Kejutan hari ini belum berakhir. Nyatanya Brisia tergesa-gesa ketika mendapat telepon dari rumah sakit. Dia beberapa kali menabrak orang lain ketika berlari di lorong bangunan bernuansa putih itu. Nafasnya tersengal ketika ia sampai dan membuka pintu kamar VVIP.
“Bagaimana keadaannya?” tanyanya ketika melihat seorang dokter ditemani seorang perawat yang telah selesai melakukan pemeriksaan pada pasien.
“Keadaannya mulai membaik setelah kami beberapa kali melakukan tindakan, Nona,” jawab dokter Garra, dokter yang sudah menangani ibu Brisia selama dua tahun terakhir.
“Kenapa ibu saya bisa drop gini, Dok?” wajah khawatir terlihat jelas ketika Brisia sesekali melihat ibunya yang terbaring di ranjang.
“Sepertinya karena anda mengirim bunga yang salah pagi ini, Nona.”
“Mengirim bunga?” Brisia menaikkan sebelah alisnya, bingung karena pagi ini ia bahkan tak melakukan pengiriman apapun.
“Iya, tadi pagi ada kurir yang mengirimkan bunga ini untuk Nyonya Bianca. Lihat? Setelah saya perhatikan ternyata ini adalah bunga Aconitum atau sebagian orang awam menyebutnya bunga wolfsbane.” Dokter Garra memperlihatkan layar ponselnya, menunjukkan sebuah foto bunga cantik berwarna ungu pada Brisia.
“Apa itu? Apa bunga itu berbahaya, dokter?”
“Ketika seseorang menghirupnya apalagi dengan kondisi tubuh lemah, bunga ini bisa meracuni orang tersebut. Bahkan orang sehat saja yang terbiasa menghirup aroma bunga ini pun lambat laut akan mengalami kerusakan syaraf, kebutaan bahkan menyebabkan kematian.”
Penjelasan dari dokter Garra membuat Brisia terkejut, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat dan khawatir. Ia seperti mengingat suatu hal penting yang ada di rumahnya sekarang.
“Nona, apa anda baik-baik saja?”
Mata Brisia bergerak-gerik tak tentu arah. Kini ia mengkhawatirkan seseorang yang berada di rumahnya.
“Dokter Garra, saya harus pulang sebentar. Apa Dokter bisa menjaga ibu saya?”
“Tentu,” jawab dokter Garra sambil tersenyum.
Brisia segera meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan ia mengumpat dan mengutuk wanita ular yang sayangnya adalah ibu tirinya.
***
Tak butuh waktu lama bagi Brisia untuk sampai ke ruang kerja milik papanya. Dia menekan beberapa nomor agar pintu ruang kerja itu terbuka, dia kesana untuk memastikan sesuatu.
Syukurlah wanita itu belum mengganti kode sandinya
Dengan seksama Brisia mengamati keadaan sekitar lalu perlahan menyelinap masuk ke ruang kerja tersebut.
Begitu pintu terbuka, dia tertegun. Ruang kerja ini sangat bersih dan rapi berbeda dengan ruang kerja milik papanya lima tahun yang lalu ketika pria tua itu masih sehat dan bisa menjalankan bisnis perusahaan dengan baik. Dulu Brisia ingat betul ruangan ini di penuhi bunga-bunga wolfsbane sama seperti foto bunga yang ditunjukkan dokter Garra.
Tapi setelah kondisi papanya memburuk, dan ruang kerja ini ditempati ibu tirinya, tak ada satu pun bunga wolfsbane disana.
Kurang ajar! Wanita itu memang sengaja meracuni papa dari dulu!
Brisia mengedarkan tatapannya dan menemukan sebuah benda kecil yang menarik perhatiannya. Dia mendekati sebuah lemari di belakang meja kerja berbahan kayu jati yang kokoh dan besar, disana ia menemukan sebuah flashdisk bertuliskan PARSON GROUP.
“Apa ini …?”
***
Semua orang disini palsu, semuanya dibawah kekuasaan wanita itu. Dasar wanita kejam!
Brisia bersembunyi, berusaha agar tidak berpas-pasan dengan para pelayan yang bekerja di rumah keluarga Atmadja. Memang sebuah kenyataan pahit bagi Brisia yang satu-satunya anak tiri dari Renand Atmadja. Dari kecil hidupnya di kucilkan di rumah ini, tapi setelah dewasa dia diusir oleh ibu tirinya.
Semenjak wanita ular itu mengambil alih kekuasaan, ia tak segan mengancam keselamatan nyawa ibu kandung Brisia, menjadikannya bahan ancaman agar Brisia tutup mulut dan tak menbocorkan identitasnya sebagai anak tirinya. Baginya sosok Brisia yang hidup dengan status seperti itu adalah aib, perusak kehormatan keluarga Atmadja. Membuat bisnis Brisia bangkrut pun adalah alasan wanita itu agar Brisia tak memiliki uang untuk biaya perawatan ibu kandungnya. Jika Brisia tak punya uang, tentu Brisia akan bergantung padanya, dan selama Brisia bergantung padanya, selama itu pula wanita keji itu bisa mengatur dan mempermainkan hidup Brisia.
Brisia menggelengkan kepalanya, mencoba fokus dan lebih berhati-hati untuk menyelinap ke kamar utama. Perlahan Brisia membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
“Papa …,” panggil Brisia dengan lirih ketika seorang pria tua dengan rambut penuh uban duduk di kasurnya, menatap kosong ke luar jendela.
“Papa!” panggil Brisia kini lebih keras, membuat pria itu menoleh.
“Siapa itu? Apa itu kamu Jessy? Ma-masuklah, Papa ga bisa liat kamu padahal sudah pakai kacamata!” suara parau itu terdengar ramah ketika ia mengira yang datang adalah putrinya yang bernama Jessy.
Perlahan Brisia memasuki kamar milik papanya. Hatinya berkecamuk antara sedih, kecewa dan marah melihat berbagai macam bentuk dan ukuran bunga beracun itu tersebar dimana-mana memenuhi ruang kamar, belum lagi udara kamar ini begitu lembab dan menyesakkan.
Ibu tirinya memang sudah gila, dia sengaja memindahkan bunga beracun itu ke kamar setelah suaminya tak bisa memakai ruang kerjanya lagi.
Brisia berdiri di samping papanya dan menatap wajah pria berkarakter tegas itu dalam diam. Brisia menyadari bahwa papanya sudah tua, terbukti dari warna rambut serta keriput yang membungkus kulitnya.
“Papa ini aku,” ucap Brisia perlahan, terlihat ekspresi kaget Tuan Renand Atmadja ketika mendengar suara putri yang selalu di kucilkan di keluarganya.
“Kenapa kamu ada disini? Seharusnya kamu ga boleh masuk kesini! Berani-beraninya kamu masuk ke kamarku!” bentak Tuan Renand tanpa menatap putrinya, kini nada ramah itu berubah menjadi kasar ketika mengetahui gadis yang datang bukanlah putrinya yang dia inginkan.
“Papa ayo pergi dari sini!” pinta Brisia dengan canggung, dia memang tak dekat dengan papanya, berbeda dengan dua saudara tirinya.
“Kurang ajar, siapa kamu seenaknya saja nyuruh aku pergi dari sini?!” Tuan Renand berusaha meraih tongkat kayu berkepala naga miliknya yang senantiasa membantunya berjalan.
“Papa harus pergi dari sini, kalau enggak papa akan mati! Wanita itu sudah meracuni Papa bertahun-tahun!”
“Dasar anak Bengal! Berani-beraninya kamu berteriak?! Pergi kamu dari sini, pergi!” titah Tuan Renand yang telah berdiri dan berusaha mendorong Brisia dengan kedua tangannya yang lemah.
Mata Brisia berkaca-kaca melihat Papanya yang dulu gagah kini menjadi lemah dan kesulitan, semua itu karena ulah ibu tirinya. Apalagi ketika Brisia memperhatikan dengan seksama bola mata cokelat milik papanya seakan terlapis selaput berwarna abu. Mungkinkah itu adalah efek dari bunga wolfsbane yang mengganggu pernglihatan Papanya? Pantas saja saat tadi Brisia berdiri di ambang pintu pria itu tidak bisa mengenalinya dengan baik.
“Aku tahu Papa benci aku, tapi biarkan aku membalas kebaikan Papa yang sudah menghidupiku sampai sekarang! Biarkan aku membantu Papa!” Brisia mulai terisak, bulir-bulir airmata membuat jalur di pipinya membuat Tuan Renand terdiam.
Mata cokelat itu mulai menatap sayu wajah putrinya. Tuan Renand merasa sesuatu yang hangat terselubung di hatinya, ia merasa tersentuh oleh perhatian putrinya yang selama ini tak pernah ia hiraukan. Ingin rasanya Tuan Renand memeluk sosok anak yang berdiri di hadapannya, meminta maaf atas semua perlakuan buruknya dan pergi bersama putrinya dari rumah ini. Namun sifat egois dan gengsi Tuan Renand kembali mendominasi, dia berbalik menyembunyikan airmata yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Mengontrol emosi dan memilih untuk kembali duduk di kasur sambil memunggungi Brisia.
“Aku tahu apa yang terjadi padaku, tapi aku tidak mau meninggalkan tempat ini karena itu artinya sama saja bahwa aku mengakui kekalahanku pada wanita itu,” ucap Tuan Renand dengan lirih.
Brisia mengernyitkan keningnya, sepertinya Papanya memang sudah mengetahui kebusukan istrinya itu namun pria tua yang dikenal keras kepala itu seakan memiliki cara tersendiri untuk bertahan dari istrinya yang pandai memanipulasi keadaan.
“Tapi Pa, kalau Papa terlalu lama disini, akan semakin membahayakan nyawa Papa!”
“Sudahlah! kalau kamu memang mau balas budi, selamatkan saja dirimu dan kembali jika sudah punya kekuatan.”
Brisia tak bisa memaksa papanya lebih jauh lagi. Dia tahu betul kalau papanya adalah orang yang keras kepala. Brisia memutuskan untuk kembali ke apartementnya sambil mengendarai mobil dengan perasaan hampa. Tatapannya kosong. Seakan segala hal yang berkaitan dengannya satu persatu di musnahkan oleh ibu tirinya.
Setibanya di apartement, ia merebahkan diri di sofa. Fikirannya kacau memikirkan perbuatan ibu tirinya yang benar-benar kejam. Brisia teringat ucapan papanya untuk kembali kerumah itu jika dia sudah punya kekuatan, tapi darimana dia bisa mendapatkan itu? Biaya pengobatan ibu kandungnya saja ia harus memohon belas kasih wanita keji itu. Rumah tak punya, mobil pun hanya mobil bekas yang sudah tua, kalau dijual pun tak seberapa. Bisnisnya hancur, tak ada lagi sumber pendapatan.
Brisia melempar tasnya hingga sebuah benda jatuh ke lantai. Ia memungut falshdisk yang sempat ia curi di ruang kerja milik ibu tirinya. Seolah mendapat pencerahan, Brisia segera menyambungkan flashdisk itu dengan laptopnya. Melihat isi file dari flashdisk untuk menghancurkan Parson Group. Tanpa ragu Brisia mulai menjalankan rencananya, ia memilih membelot dari keluarga Atmadja dan meminta bantuan pada rival keluarganya.
Belum sempat jarinya menekan tombol kirim agar emailnya tersampaikan, seseorang memergoki dirinya dan mencegahnya.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau mati, hm?!”
***
“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau mati, hm?!” suara baritone tiba-tiba terdengar membuat Brisia terperanjat, matanya membulat ketika melihat sosok kakak tirinya berdiri di ambang pintu.“Kak Jovan?!” pekik Brisia, tangannya meremas ujung bajunya. Ia takut kakaknya akan melakukan kekerasan padanya.“Ke-kenapa Kakak ada disini? Dan kenapa ga tekan bel dulu sih?” Brisia berusaha bersikap wajar, ia tak ingin rencana pembelotannya di ketahui kakak tirinya.Pria bernama Jovan itu hanya menyungingkan senyum seraya mendekati Brisia, “Memangnya aku perlu ijinmu untuk keluar masuk tempat ini? Lagipula aku cuma mau mengecek kondisimu. Mama lagi kesel, orang suruhannya kerja ga becus, padahal cuma buat ngikutin kamu doang,” jelas Jovan yang ikut duduk di sofa beludru di samping Brisia, sementara Brisia berusaha menggeser layar laptopnya agar email yang dihendak dikirim Brisia pada Parson Group tak diketahui Jovan.Jovan,
Theo menyeringai dan menyeruput susu strawberrynya setelah mendengar nada khawatir dari pertanyaan Angga.“Saya menerimanya, karena dia satu-satunya anak yang sengaja di sembunyikan keluarga Atmadja. Pasti ada alasan kuat kenapa mereka menyembunyikan identitas gadis itu, dan jika dia ada di tangan saya maka itu sebuah keuntungan bukan?”Angga mengernyitkan keningnya, entah mengapa Tuannya berfikir terlalu positif untuk hal sekrusial ini.“Tapi bagaimana kalau gadis itu adalah senjata Atmadja untuk menghancurkan kita?”Sebuah senyuman tulus tercetak di wajah tampan milik Theo ketika ia menatap pintu kafe, mengingat saat beberapa detik yang lalu gadis itu pergi dari tempatnya.“Hmm … saya ga yakin, lagipula orangtua saya juga sudah mendesak saya supaya cepet menikah dan punya keturunan, bukankah ini perjanjian yang saling menguntungkan?”Sementara itu, Brisia Atmadja selaku satu-satunya orang yang lan
Tepat hampir tengah malam Brisia sampai di gedung apartement sederhana miliknya. Begitu ia masuk matanya membulat ketika melihat sosok ibu tirinya yang sedang duduk di sofa.“Sudah selesai main peran jadi Cinderella-nya?” tanya Anne membuat Brisia menaikkan sebelah alisnya. Anne menghempaskan nafasnya dengan kasar karena ia tak mau lagi membuang-buang waktu.“Katakan padaku kenapa kamu berani melakukan itu?” tanya Anne menatap tajam gadis yang tengah berdiri di depannya, gadis yang sangat ia benci dalam hidupnya.“Karena aku ingin menikah,” jawab Brisia dengan enteng seolah mempermainkan lawan bicaranya.“Hah! Yang benar saja! Kamu fikir aku gak tahu apa yang ada di otakmu?! Gadis licik sepertimu ga mungkin ingin menikah tiba-tiba dengan orang macam itu! Apalagi Parson Group itu kompetitor terberat kita!”Emosi Anne mulai naik, bentakannya pada Brisia menggema sampai gadis itu memejamkan matanya sekej
Gila. Mungkin itu adalah kata yang tepat menggambarkan karakter Theo yang mudah membuat keputusan tapi selalu menepatinya. Seperti malam ini ketika Brisia menggandeng lengan Theo yang membawanya bertemu beberapa dewan direksi perusahaan Parson Group.Ini adalah kali pertama bagi Brisia menghadiri acara makan malam khusus para pebisnis hebat. Untungnya Brisia memiliki kepribadian supel hingga ia tak kesulitan beradaptasi dengan situasi seperti malam ini.“Hallo, maaf saya datang terlambat!”Brisia membeku ketika mendengar suara pria yang familiar di telinganya, sementara itu orang-orang menyambut kehadirannya dengan ramah.“Hai Pak Jonathan! Saya kira ga bakalan datang, padahal malam ini special banget loh Pak!”Mendengar Elios menyebut nama Jonathan membuat Brisia membulatkan matanya, ia bahkan sampai berhenti mengunyah potongan daging di dalam mulutnya.“Kenapa, El? Special apanya nih?” Jonathan nampak se
