Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Aku akan temani kamu. Aku buru-buru harus ke kantor. Besok pagi, buatkan aku nasi goreng lagi! Tapi jangan sepedas ini karena bisa bikin aku minta menu yang lebih enak dari makanan. Apalagi, adik kecilku ini semakin nakal setiap kali bertemu denganmu.”
Ayu tertawa kecil sambil menatap bagian bawah tubuh Nanda. Ia mempercepat langkahnya menaiki anak tangga untuk membersihkan diri.
Nanda tersenyum puas dan segera melenggang santai keluar dari rumahnya. Ia merasa, hidupnya lebih baik seperti ini. Bisa bersenang-senang dengan istrinya kapan saja ia mau tanpa khawatir dengan apa pun. Meski Arlita pandai menemaninya bersenang-senang di luar sana, tapi ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk melakukan hal lebih terhadap wanita itu. Hanya ingin membawanya pergi ke tempat-tempat mewah untuk menutupi rasa gengsinya sendiri. Ia tidak mungkin pergi ke perjamuan atau klub malam tanpa wanita cantik di sisinya. Baginya, Ayu masih terl
Nanda langsung menoleh ke arah remaja tadi. Ia merasa tidak enak karena semua orang tidak menginginkan Ayu berhenti. Namun, kehamilan istrinya itu memang membatasi gerak-gerik Ayu dan ia tidak ingin terjadi hal buruk karena istrinya terlalu banyak bergerak. “Mbak Roro Ayu lagi hamil muda. Nggak bisa leluasa untuk bergerak. Mohon pengertian kalian!” ucap Nanda sambil menunduk sopan. “Kalau nggak bisa menari, bisa melatih kami ‘kan?” sahut seorang remaja lain. “Iya, bener. Kalau nggak ada Mbak Roro Ayu, kami gimana? Nggak seru!” ucap salah seorang remaja sambil bangkit dari lantai dan melangkah pergi begitu saja. Enggar langsung menatap remaja yang telah lancang beranjak dari sana. “Prima, kembali!” perintahnya. Remaja yang dipanggil Prima itu tidak menghiraukan teriakan Enggar dan pergi begitu saja dari aula gedung tempat mereka biasa berlatih kesenian. Semua yang ada di sana mulai pergi satu persatu menyusul Prima. Merek
Minggu pagi, Ayu sudah terlihat rapi. Gaun warna putih dengan gambar ilustrasi bunga Allamanda warna kuning dan rambutnya yang lurus terurai, membuatnya terlihat lebih fresh dari biasanya. “Ay, kamu mau ke mana?” Kening Nanda berkerut saat melihat istrinya itu sudah berpenampilan rapi pagi-pagi sekali. “Ini weekend. Aku mau main ke rumah bunda. Kamu nggak kerja ‘kan? Aku nggak perlu siapin pakaian dan sarapan untuk kamu. Makan di luar sama Arlita aja kayak biasanya. Aku juga ada janji sama Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Kebetulan, mereka lagi main ke Surabaya,” tutur Roro sambil tersenyum manis. “Oh. Kamu nyuruh aku pergi sama Arlita karena kamu mau ketemu sama Sonny?” tanya Nanda. “He-em.” Ay mengangguk sembari menatap tubuhnya di depan cermin sekali lagi untuk memastikan tidak ada yang minus dari penampilannya. Nanda terdiam sambil melirik tubuh Ayu. Kulit wanita itu tidak terlalu putih, tapi sangat mulus. Tidak ada bekas luka sedikit
“Ya. Aku memang mau ketemu sama mantan pacarku dan kamu nggak perlu ikut karena bisa mengacaukan suasana!” tegas Ayu sambil berlalu pergi. Nanda mendengus kesal. Ia menarik lengan Ayu dan langsung menghisap kuat leher wanita itu. Meninggalkan bercak merah di sana dengan sengaja. “Kamu apa-apaan sih, Nan!?” seru Ayu sambil berusaha mendorong tubuh Nanda. Nanda semakin menarik kuat tubuh Ayu dan kembali menghisap leher dan dada wanita itu dengan paksa. Meninggalkan bercak merah di tubuh wanita itu. “Silakan ketemu sama Sonny dan dia akan berpikir apa kalau lihat kissmark ini?” Ayu menghela napas sambil menatap wajah Nanda. “Sonny itu pria yang dewasa dan baik hati. Dia nggak akan menolak kehadiranku hanya karena bekas cupangan di tubuhku ini. Meski seluruh tubuhku merah karena kissmark dari kamu, aku akan tetap ketemu sama Sonny dan Nadine!” tegasnya dan berlari keluar dari dalam kamar. Nanda mendengus kesal sambil menatap punggung Ayu yang berg
“Nggak perlu, Nad. Ayu sudah menikah. Tidak pantas kalau aku hanya bicara berdua dengannya saja. Kamu bisa jadi saksi pembicaraan kami. Dengan begini, aku akan lebih mudah menjelaskan pada Nanda jika dia mempertanyakan pertemuan ini,” tutur Sonny. “Aku sudah bilang ke Nanda kalau ketemu kamu di sini. Dia juga lagi pergi sama Arlita,” ucap Ayu lirih. “Arlita siapa?” tanya Nadine. “Pacarnya Nanda,” jawab Sonny. Nadine mengernyitkan dahi. “Hubungan kalian ini gimana, sih? Aku nggak paham. Asli. Roro nikah sama Nanda. Tapi dia jalan sama Sonny. Terus, suami kamu itu masih punya pacar? Aku pusing mikirinnya, Ro.” Ia mengaduk-aduk orange juice di hadapannya dan menyesapnya perlahan sambil menatap wajah Ayu. “Nggak usah dipikirin, Nad. Kalau bukan karena desakan keluarga, aku nggak akan nikah sama Nanda, sementara aku sudah tunangan sama Sonny. Aku ...” Ayu menghentikan ucapannya sambil melirik ke arah Sonny. Nadine menaikkan k
“Kalian berdua udah jadian lagi?” tanya Ayu sambil tersenyum bahagia melihat Nadine dan Rocky. “Nggak Ro, males aku jadian sama cowok kayak gini,” sahut Nadine. “Males tapi mau dicium juga,” goda Rocky sambil menyolek dagu Nadine. “Apaan sih, Ky?” Nadine menepis tangan Rocky. “Nggak sengaja. Lagian, kamu kebiasaan banget main cium-cium aja!” Ayu dan Sonny tertawa kecil melihat tingkah Rocky dan Nadine. Mereka terlihat saling mencintai, tapi enggan untuk berkomitmen. Mungkin karena Rocky yang don juan, membuat Nadine enggan dengan pria itu meski ada cinta di dalam hatinya. “Nggak papa kamu nolak aku terus. Yang penting, papamu nggak nolak aku sebagai calon mantu dia,” tutur Rocky sambil duduk santai di sebelah Nadine. Tangan satunya, terlentang di belakang punggung wanita idamannya itu. “Nggak usah bawa-bawa papa, ya!” dengus Nadine. “Hehehe. Yah, mau gimana lagi. Aku nggak punya cara lain selain deketin papamu. Abisnya, kamu no
Nanda menghela napas kesal. Ia akhirnya men-dial nomor Ayu untuk mempertanyakan keberadaan wanita itu. “Halo ...!” suara merdu Roro Ayu langsung menggema di telinga Nanda. “Ach, sial ...!” umpat Nanda dalam hati. Ia memijat kepalanya yang berdenyut saat mendengar suara Ayu yang begitu sensual di telinganya. Dadanya tiba-tiba penuh sesak hanya karena mendengar satu kata lembut saja dari bibir wanita itu. “Halo, Nanda ...! Are you there?” tanya Ayu lembut. Nanda menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. “Kamu di mana? Sudah selesai makannya?” “Masih di restoran sama Nadine, Rocky dan Sonny,” jawab Ayu. “Rocky itu siapa lagi?” tanya Nanda. “Pacarnya Nadine,” jawab Ayu lembut. “Di restoran mana?” tanya Nanda lagi. “Kamu mau nyusul?” tanya Ayu balik. Nanda terdiam selama beberapa saat. “Kalau kamu mau nyusul, aku akan kasih tahu tempatnya. Without Arlita,” jawab Ayu.
Arlita bergelayut manja di lengan Nanda saat pria itu mengantarkannya pulang ke apartemennya. Tak peduli pria itu sudah menikah dengan wanita lain. Asalkan kebutuhannya masih dipenuhi, ia tidak akan melepaskan Nanda dengan mudah begitu saja. “Nan, thank’s ya udah belanjain aku hari ini!” Arlita tersenyum manis dan mengecup pipi Nanda. “Gimana kalau malam ini kamu nginap di apartemen aja? Aku kangen sama kamu.” “Nggak bisa kalau nginap, Lit. Ada istriku di rumah. Kalo dia laporin aku ke papa dan mama, bisa habis hidupku.” “Dia jahat banget, sih?” “Dia nggak jahat, Lit.” “Jahat. Dia udah rebut kamu dari aku.” “Bukan dia yang rebut. Aku yang udah bikin dia hamil. Aku harus bertanggung jawab, Lit,” sahut Nanda. “Kamu hamilin aku juga! Biar kita bisa nikah juga, Nan.” “Kamu mau jadi istri kedua?” tanya Nanda. Arlita menggeleng. “Aku mau jadi satu-satunya buat kamu, Nan. Kapan kamu bercerai sama Ayu? Kayaknya, akhir-a
Sementara itu, Nia terus melangkah keluar dari apartemen itu dan masuk ke dalam mobil. Ia segera menuju ke Jamoo Restaurant karena sudah ada janji untuk bertemu dengan seseorang di sana. Perasaannya sangat tak karuan melihat puteranya bermain api dan membuat perusahaan keluarga mereka nyaris jatuh ke tangan keluarga bangsawan yang telah direnggut harga dirinya oleh sang anak. Beberapa menit kemudian, Nia sudah masuk ke dalam Jaamo Restaurant dan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di sana. “Hai ...!” sapa Nia sambil menghampiri wanita paruh baya yang sedang sibuk dengan tabletnya. “Hei ...!” balas wanita paruh baya itu sambil bangkit dari sofa dan menyambut kedatangan Nia dengan hangat. “Gimana kabarmu, Yun? Aku dengar, kamu tinggal di Amrik, ya?” tanya Nia. “Nggak. Cuma temenin suami berobat di sana. Yah, bolak-balik Washington-Indonesia,” jawab Yuna sambil menatap wajah Nia. Nia tersenyum manis dan duduk di sofa yang ada di