Haura Zahra, dipaksa menerima takdir pahit. Ia harus menikah dengan Bara Aditama, pria yang seharusnya menjadi adik iparnya. Di bawah bayang-bayang kewajiban keluarga, Haura pasrah, tak kuasa menolak. Bara mengakui bahwa hatinya tak pernah untuk Haura. Ia telah terikat janji suci dengan wanita lain, Hana, yang mengaku sedang sakit keras. Haura dengan besar hati mengizinkan Bara menikah lagi. Kebohongan demi kebohongan terungkap, menguak tabir gelap sebuah cinta yang terjalin dalam kepalsuan. Siapakah sebenarnya Hana? Haura pun terperangkap dalam pusaran intrik keluarga yang rumit. Bisakah ia bertahan dan menemukan kebahagiaan sejati di tengah badai kehidupan?
Voir plusGerimis turun sepanjang perjalanan menuju rumah. Rintik hujan tak henti-hentinya menghujani kaca mobil. Bapak mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air yang seolah berlomba jatuh dari langit. Dari balik jendela, aku menatap jalanan yang basah, menyaksikan lampu-lampu jalan terpantul pada genangan air di aspal.
Aku selalu menyukai hujan. Suaranya yang merdu, serta aroma khas tanah yang basah selalu memberikan ketenangan tersendiri. Ada sesuatu yang magis tentang hujan yang membuatku merasa damai, seolah dunia berhenti sejenak untuk mendengarkan tetesan air yang jatuh dari langit. Namun, hari ini berbeda. Ketika biasanya aku menikmati setiap detik hujan turun, kali ini hatiku tak bisa merasakan kedamaian yang sama.
"Bapak sudah sepakat. Lusa, kamu akan tetap menikah sama putra keduanya Adiwijaya. Kamu nggak perlu khawatir." .
Zahra terdiam, tatapannya masih tertuju pada jalanan di depan. Tak ada niat untuk menjawab. Baru dua puluh menit yang lalu, almarhum Mas Huda dikebumikan, namun Bapak dan calon mertuanya tampaknya sudah punya rencana lain. Sungguh ironis, batinnya.
"Haura Zahra, anak Bapak yang paling cantik. Nduk... Bapak tahu kamu mungkin nggak suka sama keputusan ini, tapi kamu percaya saja sama apa yang Bapak lakukan. Bara itu pria yang baik, nggak kalah baiknya sama Huda."
"Tapi, Pak... setahu aku, Bara sudah punya kekasih?" aku menoleh ke arah Bapak dengan kening mengerut.
Bapak tersenyum tipis, "Siapa yang bilang?"
"Aku pernah lihat dia bawa pasangannya pas di acara lamaran sebulan yang lalu, Pak," jawabku, sedikit bergetar. Aku ingat betul, saat Bara datang dengan seorang wanita di sampingnya. Senyum mereka saat itu masih terekam jelas di benakku.
"Oh itu... Kamu nggak perlu mikirin hal itu. Semuanya sudah diatur. Kamu tinggal nikah saja sama Bara, dia juga sudah setuju kok."
Aku mendesah, sembari mengamati derasnya hujan di luar. "Apa nggak bisa Zahra nikah sama orang lain, Pak? Bagaimanapun, Bara kan harusnya jadi adik ipar, bukan suami Zahra?"
"Hush! Kamu nurut saja sama Bapak. Bara adalah pilihan yang tepat buat kamu."
Aku mengepalkan tangan, menahan kesal yang mulai memenuhi dadaku. "Tapi Pak..." suaraku bergetar, menahan amarah yang mulai membuncah.
"Zahra, percayalah, Nduk... Dia yang terbaik buat kamu, titik. Bapak nggak mau kita berantem, apalagi di mimpi indahmu."
Aku ingin melawan, tapi kalimat itu terasa begitu berat di hatiku. "Mimpi? Ini mim...
*****
"Hah!" Aku terbangun dengan napas yang masih tersengal. Mataku langsung tertuju pada cermin besar di depanku. Pantulan wajahku yang letih terlihat jelas. Sebuah tangan terangkat, menyangga wajahku yang sedikit miring.
"Kok Mbak Nurul nggak bangunin aku sih?"
"Nggak apa-apa, Zahra. Mbak lihat kamu kayaknya capek banget. Lagian, Mbak udah biasa ngerias calon manten yang ketiduran," jawab Mbak Nurul sambil tersenyum kecil.
