Brisia Atmadja memang sudah kehilangan akal. Demi mendapatkan "kebebasan" tanpa ragu dia menawarkan diri kepada Tuan Parson untuk memperistrinya. Ya, Theodore Maxmillian Parson, calon pewaris keluarga Parson yang merupakan saingan terbesar keluarga Atmadja. Seorang pria yang terkenal dingin dan oportunis, untuknya segala sesuatu hanya dilihat berdasarkan keuntungan bisnis. Ketika Tuan Parson setuju untuk memperistrinya, keyakinan Brisia perlahan luntur. Mampukan dia mendapatkan "kebebasan" yang menjadi tujuannya atau dia hanya berpindah dari satu sangkar emas ke sangkar emas lainnya?
view more“Nona! Nona Brisia!”
Seorang gadis turun dari mobil. Dia membanting pintu mobil dan membuka kacamata hitamnya. Matanya terbelalak melihat bangunan restoran miliknya telah di kelilingi garis kuning pertanda penyegelan.
Sial! Kali ini apalagi?!
Raut wajahnya terlihat panik, namun ia berusaha agar tetap terlihat tenang dihadapan para pegawai yang berhamburan mengerubunginya seolah meminta pertolongan.
“Ada apa ini?!” dia mengedarkan tatapan penuh tanya, menatap secara acak wajah para pegawai dihadapannya, berharap salah satu dari mereka ada yang buka suara.
“Citra! Tadi kamu yang nelpon saya ‘kan? Bisa jelasin kenapa restoran kita ditutup paksa kaya gini??”
Dengan tergagap, perempuan mungil yang masih mengenakan apron cokelat itu berusaha menjelaskan, “A-anu, Non … Ta-tadi pagi waktu kami mau buka restoran, ada beberapa orang yang mengaku polisi datang, terus nunjukin surat perintah gitu buat ngelakuin penggeledahan. Te-terus …,”
“Terus??” sahut Brisia, keningnya berkerut merasa ada hal yang janggal ketika Citra menggantungkan kalimatnya.
“Te-terus mereka nemuin miras illegal di gudang bahan baku, Non!” sambung Citra yang sukses membuat kedua mata Brisia membulat.
“Apa?!” pekik Brisia, sontak membuat para pegawainya menunduk ketakutan tak berani menatap wajah bosnya yang tengah diradang amarah.
Brisia tak habis fikir bagaimana bisa ada benda seperti itu di restoran miliknya, meski pun mengusung nuansa western, tapi ia tak pernah menjual minuman seperti itu. Tak puas dengan penuturan salah satu waitress miliknya, kini ia menghardik seorang pria yang berdiri tak jauh darinya.
“Bagas! Kamu ketua chef disini, jelaskan kenapa ada benda seperti itu di gudang!” pinta Brisia dengan nada penuh penekanan.
“Sa-saya juga ga tahu Non, padahal semalam kita sudah menutup semua akses keluar masuk dengan rapi, tapi pas penggeledahan tiba-tiba aja ada barang itu. Terus waktu kita meriksa cctv semalam juga ga ada rekamannya, Non.”
Brisia tak mampu membendung emosinya lebih lama. Kepalan tangannya semakin kuat. Dengan nafas menggebu Brisia menyuruh semua pegawainya pergi sebelum mereka menjadi korban pelampiasan emosinya.
Satu persatu pegawainya pun meninggalkan Brisia sendiri, menatap bangunan restoran yang sudah menjadi rumah kedua baginya. Ponsel milik Brisia berdering, menyadarkan dirinya yang sejenak kalut dalam amarah.
“Hallo?” sapa Brisia tanpa mengetahui siapa yang menelponnya.
“Bagaimana? Sekarang kamu suka?”
Matanya kembali membulat ketika mendengar suara wanita tua di balik telepon. Kini ia menyadari pelaku sebenarnya, siapa lagi kalau bukan ibu tirinya yang selalu menghancurkan bisnis miliknya.
“Anda benar-benar keterlaluan!” bentak Brisia sambil mencengkram ponselnya. Rasanya seluruh emosi berada dikepalan tangannya. Andai saja wanita tua itu ada dihadapannya sekarang, mungkin dia sudah dibuat babak belur oleh Brisia.
“Aku kan sudah bilang, kalau aku akan menyiksamu sama seperti ibumu menyiksaku! Dan ini akan berlangsung terus seumur hidupmu.”
“Yang bener aja?! Dasar orang gila!” umpatnya, membuat wanita tua itu tertawa renyah.
