biru berlogo F bahwa suami selingkuh karena istri yang tidak becus mengurus rumah dan merawat diri alhasil membawa perempuan kedua dalam istananya. Saat itu aku memberi komentar, menegaskan bahwa suamiku orang setia.
Sekarang nyatanya berbeda. Mas Agung sebentar lagi akan mengenalkan aku pada perempuan itu dan menjadikanku babu di sini. Pasti, karena memang selalu berakhir demikian dari banyaknya cerita yang aku baca.
"Mas, sudah mau berangkat?" tanyaku mengekorinya dari belakang.
Mas Agung tidak menjawab, dia melangkah begitu cepat sambil menggantung kunci mobil di jari telunjuk kirinya. Sebuah mobil yang kami beli sehari setelah menikah.
Ya, dulu aku bekerja di Dinas Pendidikan, tetapi setelah menikah dengan Mas Agung dia memintaku resign dan menjadi ibu rumah tangga saja. Katanya, perempuan lebih baik merawat diri di rumah dan menanti suami pulang.
Aku bahagia karena merasa dijadikan ratu oleh suami. Akan tetapi, ratu yang memiliki seorang selir.
"Kamu jangan ke mana-mana, mas akan pulang telat karena ada meeting di luar." Mas Agung mengulur tangannya untuk kucium dengan takzim seperti biasa.
"Kira-kira pulang jam berapa, Mas?"
"Mungkin jam sepuluh malam."
Tidak ada pilihan, aku hanya mengangguk. Mas Agung pamit, tetapi langkahnya terhenti begitu melihat Ainun. Tanpa meminta izin, dia langsung mengajak berangkat bersama padahal belum tahu perempuan akan ke mana.
Mereka terlihat ramah. Namun, aku tidak boleh berprasangka buruk toh kami tetanggaan apalagi Ainun sudah punya suami, mapan lagi tampan. Perempuan itu juga memakai jilbab saat ke luar rumah, tidak mungkin gatal pada Mas Agung.
"Mas, kamu tahu aja kalau kita searah!" seru Ainun dengan suara manja. Dia bahkan membuka pintu depan mobil membuat kedua alisku saling bertaut.
Itu suara ayah mertua. Untung saja Mas Darwis sudah duduk di sisiku. Mereka serentak menjawab salam bersamaan dengan ibu mertua yang keluar membawa Fatir. "Anak siapa itu, mirip sekali sama Agung?" Pertanyaan ayah meyakinkan diri ini kalau dia belum pernah bertemu Fatir atau sekadar mengetahui perselingkuhan anaknya. Memang sejak awal menjadi menantu di rumah ini, ayah bilang sudah menganggap aku sebagai putri sendiri. Terbukti, dia selalu melarangku melakukan pekerjaan rumah dengan dalih seorang putri terkadang harus dimanjakan. Namun, aku hanya menanggapi dengan senyum, lalu membantu ibu di dapur. "Ningsih, datang kenapa gak bilang-bilang? Agung bilang kamu ngidamnya itu tidak mau melihat muka suami, makanya mama sama mas kamu datang. Sekarang sudah rindu?" Ayah mertua bertanya dengan nada menggoda. Sepertinya memang belum tahu keadaan yang sebenarnya. Senyum lelaki berperut besar itu merekah sempurna apalagi setelah melihat perutku. Dia berdoa agar anak ini sehat wal afiat. "M
"Bukan urusan aku?!" Melinda tersenyum sinis. "Sejak sebelum kamu menikahi Ningsih, dia memang sahabat aku. Jadi, urusan dia, urusan aku juga!""Mema–""Bayar duit aku kalau kamu masih punya muka!" kataku ketus.Sekarang bukan masanya menghargai suami yang telah menipu dan menghancurkan masa depan kita. Persetan pula dengan rasa cinta, semuanya sudah lenyap.Aku berusaha kuat bukan karena tidak ingin dikata perempuan lemah dan bodoh, tetapi memang ingin menguak kebenaran. Tidak mungkin kita terus mengagungkan cinta pada lelaki penipu."Beri aku waktu, Ning. Selama ini kan kamu juga menikmati gaji aku," lirih Mas Agung.Aku heran kenapa dia bisa memelankan suara sekaligus merubah ekspresi padahal tadi angkuh sekali. Suara hati menolak tegas untuk mengasihaninya."Aku menikmati uangmu, kamu menikmati tubuhku. Ini bukan tentang pelacuran, tetapi nafkah! Kamu pikir nafkah batin cuma perkara hubungan badan? Hati istri juga harus dipikirin, Mas. Lah gimana kamu mau mikirin istri kalau terny
Ditemani Mas Darwis dan Melinda, aku benar-benar meluncur ke rumah ibu mertua sementara mama menjaga rumah sekaligus mencari tahu info tentang Ainun.Aku sengaja duduk di belakang bersama Melinda agar dia tidak canggung-canggung amat. Dalam perjalanan, kami menonton video di beberapa aplikasi."Viral!" pekik Melinda ketika aku baru saja menoleh ke jendela samping kiri."Apa yang viral?"Melinda tidak menjawab karena bibirnya melengkungkan senyum yang merekah indah. Aku lihat itu postingan Bu Yuyun di Facebo0k waktu di rumah Pak RT tadi.Ada ribuan komentar, ribuan laik bahkan ratusan orang yang share tanpa izin. Beragam kalimat umpatan dan sumpah serapah tertuju pada Ainun dan Mas Agung."Mereka memang pantas mendapatkan itu, Lin," kataku kemudian.Bahkan kalau bisa lebih dari itu. Mas Agung telah berani menghancurkan masa depanku. Sekolah yang aku perjuangkan selama bertahun-tahun terasa sia-sia. Namun, tidak mengapa karena pasti ada hikmah di balik semua ini.Aku harus kuat demi ana
"Kamu menikahi aku dengan pura-pura menjadi laki-laki baik padahal itu semua untuk menutupi aib kamu. Berulang kali aku memergokimu teleponan sama Ainun dan kamu pikir aku gak merekam dan mengambil fotomu, Mas?!" Aku membuang napas perlahan. "Semua bukti ada di ponselku!""Tenang, Bu," kata Pak RT. Kali ini sepertinya dia lebih simpatik sama aku."Berhari-hari aku menyimpan sesak sendirian, Mas. Aku terluka, batinku tersiksa dalam keadaan hamil begini. Kamu itu suami pezina dan tidak pantas punya muka!" teriakku lagi sambil memukul kepalanya."Astagfirullah, ternyata Fatir itu bukan anaknya Haiqal!" tukas Bu Ana.Aku berdiri dari kursi, lalu menunjuk wajah Ainun dan Mas Agung bergantian. "Kalian pikir aku ini bodoh apa?! Setiap Ainun datang ke rumah minta nebeng, aku tahu kalau itu cuma modus. Makanya aku berusaha bersabar. Kalian brengsek!" pekikku.Bu RT langsung membawaku dalam pelukannya meminta agar bisa sedikit tenang apalagi sedang mengandung. Kalau saja tidak berdosa, sudah la
Di rumah Pak RT tidak begitu ramai, hanya ada istrinya juga semua orang yang ada di rumah. Jantung sedikit berdegup lebih cepat ketika melirik pada Ainun yang menajamkan pandangan serupa elang yang mencari mangsa.Aku tidak takut padanya, hanya enggan mencari ribut. Sejak dulu aku benci perdebatan dan juga masalah, tetapi sekarang masalah datang dengan kapasitas yang sangat besar.Sampai aku tidak bisa lari. Sampai aku tidak bisa mengelak. Sampai aku sering merasa kalah."Jadi benar kalau Ningsih selingkuh dengan Haiqal, sementara Agung dengan Ainun?" tanya Pak RT. Dia menatap penuh intimidasi."Ya enggaklah, Pak. Yang bener itu Ningsih berusaha ngerebut suami aku," jawab Ainun dengan tawa meremehkan.Tatapannya yang seperti sedang mengejek semakin membangkitkan rasa semangat dan keberanianku untuk mempermalukan mereka di sini. Biar saja viral karena aku tahu, Bu Yuyun sedang menyalakan kamera."Bohong!" elakku tegas."Tunjukkan bukti-bukti. Kalian tidak bisa menuduh atau mengelak tan
"Menduakan apa? Aku gak ngerti, Gung, kenapa kamu datang dengan muka sepucat itu seperti habis dikejar setan aja!" cebik Mas Darwis. "Eh?" Mas Agung tersentak. Keringat di pelipisnya semakin banyak. Bibir itu gemetar, tetapi berusaha dia tutupi dengan melipatnya kuat-kuat. Aku tertawa pelan melihat reaksi Mas Agung. Dia pasti mengira aku sudah cerita semuanya pada masku. Ya memang belum sih, tetapi tetap saja dia sudah tahu karena mendapat inbox itu. Namun, melihat adegan ini membuatku ragu kalau pemilik akun itu adalah Mas Agung. Tidak mungkin dia sebodoh itu sampai ketar-ketir padahal sudah memberi tahu Mas Darwis. Tersangka selanjutnya adalah Ainun. Ah, entahlah. Bisa jadi perempuan itu sengaja menyewa seseorang untuk memata-matai kami sampai akhirnya bercerai karena diadu domba. "Tadi kamu bilang apa, Mas? Berpaling pada Mas Haiqal?" Aku tersenyum miring. "Sejak kapan aku suka sama suami orang? Aku juga masih punya harga diri." "Memang kamu suka sama Haiqal, kan?" Mas Agung m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments