Share

4

Author: Just_K
last update Last Updated: 2025-02-04 11:32:46

"Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.

Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.

Ting!

Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk.

"Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi di tempatnya!"

Disertai dengan gambar bukti transfer uang sejumlah 20 juta rupiah.

"Jadi kamu benar-benar anggap aku pembantumu, Mas?" bisikku pelan, perasaanku campur aduk. Air mata hampir pecah di ujung mata, tapi aku berusaha menahannya.

Saat aku masih merenungi pesan itu, terdengar suara mobil berhenti di depan gerbang. Aku mendengarnya dengan jelas.

"Permisi? Paket!" 

"Ya! Sebentar!" Aku buru-buru mencari kerudungku, memasangnya dengan cepat, lalu keluar menuju gerbang. Di depan, sebuah mobil pick-up terparkir. Seorang pria dengan seragam kurir berdiri di samping pintu mobil.

"Ini rumahnya Pak Bara Aditama?" 

"Ya, betul. Ada apa ya?"

"Saya mau antar paket, Mbak." jawab kurir tersebut sambil menunjuk bagian belakang mobil yang penuh dengan paket berbagai ukuran.

"Oh iya... iya, silakan masuk," jawabku, sembari membuka gerbang lebih lebar agar mobil pick-up itu bisa masuk. Mata ini tak bisa lepas dari tumpukan paket yang diturunkan satu per satu. Berbagai ukuran kotak, dari kecil hingga besar, keluar dari mobil dan ditata dengan rapi di teras rumah.

"Ini paket apa ya, Mas? Kok banyak banget?" tanyaku penasaran.

"Kurang tahu, Mbak. Maaf." Alisnya sedikit bertaut, mungkin dia juga bingung dengan pertanyaanku. 

Aku mengangguk pelan, lalu mengucapkan terima kasih ketika dia selesai menurunkan barang-barangnya dan pergi.

Setelah kurir pergi, aku menatap tumpukan paket yang besar. "Apa ya ini kira-kira?" batinku, berusaha membaca label pengiriman, namun hanya ada nomor resi dan nama Bara yang tertera. Tak ada keterangan apa-apa.

"Mas, ada paket nih banyak. Ini bener paket punya Mas?"

tulisku dalam pesan kepada Bara, mencoba memastikan.

"Saya nggak pesan apa-apa. Balikin aja ke kurirnya."

"Mas yakin? Tapi kurirnya sudah pergi. Terus gimana?"

"Urus sendiri. Saya sibuk! Jangan kirimi saya pesan lagi, kalau nggak penting, apalagi nelpon!"

Aku menatap layar ponselku dengan mata perih. "Ya ampun, Mas Bara... Sampai kapan kamu akan kayak gini sama aku, Mas?" gumamku, menahan tangis yang mulai mengumpul di sudut mata.

Aku memandangi tumpukan barang yang banyak itu. Mustahil aku bisa mengembalikannya sendirian. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk menelpon Widya, mertuaku. Aku membutuhkan bantuan karena Bara sedang menggunakan mobil, dan satu-satunya kendaraan yang tersisa hanyalah motor, yang tentu tidak bisa mengangkut barang-barang sebanyak ini.

"Halo, Assalamualaikum, Ma?" sapaku setelah panggilan tersambung.

"Waalaikumsalam, Zahra. Ada apa, Nak?" suara lembut mertuaku terdengar di seberang.

"Gini, Ma, ini di rumah banyak paket yang datang, tapi kata Mas Bara, beliau tidak pesan barang. Zahra niatnya mau balikin ke kurirnya, tapi barangnya banyak banget, nggak mungkin bisa diantar pakai motor. Sepertinya Zahra perlu minta tolong sama Mama, boleh?"

"Wah, gimana ya, Nak? Ini Mama lagi di luar kota sama Papa. Hmm, gini aja, kamu pesen sopir aja gimana? Mama pesenin?"

"Oh nggak usah, Ma. Zahra malah jadi ngerepotin. Biar Zahra aja yang pesen sendiri, kalau gitu."

"Ya sudah kalau begitu. Jaga diri ya, Nak."

"Iya, Ma. Kalau boleh tahu, Mama sama Papa di mana sekarang?"

"Ke Puncak, Bogor."

"Oh, salam buat Papa, ya, Ma. Wassalamualaikum."

Aku memesan mobil untuk mengantarkan paket-paket ini ke jasa pengiriman. Sopir yang aku pesan datang dan membantuku memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Beruntung, semuanya bisa masuk meskipun sedikit berdesakan.

Begitu sampai di tempat jasa pengiriman, sopir dan aku mulai menurunkan barang-barang. Di tengah kesibukan itu, ponselku berdering. Panggilan dari Bara.

"Halo, Mas. Assala..."

"Kamu di mana?" suara Bara terdengar tajam.

"Di tempat jasa kirim barang, Mas. Mau balikin paket."

"Nggak usah, jangan dibalikin paketnya!"

"Loh, tadi katanya Mas suruh balikin?"

"Nggak jadi."

"Mas yakin?"

"Udah, nggak usah banyak tanya! Bawa pulang lagi barangnya!" Panggilan langsung terputus sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut.

Aku menghela napas panjang, mencoba memahami sikap Bara yang selalu berubah-ubah. "Sabar, Zahra... Sabar. Ingat nasehat Bapak, menikah itu cobaannya banyak." gumamku sambil mengelus dadaku yang terasa sesak.

"Pak, barangnya nggak jadi dibalikin," kataku dengan sedikit rasa tak enak hati pada sopir yang sudah membantu mengangkat barang-barang tadi.

"Nggak apa-apa, Mbak." Kami lalu memasukkan kembali barang-barang ke dalam mobil, dan akhirnya pulang.

Sesampainya di rumah, sopir kembali membantuku menurunkan barang-barang

"Mbak, maaf... tadi waktu saya pindahin, kertasnya ada yang koyak."

Aku menoleh ke arah paket yang dimaksud. "Oh, nggak apa-apa, Pak. Terima kasih banyak ya sudah bantu saya. Maaf sekali lagi sudah ngerepotin."

"Nggak apa-apa, Mbak. Ini sudah kerjaan saya. Saya permisi dulu."

Aku mengangguk sambil memberinya sedikit uang tambahan, meskipun sopir itu sempat menolak, akhirnya ia menerimanya juga.

Setelah sopir pergi, aku menatap kotak yang kertasnya koyak. Kondisinya bukan hanya koyak, tapi sudah hampir terbuka.

Aku menatap kotak yang koyak itu dengan seksama. Perlahan, aku membuka bagian yang sudah terkelupas.

Seketika, mataku terbelalak. "I...ini?!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahlah, Mas!   15

    Keesokan harinya, di pagi hari, seperti biasanya, aku duduk di meja makan sambil mengaduk kopi, memperhatikan Hana yang turun ke dapur. Tumben, pikirku. Setelah kejadian kemarin, Hana tiba-tiba bersikap manis di depan Bara. Wajahnya seakan dipoles ulang menjadi istri yang penuh perhatian. Dia duduk di sebelah Bara, bahkan dengan penuh manja menyuapi suaminya.Aku hanya melirik tingkah mereka dengan pandangan datar, menahan rasa muak melihatnya. Seolah-olah Hana tidak pernah melakukan kesalahan apa pun."Mas, aku besok mau kerja lagi."Bara menatapku sebentar, lalu mendengus, "Emangnya kamu bisa kerja?""Paling jadi pelayan kafe, Mas?" celetuk Hana sambil melirik ke arahku dengan senyum sinis.Aku tersenyum tipis. Kayaknya mereka nggak tahu aku ini siapa, batinku."Emang kenapa kalau jadi pelayan kafe? Yang penting halal, kan?" jawabku tenang.Hana mendadak terdiam, tak mampu melanjutkan ejekannya. Bara hanya berdehem. "Terserah kamu."Setelah sarapan, Bara bergegas pergi ke kantor sep

  • Menikahlah, Mas!   14

    Jari-jariku berhenti menari di atas keyboard. Layar laptop memudar menjadi hitam, memantulkan bayangan wajahku. Pekerjaan terakhir terkait kepindahanku akhirnya rampung.Aku melirik ke arah Hana yang baru saja pulang. Sejak pagi tadi dia sudah pergi, dan baru sekarang, ketika langit sudah gelap. Aku tidak peduli ke mana dia pergi, dengan siapa, atau bagaimana dia berdandan. Pakaian minim yang dia kenakan, dengan make-up tebal dan mencolok, sangat bertolak belakang dengan penampilanku.Barangkali mungkin tipe wanita seperti Hana ini yang disukai Bara. Pantas saja Bara pernah bilang kalau dia tidak selera denganku. Tapi terserahlah... Aku sudah tidak peduli lagi. Menjadi istri di atas kertas ternyata tidak terlalu buruk, aku tidak perlu repot-repot melayani Bara yang semaunya sendiri. Batinku sambil melirik Hana yang masuk ke kamarnya.Tak lama kemudian, Hana keluar dari kamarnya dengan pakaian yang lebih sederhana, namun tetap mempertahankan kesan seksi."Mbak Zahra sudah makan malam?"

  • Menikahlah, Mas!   13

    Aku baru pulang dari pasar dengan tangan penuh belanjaan. Begitu melangkah ke dalam rumah, pemandangan yang menyambutku adalah Bara yang sedang merapikan dasinya di meja makan, sementara Hana sibuk memainkan ponselnya sambil menopang dagu. Aku berlalu begitu saja melewati mereka tanpa ada niatan untuk menyapa."Ke mana saja kamu? Masih pagi sudah kelayapan," tegur Bara."Habis dari pasar," jawabku singkat sambil berjalan menuju dapur, mulai sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam kulkas."Apa kamu nggak bisa pamitan dulu kalau mau pergi?"Aku mendesah dalam hati, enggan memperpanjang masalah kecil ini. "Aku perginya pagi banget, lagian kenapa aku mesti pamit sama mas?" tanyaku sambil melanjutkan memasukkan sayuran dan daging ke dalam kulkas, tak berhenti mengatur barang-barang yang kubawa dari pasar."Kamu nggak ngerti sopan santun ya?" Bara mulai meninggikan suaranya, seolah tidak puas dengan jawabanku."Mas, sudah, jangan gitu sama Mbak Zahra. Barangkali Mbak Zahra itu orangnya e

  • Menikahlah, Mas!   12

    "Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu

  • Menikahlah, Mas!   11

    Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena

  • Menikahlah, Mas!   10

    "Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status