Brisia memutuskan untuk mengakhiri percakapan tersebut. Matanya berkaca-kaca, menahan emosi dan amarah yang membuncah. Dia memukuli kap mobil sebagai sarana meluapkan emosi. Ia juga sudah muak dengan kelakuan ibu tirinya yang selalu mengekang dia, bahkan setelah Brisia dewasa keinginan ibu tirinya semakin rakus untuk menghancurkan hidup Brisia.
Salon, butik dan yang terakhir restoran yang sudah ditutup paksa adalah bukti penindasan Anne, ibu tirinya yang memegang kekuasaan penuh perusahaan Atmadja yang menggantikan sementara posisi ayahnya yang sedang sakit.
Brisia mengatur nafasnya, mencoba mengontrol emosi yang meluap. Rasa perih ditangan setelah memukuli kap mobil miliknya mulai menjalar, berdenyut dan panas seakan membakar kulit putih susu itu yang kini memar dan berwarna kemerahan.
Brisia memutuskan untuk kembali kedalam mobilnya, gadis dengan tinggi 168 cm itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan gontai. Di dalam mobil ia merapikan rambut bergelombang hitam kecokelatan yang menutupi punggungnya, mengikatnya dengan rapi dan menoleh ke spion, memastikan riasan sederhana wajah cantiknya baik-baik saja.
Setelah amarahnya mereda ia bersandar dibalik kemudi, memikirkan kenapa ibu tirinya begitu membenci dirinya? Dan hal apa yang ibu kandungnya lakukan sehingga membuat ibu tirinya merasa tersiksa dan selalu merasa tak puas membalas dendam meski sudah membuat ibu kandung Brisia koma. Apakah ibu tirinya akan menyiksanya seumur hidup sampai Brisia merasa hidupnya benar-benar hancur?
“Gimana caranya bebas dari wanita tua itu?” gumamnya.
Terlintas sebuah ide gila dari otak Brisia sehingga ia bergegas menuju suatu tempat, dimana ia bisa bertemu dengan orang yang sepadan dan bisa membantunya membalaskan dendamnya pada wanita tua itu.
Dia menepi di sisi jalan. Mengamati beberapa mobil yang keluar dari dua menara gedung besar milik Parson Group. Ketika sebuah mobil berwarna hitam metalik melintas dan dikawal dua mobil lainnya, Brisia melihat seorang pria duduk di kursi belakang, berambut hitam berpotongan gaya curtain rapi dengan sorot mata tegas menatap jalan.
Benar kata pepatah, musuhnya musuh adalah teman. Apa sekarang saatnya aku menunjukkan diriku dan membuat perjanjian denganmu, Mr.Parson?
***
“Aku hamil ….”Dengan tangan gemetar wanita itu menunjukkan tiga buah alat tes kehamilan yang sudah ia gunakan beberapa hari terakhir. Hasilnya? Tetap sama, dua garis merah tercetak jelas pertanda bahwa ada nyawa lain yang bersemayam dalam tubuh kecil miliknya.Layaknya pasangan lain, pria itu tersenyum tetapi bukan sneyum tulus maupun senyum bahagia, senyuman yang dibingkai dengan lesung pipi itu menunjukkan rasa puas karena aksi liciknya akan segera dimulai.“Kamu mau cek ke dokter, atau langsung kerumah barumu?” tawar pria bersuara baritone lembut, sementara gadis dihadapannya tetap bergeming.Tak!Pria itu melempar sebuah kartu creadit, menghempas keras pada paha gadisnya, seraya bangkit dan membenarkan jasnya dia berujar,“Sesuai kesepakatan kita, itu bayaranmu dan mulai sekarang pergilah pada kekasihmu, nikmatilah hidup mewah serta tempat yang seharusnya menjadi milikmu, kamu sudah menantinya, bukan
“Elena hamil? Kamu serius?”Mata tajam Theo menatap lekat manik cokelat milik Brisia, semenjak Theo menjemputnya dengan mobil sport miliknya, Brisia tak tahan lagi untuk berbagi informasi dengan suaminya.“Tapi Elena ga mau bilang usia kehamilannya, tapi sepertinya sudah menginjak bulan ketiga, melihat perutnya yang mulai membuncit. Bagi super model sekelas Elena, tentu saja dia akan menjaga bentuk tubuh, bukan?”Theo tak menanggapi, ia hanya fokus pada jalanan yang ada di hadapannya tetapi pikirannya kini menjadi bercabang.Apa benar anak yang dikandung Elena milik Elios? Apakah ini salah satu alasan kuat mengapa mereka menikah dengan cepat? Jika memang itu benar-benar anak Elios, keturunan parson generasi ke empat, maka akan mengancam posisi itu! Ck, dasar Elios si bedebah!***Senyum Brisia merekah saat Theo membawanya pulang ke apartement milik Theo, tempat yang mengurung Brisia sebelum ia sah menjadi ist