Lantunan music jazz berjudul The Two of Us milik Seawind menggema di ruang kerja Theo. Pria yang daritadi berkutat dengan beberapa dokumen di meja kerjanya ikut asyik bernyanyi seirama dengan lagu jadul yang terkenal ditahun 80-an.Sesekali, sambil memutar pena ditangannya Theo menyahuti lagu itu dengan suara merdunya. Tak bisa di pungkiri bahwa pria bersuara husky itu juga memiliki bakat dalam bernyanyi, bermain piano serta memainkan Saxophone.Mengingat kejadian tadi pagi saat ia berhasil mengerjai Brisia sampai wajah gadis itu memerah seperti kepiting rebus membuat Theo terus mengulang lagu-lagu Seawind selama tiga puluh menit terakhir.“Tuan, sepertinya mood anda sedang baik, ya?”“Apa sih, Angga?”Theo berdalih pada pria yang berdiri di ambang pintu. Sebenarnya Angga sudah mengetuk pintu daritadi untuk mendapatkan ijin masuk, tapi suara lagu jazz membuat Theo menghiraukan ketukan pintu dari Angga.Theo menekan se
"Bebas dari tempat wanita tua itu, aku malah terkurung disini! Ah, sial!" umpat Brisia ketika melihat pantulan dirinya di jendela. Brisia memandangi senja dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat karena perutnya tak terisi apapun sejak pagi. Setelah Theo pergi siang tadi, ia hanya duduk di sofa, memeluk kedua kakinya sambil menatap langit dengan berbagai pikiran negatif silih berganti. “Gimana kabar ibu, ya? Gimana caranya aku bisa keluar dari sini? Kalau aku buat ruangan ini kebakaran, apa pemadam kebakaran bisa nyelametin aku?” gumamnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, merasa sesuatu yang basah di sofa membuat Brisia menoleh. “Ah… sial!” keluhnya ketika melihat noda darah disana. Dia sampai lupa bahwa siklus bulanannya mulai hari ini. Tak betah dengan dirinya yang kotor, Brisia memutuskan mandi, membersihkan dirinya sebersih mungkin. Tapi satu hal yang membuatnya kebingungan kali ini, “Si Tuan Muda Parson itu … ga punya pakaian dalam wanita apa ya?
Malu rasanya ketika membelikan pembalut dan pakaian dalam wanita sampai hujan-hujanan dan terpegoki ibu sendiri. Theo yang berada di posisi itu hanya mampu pasrah dan bersikap tenang agar ia tak gegabah.“Sial, kenapa Mama malah berkunjung sekarang?” keluh Theo sambil membilas diri dan memakai pakaian hangat, setelah ini ia harus segera menemui Mamanya dan menjelaskan keberadaan Brisia dengan benar.“Kamu mencintai gadis itu? Sungguh?” suara sopran wanita paruh baya dihadapannya mengintrogasi setelah Theo berhasil menyelesaikan penjelasannya tentang dia dan Brisia.Theo berdehem, berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan Mamanya dengan baik, “Menurut Mama?”“Coba kamu ceritakan sekali lagi,” pinta Nyonya Vivian dengan suara lembut membuat anak tunggalnya tersenyum kecut.Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras, bahkan kini sudah hampir larut malam. Nyonya Vivian duduk di sofa ruang tamu,
“Dia baik-baik saja, hanya serangan panik ringan dan sepertinya dia juga belum sarapan jadi dia pingsan. Tunggu saja sampai dia siuman, Tuan. Anda bisa membawanya pergi setelah cairan infusnya habis,” jelas seorang dokter pria sebaya dengan Theo. Ya, dia adalah dokter Garra yang telah cukup lama mengenal Brisia. “Sekedar saran, Brisia kadang sulit mengontrol emosinya jadi jangan terlalu ‘mengagetkannya’, Anda paham kan maksud saya?” tanya dokter Garra seraya tersenyum, membuat Theo mengangguk. Dokter Garra ikut mengangguk dan berpamitan keluar ruangan, menyisakan Theo dan Brisia yang masih berbaring di ranjang rumah sakit. Mengetahui bahwa Brisia tiba-tiba pingsan karena tak menemukan sosok ibunya, membuat Theo bergegas menyusul Brisia dan meninggalkan aktivitas kerjaannya sejenak. Theo berdiri di samping Brisia, ia melipat tangan didada sambil memerhatikan wajah gadis di hadapannya yang pucat tanpa riasan. Perlahan kedua bola mata Brisia bergerak dibalik kel