Share

Bab 2

Kejutan hari ini belum berakhir. Nyatanya Brisia tergesa-gesa ketika mendapat telepon dari rumah sakit. Dia beberapa kali menabrak orang lain ketika berlari di lorong bangunan bernuansa putih itu. Nafasnya tersengal ketika ia sampai dan membuka pintu kamar VVIP.

“Bagaimana keadaannya?” tanyanya ketika melihat seorang dokter ditemani seorang perawat yang telah selesai melakukan pemeriksaan pada pasien.

“Keadaannya mulai membaik setelah kami beberapa kali melakukan tindakan, Nona,” jawab dokter Garra, dokter yang sudah menangani ibu Brisia selama dua tahun terakhir.

“Kenapa ibu saya bisa drop gini, Dok?” wajah khawatir terlihat jelas ketika Brisia sesekali melihat ibunya yang terbaring di ranjang.

“Sepertinya karena anda mengirim bunga yang salah pagi ini, Nona.”

“Mengirim bunga?” Brisia menaikkan sebelah alisnya, bingung karena pagi ini ia bahkan tak melakukan pengiriman apapun.

“Iya, tadi pagi ada kurir yang mengirimkan bunga ini untuk Nyonya Bianca. Lihat? Setelah saya perhatikan ternyata ini adalah bunga Aconitum atau sebagian orang awam menyebutnya bunga wolfsbane.” Dokter Garra memperlihatkan layar ponselnya, menunjukkan sebuah foto bunga cantik berwarna ungu pada Brisia.

“Apa itu? Apa bunga itu berbahaya, dokter?”

“Ketika seseorang menghirupnya apalagi dengan kondisi tubuh lemah, bunga ini bisa meracuni orang tersebut. Bahkan orang sehat saja yang terbiasa menghirup aroma bunga ini pun lambat laut akan mengalami kerusakan syaraf, kebutaan bahkan menyebabkan kematian.”

Penjelasan dari dokter Garra membuat Brisia terkejut, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat dan khawatir. Ia seperti mengingat suatu hal penting yang ada di rumahnya sekarang.

“Nona, apa anda baik-baik saja?”

Mata Brisia bergerak-gerik tak tentu arah. Kini ia mengkhawatirkan seseorang yang berada di rumahnya.

“Dokter Garra, saya harus pulang sebentar. Apa Dokter bisa menjaga ibu saya?”

“Tentu,” jawab dokter Garra sambil tersenyum.

Brisia segera meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan ia mengumpat dan mengutuk wanita ular yang sayangnya adalah ibu tirinya.

***

Tak butuh waktu lama bagi Brisia untuk sampai ke ruang kerja milik papanya. Dia menekan beberapa nomor agar pintu ruang kerja itu terbuka, dia kesana untuk memastikan sesuatu.

Syukurlah wanita itu belum mengganti kode sandinya

Dengan seksama Brisia mengamati keadaan sekitar lalu perlahan menyelinap masuk ke ruang kerja tersebut.

Begitu pintu terbuka, dia tertegun. Ruang kerja ini sangat bersih dan rapi berbeda dengan ruang kerja milik papanya lima tahun yang lalu ketika pria tua itu masih sehat dan bisa menjalankan bisnis perusahaan dengan baik. Dulu Brisia ingat betul ruangan ini di penuhi bunga-bunga wolfsbane sama seperti foto bunga yang ditunjukkan dokter Garra.

 Tapi setelah kondisi papanya memburuk, dan ruang kerja ini ditempati ibu tirinya, tak ada satu pun bunga wolfsbane disana.

Kurang ajar! Wanita itu memang sengaja meracuni papa dari dulu!

Brisia mengedarkan tatapannya dan menemukan sebuah benda kecil yang menarik perhatiannya. Dia mendekati sebuah lemari di belakang meja kerja berbahan kayu jati yang kokoh dan besar, disana ia menemukan sebuah flashdisk bertuliskan PARSON GROUP.

“Apa ini …?”

***

Semua orang disini palsu, semuanya dibawah kekuasaan wanita itu. Dasar wanita kejam!

Brisia bersembunyi, berusaha agar tidak berpas-pasan dengan para pelayan yang bekerja di rumah keluarga Atmadja. Memang sebuah kenyataan pahit bagi Brisia yang satu-satunya anak tiri dari Renand Atmadja. Dari kecil hidupnya di kucilkan di rumah ini, tapi setelah dewasa dia diusir oleh ibu tirinya.

Semenjak wanita ular itu mengambil alih kekuasaan, ia tak segan mengancam keselamatan nyawa ibu kandung Brisia, menjadikannya bahan ancaman agar Brisia tutup mulut dan tak menbocorkan identitasnya sebagai anak tirinya. Baginya sosok Brisia yang hidup dengan status seperti itu adalah aib, perusak kehormatan keluarga Atmadja. Membuat bisnis Brisia bangkrut pun adalah alasan wanita itu agar Brisia tak memiliki uang untuk biaya perawatan ibu kandungnya. Jika Brisia tak punya uang, tentu Brisia akan bergantung padanya, dan selama Brisia bergantung padanya, selama itu pula wanita keji itu bisa mengatur dan mempermainkan hidup Brisia.

Brisia menggelengkan kepalanya, mencoba fokus dan lebih berhati-hati untuk menyelinap ke kamar utama. Perlahan Brisia membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

“Papa …,” panggil Brisia dengan lirih ketika seorang pria tua dengan rambut penuh uban duduk di kasurnya, menatap kosong ke luar jendela.

“Papa!” panggil Brisia kini lebih keras, membuat pria itu menoleh.

“Siapa itu? Apa itu kamu Jessy? Ma-masuklah, Papa ga bisa liat kamu padahal sudah pakai kacamata!” suara parau itu terdengar ramah ketika ia mengira yang datang adalah putrinya yang bernama Jessy.

Perlahan Brisia memasuki kamar milik papanya. Hatinya berkecamuk antara sedih, kecewa dan marah melihat berbagai macam bentuk dan ukuran bunga beracun itu tersebar dimana-mana memenuhi ruang kamar, belum lagi udara kamar ini begitu lembab dan menyesakkan.

Ibu tirinya memang sudah gila, dia sengaja memindahkan bunga beracun itu ke kamar setelah suaminya tak bisa memakai ruang kerjanya lagi.

Brisia berdiri di samping papanya dan menatap wajah pria berkarakter tegas itu dalam diam. Brisia menyadari bahwa papanya sudah tua, terbukti dari warna rambut serta keriput yang membungkus kulitnya.

“Papa ini aku,” ucap Brisia perlahan, terlihat ekspresi kaget Tuan Renand Atmadja ketika mendengar suara putri yang selalu di kucilkan di keluarganya.

“Kenapa kamu ada disini? Seharusnya kamu ga boleh masuk kesini! Berani-beraninya kamu masuk ke kamarku!” bentak Tuan Renand tanpa menatap putrinya, kini nada ramah itu berubah menjadi kasar ketika mengetahui gadis yang datang bukanlah putrinya yang dia inginkan.

“Papa ayo pergi dari sini!” pinta Brisia dengan canggung, dia memang tak dekat dengan papanya, berbeda dengan dua saudara tirinya.

“Kurang ajar, siapa kamu seenaknya saja nyuruh aku pergi dari sini?!” Tuan Renand berusaha meraih tongkat kayu berkepala naga miliknya yang senantiasa membantunya berjalan.

“Papa harus pergi dari sini, kalau enggak papa akan mati! Wanita itu sudah meracuni Papa bertahun-tahun!”

“Dasar anak Bengal! Berani-beraninya kamu berteriak?! Pergi kamu dari sini, pergi!” titah Tuan Renand yang telah berdiri dan berusaha mendorong Brisia dengan kedua tangannya yang lemah.

Mata Brisia berkaca-kaca melihat Papanya yang dulu gagah kini menjadi lemah dan kesulitan, semua itu karena ulah ibu tirinya. Apalagi ketika Brisia memperhatikan dengan seksama bola mata cokelat milik papanya seakan terlapis selaput berwarna abu. Mungkinkah itu adalah efek dari bunga wolfsbane yang mengganggu pernglihatan Papanya? Pantas saja saat tadi Brisia berdiri di ambang pintu pria itu tidak bisa mengenalinya dengan baik.

“Aku tahu Papa benci aku, tapi biarkan aku membalas kebaikan Papa yang sudah menghidupiku sampai sekarang! Biarkan aku membantu Papa!” Brisia mulai terisak, bulir-bulir airmata membuat jalur di pipinya membuat Tuan Renand terdiam.

Mata cokelat itu mulai menatap sayu wajah putrinya. Tuan Renand merasa sesuatu yang hangat terselubung di hatinya, ia merasa tersentuh oleh perhatian putrinya yang selama ini tak pernah ia hiraukan. Ingin rasanya Tuan Renand memeluk sosok anak yang berdiri di hadapannya, meminta maaf atas semua perlakuan buruknya dan pergi bersama putrinya dari rumah ini. Namun sifat egois dan gengsi Tuan Renand kembali mendominasi, dia berbalik menyembunyikan airmata yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Mengontrol emosi dan memilih untuk kembali duduk di kasur sambil memunggungi Brisia.

“Aku tahu apa yang terjadi padaku, tapi aku tidak mau meninggalkan tempat ini karena itu artinya sama saja bahwa aku mengakui kekalahanku pada wanita itu,” ucap Tuan Renand dengan lirih.

Brisia mengernyitkan keningnya, sepertinya Papanya memang sudah mengetahui kebusukan istrinya itu namun pria tua yang dikenal keras kepala itu seakan memiliki cara tersendiri untuk bertahan dari istrinya yang pandai memanipulasi keadaan.

“Tapi Pa, kalau Papa terlalu lama disini, akan semakin membahayakan nyawa Papa!”

“Sudahlah! kalau kamu memang mau balas budi, selamatkan saja dirimu dan kembali jika sudah punya kekuatan.”

Brisia tak bisa memaksa papanya lebih jauh lagi. Dia tahu betul kalau papanya adalah orang yang keras kepala. Brisia memutuskan untuk kembali ke apartementnya sambil mengendarai mobil dengan perasaan hampa. Tatapannya kosong. Seakan segala hal yang berkaitan dengannya satu persatu di musnahkan oleh ibu tirinya.

Setibanya di apartement, ia merebahkan diri di sofa. Fikirannya kacau memikirkan perbuatan ibu tirinya yang benar-benar kejam. Brisia teringat ucapan papanya untuk kembali kerumah itu jika dia sudah punya kekuatan, tapi darimana dia bisa mendapatkan itu? Biaya pengobatan ibu kandungnya saja ia harus memohon belas kasih wanita keji itu. Rumah tak punya, mobil pun hanya mobil bekas yang sudah tua, kalau dijual pun tak seberapa. Bisnisnya hancur, tak ada lagi sumber pendapatan.

Brisia melempar tasnya hingga sebuah benda jatuh ke lantai. Ia memungut falshdisk yang sempat ia curi di ruang kerja milik ibu tirinya. Seolah mendapat pencerahan, Brisia segera menyambungkan flashdisk itu dengan laptopnya. Melihat isi file dari flashdisk untuk menghancurkan Parson Group. Tanpa ragu Brisia mulai menjalankan rencananya, ia memilih membelot dari keluarga Atmadja dan meminta bantuan pada rival keluarganya.

Belum sempat jarinya menekan tombol kirim agar emailnya tersampaikan, seseorang memergoki dirinya dan mencegahnya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau mati, hm?!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status