Sebuah pesawat maskapai ternama akhirnya tiba di negara tujuan. Sinar matahari yang terik seperti membakar lapisan kulit Brisia yang seputih susu. Syukurlah kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dapat menyelamatkan kedua mata indahnya dari teriknya intensitas cahaya yang ia terima.Sebuah mobil classic Roll Royce Sweptail kepunyaan Theo telah bertengger, salah satu pintunya terbuka dengan seorang pengawal berdiri di sisinya, siap untuk mengantar Tuannya kembali ke kediaman mereka.Dingin dan hening, inilah hal yang membuat Theo nyaman. Kedua mata tajam itu terpejam untuk sesaat, membuang rasa lelah selama di perjalanan atau sekedar mempersiapkan diri untuk sesuatu hal yang baru.“Theo, hp-mu sepertinya ada panggilan masuk!” ujar Brisia, suara sopran itu mengusiknya. Theo tahu ada panggilan masuk ke ponselnya, ia berusaha tak mempedulikannya tetapi Brisia malah menyadarkannya.Diambilnya benda persegi panjang pipih itu dari saku celana, s
Dia mau apa sih? Dia mau cium? Di tengah kerumunan kaya gini? Apa Brisia gak waras?Pertanyaan Theo terjawab detik berikutnya saat Brisia mendekatkan mulutnya ke daun telinga Theo.“Aku haus!” jawab Brisia, ia menarik diri sembari menunjukkan senyum tiga jari.“Jadi?” Theo seolah tak peka dengan permintaan istrinya, dia mulai kesal karena kegerahan dan merasa sumpek berada di tengah keramaian, belum lagi tingkah aneh istrinya yang hampir saja membuat dia salah tingkah.“Kamu tunggu di sini, aku mau beli minum sebentar!” ucap Brisia seraya berdiri.Secepat kilat Theo menyambar tangan Brisia, membuat gadis itu tertahan dan menoleh ke arahnya. “Apa?”“Kamu tunggu di sini, saya saja yang beli. Ingat, jangan kemana-mana sampai saya kembali!” titah Theo seraya bangkit dan meninggalkan Brisia.Kedua mata Brisia masih saja mengekor pria itu, sampai Theo berada di sebuah boot
“Hwaaa …!”Teriakan Brisia seolah mewakili seluruh kepenatan yang ia timbun selama ini. Kedua tangannya diangkat keatas, sesekali matanya terpejam saat roller coaster yang dia naiki menukik tajam. Sementara beberapa helai rambut miliknya melambai-lambai mengganggu wajah tampan seorang Theodore, memasang wajah datar tanpa ekspresi ketakutan atau antusias seperti pengunjung lain. Bagi Theo, tugasnya adalah mendampingi dan menjaga Brisia, suami yang harus rela bersabar mengikuti semua keinginan sang istri untuk mencoba hampir seluruh wahana di taman hiburan.Padahal satu jam yang lalu ketika insiden rambut Brisia menyangkut di kancing celana Theo tepat saat itu pula kedua orangtuanya melakukan video call, panik? Tentu saja! Tapi bukan Theo namanya jika tak pandai mengontrol ekspresi dan berkilah. Dengan mengorbankan memotong rambut Brisia agar rambut istrinya bisa terlepas dari lilitan kancing celana Theo, kini wanita itu terkesan imut karena memiliki p
Malam masih panjang, tetapi seorang gadis masih terjaga. Dia tak bisa terlelap sedikit pun, yang mampu ia lakukan kali ini hanya duduk di pembaringan, menatap kosong langit kelam yang membentang di balik jendela dan sesekali menoleh pada pria yang terlelap di sampingnya. Tidur dengan nyenyak tanpa busana, hanya selimut tebal tanpa corak yang menutupi tubuh mereka.Pergolakan hati gadis itu semakin menjadi-jadi, diambilnya sebuah ponsel butut dan mengirimi pesan tak henti pada seseorang, mencoba mencari pelampiasan tapi orang yang ia hubungi tak pernah meresponnya, tentu saja hal itu semakin membuat gadis berpipi tembam itu kecewa. Bulir-bulir bening dari kedua mata sipitnya semakin lama semakin deras, ia hanya mampu menggigit bagian selimut untuk menyembunyikan isak tangisnya.Kak Theo, aku mohon selamatkan aku!***QiqiLand Hotel.Suara pengering rambut terdengar dari bilik kamar mandi, Theo tahu betul bahwa istrinya sudah hampir selesai
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments