“Nona! Nona Brisia!”
Seorang gadis turun dari mobil. Dia membanting pintu mobil dan membuka kacamata hitamnya. Matanya terbelalak melihat bangunan restoran miliknya telah di kelilingi garis kuning pertanda penyegelan.
Sial! Kali ini apalagi?!
Raut wajahnya terlihat panik, namun ia berusaha agar tetap terlihat tenang dihadapan para pegawai yang berhamburan mengerubunginya seolah meminta pertolongan.
“Ada apa ini?!” dia mengedarkan tatapan penuh tanya, menatap secara acak wajah para pegawai dihadapannya, berharap salah satu dari mereka ada yang buka suara.
“Citra! Tadi kamu yang nelpon saya ‘kan? Bisa jelasin kenapa restoran kita ditutup paksa kaya gini??”
Dengan tergagap, perempuan mungil yang masih mengenakan apron cokelat itu berusaha menjelaskan, “A-anu, Non … Ta-tadi pagi waktu kami mau buka restoran, ada beberapa orang yang mengaku polisi datang, terus nunjukin surat perintah gitu buat ngelakuin penggeledahan. Te-terus …,”
“Terus??” sahut Brisia, keningnya berkerut merasa ada hal yang janggal ketika Citra menggantungkan kalimatnya.
“Te-terus mereka nemuin miras illegal di gudang bahan baku, Non!” sambung Citra yang sukses membuat kedua mata Brisia membulat.
“Apa?!” pekik Brisia, sontak membuat para pegawainya menunduk ketakutan tak berani menatap wajah bosnya yang tengah diradang amarah.
Brisia tak habis fikir bagaimana bisa ada benda seperti itu di restoran miliknya, meski pun mengusung nuansa western, tapi ia tak pernah menjual minuman seperti itu. Tak puas dengan penuturan salah satu waitress miliknya, kini ia menghardik seorang pria yang berdiri tak jauh darinya.
“Bagas! Kamu ketua chef disini, jelaskan kenapa ada benda seperti itu di gudang!” pinta Brisia dengan nada penuh penekanan.
“Sa-saya juga ga tahu Non, padahal semalam kita sudah menutup semua akses keluar masuk dengan rapi, tapi pas penggeledahan tiba-tiba aja ada barang itu. Terus waktu kita meriksa cctv semalam juga ga ada rekamannya, Non.”
Brisia tak mampu membendung emosinya lebih lama. Kepalan tangannya semakin kuat. Dengan nafas menggebu Brisia menyuruh semua pegawainya pergi sebelum mereka menjadi korban pelampiasan emosinya.
Satu persatu pegawainya pun meninggalkan Brisia sendiri, menatap bangunan restoran yang sudah menjadi rumah kedua baginya. Ponsel milik Brisia berdering, menyadarkan dirinya yang sejenak kalut dalam amarah.
“Hallo?” sapa Brisia tanpa mengetahui siapa yang menelponnya.
“Bagaimana? Sekarang kamu suka?”
Matanya kembali membulat ketika mendengar suara wanita tua di balik telepon. Kini ia menyadari pelaku sebenarnya, siapa lagi kalau bukan ibu tirinya yang selalu menghancurkan bisnis miliknya.
“Anda benar-benar keterlaluan!” bentak Brisia sambil mencengkram ponselnya. Rasanya seluruh emosi berada dikepalan tangannya. Andai saja wanita tua itu ada dihadapannya sekarang, mungkin dia sudah dibuat babak belur oleh Brisia.
“Aku kan sudah bilang, kalau aku akan menyiksamu sama seperti ibumu menyiksaku! Dan ini akan berlangsung terus seumur hidupmu.”
“Yang bener aja?! Dasar orang gila!” umpatnya, membuat wanita tua itu tertawa renyah.
Brisia memutuskan untuk mengakhiri percakapan tersebut. Matanya berkaca-kaca, menahan emosi dan amarah yang membuncah. Dia memukuli kap mobil sebagai sarana meluapkan emosi. Ia juga sudah muak dengan kelakuan ibu tirinya yang selalu mengekang dia, bahkan setelah Brisia dewasa keinginan ibu tirinya semakin rakus untuk menghancurkan hidup Brisia.
Salon, butik dan yang terakhir restoran yang sudah ditutup paksa adalah bukti penindasan Anne, ibu tirinya yang memegang kekuasaan penuh perusahaan Atmadja yang menggantikan sementara posisi ayahnya yang sedang sakit.
Brisia mengatur nafasnya, mencoba mengontrol emosi yang meluap. Rasa perih ditangan setelah memukuli kap mobil miliknya mulai menjalar, berdenyut dan panas seakan membakar kulit putih susu itu yang kini memar dan berwarna kemerahan.
Brisia memutuskan untuk kembali kedalam mobilnya, gadis dengan tinggi 168 cm itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan gontai. Di dalam mobil ia merapikan rambut bergelombang hitam kecokelatan yang menutupi punggungnya, mengikatnya dengan rapi dan menoleh ke spion, memastikan riasan sederhana wajah cantiknya baik-baik saja.
Setelah amarahnya mereda ia bersandar dibalik kemudi, memikirkan kenapa ibu tirinya begitu membenci dirinya? Dan hal apa yang ibu kandungnya lakukan sehingga membuat ibu tirinya merasa tersiksa dan selalu merasa tak puas membalas dendam meski sudah membuat ibu kandung Brisia koma. Apakah ibu tirinya akan menyiksanya seumur hidup sampai Brisia merasa hidupnya benar-benar hancur?
“Gimana caranya bebas dari wanita tua itu?” gumamnya.
Terlintas sebuah ide gila dari otak Brisia sehingga ia bergegas menuju suatu tempat, dimana ia bisa bertemu dengan orang yang sepadan dan bisa membantunya membalaskan dendamnya pada wanita tua itu.
Dia menepi di sisi jalan. Mengamati beberapa mobil yang keluar dari dua menara gedung besar milik Parson Group. Ketika sebuah mobil berwarna hitam metalik melintas dan dikawal dua mobil lainnya, Brisia melihat seorang pria duduk di kursi belakang, berambut hitam berpotongan gaya curtain rapi dengan sorot mata tegas menatap jalan.
Benar kata pepatah, musuhnya musuh adalah teman. Apa sekarang saatnya aku menunjukkan diriku dan membuat perjanjian denganmu, Mr.Parson?
***
Kejutan hari ini belum berakhir. Nyatanya Brisia tergesa-gesa ketika mendapat telepon dari rumah sakit. Dia beberapa kali menabrak orang lain ketika berlari di lorong bangunan bernuansa putih itu. Nafasnya tersengal ketika ia sampai dan membuka pintu kamar VVIP.“Bagaimana keadaannya?” tanyanya ketika melihat seorang dokter ditemani seorang perawat yang telah selesai melakukan pemeriksaan pada pasien.“Keadaannya mulai membaik setelah kami beberapa kali melakukan tindakan, Nona,” jawab dokter Garra, dokter yang sudah menangani ibu Brisia selama dua tahun terakhir.“Kenapa ibu saya bisa drop gini, Dok?” wajah khawatir terlihat jelas ketika Brisia sesekali melihat ibunya yang terbaring di ranjang.“Sepertinya karena anda mengirim bunga yang salah pagi ini, Nona.”“Mengirim bunga?” Brisia menaikkan sebelah alisnya, bingung karena pagi ini ia bahkan tak melakukan pengiriman apapun.&ldq
“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau mati, hm?!” suara baritone tiba-tiba terdengar membuat Brisia terperanjat, matanya membulat ketika melihat sosok kakak tirinya berdiri di ambang pintu.“Kak Jovan?!” pekik Brisia, tangannya meremas ujung bajunya. Ia takut kakaknya akan melakukan kekerasan padanya.“Ke-kenapa Kakak ada disini? Dan kenapa ga tekan bel dulu sih?” Brisia berusaha bersikap wajar, ia tak ingin rencana pembelotannya di ketahui kakak tirinya.Pria bernama Jovan itu hanya menyungingkan senyum seraya mendekati Brisia, “Memangnya aku perlu ijinmu untuk keluar masuk tempat ini? Lagipula aku cuma mau mengecek kondisimu. Mama lagi kesel, orang suruhannya kerja ga becus, padahal cuma buat ngikutin kamu doang,” jelas Jovan yang ikut duduk di sofa beludru di samping Brisia, sementara Brisia berusaha menggeser layar laptopnya agar email yang dihendak dikirim Brisia pada Parson Group tak diketahui Jovan.Jovan,
Theo menyeringai dan menyeruput susu strawberrynya setelah mendengar nada khawatir dari pertanyaan Angga.“Saya menerimanya, karena dia satu-satunya anak yang sengaja di sembunyikan keluarga Atmadja. Pasti ada alasan kuat kenapa mereka menyembunyikan identitas gadis itu, dan jika dia ada di tangan saya maka itu sebuah keuntungan bukan?”Angga mengernyitkan keningnya, entah mengapa Tuannya berfikir terlalu positif untuk hal sekrusial ini.“Tapi bagaimana kalau gadis itu adalah senjata Atmadja untuk menghancurkan kita?”Sebuah senyuman tulus tercetak di wajah tampan milik Theo ketika ia menatap pintu kafe, mengingat saat beberapa detik yang lalu gadis itu pergi dari tempatnya.“Hmm … saya ga yakin, lagipula orangtua saya juga sudah mendesak saya supaya cepet menikah dan punya keturunan, bukankah ini perjanjian yang saling menguntungkan?”Sementara itu, Brisia Atmadja selaku satu-satunya orang yang lan
Tepat hampir tengah malam Brisia sampai di gedung apartement sederhana miliknya. Begitu ia masuk matanya membulat ketika melihat sosok ibu tirinya yang sedang duduk di sofa.“Sudah selesai main peran jadi Cinderella-nya?” tanya Anne membuat Brisia menaikkan sebelah alisnya. Anne menghempaskan nafasnya dengan kasar karena ia tak mau lagi membuang-buang waktu.“Katakan padaku kenapa kamu berani melakukan itu?” tanya Anne menatap tajam gadis yang tengah berdiri di depannya, gadis yang sangat ia benci dalam hidupnya.“Karena aku ingin menikah,” jawab Brisia dengan enteng seolah mempermainkan lawan bicaranya.“Hah! Yang benar saja! Kamu fikir aku gak tahu apa yang ada di otakmu?! Gadis licik sepertimu ga mungkin ingin menikah tiba-tiba dengan orang macam itu! Apalagi Parson Group itu kompetitor terberat kita!”Emosi Anne mulai naik, bentakannya pada Brisia menggema sampai gadis itu memejamkan matanya sekej
Gila. Mungkin itu adalah kata yang tepat menggambarkan karakter Theo yang mudah membuat keputusan tapi selalu menepatinya. Seperti malam ini ketika Brisia menggandeng lengan Theo yang membawanya bertemu beberapa dewan direksi perusahaan Parson Group.Ini adalah kali pertama bagi Brisia menghadiri acara makan malam khusus para pebisnis hebat. Untungnya Brisia memiliki kepribadian supel hingga ia tak kesulitan beradaptasi dengan situasi seperti malam ini.“Hallo, maaf saya datang terlambat!”Brisia membeku ketika mendengar suara pria yang familiar di telinganya, sementara itu orang-orang menyambut kehadirannya dengan ramah.“Hai Pak Jonathan! Saya kira ga bakalan datang, padahal malam ini special banget loh Pak!”Mendengar Elios menyebut nama Jonathan membuat Brisia membulatkan matanya, ia bahkan sampai berhenti mengunyah potongan daging di dalam mulutnya.“Kenapa, El? Special apanya nih?” Jonathan nampak se
Lantunan music jazz berjudul The Two of Us milik Seawind menggema di ruang kerja Theo. Pria yang daritadi berkutat dengan beberapa dokumen di meja kerjanya ikut asyik bernyanyi seirama dengan lagu jadul yang terkenal ditahun 80-an.Sesekali, sambil memutar pena ditangannya Theo menyahuti lagu itu dengan suara merdunya. Tak bisa di pungkiri bahwa pria bersuara husky itu juga memiliki bakat dalam bernyanyi, bermain piano serta memainkan Saxophone.Mengingat kejadian tadi pagi saat ia berhasil mengerjai Brisia sampai wajah gadis itu memerah seperti kepiting rebus membuat Theo terus mengulang lagu-lagu Seawind selama tiga puluh menit terakhir.“Tuan, sepertinya mood anda sedang baik, ya?”“Apa sih, Angga?”Theo berdalih pada pria yang berdiri di ambang pintu. Sebenarnya Angga sudah mengetuk pintu daritadi untuk mendapatkan ijin masuk, tapi suara lagu jazz membuat Theo menghiraukan ketukan pintu dari Angga.Theo menekan se
"Bebas dari tempat wanita tua itu, aku malah terkurung disini! Ah, sial!" umpat Brisia ketika melihat pantulan dirinya di jendela. Brisia memandangi senja dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat karena perutnya tak terisi apapun sejak pagi. Setelah Theo pergi siang tadi, ia hanya duduk di sofa, memeluk kedua kakinya sambil menatap langit dengan berbagai pikiran negatif silih berganti. “Gimana kabar ibu, ya? Gimana caranya aku bisa keluar dari sini? Kalau aku buat ruangan ini kebakaran, apa pemadam kebakaran bisa nyelametin aku?” gumamnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, merasa sesuatu yang basah di sofa membuat Brisia menoleh. “Ah… sial!” keluhnya ketika melihat noda darah disana. Dia sampai lupa bahwa siklus bulanannya mulai hari ini. Tak betah dengan dirinya yang kotor, Brisia memutuskan mandi, membersihkan dirinya sebersih mungkin. Tapi satu hal yang membuatnya kebingungan kali ini, “Si Tuan Muda Parson itu … ga punya pakaian dalam wanita apa ya?
Malu rasanya ketika membelikan pembalut dan pakaian dalam wanita sampai hujan-hujanan dan terpegoki ibu sendiri. Theo yang berada di posisi itu hanya mampu pasrah dan bersikap tenang agar ia tak gegabah.“Sial, kenapa Mama malah berkunjung sekarang?” keluh Theo sambil membilas diri dan memakai pakaian hangat, setelah ini ia harus segera menemui Mamanya dan menjelaskan keberadaan Brisia dengan benar.“Kamu mencintai gadis itu? Sungguh?” suara sopran wanita paruh baya dihadapannya mengintrogasi setelah Theo berhasil menyelesaikan penjelasannya tentang dia dan Brisia.Theo berdehem, berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan Mamanya dengan baik, “Menurut Mama?”“Coba kamu ceritakan sekali lagi,” pinta Nyonya Vivian dengan suara lembut membuat anak tunggalnya tersenyum kecut.Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras, bahkan kini sudah hampir larut malam. Nyonya Vivian duduk di sofa ruang tamu,