Aku membalas senyum itu, namun perasaanku jauh dari tenang. Di cermin, aku melihat wajahku yang sudah dirias. Polesan make-up putih lembut menghiasi pipiku, mempertegas kecantikanku. Aku mengenakan kebaya putih yang anggun, dipadu dengan kerudung putih.
"Kamu tadi mimpiin Bapak kamu, ya?" tanya Mbak Nurul.
"Iya, Mbak. Bapak tadi datang di mimpi aku."
"Mungkin, Bapak tahu anak perempuannya akan segera dipersunting oleh pria pilihannya.
Aku hanya tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan keraguan di hatiku. Percakapan dalam mimpiku tadi seolah bersambung dengan kenyataan. Baru tujuh hari sepeninggal Mas Huda, keluargaku sudah sibuk mengatur pernikahan baru. Entah janji apa yang membuat keluargaku begitu kukuh melanjutkan pernikahan ini, namun kali ini dengan adik almarhum Mas Huda, Bara Adiwijaya.
Ijab kabul tiba, aku berdiri di sisi Bara, yang mengenakan jas putih elegan. Kulitnya putih bersih, tubuhnya tegap dengan rahang tegas dan alis hitam tebal yang menambah ketampanannya. Di antara keramaian, sorotan mata semua orang tertuju pada kami. Udara di sekitar terasa berat, seolah menahan setiap tarikan napasku.
"Saya terima nikah dan kawinnya Haura Zahra binti Usman dengan maskawin tersebut tunai," suara Bara tegas, tanpa ragu sedikit pun.
"Sah!" seru wali nikah dan para saksi.
Air mata menggenang di pelupuk mataku, namun aku menahan diri agar sebisa mungkin untuk tidak menangis di depan orang banyak. Aku melirik ibuku, Salimah, yang juga tak kuasa menahan air mata. Wajah ibuku yang masih pucat membuatku semakin pilu. Salah satu alasan mengapa aku tak menolak pernikahan ini adalah karena permintaan ibuku yang sedang sakit keras.
Dengan perasaan campur aduk, aku mendekati Bara dan mencium telapak tangannya. Hati ini masih terasa berat, tapi apa dayaku? Suaminya sekarang adalah Bara, dan aku harus menerimanya
*****
Malam telah larut. Di dalam kamar, aku duduk di depan cermin, perlahan menghapus riasan di wajahku. Bayangan diriku kembali menatap dengan mata yang kosong. "Ya Tuhan, kenapa hatiku belum siap? Kuatkanlah hambamu... Bagaimanapun juga, kami telah sah menjadi suami istri. Dosa besar jika aku menolak suamiku sendiri, bukan?"
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu terdengar pelan.
"Zahra?" suara Bara terdengar dari balik pintu.
"Ya, silakan masuk, Mas."
Pintu terbuka, dan Bara masuk. Mata kami bertemu sejenak, lalu kami terdiam, canggung.
"Mas, disuruh masuk sama saudara-saudara kamu."
"Iya, Mas udah mandi?"
"Sudah tadi. Kamu?" tanya Bara sembari menggaruk tengkuknya.
"Ini, aku baru mau mandi."
"Oh... iya," Bara menanggapi pelan, suaranya nyaris berbisik.
Aku segera bangkit, merasa lebih baik pergi daripada terjebak dalam canggungnya situasi ini. "Kalau begitu, aku permisi dulu, mau mandi."
"Iya."
Begitu keluar dari kamar, aku segera bergegas menuju kamar mandi, namun sepupuku, Vina, mengahdang jalanku dengan senyuman tengilnya. "Ciee... ciee... pengantin baru mau mandi nih?"
"Apa sih, Vina?" jawabku, mencoba terdengar tidak peduli padahal hati aku berdebar-debar. Aku menyesal mengapa kamar mandi satu-satunya di rumah ini harus berada di samping dapur, yang berarti setiap kali aku mau ke kamar mandi, aku harus melewati area yang sering menjadi tempat berkumpulnya para tamu. Aku buru-buru berlari menuju kamar mandi, berharap bisa menghindari perhatian yang tidak diinginkan.
Selesai mandi, aku kembali berdiri di depan kamar, entah kenapa jantungku berdebar tak karuan. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Dengan berat hati, aku membuka pintu kamar, berharap ada sesuatu yang bisa menenangkan kegelisahan hatiku.
Saat aku masuk, aku melihat Bara sudah terbaring meringkuk di atas ranjang.
"Mas? Udah tidur ya?"
"Belum, saya nggak bisa tidur. Ranjangnya sempit sekali!" protes Bara tiba-tiba.
Aku hanya melirik ke arahnya tanpa berkata apa pun.
"Kamu tidur di lantai sana, saya sumpek! Nggak bisa gerak," protes Bara tiba-tiba.
"Mas suruh aku tidur di bawah? Aku nggak salah dengar kan mas?" ulangku merasa tak percaya.
Keesokan harinya, di pagi hari, seperti biasanya, aku duduk di meja makan sambil mengaduk kopi, memperhatikan Hana yang turun ke dapur. Tumben, pikirku. Setelah kejadian kemarin, Hana tiba-tiba bersikap manis di depan Bara. Wajahnya seakan dipoles ulang menjadi istri yang penuh perhatian. Dia duduk di sebelah Bara, bahkan dengan penuh manja menyuapi suaminya.Aku hanya melirik tingkah mereka dengan pandangan datar, menahan rasa muak melihatnya. Seolah-olah Hana tidak pernah melakukan kesalahan apa pun."Mas, aku besok mau kerja lagi."Bara menatapku sebentar, lalu mendengus, "Emangnya kamu bisa kerja?""Paling jadi pelayan kafe, Mas?" celetuk Hana sambil melirik ke arahku dengan senyum sinis.Aku tersenyum tipis. Kayaknya mereka nggak tahu aku ini siapa, batinku."Emang kenapa kalau jadi pelayan kafe? Yang penting halal, kan?" jawabku tenang.Hana mendadak terdiam, tak mampu melanjutkan ejekannya. Bara hanya berdehem. "Terserah kamu."Setelah sarapan, Bara bergegas pergi ke kantor sep
Jari-jariku berhenti menari di atas keyboard. Layar laptop memudar menjadi hitam, memantulkan bayangan wajahku. Pekerjaan terakhir terkait kepindahanku akhirnya rampung.Aku melirik ke arah Hana yang baru saja pulang. Sejak pagi tadi dia sudah pergi, dan baru sekarang, ketika langit sudah gelap. Aku tidak peduli ke mana dia pergi, dengan siapa, atau bagaimana dia berdandan. Pakaian minim yang dia kenakan, dengan make-up tebal dan mencolok, sangat bertolak belakang dengan penampilanku.Barangkali mungkin tipe wanita seperti Hana ini yang disukai Bara. Pantas saja Bara pernah bilang kalau dia tidak selera denganku. Tapi terserahlah... Aku sudah tidak peduli lagi. Menjadi istri di atas kertas ternyata tidak terlalu buruk, aku tidak perlu repot-repot melayani Bara yang semaunya sendiri. Batinku sambil melirik Hana yang masuk ke kamarnya.Tak lama kemudian, Hana keluar dari kamarnya dengan pakaian yang lebih sederhana, namun tetap mempertahankan kesan seksi."Mbak Zahra sudah makan malam?"
Aku baru pulang dari pasar dengan tangan penuh belanjaan. Begitu melangkah ke dalam rumah, pemandangan yang menyambutku adalah Bara yang sedang merapikan dasinya di meja makan, sementara Hana sibuk memainkan ponselnya sambil menopang dagu. Aku berlalu begitu saja melewati mereka tanpa ada niatan untuk menyapa."Ke mana saja kamu? Masih pagi sudah kelayapan," tegur Bara."Habis dari pasar," jawabku singkat sambil berjalan menuju dapur, mulai sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam kulkas."Apa kamu nggak bisa pamitan dulu kalau mau pergi?"Aku mendesah dalam hati, enggan memperpanjang masalah kecil ini. "Aku perginya pagi banget, lagian kenapa aku mesti pamit sama mas?" tanyaku sambil melanjutkan memasukkan sayuran dan daging ke dalam kulkas, tak berhenti mengatur barang-barang yang kubawa dari pasar."Kamu nggak ngerti sopan santun ya?" Bara mulai meninggikan suaranya, seolah tidak puas dengan jawabanku."Mas, sudah, jangan gitu sama Mbak Zahra. Barangkali Mbak Zahra itu orangnya e
"Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu
Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
"Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires